I Feel The Love (Playstore)

De dianjesika

1.9M 117K 4K

Sudah dipindahkan ke Dreame. Novel dewasa. Sebelumnya, Devika merasa hidupnya sangat bahagia dan sempurna. Di... Mai multe

Prolog
Bagian - 1
Bagian - 2
Bagian - 3
Bagian - 4
Bagian - 5
Bagian - 6
Bagian - 7
Bagian - 8
Bagian - 9
Bagian - 10
Bagian - 11
Bagian - 12
Bagian - 14
Bagian - 15
Bagian-16
Bagian - 17
Bagian - 18
Bagian - 19
Bagian - 20
Bagian - 21
Bagian - 22
Bagian - 23
Bagian - 24
Bagian - 25
Coba Tilik Bentar, boleh?
Bagian - 26
Bagian - 27
Bagian - 28
Bagian - 29
Bagian - 30
Bagian - 31
Bagian - 32
Epilog
Open PO
E-Book

Bagian - 13

54.7K 3.7K 55
De dianjesika

Typo bertebaran😂😂 bantu koreksi, ya!!

Jangan lupa vote & komen,, woke!!😉😉

Happy reading

____________________________________________________














"Ya ampun! Harusnya kau lihat mukamu di kaca sana," Cindy mengejek Devika yang terlihat lesuh pada pagi menjelang siang ini. ''Fabian belum juga pergi tapi kau sudah seperti akan mati."

Devika menghela napas, tersenyum kecut mengingat percakapannya dengan Fabian pagi ini. "Aku bingung, Cin," ujarnya, ia membantu merapikan sepatu di toko Cindy saat ini. ''Dia punya perasaan tidak, sih? Kenapa hobinya selalu membuat aku sakit hati terus, ya?" Selepas mengantar Devika ke Toko sepatu Cindy, mobil Fabian berlalu mengantar pria itu ke kantornya. Pagi ini Fabian diantar sopirnya, meski begitu tak banyak yang mereka bicarakan selama perjalanan. Bahkan terkesan dingin suasana di dalam mobil itu. Devika telah kehilangan mood-nya detik ketika Fabian mengatakan bahwa dirinya berlebihan karena meminta pria itu menjaga hatinya.

Ck, harusnya Devika lebih pintar untuk tidak meminta hal seperti itu pada Fabian. Kalau tidak ingin hatinya terluka.

"Aku juga bodoh tidak bisa menahan perasaan," rengek Devika, terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya. ''Bayangkan!" Sambungnya lagi, melirik sahabatnya dengan putus asa. "Aku bahkan sudah merindukannya padahal dia belum pergi. Sedangkan di matanya aku ini bukan apa-apa selain...selain..." Devika kembali menghela napas, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Rasanya status itu akan lebih menyakitkan bila disebutkan secara gamblang.

Toko sepatu Cindy tidak terlalu besar. Luasnya hanya 7×8 meter. Terletak di salah satu mall di pusat kota. Saat ini penjualan tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pembeli dan sudah ada pekerjanya yang menangani. Devika dan Cindy berada di ujung, sudut toko itu. Tempat kotak-kotak sepatu yang baru datang, saat ini Devika tengah membantu sahabatnya tersebut menyusun sepatu-sepatu di raknya, sambil mencurahkan curhatnya. Atau lebih tepatnya luapan kesedihan perasaannya.

Cindy, seperti sahabat paik pada umumnya, mendengarkan dengan tenang tanpa menghakimi. Sesekali menimpali jika dirasa penting. Cindy memperhatikan wajah Devika yang tidak bersemangat, sedikit banyak memahami apa yang dirasakan perempuan itu. Karena mereka sama-sama perempuan. ''Dia memberitahumu jam berapa dia berangkat?" tanyanya.

Devika menggeleng, matanya menatap kosong pada sepasang sepatu warna ungu muda yang sedang dirapikannya. "Fabian cuma bilang berangkat sore, dia tidak mengatakan waktunya."

"Sudahlah, jangan terlalu berpikir buruk!" Cindy menyemangati sahabatnya tersebut. Meletakkan sepatu terakhir di raknya, Cindy duduk di sebelahnya kemudian berkata. "Kau mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi. Mungkin saja yang dikatakannya bukan yang ada di kepalamu itu. Sebelum kau melihat dia benar-benar merayu perempuan lain sebaiknya kau berpikir positif saja." Sebenarnya Cindy sedikit kesal pada Fabian--setelah Devika menceritakan paginya yang buruk bersama Fabian-- tatkala pria itu mengacuhkan kegelisahan Devika. Menurutnya sangat wajar seorang wanita meminta apa yang diinginkan Devika itu ketika mereka telah tidur bersama. Jika sang pria masih mendekati perempuan lain, itu sama saja Fabian hanya menganggap Devika sebagai pemuas nafsunya. Tidak dianggap. Namun begitu, Cindy tidak bisa membuat Devika lebih terpuruk lagi dengan mengatakan semua itu. Karena Saat ini wajah Devika sudah tidak enak dilihat.

