I Feel The Love (Playstore)

By dianjesika

1.9M 117K 4K

Sudah dipindahkan ke Dreame. Novel dewasa. Sebelumnya, Devika merasa hidupnya sangat bahagia dan sempurna. Di... More

Prolog
Bagian - 1
Bagian - 2
Bagian - 3
Bagian - 4
Bagian - 5
Bagian - 6
Bagian - 7
Bagian - 8
Bagian - 9
Bagian - 10
Bagian - 11
Bagian - 12
Bagian - 13
Bagian - 14
Bagian - 15
Bagian - 17
Bagian - 18
Bagian - 19
Bagian - 20
Bagian - 21
Bagian - 22
Bagian - 23
Bagian - 24
Bagian - 25
Coba Tilik Bentar, boleh?
Bagian - 26
Bagian - 27
Bagian - 28
Bagian - 29
Bagian - 30
Bagian - 31
Bagian - 32
Epilog
Open PO
E-Book

Bagian-16

57.2K 3.6K 79
By dianjesika

Typo koreksi bersama😉

Semoga suka!!

____________________





Ia masih ingat kalau tadi malam dirinya masuk ke dalam kamar seorang diri. Ia tak lupa mengunci pintu dan meletakkan kunci kamarnya di dalam wadah kecil yang berada di atas meja tepat di sebelah pintu. Wadah yang terbuat dari tanah liat yang dipelitur dan diberi warna biru muda itu memang biasa dijadikannya tempat menyimpan barang-barang kecil miliknya. Rumahnya, meskipun sekarang tidak dijaga oleh keamanan lagi tapi setahunya merupakan rumah dengan bangunan kokoh dan belum pernah dimasuki maling atau orang yang tak diinginkan. Jadi, betapa terkejutnya ia saat menemukan seorang pria berkulit coklat dan bertelanjang punggung sedang tidur di sampingnya.

Malam masih panjang, seharusnya masih beberapa jam lagi waktu Devika untuk bangun. Tapi ia merasakan sesuatu yang hangat, berkeringat dan keras di dekatnya. Ternyata penyebabnya tepat berada di sebelahnya.

Menyadari keadaan, Devika bangkit, terduduk di ranjangnya. Jantungnya berdentum sangat cepat hingga membuat dadanya sakit. Matanya mengerjap mencerna apa yang tengah terjadi. Siapa orang ini, yang dengan berani tidur di tempat tidurnya?

Pria! Ia menyadari orang itu adalah seorang pria. Orang itu berbahu lebar, lengannya berotot dan rambutnya pendek. Namun Devika tidak bisa melihat wajah pria itu karena kepalanya yang menghadap sisi lain darinya.

Untuk sesaat yang singkat, ia berpikir bahwa dirinya mungkin saja melupakan apa yang terjadi padanya. Bisa saja tadi malam ia lupa dirinya pergi ke suatu tempat hingga berakhir mabuk dan akhirnya sekarang tidur bersama dengan laki-laki asing.

Dengan cepat, Devika mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia menghela napas. Ini memang kamarnya. Dan ia tidak pergi kemana pun tadi malam.

Lalu...siapa pria ini??

Pria itu bergerak sedikit, sehingga selimut yang menutupi punggungnya menjadi turun dan memperlihatkan punggungnya lebih banyak. Devika terkesiap saat melihat tato yang dimiliki pria tersebut.

"Fabian," bibirnya melafalkan sebuah nama. Pikirannya berkecamuk membayangkan situasi saat ini. Kenapa bisa Fabian berada di sini? Apa yang dilakukan pria itu?

Lama Devika terdiam, hanya memandangi Fabian yang tidak menghadap padanya. Kalah dengan hatinya yang bingung dan tak percaya, ia turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Ia mencuci mukanya beberapa kali hingga kesadarannya lebih utuh, ia memandangi wajahnya yang terpantul melalui cermin di depannya. Fabian yang berada di atas tempat tidurnya sedang tidur benar-benar di luar imajinasinya.

"Ya ampun." Devika menggeleng, ia mengerang dalam hati.

Beberapa saat kemudian ia keluar dari kamar mandi. Langkahnya terhenti ketika melihat Fabian yang telah terbangun, pria itu sedang meneliti ponsel Devika yang mati tadi.

"Kenapa ponselmu kau buat seperti ini?" Fabian bertanya tanpa menatap ke arah Devika. Ia tak perlu melihat untuk menyadari keberadaan wanita tersebut, bau tubuh Devika sudah cukup dikenalnya hingga tak mungkin bisa lupa.

