Knock Your Heart

By ndaquilla

3.2M 267K 17.9K

Sebagian BAB berada dalam Mode Private *** Yang satu tengah mencari calon suami, sementara lainnya masih berl... More

Prolog
1. Eve - Abra
2. The Game
3. And Then ... Show Time!
4. Good Night, Boy!
5. Seminggu Berlalu
6. Merana Ala Abra
7. Bagian Yang Tak Disangka
8. Kejutankah?
9. Fix! Delusi Akut!
10. Kesintingan Yang Sama
11. The Idiot Man
12. What?!
13. Lemah Iman
14. Evelyn Aluna Smith
15. Analogi Celana Dalam & Putri
16. Mantan & Calon Masa Depan
17. Bukan Biksu
18. Mendadak Pias
19. Gugup Part One
20. Gugup Part Two
21. Gugup Part Three
22. Menikahiku 'kan?
23. Restui Saya, Om!
25. Abra Nikah, Mamen!
26. Hai, Istri!
27. Dua Idiot Yang Gemar Menggores Nadi
28. Dewinya Abra
29. Gangguan Fabian
30. Suami (Sah)
31. Dinding Yang Mencuri Dengar
32. Knock-knock Your Heart, Ab!
33. Telur Dadar
34. Abra Bilang "Jombelo"
35. Menyembunyikan Skandal Sang Puteri
36. Kegalauan Abra Versi Terbaru
37. Jadi gini ....
Knock Your Heart : Special Ilustration Moment
Pre Order Knock Your Heart

24. Abra, Evelyn, Dan Dunia Yang Tak Sama

58.7K 6.8K 772
By ndaquilla

***
Ada beberapa orang yang lebih memilih sendiri, bukan karena tak mau membuka hati. Mereka hanya sedang menjaga diri, agar tak merasakan kecewa lagi.

***

Amar melebarkan mata tak percaya melihat Abra yang sedang menari gila-gilaan di halaman rumahnya. Seolah sedang berhalusinasi, Amar yakin, ini adalah delusi terparah yang ia rasakan, saat telinganya yang awas terus menangkap teriakan-teriakan heboh dari bibir sahabatnya itu. Sebenarnya, bukan karena kelakuan ajaib Abra itu yang membuatnya terkesima, melainkan berita besar yang dibawa serta pria itu dengan bangga padanya.

Lantas Amar menggelengkan kepala, “Gue yakin, Abra baru aja buat kesepakatan sama dukun.” Desahnya sambil meringis. “Serius, gue merinding sekarang.”

“Hahahaha … lebay lo!” sahut Wira terkekeh. “Bukan kesepakatan sama dukun sih, kalau gue bilang.” Wira menepuk-nepuk bahu Amar yang masih tampak tergunjang dengan kabar ajaib Abra. “Gue yakin, dia lagi bersekutu sama Jin Iprit. Kerjasama mereka pakai materai 6000 dua lembar, terus pakai cap jempol.”

“Anjing!” Amar ikut tertawa sambil menoyor kepala Wira, lalu kembali menertawakan Abra sinting yang sekarang sedang berlarian mengelilingi kebun bunga kecil di depan teras, tempat mereka duduk saat ini. “Gue nggak percaya Omnya Kenya bakal luluh sama laki-laki model cacing kepanasan kayak gitu.” Telunjuknya mengarah ke Abra.

Berbeda dengan reaksi Amar, Wira tampak terpingkal geli. Bahkan lajang tersebut sampai memegangi perutnya demi melihat Abra yang tengah kegirangan saat ini. Tak peduli bahwa adzan Isya baru saja berkumandang, notaries gila tersebut tetap melanjutkan selebrasinya bak Ronaldo yang berhasil mencetak Hattrick ke gawang Bayern Munich di perempatfinal Liga Champion. “Kayaknya bokapnya Evelyn resmi kena pelet si Abra deh. Setelah Abra sukses ngepelet Evelyn.”

