I Feel The Love (Playstore)

By dianjesika

1.9M 117K 4K

Sudah dipindahkan ke Dreame. Novel dewasa. Sebelumnya, Devika merasa hidupnya sangat bahagia dan sempurna. Di... More

Prolog
Bagian - 1
Bagian - 2
Bagian - 3
Bagian - 4
Bagian - 5
Bagian - 6
Bagian - 7
Bagian - 8
Bagian - 9
Bagian - 10
Bagian - 11
Bagian - 12
Bagian - 13
Bagian - 14
Bagian - 15
Bagian-16
Bagian - 17
Bagian - 19
Bagian - 20
Bagian - 21
Bagian - 22
Bagian - 23
Bagian - 24
Bagian - 25
Coba Tilik Bentar, boleh?
Bagian - 26
Bagian - 27
Bagian - 28
Bagian - 29
Bagian - 30
Bagian - 31
Bagian - 32
Epilog
Open PO
E-Book

Bagian - 18

59.4K 3.5K 75
By dianjesika

Vote dan komen selalu kutunggu😙😙

Typo koreksi bersama ya🦁🦄

________________________________




Hampir semua orang antusias dengan hari ulang tahunnya, tapi tak sedikit pula yang tidak terlalu mempedulikan tanggal kelahirannya. Fabian misalnya, pria itu tak pernah peduli pada hari ulang tahunnya. Baginya sejak di tanggal itu lah penderitaan mulai silih-berganti menghampirinya. Di suatu masa ketika hidupnya terpuruk, ia pernah menyesali kelahirannya. Namun perlahan ia menyadari penyesalan adalah bentuk ketidakmampuan dalam menghadapi masalah. Akhirnya ia mencoba bangkit, berjuang mengubah hidupnya hingga menjadi seperti sekarang. Tapi tetap saja, hari kelahirannya tidak pernah menjadi hari spesial untuknya. Bila diingat-ingat lagi, tak ada satu pun hari spesial selama hidupnya.

Tiga bulan yang lalu tepat di tanggal 24 adalah hari ulang tahunnya. Di hari itu ia tetap bekerja seperti biasa, tak ada yang berubah. Memang banyak sekali ucapan selamat yang dikirimkan padanya, ia mengganggap itu semua sebagai formalitas saja. Karena sebagian besar ucapan itu berasal dari kerabat kerja dari berbagai pengusaha. Ibunya ternyata lebih peduli dari yang terlihat. Beliau memberinya hadiah dan kue ulang tahun. Hal biasa yang dilakukan wanita paruh baya itu selama ia mengadopsinya. Untuk satu hal itu, Fabian mengucapkan terimakasih. Ia cukup bersyukur ada wanita yang bukan ibu kandung tapi memperlakukannya layaknya anak kandung.

Kalau untuk Devika lain lagi. Perempuan itu selalu senang jika tanggal lahirnya datang. Baginya bertambahnya usia adalah sebuah anugerah. Ia bersyukur karena bisa bertambah tua dengan sehat. Pada satu hari itu ia akan menikmatinya dengan jalan-jalan atau liburan. Mungkin bisa juga makan-makan dengan sahabatnya Cindy. Memang ia pun tak suka pesta untuk merayakan ulang tahunnya, cukup dengan kue dan lilin, ia sudah senang. Pada saat itu ayahnya akan mengecup pipinya dan memberinya kado. Tahun lalu ia mendapat gelang emas cantik dari ayahnya dan sepatu warnah merah pekat dari Cindy. Cukup sederhana namun sangat membahagiakan untukknya.

Empat hari lagi adalah ulang tahun Cindy. Usia perempuan itu akan genap 23 tahun. Devika turut berbahagia untuk bertambahnya usia sahabatnya tersebut. Berbeda dengan Fabian maupun Devika, Cindy suka merayakan ulang tahunnya dengan mengadakan pesta. Sudah tiga kali ia mengadakan pesta untuk ulang tahunnya, tahun ini adalah kali keempat.

Untuk itulah sekarang Devika menemani sahabatnya itu mempersiapkan acara. Dan semua tetekbengek untuk pesta.

"Kenapa tidak mengundang lewat SMS aja sih, Cin?" Devika duduk bersila di karpet, ia melihat Cindy sedang menulis nama-nama teman mereka di kertas undangan yang akan disebarkan. "Kalau begini kan repot." Zaman sekarang ini sudah semakin canggih, segalanya dapat dipermudah. Apalagi kalau hanya sekedar undangan, bisa lewat sosmed--yang lagi ngetren akhir-akhir ini.