Devika tidak menjawab, ia tetap berdiri di tempatnya. Sedikit rasa kesal terhadap Fabian masih menggelayuti hatinya. Pria itu memang selalu memperlakukannya dengan sesukanya. Sesukanya membentak. Sesusakanya menuduh. Sesukanya mendatanginya jika ingin. Tapi Ia tak bisa berbuat apa-apa.

Tidak mendengar suara apa pun dari perempuan itu, Fabian mendongak. Baterai ponsel Devika telah dipasangnya kembali, sekarang menunggu benda pipih itu aktif lagi.

"Kenapa kau bisa ada di kamarku?" tanya Devika dengan datar, mencoba tidak terpengaruh dengan keberadaan pria itu yang membuatnya berdesir di dalam dada. ''Dari mana kau masuk?"

Fabian tampak terkejut mendengar kesinisan pada suara Devika. ''Tentu saja lewat pintu! Aku bukan manusia laba-laba yang bisa memanjat."

''Aku mengunci pintunya, tidak mungkin kau bisa masuk."

''Tentu saja aku bisa kalau punya kuncinya."

Devika menghentak-hentak kakinya di lantai, meradang dengan ketidakberdayaannya melawan pria itu. Apa yang tidak bisa dimiliki Fabian? jika pria itu ingin maka ia akan mendapatkannya. Dan Devika tidak suka itu. Ia ingin Fabian merasakan sakitnya tidak bisa memiliki, seperti yang dirasakannya saat ini.

"Keluar!!" Desis Devika.

"Aku punya hak berada di sini?" Ujar Fabian. Tidak mengenal kalimat lembut, ia terbiasa dengan caranya sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa membantah apa yang ingin ia lakukan. "Aku ingatkan kalau kau lupa."

"Tidak!! Ini kamarku, kau tidak punya hak di sini."

Fabian meletakkan dengan tenang ponsel Devika yang telah menyala di meja sampingnya, tatapannya tak pernah meninggalkan wajah Devika yang saat ini telah berubah merah.

Pemandangan Devika saat ini benar-benar seksi menurutnya. Perempuan itu hanya mengenakan gaun tidur putih yang panjangnya sejenggal di atas lutut. Rambutnya yang panjang terurai berantakan namun terlihat cocok dengan tubuh putihnya yang mungil. Wajah Devika yang marah tak mengurangi kejelitaan perempuan itu. Devika benar-benar cantik saat marah seperti ini.

Ternyata bukan waktu telentang saja dia cantik, pikir Fabian dengan otaknya yang mesum. Saat berapi-api amarah pun dia keliahatan mempesona.

Fabian tersenyum, tanpa sadar ia menjilat bibir bawahnya. Bayangan tubuh telanjang Devika sudah menari-nari di kepalanya. Tapi ia harus bisa menahannya saat ini. Tidak baik mendesak singa yang sedang murka. Bukannya kenikmatan yang akan ia dapat melainkan gigitan dan cakaran kuku yang tajam yang akan diperolehnya.

"Masih tengah malam," Fabian memilih kalah. "Aku masih mengantuk, aku akan melanjutkan tidurku. Sebaiknya kau juga." Fabian menarik selimut hingga pinggangnya, mengajak Devika untuk ikut berbaring dengannya lewat tatapan matanya yang abu-abu gelap.

''Kau benar-benar brengsek, Fabian." Devika melotot sampai matanya yang mulai merah melebar sangat besar.

"Lima detik lagi kau tidak meredakan amarahmu, aku yakin taringmu akan keluar." Fabian bergurau. Ia tahu saat ini Devika sedang marah padanya, dan dirinya tahu apa penyebab amarah tersebut. Tapi seperti biasa, ia sulit mengucapkan kata maaf. Terlalu berkuasa hingga menjadikannya pria tak punya sisi lembut. Padahal kadang-kadang, tanpa disadarinya sisi yang jarang diperlihatkannya itu bisa keluar bila melihat orang yang ia sayang menangis.

"Baiklah! Kalau kau tidak mau keluar dari kamar ini biar aku yang keluar." Devika membalikkan badan, ia berjalan cepat hendak membuka pintu namun batal ketika mendengar suara keras Fabian.

"Satu langkah kau keluar dari pintu itu, kau akan menyesal." 

Devika tidak jadi membuka pintu. Tubuhnya bergetar karena amarah dan rasa sakit. Matanya menjadi panas dan hatinya sesak.