"Hanya itulah yang bisa kulakukan sekarang ini. Untuk mencegah aku menjadi gila dengan menangis terus menerus dengan selimut menutupi sekujur tubuh."

"Kau pasti sangat jelek kalau seperti itu," Cindy bergurau seraya terkekeh. "Ngomong-ngomong, apakah jadi aku menginap di rumahmu malam ini?" Ia bertanya, mengalihkan pembicaraan agar Devika tidak terus-menerus mengingat sikap dingin dan datar Fabian.

"Jadilah," jawab Devika, melempar kotak kosong di lantai di dekatnya. ''Aku yakin Ayahku sudah mulai curiga saat ini, makanya kau harus menginap di rumahku kali ini. Supaya Ayahku tidak curiga. Sepertinya aku harus mencari alasan lain untuk hari berikutnya setelah Fabian kembali dari Nias. Tidak mungkin aku memakai alasan yang sama lagi, Ayahku tidak akan percaya orang tuamu pergi sesering itu."

"Mungkin kau bisa bilang kalau kau di apartemenmu?" saran Cindy.

"Apartemenku sudah kujual enam bulan yang lalu, kalau kau lupa."

"Oh iya ya, maaf aku lupa."

Devika mengibaskan tangannya ke udara. "Aku akan memikirkannya nanti."

***

Malam ini ayahnya tidak bisa makan malam bersama Devika dan Cindy. Adam mengatakan ada undangan makan malam dari koleganya, tentunya dengan mimik muka yang dibuat semenyesal mungkin. Tapi Devika tahu ayahnya berbohong. Kolega yang mana? Adakah yang bisa disebut partner bisnis ketika bisnis itu sendiri telah dijual kepada orang lain? Dalam hal ini adalah Fabian.

Sampai saat ini Devika masih berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada perusahaan ayahnya. Ditambah ayahnya yang sedikit pun tidak pernah menyinggung hal tersebut, membuat Devika berpikir ayahnya memang tak ingin ia tahu.

Apa pun tujuan ayahnya tentang hal itu, Devika berusaha memahami. mungkin beliau belum siap dipandang menyedihkan oleh putrinya sendiri. Kebangkrutan yang begitu fatal. Hanya informasi kecil yang ia tahu, bahwa ayahnya bekerja untuk Fabian. Ia berharap Fabian tidak terlalu memaksa ayahnya, melihat kondisi beliau yang tak lagi seprima dulu. Sewaktu Adam masih muda.

Cindy menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur Devika. Perempuan itu bergerak-gerak sebentar sebelum kemudian telentang sambil memandang langit-langit kamar. "Hidup, hidup," gumamnya setengah mengambang. "Oh, hidup," serunya lagi entah apa artinya.

Devika menyeret langkahnya, naik di ujung kasur dengan ponsel yang ada di genggaman tangannya.

"Jangan terlalu kentara menyukainya," Cindy bersuara. "Yang penting kan dia mengabarimu kalau dia sudah tiba di Nias dengan selamat. Apa kubilang? santai saja. Fabian tidak buta menilai perempuan, dia tahu mana yang bagus.".

Bagus, kata itu mengambang di udara. Memaksa pikiran Devika mencari pengertian dari kata tersebut. Perempuan seperti apa yang dapat sebut bagus?

"Aku tidak cantik." Sore ini, hampir malam sebenarnya. Fabian mengirimnya pesan. Hanya pesan singkat yang berisikan bahwa pria itu telah mendarat dengan aman. Setelah itu tidak ada kabar dari Fabian. Sekarang Devika seperti remaja SMP yang sedang kasmaran menunggu sang pujaan hati menelepon.

"Siapa bilang?" Cindy tidak setuju. "Hanya orang buta yang bilang kau tidak cantik."

"Buktinya Fabian tidak mau menjadikanku pacarnya. Kalau aku cantik pastinya dia setidaknya tertarik padaku."

"Kalau dia tidak tertarik padamu mana mungkin setiap malam dia menidurimu." Cindy begitu blakblakkan sampai membuat Devika tercengang. Wajahnya memerah sampai ke leher, ia berbalik dan melotot pada Cindy yang tersenyum tanpa dosa.

"Apa? Aku benar, kan? Dia bukannya tidak menyukaimu, tapi...kurasa mungkin ada sesuatu yang membuatnya enggan menjalin hubungan dekat dengan wanita."

"Maksudmu?"

"Trauma putus cinta bisa mempengaruhi seseorang. Mungkin juga trauma-trauma yang lain. Siapa yang tahu?"

Devika terdiam, teringat mimpi buruk Fabian. Apakah mungkin ada sesuatu di masa lalu Fabian? Seperti yang dikatakan Cindy, batin Devika bertanya cemas.

Cindy nyengir, memperlihatkan gigi putihnya. "Aku bertaruh dia akan meneleponmu sebelum malam ini berakhir.''

"Itu tidak mungkin?" gumam Devika, setengah tidak yakin setengah berharap. Ia bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Hendak mengganti kemejanya dengan baju tidur.