''Aku lebih suka pake undangan begini, kesannya jadi lebih menghargai mereka gitu," ujar Cindy sambil mengingat-ingat nama-nama temannya yang lain kemudian menuliskannya. "Yang lewat pesan itu untuk teman-teman yang jauh saja."

Setelah ditulis, Devika yang bertugas melipat dan memasukkan ke dalam plastik. Ada sekitar 80 undangan, yang diundang hanya teman dekat dan keluarga yang merangkap sebagai teman. Untuk tempat diadakan pesta itu sendiri, Cindy memilih pub sebagai lokasinya.

"Kamu datang dengan Fabian, kan?"

"Iya, dengan siapa lagi. Tapi kalau dia tidak bisa, ya aku datang sendirian. Kalau tidak, ikut denganmu saja."

"Tidak apa-apa. Aku malah suka kau datangnya sama dia."

"Kenapa?"

"Kali aja dia ngasih amplop tebal, secara dia kan kaya. Hahaha."

Devika melempar isolatip ke arah Cindy. "Dasar!! Mau pesta tapi tidak bermodal."

Cindy tertawa. "Kan lumayan, Dev."

"Semoga saja dia bisa datang!'' gumam Devika. Akhir-akhir ini Fabian terlihat lebih sibuk, mereka jadi jarang punya waktu untuk berbicara. Satu-satunya waktu yang mereka miliki untuk bersama adalah ketika tidur. Fabian yang biasanya mengajaknya bercinta bisa sampai tiga kali dalam sehari, sekarang hanya sekali. Itu pun ada saat pria itu tak mau menyentuhnya.

"Kok gitu?" Cindy telah selesai menulis nama semua tamu yang akan diundangnya, ia menumpuk semua kertas undangan yang telah berplastik tersebut menjadi satu. Siang ini rencananya akan dikirim.

"Dia sibuk terus."

"Tapi kamu sudah bilang, kan."

"Sudah. Fabian bilang dia akan datang, tapi kita kan tidak tahu, bisa saja tiba-tiba ada pekerjaannya yang mendesak."

"Iya, sih! Tapi kau rayu dong dia supaya tetap mau datang. Pestaku pasti bakalan rame kalau Fabian ikut, please."

"Tapi aku tidak janji, ya."

"Yah, masa gitu." Cindy berubah lesu. Ia sangat berharap Fabian bisa datang ke pesta ulang tahunnya. Bukan, bukan karena ia tertarik pada pria tersebut. Ia sendiri berharap hubungan Devika dan Fabian berjalan lancar. Tapi karena ia pernah mendengar kalau laki-laki itu termasuk orang yang royal. Siapa tahu Fabian mau memberinya kado beruba amplob tebal, siapa yang tahan menolak? Untuk pestanya sendiri cukup menguras dompet, sumbangan beberapa rupiah pasti akan membantu.

Cindy dan sifat materialistisnya.

****

Saat ini Devika dan Cindy sedang tiduran di kamar Cindy dengan potongan timun di kedua mata. Dua puluh menit yang lalu mereka selesai mengirim undangan. Hanya ada beberapa orang yang tidak diketahui alamatnya yang baru. Mereka terpaksa menitipkan undangan tersebut kepada teman yang lain-- yang tahu alamat tepatnya.

Hari sudah sore, tepatnya pukul empat. Lelah berkeliling kota Jakarta, mereka mengistirahatkan diri. Sebelum nanti Devika pulang ke apartemen Fabian, lagi-lagi ia harus berbohong pada ayahnya. Kapan-kapan, ia akan mencari saat yang tepat untuk membicarakan hal itu pada Fabian. Bagaimana pun, bila ia terus berbohong banyak urusan atau menginap di rumah Cindy, lama-lama ayahnya akan curiga.

"Dev."

"Hhhmm?"

"Kenapa kau belum memutuskan akan bekerja di perusahaan Fabian atau tidak?"

"Aku masih bingung, Cin." Pikiran Devika menerawang. Sampai sekarang ia belum memberi keputusan, karena masih ragu.

"Bingung kenapa?"

"Entahlah," ia menghela napas.

Kamar menjadi hening, hanya terdengar bunyi helaan napas keduanya.

"Dev?" Cindy kembali bersuara.

''Hhmm?"

