I Feel The Love (Playstore)

By dianjesika

1.9M 117K 4K

Sudah dipindahkan ke Dreame. Novel dewasa. Sebelumnya, Devika merasa hidupnya sangat bahagia dan sempurna. Di... More

Prolog
Bagian - 1
Bagian - 2
Bagian - 3
Bagian - 4
Bagian - 5
Bagian - 6
Bagian - 7
Bagian - 8
Bagian - 9
Bagian - 10
Bagian - 11
Bagian - 12
Bagian - 13
Bagian - 15
Bagian-16
Bagian - 17
Bagian - 18
Bagian - 19
Bagian - 20
Bagian - 21
Bagian - 22
Bagian - 23
Bagian - 24
Bagian - 25
Coba Tilik Bentar, boleh?
Bagian - 26
Bagian - 27
Bagian - 28
Bagian - 29
Bagian - 30
Bagian - 31
Bagian - 32
Epilog
Open PO
E-Book

Bagian - 14

50.1K 3.8K 132
By dianjesika

Banyak yg protes karena up datenya gk tepat janji,..😭😭
Hehe...😊😊 maaf ya,..

Sekarang udah up date, semoga suka dengan part ini!!

_____________________

"Apa?" Cindy menatap tak percaya pada Devika, bibir perempuan itu mencebik kesal pada apa yang baru saja dikatakan oleh Devika. "Nias? Mau ngapain kamu ke sana?? Tidak, aku tidak mau."

''Please," Devika menyatukan kedua tangannya, memelas dengan tatapannya. "Aku tidak mungkin pergi sendiri."

"Kau kenapa, sih? Ini masih pagi, kesambet kau ya!! Bangun, bangun langsung ingin pergi ke Nias."

"Fabian salah paham, Cindy." Ia menjelaskan apa yang terjadi tadi malam, perkataannya yang menyebabkan Fabian tidak mau mengangkat teleponnya hingga sekarang. "Aku harus menemuinya, menjelaskan kalau sebenarnya dia cuma salah paham."

"Ya kan kau bisa tunggu dia pulang! Tidak mesti menyusul kesana juga."

"Kelamaan," protes Devika nyaris berteriak. "Di sana pasti Fabian mikir macam-macam tentangku. Ayolah, Cin! Temani aku ya."

Cindy menghampiri Devika yang sedang duduk ujung ranjang, ia menghela napas. ''Terus tokoku bagaimana?" tanyanya.

"Suruh karyawanmu yang handle untuk sementara. Tidak lama kok."

"Memangnya tidak bisa dijelaskan lewat telepon, ya?"

Devika menggeleng. "Dia tidak mau mengangkat teleponku."

"Lagian, kau kenapa sampai bisa menyebutkan nama Arga, sih?" Cindy lalu tersenyum nyengir. "Hayo, kau suka ya sama sepupuku aku itu?"

"Apaan sih? Aku cuma menganggap Arga teman, tidak lebih. Tadi malam hanya salah paham karena kesadaranku yang masih setengah-setengah dan Fabian malah berbicara serius."

"Eh, tapi tunggu dulu!" Cindy mengetuk-ngetukan jarinya di dagu, seolah berpikir sesuatu. "Fabian marah karena kau menyebut nama Arga saat dia bicara denganmu?"

"Hhhmm."

"Aha, aku tahu." Cindy berujar girang, matanya penuh kilatan pencerahan. "Dia cemburu." Putusnya kemudian.

"Hah? Mana mungkin." Devika tidak percaya. Sedari awal Fabian sudah mengatakan bahwa takkan ada yang lebih dari hubungan mereka. Semalam itu hanya keegoisan Fabian yang tak mengizinkannya dekat dengan pria mana pun selain dia. Yah, Devika tidak mau menaruh harapannya terlalu tinggi bila hanya untuk dihempaskan ke dasar jurang terdalam.

"Mungkin saja," gumam Cindy. "Kalau tidak buat apa dia marah?"

"Entahlah," Devika merenung. "Kurasa dia memang suka marah-marah, apalagi padaku." Ujarnya pelan.

***

Devika tidak jadi pergi ke Nias, karena Cindy tidak mau menemani. Devika tidak berani pergi seorang diri, maraknya kriminal akhir-akhir ini membuat nyalinya yang memang sudah kecil malah semakin mengkisut. Akhirnya mereka berdua pergi ke toko sepatu Cindy.