Amar mengangguk setuju. “Ngeri gue lama-lama deket dia,” Amar bergidik. Namun sudut bibirnya terangkat geli. “Ini si Adam belum tau ‘kan?” Wira hanya menggeleng. “Yakin gue, Adam pasti bakal buka kitab hukum Pidana dan nyari pasal buat nyadarkan Abra.”

Dan kedua sahabat itu hanya mampu menggelengkan kepalanya saja, saat Abra mendatangi mereka kembali setelah berselebrasi nyaris setengah jam. Dengan napas terengah, Abra yang sudah membuka kemejanya dan hanya menyisahkan kaos dalaman saja, segera menjadikan kemejanya lap untuk menghapus keringat.

“Hahh …! Gila! Ini malem sejuk banget!” serunya hiperbolis dengan tampang tengil. “Aura calon manten emang gini banget ya, Mar. Sampai bisa bikin kalian berdua excited terus mandangin gue.”

“Najis!

“Setan!”

Lalu Abra tertawa kencang mendengar makian teman-temannya. “Hah, sayang banget ini pak pengacara nggak ada.” Abra menyambar minumannya, lalu memilih duduk di lantai sambil meluruskan kakinya yang pegal. Sementara Wira dan Amar duduk di atas, memandangnya penuh cela. Abra sih, masa bodoh saja, karena yang terpenting adalah bahwa dia sedang bahagia. “Wir, lo nanti boleh deh kirim broadcast buat mantan-mantan gue.” Abra berkata lagi, dan kali ini lebih songong dari sebelumnya. “Eh, maksudnya mantan temen-temen bobok gue, hehehee …” ia segera meralat.

Dan Wira langsung saja melemparnya dengan asbak kayu, membuat Abra melompat sambil mengumpatnya. Namun Wira tak peduli. Ia tertawa keras dan mengatakan beberapa makian untuk membalas umpatan Abra. “Gue yakin banget, lo tuh memang simpenannya Nyi Blorong, yang kalau malam Jumat Kliwon suka makanin menyan. Makanya lo bisa seberuntung ini, Ab.”

“Eh, baik-baik itu mulut kalau ngomong ya?” Abra menyela, sok tersinggung. Padahal semuanya tahu, Abra adalah manusia yang sulit sekali mengumpulkan emosi. Sebab Abra memang sebaik itu, ia lebih suka meminimalisir perselisihan hanya karena ia benci bermusuhan. “Ini tuh namanya berkah, buat laki-laki soleh macem gue.” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan bangga. “Makanya rajin Jumatan. Wudhu yang bener, biar auranya terpancar gitu.” Ucapnya kalem.

“Halah, lo juga cuma taunya sholat Jumat doang.” Amar mencibir.

“Enak aja lo!” sela Abra tak terima. “Gini-gini, gue Subuhan ya!”

“Masa?” Wira mengerutkan kening tak percaya.

“Iya lah.” Balas Abra cepat. “Ya, tapi kalau gue nginep di rumah nyokap aja.”

Kemudian seruan ejekan untuk Abra segera mengudara.

Abra kembali mengabaikan teman-temannya. Tersenyum menatap langit, Abra bermelankolis dengan keindahan malam. “Rasanya tuh, kayak naik baling-baling bambunya doraemon. Dan gue lagi mandangin pemandangan kota Tokyo dari bukit belakang sekolahnya Nobita. Terus tiba-tiba ada Shizuka di depan gue, lalu ada angin berembus dan buat roknya naik. Dan kayak Nobita, gue bisa bilang itu adalah berkah yang nggak disangka-sangka.”

“Apaan sih lo, Ab? Nggak ngerti gue sama filsafat aneh lo itu.” Kata Wira terpingkal. Sumpah mati, ia tak menyukai semua analogi yang keluar dari bibir Abra. Karena menurutnya, mendengarkan Abra berceloteh mengenai kesenambungan hidup, sama saja seperti mendengar Vicky Prasetyo berbicara. Bahasa mereka ketinggian, namun sama sekali tak ada yang berarti. “Coba, kasih minum Combantrine dulu tuh cacing-cacing di kepala lo, biar bener isinya.”

