Knock Your Heart

By ndaquilla

3.2M 266K 17.9K

Sebagian BAB berada dalam Mode Private *** Yang satu tengah mencari calon suami, sementara lainnya masih berl... More

Prolog
1. Eve - Abra
2. The Game
3. And Then ... Show Time!
4. Good Night, Boy!
5. Seminggu Berlalu
6. Merana Ala Abra
7. Bagian Yang Tak Disangka
8. Kejutankah?
9. Fix! Delusi Akut!
10. Kesintingan Yang Sama
11. The Idiot Man
12. What?!
13. Lemah Iman
14. Evelyn Aluna Smith
15. Analogi Celana Dalam & Putri
16. Mantan & Calon Masa Depan
17. Bukan Biksu
18. Mendadak Pias
19. Gugup Part One
20. Gugup Part Two
22. Menikahiku 'kan?
23. Restui Saya, Om!
24. Abra, Evelyn, Dan Dunia Yang Tak Sama
25. Abra Nikah, Mamen!
26. Hai, Istri!
27. Dua Idiot Yang Gemar Menggores Nadi
28. Dewinya Abra
29. Gangguan Fabian
30. Suami (Sah)
31. Dinding Yang Mencuri Dengar
32. Knock-knock Your Heart, Ab!
33. Telur Dadar
34. Abra Bilang "Jombelo"
35. Menyembunyikan Skandal Sang Puteri
36. Kegalauan Abra Versi Terbaru
37. Jadi gini ....
Knock Your Heart : Special Ilustration Moment
Pre Order Knock Your Heart

21. Gugup Part Three

52.9K 7.4K 651
By ndaquilla

Nah...  Ini dia seri terakhir dari Gugup ala Abra.  Hahahaha...  Happy reading ya sayang... 

***

Kepercayaan diri Abra memang sudah lebih bagus dari sebelumnya. Namun ternyata, bagus saja tidak cukup ketika ia duduk di ruang tamu bersama dengan Ayah Evelyn dan juga adiknya. Sementara Evelyn, diperintahkan ke dapur untuk membuat minuman. Abra sebenarnya tahu, hal itu hanyalah akal-akalan untuk memberi penilaian tersendiri terhadap Abra tanpa di dampingi Eve.

Oke, Abra segera menelan bulat-bulat keinginannya untuk melarikan diri. Seperti laksamana dari negeri seberang, Abra menguatkan tekad, ia siap bertempur.

Aye aye fighting!

Tapi entah kenapa, nyali Abra segera menciut, sekalipun ia telah menegakkan punggungnya.

Bagaimana tidak?

Sebab, dua pria berbeda usia yang berdarah sama dengan Evelyn masing-masing begitu serius menatapnya. Bahkan keduanya tak keberatan ketahuan memandangi Abra seperti itu.

Andai Apollo bukanlah mitos Yunani, Abra pasti sudah meminta bantuan pada dewa matahari itu untuk memberinya kekuatan. Dan andai Sasuke itu benar-benar ada, Abra rela menggadai nyawanya demi memiliki mata seperti milik Sasuke. Akan Abra balas tatapan penuh selidik yang dilemparkan oleh keluarga Evelyn, lalu akan memerangkap mereka dengan jurus ilusi paling mematikan.

Hah, sayang sekali, semuanya adalah omong kosong.

Lalu yang paling parah dari duduknya mereka bertiga di ruang tamu ini adalah, bahwa tak seorang pun yang mau membunuh kesunyian. Ck, andai Abra sedang bersama teman-temannya, maka Abra tak akan ragu melompat di atas meja demi memecah sepi menjengkelkan ini.

Namun lagi-lagi, Abra harus menahan diri. Saat ini, ia sedang di nilai.

Oke, mari berhitung dari angka satu, Abra harus membuat catatan mengenai betapa mengesalkannya hari ini.

“Kok pada diem-dieman?”

Beruntung, saat Abra yakin bahwa kepalanya bisa saja meledak karena bosan sekaligus gugup, Evelyn menyelamatkannya tepat waktu.

Oh Tuhan, Abra berjanji akan mencium Evelyn sampai pingsan jika mereka berduaan nanti. Tolong, siapapun catat doa Abra ini!

Jika tadi, Abra nyaris seperti pria yang gagal klimaks, maka sekarang Abra adalah pria yang sudah siap untuk memulai foreplay.

“Tadi katanya mau pada kenalan? Kok nggak pada ngobrol sih?”

Abra tahu Eve sedang mencoba mencairkan suasana yang sebeku kutub ini. Di mana, pria setengah baya yang duduk dengan kaki kiri bertumpu di paha kanan tersebut hanya menatap Abra saja dari ujung kaki sampai ujung kepala. Atau jangan lupakan pria muda yang duduk di sofa single di samping ayahnya, namanya Alaric saat Eve memperkenalkan mereka tadi. Dan pria yang Abra perkirakan seumurannya itu, sama sekali tak menutupi tatapan tajamnya. Seakan Abra adalah terdakwa yang siap diadili.