Dengan celana pendek katun dan kaos tipis kebesaran, Devika ikut berbaring di sebelah Cindy yang sedang memainkan ponselnya. "Kau tidak mengganti bajumu?"

"Sebentar lagi?" Cindy terlihat membalas pesan.

"Siapa?" tanya Devika penasaran. "Gebetan baru, ya?"

"Bukan. Arga, dia minta nomor ponselmu." Cindy menoleh pada Devika lalu bertanya. "Boleh?"

"Ya tidak apa-apa."

"Dia tanya kau bekerja di mana."

"Terus kau jawab apa?"

"Ya kubilang kau belum dapat panggilan, alias pengangguran." Cindy terkekeh dan Devika merengut.

***

Sudah jam sepuluh malam, Fabian tidak menunjukkan tanda-tanda ia akan menghubungi Devika. Tampaknya Cindy salah, perkiraan gadis itu meleset.

Mata Devika sudah mengantuk, sedangkan Cindy sudah tertidur dari lima belas menit yang lalu. Gadis itu pasti kelelahan, pikir Devika. Saat menjelang sore hingga malam, pengunjung toko sepatu Cindy lumayan banyak. Cindy sibuk melayani, bahkan Devika ikut membantu. Devika menatap sahabatnya tersebut, merasa bersyukut Tuhan memberikannya teman seperti Cindy. Sahabatnya yang mau mendengar setiap keluhannya tanpa protes, siap menolongnya kapan pun dan di mana pun sehingga dirinya tidak merasa sendiri dalam menjalani hidupnya.

Pukul sebelas malam hanya kurang sepuluh menit lagi. Ponsel Devika berbunyi dari atas nakas. Dengan setengah kesadaran--akibat dibangunkan dari tidur nyenyaknya--Devika meraih ponsel yang berdering itu. Matanya menyipit membaca kontak yang tertera. Sontak ia terkejut melihat nama sipemanggil.

Fabian.

''Halo," suara di seberang sana terdengar ragu. "Kau sudah tidur?"

"Ya, ini sudah tengah malam," nada suara Devika serak karena baru bangun tidur.

"Maaf! Aku jadi membangunkanmu. Aku baru tiba di hotel setelah meeting sampai jam sepuluh malam, baru sekarang aku bisa meneleponmu."

"Hhhmm,'' Devika bergumam dengan tidak jelas. Seharusnya ada yang memberitahukan Fabian kalau perempuan itu tidak akan sadar dengan cepat jika dibangunkan dengan tiba-tiba seperti sekarang ini. Karena apa pun yang terlontar dari mulutnya, bisa saja itu hanya ucapan tanpa sadarnya.

"Aku hanya...," Fabian ragu sesaat sebelum kemudian melanjutkan. "Aku hanya ingin mendengar suaramu," bisiknya pelan. "Aku minta maaf untuk yang kukatakan pagi tadi. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu---"

"Hhhmmm, tidak apa-apa! Arga boleh kok punya nomor ponselku."

Di sebrang sana Fabian membatu. Rahangnya mengeras akibat sebuah nama yang diucapkan Devika dalam setengah bermimpi. Pria itu bernapas dengan cepat, kemudian membentak. "Kau menemuinya saat aku pergi?? Di mana kau sekarang?? Kau bersamanya???" nada suara Fabian meninggi pada setiap perkataan yang diucapkannya.

Mendengar teriakan nyaring dari ponselnya, kesadaran Devika langsung utuh. Ia meringsut jadi setengah berbaring di kepala ranjang, tergagap ingin menjelaskan pada Fabian. Ia hendak bersuara namun panggilan telah terputus.

Panik, Devika menghubungi Fabian. Dalam hati semoga pria itu menerima panggilannya, namun panggilan tersebut tak digubris. Sampai panggilan entah yang keberapa, Fabian tetap tak menjawab. Sampai Devika menyerah, dan hanya bisa menghela napas. Ia merutuki kebodohannya, kenapa bisa menyebutkan nama Arga tadi?

Di waktu yang sama namun di tempat yang berbeda, Fabian tengah menahan amarah yang kini membludak dalam darahnya. Ia sengaja mengabaikan semua panggilan Devika, marah pada perempuan itu yang tidak bisa memegang kata-katanya.

"Menyuruh orang lain setia tapi dia sendiri tidak bisa melakukannya," dengus Fabian. Ini bahkan baru hari pertama, batinnya merutuki Devika.









Tbc...

Continuă lectura

O să-ți placă și

310K 38.8K 39
[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan...
148K 6.9K 29
𝙁𝙊𝙇𝙇𝙊𝙒 𝙎𝙀𝘽𝙀𝙇𝙐𝙈 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________🕳️____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
1.1M 103K 50
Ceisya gak pernah tau kalau semesta akan mempertemukannya lagi dengan Arga. Si cowok Indonesia yang dulu pernah jadi seniornya saat sekolah di Ameri...
684K 53.2K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...