"Kupahami rasa ini,
tapi begitu sulit.
Kuserapi setiap kalimat darimu yang kudengar,
tapi semua terasa melebur.
Lantas, apa yang harus kulakukan?
Menyerah?
Tapi aku masih merasakan gejolak aneh dalam hatiku!"
***
Devan menggenggam lembut pergelangan tangan Nika, mengajaknya menuju parkiran sekolah. Hari ini, Devan akan memulai aksinya. Setelah bergelut dengan hatinya, mungkin waktu yang tepat adalah saat ini. Devan berniat mengajak Nika kesuatu tempat, yang pasti cewek itu akan senang.
Ia sudah masuk sekolah, walaupun punggungnya masih merasakan sakit.
"Mau kemana, sih?" tanya Nika yang tidak sabaran karena sedari tadi Devan hanya diam, tidak menjelaskan apapun kepadanya.
Devan menoleh kearah Nika, cowok itu sudah bertengger diatas merahnya. Tersenyum misterius kearah Nika.
"Naik aja, nanti juga sampe."
Jawaban yang membuat Nika geram sendiri, tapi dia tidak sampai untuk tidak menaiki motor Devan. Nika sudah duduk dibelakabg Devan, tinggal menunggu cowok itu melajukan motornya.
"Udah? Kita berangkat sekarang, ya," kata Devan terdengar lembut.
Nika mengangguk, Devan melihatnya dari kaca spion motornya. Setelahnya, cowok itu segera melajukan motornya. Meninggalkan sekolah saat itu juga.
Arga menatap kepergian Devan dan Nika, bibirnya mengulum. Menampakkan seulas senyum dibibirnya.
Jika itu yang Devan pilih, Arga akan membiarkannya. Dia akan mendukungnya. Sudah cukup Devan berada dalam keterpurukan, menantikan masa lalunya yang tak mungkin kembali lagi.
Arga tersenyum, dalam hati dia merutuki dirinya sendiri. Sudah jelas-jelas jika Nika adalah cewek yang mampu membuat Devan berubah, mampu membuat Devan tak lagi mengingat masa lalu. Bergantung pada masa lalunya. Lantas mengapa dia dengan bodohnya diam-diam menyukai cewek itu. Yang tanpa ada yang menyadari, Arga yang jatuh cinta dengan Nika. Dia merutuki dirinya sendiri, tidak seharusnya dia menyukai cewek yang sama dengan cewek yang disukai Devan--sepupunya.
Biarkan semuanya terpendam dalam hatinya, biar saja Nika lebih memilih Devan dari pada dirinya. Devan yang pantas untuk Nika, begitu juga dengan sebaliknya.
Tanpa pikir panjang, Arga menaiki motornya. Membunyikan mesinnya dan mulai melajukan motornya, niatnya untuk mengikuti kemana Devan mengajak Nika saat ini?
***
Devan dan Nika sampai tujuan, dimana Nika yang tersenyum ketika Devan mengajaknya kesalah satu tempat favoritnya. Nika berdecak senang dalam hatinya.
"Gimana? Arga yang kasih tau gue," ujar Devan, lantas Nika menoleh kearahnya.
"Kak Arga kasih tau kamu apa?" tanya Nika dengan polosnya.
Devan tersenyum, "Lo suka ke tempat ini, kan? Buat tenangin diri lo, iya kan?"
Kini Nika paham, Arga yang memberi tahu tempat favoritnya. Yang juga tempat untuknya menenangkan diri. Tanpa Nika sadar sebelumnya, tangan Devan menggenggam pergelangan tangannya. Mengajak Nika untuk menuju ke tempat yang dituju. Memang sedari tadi, mereka masih berada di tempat parkir.
Nika termangu, menurut apa yang dilakukan Devan kepadanya. Tanpa cowok itu sadari, Nika mati-matian berusaha mengontrol detak jantungnya yang berpacu keras itu. Entahlah, apakah Devan mendengar detak jantungnya yang kian cepat itu?
Mereka berdiri dibibir pantai, menikmati angin yang sejuk dan menerpa tubuh mereka. Jarum jam menunjukkan pukul empat lewat lima belas menit. Tempat itu tidak seperti biasanya, kali ini terlihat begitu sepi.
"Lo suka kan?" tanya Devan memecah keheningan diantara mereka.
"Yap, gue suka tempat ini." Jawab Nika kemudian.
Hening, hanya suara desiran ombak yang riuh itu yang memecah keheningan.
Karena Devan yang tidak terlalu betah dengan keadaan hening, cowok itu memilih untuk berdehem pelan.
"Naik jet ski, yuk," ajak Devan seraya menggenggam pergelangan tangan Nika, lalu menariknya untuk pergi dari tempat itu.
"Van, ini beneran?" tanya Nika memastikan, pasalnya gadis itu sedikit takut karena selama ini dia belum pernah menaiki jet ski. Dan ini adalah yang pertama kalinya.