"Kau... beneran tidur sama Fabian?"

Devika cukup terkejut dengan pertanyaan sahabatnya barusan. Selama ini Devika menyadari bahwa Cindy tahu kalau ia tidur dengan Fabian. Cindy tidak pernah membahasnya, tapi kenapa sekarang tiba-tiba...

"Kapan terakhir kali?" Kejar Cindy tatkala bibir Devika tetap bungkam. "Dev---"

''Tadi malam," jawab Devika pelan, tiba-tiba menjadi malu.

"Kalian melakukannya setiap malam?" Ada kilas terkejut dalam nada suara Cindy.

"Kau apa-apaan sih, nanya-nanya itu?" Devika bersemu merah, potongan timun tadi tak lagi menutupi matanya. Sudah terlempar entah ke mana. Sama halnya dengan Cindy.

"Dia pake pengaman?"

"Cindy!" Ia mengerang tertahan, tidak siap membagi hubungan ranjangnya.

"Jawab saja, Devika. Aku memang tidak tahu persisnya hubungan kalian seperti apa. Kalau kau belum siap cerita ya tak apa, aku tidak memaksa. Tapi kau harus menjaga diri juga, jangan sampai kau hamil."

Hamil?

Devika menggelengg. "Tapi aku minum pil kok."

Cindy menghela napas karena lega.

***

Sudah pagi. Devika bangun dan tidak menemukan Fabian di sampingnya. Tadi malam pria itu memang memberitahunya lewat pesan kalau tidak pulang karena ada pekerjaan mendesak. Fabian tidur di kamar pribadinya di kantor, kamar tersebut biasa digunakannya jika lembur dan tak sempat pulang.

Tidur seorang diri padahal biasanya selalu dipeluk Fabian, Devika mendapati hatinya tidak suka.

Berjalan ke dapur, ia mengeluarkan botol air mineral dari dalam lemari es. Menuangkan ke dalam gelas sampai penuh lalu menengguknya hingga tandas. Menutup kembali tutup botol, ia meletakkan botol tersebut ke tempat semula.

Tiba-tiba ada sebuah tangan memeluk pinggangnya. Devika sontak terkejut, refleks dirinya bergerak menjauh namun pelukan erat itu tak bisa lepas.

"Ssstttt," Fabian berbisik ditelinganya. "Ini aku."

"Kau membuatku terkejut, Fabian." Devika memukul lengan kekar Fabian yang berada di pinggangnya cukup keras, jantung perempuan itu masih berdegup karena rasa terkejutnya tadi.

Fabian terkekeh, mencium tengkuk Devika.

''Fabian," ia mengerang.

''Hhhmm?" Pria itu tak berhenti, matanya terpejam dengan hidung yang menghirup bau harum kulit mulus Devika. "Aku mencarimu ke kamar tapi kau tak ada, ternyata kau di sini."

Devika memiringkan lehernya ke satu sisi, memberi akses bagi Fabian untuk lebih. Kalau sudah seperti ini, tidak perlu bertanya ia sudah tahu apa yang diinginkan Fabian. Tangan pria itu naik ke atas dan menemukan daging kenyal milik Devika.

''Aahh," ia mendesah tatkala remasan lembut ia rasakan melingkupi payudaranya yang tidak terbalut bra, hanya terlindungi dari gaun tidur sutranya. Fabian membalikkan tubuh Devika sehingga perempuan itu berdiri menghadap padanya, ia menyudutkannya ke dinding lemari es.

Fabian menunduk, hendak menciumnya namun Devika berpaling. "Aku belum gosok gigi," bisiknya pelan, masih sedikit terengah-engah.

Fabian memegang dagu Devika agar tak menjauh. "Cukup rasakan saja." Selanjutnya Fabian melumat bibirnya, dari atas ke bawah. Seraya tangannya turut menyentuh kulit lembut Devika.

"Hhhmm," lenguhan kuar dari mulut keduanya, Devika terpejam begitu pun Fabian. Devika membiarkan lidah Fabian membelit lidahnya dan merangsek ke keseluruhan isi mulutnya. Keengganan yang tadi sempat melandanya karena malu dengan napasnya, kini menguap. Ia larut dalam percintaan bibir mereka.

Tangan Fabian bergerak ke belakang Devika. Selagi mulutnya masih merajai bibir merah Devika, kedua tangan pria itu meremas bokong Devika sedikit keras sehingga perempuan itu mengerang.