Dengan cuek, Abra mengibaskan tangannya ke udara. Ia masih tak terpengaruh pada cibiran Wira. Ia sedang merasa di awan sekarang. “Atau kayak Son Goku ngedapetin bola-bola naga dan mulai buat permohonan, gue yakin keadaan gue sekarang kayak gitu.” Ucapnya semakin melantur, tetapi senyum tak surut dari bibirnya.

“Ya, awas aja, Ab. Biasanya setelah bola naga terkumpul, Picolo datang.” Amar menimpali geli.

“Picolo ‘kan akhirnya jadi temennya Goku,” Abra menjelaskan. “Halah, kok gue jadi kangen ya, sama Bejita waktu manggil Goku, Kakaroto.” Gumamnya ngawur.

“Kampret!” Wira mengumpat. “Kembali ngobrol ke topik deh, simpenannya dedemit.”

Abra lantas menyeringai, keringatnya sudah mengering di sapu angin malam. Lalu pandangannya berbinar saat memandang teman-temannya dengan serius. “Alhamdulillah, Wir, Mar, gue beneran bakal nikah.” Ucapnya semringah. “Lamaran gue diterima. Gue tinggal bawa keluarga gue buat ngelamar secara resmi, terus abis itu kawin. Ya Allah, Abra janji nggak akan jajan sembarangan setelah ini, ya Allah.” Katanya hiperbolis, sambil menengadahkan tangan ke atas seperti orang berdoa. Kemudian raut bahagia ia perlihatkan pada teman-temannya. “Evelyn tuh, kayak perpaduan antara Raline Shah sama Emma Stone, guys!” ujarnya berapi-api. “Dan orang yang beruntung dapetin dia itu gue.”

“Bukannya lo sukanya Emma Watson?” sela Amar telak.

“Iya, tapi semenjak dia main Beauty and The Beast nggak lagi,” ucap Abra santai. “Males gue harus jadi Beast. Jadi, mending gue sama Emma Stone aja deh. Kan muka gue sama Ryan Gosling nggak beda jauh.” Katanya jumawa.

“Mau muntah gue,” keluh Wira merana.

“Lo yakin, bokap Eve nerima lamaran lo, Ab?” wajah Amar memberitahukan kesangsiannya. “Sumpah ya, kalau nanti anak gue cewek dan misalnya dia pengangguran. Gue nggak bakal nerima lamaran, atau bahkan ngebolehin anak gue deket-deket sama manusia penuh dusta macam lo.”

Ya, cerita lama. Semua pasti tak akan memercayai betapa Abra serius ingin menikah. Ck, Abra tak bisa menyalahkan orang-orang itu. Mungkin, karena pembawaannya kerap santai, hingga tak satu pun mau percaya, bahwa Abra adalah bajingan paling bertanggung jawab dimuka bumi ini. Dan sebagaimana bajingan lainnya, suatu saat, keinginan untuk menikah pasti muncul di sana.

Kebetulan saja, Abra sudah bertaubat. Hingga keinginannya untuk menjadi manusia yang utuh segera saja menghampiri. Lagipula, siapa yang akan menolak menikahi sosok bidadari bumi berkaki jenjang yang sangat pas bila membelit kencang di pinggangnya. Lalu lengan-lengan kurus mulus yang begitu lembut saat dikecup, akan bertengger menyenangkan di lehernya. Juga jangan lupakan tekanan dari sepasang buah dada yang membentur dadanya tiap kali mereka berpelukan.

Ya, ampun … sudah dua kali! Batin Abra mengingat girang.

“Rezeki anak soleh sih kalau kata gue,” ia menyeringai lebar. “Buah dari kesabaran gue setelah jomlo sekian tahun.” Kembali ia memberi cengiran pada kedua temannya. “Kan kata Pak Ustad, jangan pacaran. Kalau punya demenan, mending langsung halalkan.”