Devika: kamu cuma salah paham, itu bukan seperti yang ada dalam pikiranmu.

Devika: Fabian, angkat teleponku ya.

Devika: kamu masih marah.

Devika: Aku bisa jelasin semuanya.

Sudah banyak sekali pesan yang telah Devika kirimkan kepada Fabian. Tapi tak satu pun yang dibalas oleh pria itu, panggilannya pun tak dijawab. Tampaknya Fabian benar-benar marah padanya.

Devika menghela napas, ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku ketika balasan dari Fabian tak kunjung tiba.

Dua orang karyawan melayani pembeli, bergantian menawarkan jenis-jenis sepatu yang mungkin saja salah satunya ada yang mereka sukai. Cindy sedang berada di gudang, mengecek persediaan barang dan mencatat barang apa saja yang akan dipesan minggu ini.

Devika melihat seorang wanita paruh baya yang masuk ke koto. Matanya bergaris keriput sedikit, wanita itu kelihatan memindai seluruh isi Toko. Karena pekerja yang lain sedang sibuk melayani pembeli lain, Devika memutuskan membantu. Apalagi wanita paruh baya tersebut terlihat bingung.

"Mau cari sepatu apa, Tante?" Devika berjalan mendekat, tersenyum ramah pada wanita itu.

"Saya mau cari sendal buat jalan-jalan," katanya, memperhatikan isi steling kaca yang berisi banyak sepatu pancus. "Saya suka sendal  yang datar. Bisa tolong carikan."

"Mau warna apa, tante?"

Liliana Jotama Bachtiar, wanita anggun dan cantik. Meski usianya sudah melewati setengah abad, tapi kecantikan masa mudanya masih kentara. Keriput boleh hadir di kulit pucatnya, tapi keanggunan bawaan diri tidak pernah meninggalkan wanita tersebut.

''Warna apa ya yang bagus untuk saya?" Ia meminta saran. Matanya menelisik penampilan Devika. Bukan tanpa alasan ia mampir ke toko sepatu ini, motif mencari sendal untuk jalan-jalan hanya alasan saja. Sebenarnya ia penasaran dengan Devika. Perempuan yang tempo hari dilihatnya keluar dari apartemen putranya, Fabian.

Devika memperhatikan wanita paruh baya didepannya. "Hhmm, hijau toska sepertinya cocok buat Tante." Ia menarik keluar sepatu dari rak, sendal sederhana yang manis. Simple tapi nyaman di kaki, cocok dipakai oleh orang tua yang masih menginginkan kemodisan.

"Bagus,'' Liliana mengangguk, lumayan senang dengan selera Devika. "Saya ambil yang ini."

"Tidak perlu dicoba dulu, Tante?"

"Nomornya 37, kan?" tanyanya yang dibalas anggukan dari Devika. "Tidak usah, bungkus saja! Udah pas itu."

Selagi Devika membungkus, Liliana terus memperhatikan perempuan itu. Sangat Cantik, Liliana mengakui selera anaknya sangat bagus. Pantas saja selama ini Fabian tidak mau dikenalkan pada gadis-gadis putri temannya, rupanya ia telah memiliki kekasih yang sengaja disembunyikan. Tapi...ada satu yang mengganggu pikirannya. Selama ini teman-teman perempuan yang dimiliki Fabian selalu berasal dari kalangan atas atau orang kaya, tapi ini....penjaga Toko sepatu. Bukan...bukan Liliana merendahkan pekerjaan itu, tapi,.. hanya saja... Ah, terserah pada Fabian sajalah, pikirnya dalam hati.

"Kamu bekerja di sini?" Liliana tetap tak bisa menahan rasa penasarannya, ia bertanya saat Devika menyerahkan bungkusan kotak sepatu padanya.

Senyum Devika tidak lepas dari bibir merah mudanya. "Tidak, Tante. Teman saya yang punya, saya cuma bantu-bantu.

"Oh." Liliana mengangguk mengerti.

***

"Mbak, handphone mbak getar terus itu. Ada yang manggil kayanya."

Devika menoleh dari Liliana yang sudah jauh, ia melihat Susi, salah saru karyawan disini sedang berbicara padanya.