Fabian begitu mabuk dengan kelembutan dan bentuk tubuh Devika yang memikat. Cuma satu malam ia tak menyentuhnya dan rasanya sudah begitu menyakitkan untuknya. Dari bibir, ia turun ke leher Devika lalu menciuminya dengan penuh gairah.

Devika mendengakkan kepala, ia menggigit bibir serta melengkungkan tubuhnya. Miliknya sedikit lembab, menanti puncak dari cumbuan ini.

Fabian mengangkat bokong Devika. Merapatkan pada bagian tubuhnya yang sudah begitu keras, hampir siap meledak. "Kau merasakannya?" Fabian bertanya serak.

Devika hanya terdiam, ia mengangguk meski dengan napas terengah.

"Kita lakukan di sini saja! Aku sudah tidak tahan." Fabian menaikkan gaun sutra Devika hingga terlepas. "Tanpa bra dan celana dalam, huh?" Mata berkilat pria itu menatap penuh apresiasi pada tubuh telanjang Devika.

Devika berusaha keras untuk tidak menutupi tubuh polosnya dari tatapan Fabian yang seolah ingin menelannya hidup-hidup.

"Kau seperti Dewi." Fabian menelusuri kulit perut Devika, turun menjamah bagian paling rahasia miliknya. "Kau basah."

Kabut gairah tak hanya menutupi akal sehat Fabian, Devika cukup terangsang untuk tak berpikir hal lain selain penuntasan dari gejolak di dalam dirinya. Tak lagi peduli sekitar, Devika menanti dengan pikiran berkecamuk akan tindakan Fabian berikutnya.

Fabian tak mau repot membuka pakaiannya. Pria itu hanya menurunkan resleting celana bahannya dan mengeluarkan miliknya yang menegang. Ia menarik sebelah kaki Devika, melingkarkannya di seputaran pinggang. Kemudian tanpa menunggu ia memasukkan miliknya ke dalam kelembutan Devika yang hangat.

"Hhhmm," Devika menggigit bibir bawahnya tatkala menerima Fabian yang keras di dalamnya. Perlahan pinggul pria itu mulai bergerak, maju-mundur hingga menimbulkan suara desahan yang memenuhi area dapur tersebut.

Sementara pinggulnya terus menghunjam di bawah sana, bibir Fabian tak mau diam. Mulutnya mengulum puting Devika yang merah muda, ia menghisap layaknya bayi kelaparan. Devika meremas rambut Fabian karena tidak kuat dengan sensasi yang ia rasakan. Seluruh bagian tubuhnya takhluk pada sentuhan pria itu, aliran listrik yang tinggi mengaliri setiap lapisan kulitnya. Ia tersentak saat Fabian menambah kecepatan hunjamannya, hingga kemudian tubuhnya bergetar karena gelenyar nikmat. Fabian menyusul beberapa detik kemudian, pria itu menyebut nama Devika tatkala puncak kenikmatannya datang.

Fabian memeluk tubuh Devika disela-sela meredekan napasnya yang belum stabil. Setiap kali ia bercinta dengan Devika, rasanya ingin lagi. Tidak mau berhenti. Dirinya belum mengenali perasaan jenis apa itu dan tak ingin mencari tahu.

Fabian mencium kening Devika singkat. Satu lagi hal yang belum pernah dilakukannya bersama perempuan lain yang pernah tidur dengannya. Entah kenapa, wajah puas pada pipi Devika yang merah mendorongnya melakukan itu.

Tidak mau lebih dalam lagi menelusuri perasaannya, Fabian menarik diri. Ia mengancingkan resletingnya kembali. Mengambil gaun sutra Devika yang teronggok di lantai, ia lalu memakaikannya. "Ayo mandi." Fabian menggenggam tangan Devika dan membawanya ke kamar.

***

Fabian dan Devika telah selesai mandi. Mereka kini sedang menikmati sarapan yang telah dipesan dari restoran mewah tempat mereka sering makan malam sejak keduanya bersama.

Devika duduk di depan pria itu, ia lagi-lagi mengenakan kemeja Fabian. Hari ini akhir pekan dan ia tak berencana ke luar rumah dalam beberapa jam kedepan. Tampaknya Fabian pun sama. Karena saat ini Fabian hanya mengenakan kaos dalam dan celana pendek.

Bimbang, Devika tidak berani menyampaikan apa yang ingin ia katakan.