“Sombong lu!” Wira mencibir. “Dan setelah nikah, rencana lo ngapain?”

Sebuah pertanyaan yang salah. Karena setelah mendengar pertanyaan itu, Abra langsung bangkit dengan semangat. Sambil berkacak pinggang, Abra menatap Wira dengan binary cerah. “Jelaslah, buat bayi!”

“Nyesel gue nanya,” Wira memutar mata.

“Lo sih bego!” seru Amar terpingkal.

Menyisahkan Abra yang tampak terlalu semangat menyambut hari-hari barunya.

***

Lalu semua berjalan begitu cepat bagi Abra. Karena setelah keluarganya datang ke rumah Evelyn pada akhir pekan yang telah ia dan Eve sepakati. Beberapa rencana terkait pernikahan mereka pun langsung dibuat. Keluarga besar Eve benar-benar tidak mempermasalahkan bahwa Abra merupakan adik kandung dari sekretaris Eve di kantor. 

Keluarga itu begitu hangat ketika menyambut mereka sore itu. Tampak bersemangat saat melihat kakak Abra di antara rombongan, seolah adalah kerabat lama, keluarga Smith yang kaya itu pun tampak tak keberatan akan berbesanan dengan kedua orangtua Abra yang sudah bercerai. Seolah keluarga hebat itu sepakat, bahwa masalah orangtua, bukan kesalahan anak-anaknya. Dan memang seperti itulah seharusnya.

Kemudian tanggal pernikahan pun ditentukan. Evelyn tidak ingin terlalu lama. Walau ditemani oleh tatapan Alaric yang belum bersahabat dengannya, Abra mengusulkan dua bulan setelah tanggal kedatangan mereka. Namun Eve merevisinya, wanita itu menginginkan pernikahan dilaksanakan pada bulan depan. Lalu dengan ajaib, semua setuju.

Seakan lupa, bahwa bahagia tidak akan bertahan selamanya, Abra terlalu sombong dengan meyakini, tawanya akan berlangsung abadi. Dan Evelyn sudah menjadi miliknya.

Hingga beberapa minggu sebelum pernikahan mereka berlangsung, Abra mulai berfirasat. Dan firasatnya itu bermula setelah ia mulai mengartikan bahwa tatapan Evelyn tidak sama dengan tatapannya. Lalu senyum di bibir wanita itu tidak pernah benar-benar dipersembahkan untuknya.

Dan yang paling membuat Abra yakin, ketika dengan sadar, Evelyn sendiri yang mengatakannya.

“Abra, mungkin pernikahan kita nanti tidak akan selalu berjalan seindah yang kamu harapkan.” Eve menatap lurus ke depan, enggan turun dari mobil Abra yang menjemputnya di kantor. “Akan ada beberapa kesalahpahaman yang terjadi di masa depan. Beberapa kisah masa lalu yang terkuak. Juga kelabilanku yang kembali menghampiri.” Akhirnya Eve memberanikan diri menatap Abra. Tangan wanita itu terulur menyentuh wajahnya. “Tapi apapun yang terjadi nanti … tolong jangan pernah ceraikan aku.”

Mata Abra melebar terkejut. Bahkan sampai sejauh ini pun, tak pernah terbesit kata terkutuk itu di kepalanya, walau kedua orangtuanya melakukan hal demikian. “Apa-apaan!” Abra berseru, ia mulai tak mengerti apa yang ada di pikiran Evelyn. “Kalau racauan kamu ini cuma karena tekanan takut menikah, aku bisa menolerir ya, Lun.” Abra memberi peringatan. “Tapi aku nggak bakal maafin kamu, kalau justru kamu yang punya cita-cita kayak gitu.”