Tanpa mempedulikan apa pun ia kembali, ia naik ketempat tidur dalam diam. Hanya saja air mata mengalir dari sudut matanya dan jatuh di pipi. "Lakukan apa pun yang kau mau," gumamnya sedikit terisak, ia tidur memunggungi Fabian. "Kalau kau ingin meniduriku, katakan! Aku akan membuka bajuku---"

"Diam!" Fabian bergumam datar. Pria itu memeluk perut Devika sehingga membuat perempuan itu terkejut. Tubuh Devika berubah kaku dalam pelukan Fabian. "Tidur. Hanya itu yang kuinginkan sekarang. Kau bisa menyudahi kecengenganmu itu sekarang, aku pusing terus mendengarnya."

"Aku cengeng?" Devika berujar tak percaya. "Kau benar-benar tak berperasaan, Fabian. Kau membentakku, kau menuduhku menggoda pria lain. Padahal hanya kaulah satu-satunya laki-laki yang pernah menyentuhku.'' Devika tak bisa lagi membendung kesedihannya, ia menangis sampai sesenggukan. "Kau memperlakukanku seperti pelacur. Bahkan pelacur masih punya harga diri. Sekarang kau dengan mudahnya masuk ke kamarku, tidur di tempat tidurku. Bahkan tak sekalipun kau meminta maaf atas perkataanmu yang kasar."

"Maaf!" Bentak Fabian. "Sekarang kau puas??"

Bukannya berhenti menangis, Devika malah semakin terisak. Ia menutup mukanya dengan tangan dan terus menangis.

Fabian menghela napas. "Terserah kau saja kalau mau menangis semalaman," katanya seraya mengeratkan pelukan tangannya di pinggang Devika. "Wanita memang aneh. Ingin permintaan maaf. Aku sudah memintah maaf kau malah semakin menangis. Lama-lama aku bisa gila."

***

Mungkin karena kelelahan menangis, Devika akhirnya tidur. Hanya saja, sepertinya baru ia terlelap, sebuah sentuhan membangunkannya lagi.

Ia mengerang tatkala Fabian meremas payudaranya.

"Aphha yang kau lakukan," tanyanya terengah saat bibir Fabian menciumi ceruk lehernya yang jenjang dan harum. "Fabian, jangan!!" Ia masih berusaha menjauh namun pelukan tangan lelaki itu yang sangat erat memeluknya membuat Devika tidak bisa bergerak banyak.

Tangan Fabian ternyata sudah menelusup ke dalam gaunnya. Menaikkan cup bra perempuan itu dan meremas payudara lembut tersebut dengan pelan.

''Ssstt," Fabian berbisik di sela-sela jilatannya di leher Devika.

''Aahh, hhmmm!! Fabian, kau bilang cuma mau tidur. Kenapa...sekarang---"

"Itu tadi. Sekarang aku menginginkanmu."

"Aku tidak mau, uughhg eehhnnm!!" Devika melenguh merasakan hisapan Fabian, tangan pria itu pun masih setia meremas payudara milik Devika.

"Mulutmu bisa saja menolak tapi tubuhmu tidak, Devika." Fabian menggeram. Tangannya berhenti meremas dada Devika, turun meraba perut perempuan itu. Sepanjang sentuhannya membuat Devika melengkungkan tubuh, hingga akhirnya tangan itu menyentuh pusat gairahnya.

"Aahh,, Fabian."

"Kau menyukainya, kan?"

Devika malu! Malu dengan tubuhnya yang tidak bisa bekerja sama. Sekarang Fabian pasti menertawakan kepasrahannya. Perempuan itu merasakan sesuatu yang keras menyentuh bokongnya, ia tidak tahu kapan pria itu membuka celana yang pasti saat ini pria itu tak mengenakan sehelai benang pun.

''Jangan...jangan...jangan." Devika panik saat Fabian akan menyatukan tubuh dengannya.

''Sial! Jangan sekarang, Devika."

Devika berbalik, matanya kembali memerah tatkala pandangannya bertemu dengan mata Fabian yang tengah dipenuhi gairah. "Sebelum kau melanjutkan," bibirnya bergetar. "Aku ingin kau mendengarkan aku. Aku hanya mengatakan ini untuk sekali saja." Devika menarik napas, seolah mencari kekuatan dari dunia. "Aku tidak pernah bertemu dengan Arga saat kau pergi. Aku dan dia tidak ada hubungan apa pun. Jadi jangan menuduhku lagi dengan kata-katamu yang kasar. Kau tidak tahu kan betapa sakitnya hatiku mendengar teriakanmu? Aku mungkin tidak berharga di matamu, saat ini aku hanya berguna sebagai pemuas napsumu. Tapi jangan semakin merendahkanku seakan-akan aku ini perempuan murahan yang suka menggoda pria-pria." Devika terisak. "Aku bukan perempuan seperti itu, Fabian."