Fabian menyadari tindak-tanduk perempuan di depannya. Ia menyingkirkan piringnya yang kosong ke samping lalu mendengak dan menatap Devika. "Ada apa?" tanyanya langsung.

"Hhhmm, apanya yang ada apa?" Devika masih berkelit.

"Aku tahu ada yang ingin kau katakan. Katakan saja."

Kaki Devika berkedut-kedut di bawah sana, itu salah satu pertanda ia sedang gugup. "Hhmm, aku ingin memastikan apakah kau jadi datang ke pesta ulang tahun Cindy?"

Fabian tidak langsung menjawab, ia tampak berpikir sebentar lalu bersuara. ''Sepertinya aku tidak bisa! Ada pekerjaan penting. Bilang saja pada Cindy apa yang ia inginkan sebagai kado, aku akan kirimkan nanti."

Firasat awalnya pun sudah demikian, tapi walau begitu ia tetap berharap Fabian bisa pergi bersamanya.

"Terserah Cindy mau apa?"

"Hhhmm."

"Kalau dia mau kau memberikan dana untuk memperbesar tokonya, kau mau?"

"Kenapa tidak, dia temanmu kan?"

Devika mengangguk cengo, hampir tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.

''Yang menjadi temanmu, itu juga temanku."

"Baiklah, akan kukatakan padanya."

''Kalau sudah tidak ada lagi yang ingin kau katakan, temani aku menonton tv di kamar." Fabian berdiri dari kursinya. "Sekalian bawa minyak urut yang kau simpan kemarin. Punggungku rasanya pegal-pegal."

''Kau ingin kuurut lagi?" Sudah beberapa kali Fabian diurut oleh Devika, pria itu menjadi ketagihan sekarang.

"Hhhmm."

"Tunggu, Fabian!" Devika memanggil saat Fabian akan berjalan. "Aku...aku terus berbohong pada ayahku---"

''Soal kau yang tinggal di sini, aku sudah mengatakannya pada Ayahmu." Potong Fabian.

"Apa yang kau katakan padanya?" tanya Devika cepat, rasa takut membanjiri batinnya. Mungkinkah Fabian mengatakan yang sebenarnya. Tidak, ia berharap tidak. Ayahnya punya riwayat jantung, berita tentang hubungannya dengan pria itu bisa membahayakan keselamatan ayahnya.

Alis Fabian terangkat melihat kepanikan pada wajah Devika. Ia berjalan menghampirinya, menariknya agar berdiri di depannya. Fabian menunduk lalu mencium bibir Devika cepat. ''Tidak seperti yang kau bayangkan," katanya. "Jangan cemas seperti itu, wajahmu pucat."

"Kau membuatku takut," lirih Devika.

"Lagi-lagi kau berlebihan, Devika. Cepatlah, sebelum aku mencari perempuan lain yang bisa mengurutku."

"Kau...kauu hhmmm," rutukan Devika dibungkam oleh bibir Fabian. Fabian menarik diri, memperhatikan Devika yang wajahnya mulai merah padam. Ia tertawa, merasa lucu dengan ekspresi Devika.

"Jangan menggembungkan pipimu," Fabian mencolek pipinya sambil tersenyum. "Kau jadi terlihat gendut. Tubuh gendut untuk badan sependek dirimu pasti tidak terlihat bagus." goda Fabian.

Devika seharusnya marah karena di ejek seperti itu. Tapi ia tidak marah melainkan senang. Perasaannya menghangat, baru kali ini Fabian mau bercanda seperti ini. Rasanya...normal. seperti pasangan-pasangan lain. Ia tidak tahu apa yang melatar belakangi perasaan ringan Fabian saat ini, namun ia cukup senang. Fabian memang sulit dimengerti. Terkadang pria itu bisa menyakitinya sedemikian dalam, bisa juga membuatnys tersenyum. Sepertinya hidup dengan Fabian tidak akan datar, selalu ada sesuatu yang harus dipecahkan.











Tbc...

Continue Reading

You'll Also Like

1M 83.4K 56
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
26.4K 4.2K 28
Di tengah rasa gundahnya menginjak usia 35 tahun masih berstatus jomblo, Kinanti lagi-lagi harus menelan kenyataan pahit. Bagaimana tidak, pria yang...
923K 71K 51
Alessia terbangun kembali sejak malam dirinya diculik oleh orang yang tidak dikenal. Dirinya bangun di tubuh perempuan yang lebih tua enambelas tahun...
105K 18.7K 32
COMING SOON...