Nika berpikir, jika nanti tiba-tiba dia terjatuh ketengah laut ketika Devan dengan sengaja mengemudi dengan kencangnya.
"Kenapa? Lo takut nanti jatuh ke laut, ya?" tanya Devan, cowok itu sudah seperti cenayang yang bisa membaca pikiran Nika.
Nika terkekeh kecil seraya mengibaskan tangan kanannya keudara. "Ya enggak lah, ya udah deh, gue mau." Ujar Nika kemudian, lalu menyejajarkan langkahnya dengan Devan.
***
Awan diatas sana mulai menjingga, senja datang dalam kelebatan pandangan. Suara deru ombak semakin terdengar, kala tempat itu menjadi sepi. Kicau burung camar menambah riuhnya suasana. Lengkungan disana semakin beranjak turun, bersembunyi digaris cakrawala.
Angin menerbangkan helai rambut Nika yang tergerai, cewek itu nampak tersenyum lebar menatap indahnya sunset dipantai itu. Devan menoleh, menatap wajah Nika yang menampakkan semburat bahagia disana.
God!
Desisnya dalam hati, pasalnya mampukah Devan melakukan tujuan awalnya? Sementara wajah Nika yang berseri itu nampak begitu cantik. Mampukah nanti Devan benar-benar menyakitinya? Ini diluar kendali, jantung cowok itu berdetak cepat. Deru napasnya mulai terdengar, saat ini Devan menyembunyikan rasa gugupnya. Dia harus bisa melakukannya, setelah itu, dia akan kembali dengan gadis yang telah dia cintai sejak dulu.
Ekhem.
Devan berdehem pelan, sambil melirik kearah Nika yang ternyata tidak terganggu dengan apa yang Devan lakukan.
Kemudian, cowok itu memejamkan kedua matanya. Lalu menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan melalui mulut, bersamaan dengan kedua kelopak matanya yang bergerak terbuka.
"Nik," sapanya terdengar lirih. Namun masih bisa didengar oleh Nika, sehingga pemilik nama itu menolehkan kepalanya kearah Devan. Menatap cowok itu dengan kening berkerut.
"Ada apa, Van?" tanya Nika, berusaha merespon panggilan Devan.
Devan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sambil menunduk. "Gue mau ngomong sesuatu," katanya dengan berusaha menetralkan detak jantungnya.
Sial. Devan bergumam dalam hati ketika merasakan dirinya benar-benar gugup.
"Apa? Ngomong aja, kali," Nika tersenyum. Membuat Devan terdiam.
Cewek itu manis ketika tersenyum, lalu mengapa selama ini dia nampak menyembunyikan senyumannya? Bahkan cewek itu terlalu dingin, pikir Devan.
"Van? Kok bengong?" Nika melambaikan tangan kanannya tepat didepan wajah Devan, sehingga cowok itu terperanjat.
Double Shit. Devan mengumpat dalam hati, mengapa dia begitu gugup didepan Nika?
"Eh, enggak kok," ujarnya kemudian.
"Oh ya, sebenernya gue mau ngomong sesuatu yang penting," imbuhnya.
Nika menautkan kedua alisnya, heran.
"Em, Nik. Enggak terasa, ya kita udah lama kenal," kata Devan memulai.
"Terus?"
"Dan udah lama, ya, kita punya status pacar walaupun boongan," Devan menarik napasnya lagi.
"Jadi?"
"Em, gue mau wujudin itu semua. Gue mau wujudin kalau kita bukan sekedar pacar boongan," Devan menggaruk tengkuknya.
Nika terdiam, memulai untuk mencerna kembali ucapan Devan.
"Maksudnya?" Nika bertanya seolah tidak mengerti maksud dari ucapan Devan.
“Gue rasa, gue suka sama lo, Nik,” ucap Devan dengan satu tarikan napas, lancar, tanpa tersendat.
Jantung Nika terasa seperti ribuan kendang yang saling bertabuh, yang mampu membuat Nika merasa gemetaran.
Dia diam, pandangannya menatap lurus-lurus kearah Devan yang tersenyum tak enak.
"Mau gak, kalo kita pacarannya beneran?" lanjut Devan lagi, berusaha membuat Nika mengatakan sesuatu. Tapi nihil, cewek itu masih bergeming.
Devan menghembuskan napasnya. "Lo enggak jawab sekarang enggak pa-pa, kok, besok juga no problem,"
Nika menatap kedua mata Devan lamat-lamat. Lantas mengamgguk.
"Ya udah, kita balik. Gue anterin ya," ajak Devan, sambil menarik lembut pergelangan tangan Nika untuk menjauh dari tempat itu.
Arga tersenyum lebar, menatap lurus-lurus kearah Nika dan Devan yang sudah berlalu dari tempat itu.
To be continue