"Oh, iya." Ia baru ingat kalau meninggalkan ponselnya di atas meja sofa tempatnya duduk tadi. Ia sengaja membuat ponselnya dalam mode getar, supaya tidak berisik. Tapi sebelumnya ponselnya tidak pernah ia letakkan begitu saja. Paling tidak pasti berada di dalam sakunya. Devika berjalan menghampiri Susi yang tengah memegang ponsel tersebut kemudian mengambilnya. "Makasih, ya."

"Iya, mbak." Susi berlalu, kembali melayani pembeli.

Ponsel di tangannya berhenti bergetar. Devika mengusap layarnya supaya bisa melihat siapa yang memanggilnya.

Lima belas panggilan tak terjawab dari Fabian. Membaca itu seketika tubuh Devika mematung. "Mati aku," lirihnya pelan. Ia menggigit-gigiti jarinya karena bingung, bingung harus melakukan apa. Mau menelepon balik ia takut, ia yakin saat ini Fabian pasti lebih marah lagi.

Devika tersentak ketika ponselnya bergetar lagi. Nama Fabian yang memanggil tertera di layar. Devika semakin gugup sekarang.

Takut Fabian semakin marah, Devika memberanikan diri menjawab panggilan tersebut. "Halo," cicitnya tertahan, bersiap menerima amukan Fabian. Ia berjalan kesudut agar tidak ada yang mendengar.

"KAU SIALAN MEMBUATKU HABIS KESABARAN, DEVIKA." Fabian berteriak. Devika memejamkan mata menerima semburan kemarahan itu. "Kenapa baru sekarang kau mengangkat teleponku?" Nada suara Fabian yang tinggi tidak berkurang sedikit pun.

"Maaf," Devika memilin jemarinya. "Aku tidak dengar tadi."

"Di mana kau sampai tidak mendengar teleponmu bunyi, Hah?" Lagi-lagi Fabian membentak. "Kau sedang bersama si Arga, Arga itu??"

"Tidak, Fabian," kini suara Devika sudah bergetar, tidak sanggup dengan semua bentakan-bentakkan dan tuduhan lelaki itu. "Aku sedang di toko sepatu Cindy. Kalau kau tidak percaya aku bisa panggilkan Cindy---"

"Video call sekarang!"

"Hah?"

"Video call! Aku ingin memastikan kau jujur dan bukannya sedang bermesra-mesraan dengan laki-laki lain. Kau bisa saja sudah tidak perawan lagi, tapi bukan berarti kau bebas mendekatkan dirimu pada semua pria yang kau suka."

Devika membatu. Apakah tidak ada kata-kata yang lebih menyakitkan dari itu? Kenapa tidak sekalian saja Fabian menusuknya dengan pisau? karena rasanya kata-kata Fabian lebih menyakitkan daripada ribuan tusukan pedang di jantungnya.

Satu tetes air mata jatuh membasahi pipinya, ia menangis dalam diam. Tangannya memegang ponsel dengan sangat erat, seolah hidupnya tergantung pada itu. Apa sebegitu rendah dirinya di mata Fabian? Sampai pria itu mengatakan kata-kata yang menyakitkan itu.

"Kenapa kau diam?" Fabian tidak juga melembutkan nada suaranya.

Cukup.

Cukup sudah. Devika sudah tidak kuat lagi.

Dengan emosi ia memutus sambungan. Membuka penutup ponsel, Devika mengeluarkan baterai dari dalamnya sehingga ponselnya mati. Ia bernapas dengan putus-putus karena isakan. Perempuan itu terduduk di lantai. Dengan kedua tangan menutupi wajah, ia menangis. Merutuki kehidupannya yang menyedihkan.





Tbc...

Continue Reading

You'll Also Like

638K 42.7K 49
Dia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.
197K 11.3K 30
"Daripada sama dia, aku lebih baik jadi janda seumur hidup!" Sepenggal kalimat penolakan mutlak yang Rena katakan. Tapi, bagaimana bisa satu bulan ke...
1.1M 95.4K 61
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...
42.5K 9.1K 13
Menjadi putri dari pasangan pengusaha dan cucu seorang politikus terkenal membuat hidup Tsabitha Alisha Mahawira tidak bisa bebas. Perempuan yang bia...