Eve tersenyum mendengarnya. Dan ia merasa bersyukur karena Abra yang akan menikahinya. Tak peduli bagaimana nanti jalan yang akan mereka lalui. Evelyn sedang tak mampu mempercayai apapun. Apalagi semenjak pertengkarannya dengan Dylan semalam. Lalu seperti yang sudah-sudah, segala hal mengenai Dylan adalah kelemahannya. Namun meninggalkan Abra disaat pria itu sudah berjuang begitu jauh untuk memilikinya, sama sekali tak benar. Evelyn tahu itu. “Tolong, pertahankan aku. Sebanyak apapun dosaku yang nanti akan tersingkap di hadapan kamu. Please, jangan pernah pergi.”

Walau suara Dylan masih menggema di telinganya, wajah pria itu masih membayangi pelupuknya. Juga permintaan yang Dylan katakan, Eve lemah tak berdaya. Ingin rasanya ia mengabulkan hal itu, tetapi luka yang akan mereka toreh dalam keluarga mereka sendiri, pasti akan sangat menyakitkan. Dan Evelyn tak mau menyakiti keluarganya lagi.

Jangan menikahinya, Eve. Jangan lakukan apapun untuk membuatku jauh. Jangan menikahinya tanpa cinta dan luka akan kembali sama.”

Eve memejamkan mata. Tidak mau mengingat rintihan Dylan saat menghadangnya semalam.

Lalu Abra menegang kaku mendapati Evelyn bersikap janggal begitu. Tetapi ia berusaha tetap tenang dan tak terpancing kepanikan. “Aku benci sinetron, Lun.” Kata Abra akhirnya, setelah ia mampu mengusir bayangan tak mengenakan mengenai apa saja yang mungkin terjadi pada masa lalu Evelyn yang tak ia tahu. “Jadi, jangan bikin skenario dengan bilang kamu pernah hamil dan melahirkan seorang bayi. Lalu pergi ke Singapura untuk melakukan operasi keperawanan lagi. Karena kalau itu yang kamu bilang, aku bakal bawa mamaku juga ke sana, dan bakal ngusulin ke mama buat ngejalanin operasi serupa.”

Dada Evelyn membengkak karena rasa haru. Di saat normal, mungkin ia akan tertawa mendengar kicauan pria itu. Namun sekarang, ketika beban tekanan sedang menyandra isi kepalanya, Eve bisa apa, selain menjatuhkan diri ke dalam pelukan Abra. Lalu tersedu di sana. Menangisi hatinya yang tak akan pernah sama. “Tetap gini ya, Ab?” pelas Eve di sela pelukannya. “Tolong, tetap kayak gini. Dan kamu nggak akan merasa ada yang perlu dikecewakan.”

Dan bagi Abra yang lemot sekalipun, hal itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan beberapa rahasia yang tak akan ia ketahui dengan mudah. Tetapi sudah terlalu jauh untuk berhenti. Jadi Abra hanya mampu meneguhkan hatinya. “Aku bakal kayak gini sampai mati, Lun. Sampai kamu bosan sendiri sama aku.” Janjinya hari itu.

***

Continue Reading

You'll Also Like

40.4K 3.4K 47
Senja dan Saka sudah lama menyerah, bagi mereka hidup hanya tentang bertahan, ada dinding batas yang sulit untuk mereka runtuhkan. Mereka pernah baha...
2.3M 186K 40
Hidup Gama seperti sebuah quote "Cintaku habis di kamu, sisanya aku hanya melanjutkan hidup." Setelah perpisahan dengan Jenia hampir sepuluh tahun y...
161K 9.4K 28
"Daripada sama dia, aku lebih baik jadi janda seumur hidup!" Sepenggal kalimat penolakan mutlak yang Rena katakan. Tapi, bagaimana bisa satu bulan ke...
2.3M 195K 38
"Kok belum punya pacar kak?" "Kak, kriteria pacarnya yang kaya gimana?" "Spill tipe idealnya dong kak ..." Aku sudah terlalu lelah untuk menjawab pe...