Sungguh, apa pun yang sebelumnya yang menutupi hati Fabian yang dingin, kini kebekuan itu telah mencair. Gunung es itu telah dibuat meleleh oleh Devika yang manis dan lembut. Perlahan, pria itu mengulurkan tangan dan menghapus airmata Devika yang membasahi pipi wanita tersebut.

Bagaimana mungkin dirinya sanggup melukai perasaan wanita rapuh ini? Tak ada perbuatan Devika yang membuatnya layak menerima semua kesakitan ini.

"Ssstt," Fabian berbisik, menenangkan. "Maafkan aku." Akhirnya ia mau meminta maaf secara langsung, tidak lagi sembunyi-sembunyi dikala perempuan itu sedang tidur.

Dengan sayang dikecupnya kedua mata Devika. Perempuan itu sempat terkejut oleh kelembutan sikap Fabian, ia menatap dengan heran dan berurai air mata pada pria yang tiba-tiba berubah itu.

"Aku cemburu," aku Fabian pelan. "Kau mungkin tidak percaya. Tapi itu wajar karena aku pun tidak percaya dengan apa yang sedang kurasakan ini. Jujur, aku tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan Arga."

"Kenapa?" gumam Devika dengan serak. Bolehkah dia berharap? Berharap sesuatu yang akan membawanya kepada kebahagiaan.

"Aku....aku....sial!" Fabian kembali memaki. Entah kenapa lidahnya masih ragu mengucapkan tiga kata itu, padahal hatinya sudah yakin. "Yang penting aku tidak suka."

"Aku juga tidak suka kau dekat dengan perempuan lain."

"Aku tidak sedang dekat dengan perempuan selain denganmu," protes Fabian.

Devika mengangguk. Tadinya ia sudah dilambung tinggi, namun nyatanya perasaan itu harus kembali patah.

Perlahan...perlahan Devika. Batinnya mengingatkan. Ini sudah suatu kemajuan. Fabian meminta maaf, dan malah pria itu mengakui bahwa ia cemburu.

Semua orang tahu cemburu itu pertanda apa.

Fabian hanya terlalu gengsi mengakuinya.

Devika tersenyum, ia menyugar rambut Fabian dengan pelan. Harus diakuinya, walau sudah sering seranjang dengan Fabian dan berhubungan intim, jantungnya masih dag-dig-dug saat berada sedekat ini dengan pria itu. Tapi saat ini ia mulai berani menyentuh Fabian lebih dulu, mencaritahu sejauh mana kegugupannya menghadapi Fabian.

"Aku tidak selingkuh," mulainya lembut. "Aku sudah berjanji, kan?"

"Hhhmm," Fabian menikmati sentuhan Devika dirambutnya. ''Jangan berani."

"Aku mengantuk, ayo kita tidur lagi."

Mata Fabian yang sebelumnya hampir terpejam karena sentuhan Devika yang menenangkan, sontak terbuka. "Enak saja," gumamnya tidak setuju. "Aku belum selesai denganmu."

Detik berikutnya Fabian menindih Devika. Mencium perempuan itu, Fabian menyentuh setiap lapisan kulit Devika yang bisa ia sentuh. Bibirnya melumat dengan lembut, tidak terburu-buru dan penuh perasaan.

Devika mengerang saat Fabian menyatukan miliknya. Dengan tempo ringan Fabian memaju-mundurkan miliknya hingga Devika melenguh penuh nikmat.

Devika memeluk punggung Fabian, membiarkan percintaan mereka melaju perlahan namun memabukkan. Bintang-bintang seakan memenuhi Devika saat kemanisan terecap dari nikmatnya buaian tubuh yang saling melekat.

Ia berharap sesuatu yang lebih baik akan hadir esok pagi. Atau mungkin ini sudah pagi...pagi ini.







Tbc...

Continue Reading

You'll Also Like

574K 71.1K 58
TAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh berurusan sekali dengan kliennya. Itu idealnya...
77.1K 7.9K 29
Bengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebaga...
168K 9.7K 28
"Daripada sama dia, aku lebih baik jadi janda seumur hidup!" Sepenggal kalimat penolakan mutlak yang Rena katakan. Tapi, bagaimana bisa satu bulan ke...
228K 6.8K 15
Karena berani menolong sahabatnya yang kabur dari cengkeraman mafia, Cassandra Clark harus menanggung akibatnya. Gadis pemberani ini kini terjebak di...