Yeah, Abra memang terdakwa. Penjahat yang siap menculik sang puteri. Makanya, Abra memang pantas di pandang terang-terangan begitu.

“Ngomong sesuatu dong, Pa?” Eve tak lelah memancing.

Mendapati sang puteri mencoba bersikap kooperatif begitu, Ken sadar, bahwa puterinya tidak main-main mengenai wacana pernikahan tersebut. “Ngomong apa? Papa nggak terlalu mahir membuka obrolan.”

Dan Abra langsung meneguk ludahnya. Merasa bingung mendapati kode yang terang-terangan begitu.

Setelah meletakkan gelas berisi teh tepat di depan masing-masing, Eve memilih duduk di dekat Abra. Bibirnya melengkungkan senyuman, ketika Abra mendongak menatapnya. Lalu pandangannya beralih memandang adik semata wayangnya. “Al, nggak mau nanya sesuatu?”

Alaric kemudian mendengus, ia memilih meraih minumannya. “Banyak sebenarnya, nggak cukup kalau cuma satu.” Kata Adik Eve begitu selesai menyeruput teh yang dihidangkan sang kakak.

“Nah, makanya, mulai dong di tanyain?” Eve bersemangat.

Dan Al segera menimpalinya. “Nanti aja tunggu mama, aku nggak bakat nanya-nanya kalau sekadar basa-basi aja.” Lanjutnya datar.

Eve hanya tersenyum kecil, lalu pandangannya beralih ke depan. “Ma, sini dong? Pada mau nanya sama Abra, cuma mereka malu nggak ada mama.” Eve berseru dengan nada ceria.

“Ih, apa sih Kak?” Alaric buru-buru mengerutkan kening. “Bukan malu, cuma kan harusnya Abra sendiri yang langsung ngucapkan maksudnya ke sini. Ngomong, apa keperluannya. Dan bilang sama papa apa maunya.”

Dan Abra langsung tertohok.

Yah, sebenarnya memang seperti itu. Seharusnya memang Abra yang terlebih dahulu memulai percakapan. Namun karena saking gugupnya, Abra sampai lupa bagaimana caranya berbicara. Tiap ingin membuka mulut, lidah Abra seakan membelit. Dan itu benar-benar menjengkelkan.

Mencoba melongarkan tenggorokkan dengan deheman pelan, Abra mengembuskan napas samar berusaha agar tak menarik perhatian. Padahal, sejak tadi juga dirinya merupakan pusat atensi di rumah ini.

“Maaf Om, tante,” akhirnya, Abra berhasil mengeluarkan suara begitu Ibu Evelyn bergabung dengan mereka di ruang tamu mewah yang mendadak mencekam bagi Abra. “Sori juga ya, Al,” ia bingung harus memanggil Alaric dengan sebutan apa. Jadi rasanya, lebih baik jika ia memanggil dengan nama depannya saja. “Maaf kalau terkesan nggak  sopan karena diam aja dari tadi.” Abra terpaksa merendahkan dirinya, ia sedang dalam keadaan tidak boleh menyombong sekarang. “Cuma tadi saya pikir, ada baiknya kalau menunggu semuanya berkumpul. Biar nggak ada yang salah paham terkait kedatangan saya, Om.”

Ia menunduk sopan ketika matanya bertemu pandangan pada Ken, lalu mengulum senyum sungkan saat Ibu Evelyn juga tak melepaskan tatapan darinya. Sumpah, Abra menjadi semakin salah tingkah sekarang.

Oh, andai ia memiliki keberanian lebih, maka ia tak akan berpikir dua kali untuk menggenggam tangan Eve sebagai penguat. Sayang sekali, kenekatannya tidak sampai ke taraf gila itu. Jadi Abra harus puas dengan punggung yang ia paksa tegak dan gesture sopan yang sengaja ia pertahankan. “Sebenarnya, maksud kedatangan saya ke sini,” Abra terpaksa menarik napas sebelum mengatakan tujuan. Ia gugup. Sumpah, semakin gugup sekarang. Untuk mundur sudah tidak bisa. Jadi apa boleh buat, Abra harus menguatkan niatnya yang suci ini. “Saya ingin melamar Evelyn, untuk menjadi istri saya, Om, Tante.”

Lalu suasana kembali seperti kuburan. Dan jika Abra boleh mengomentari, masih terlalu sejuk di kuburan daripada di rumah ini. Dengan dua pasang mata tajam yang menyorotnya tanpa henti, Abra merasa bagai berada di tengah kepungan perompak yang siap melemparkannya ke lautan.

“Sebelumnya, Evelyn tidak pernah membicarakan mengenai kamu kepada kami,” akhirnya suara kepala keluarga terdengar lagi. Kali ini langsung menanggapi apa yang Abra sampaikan. Suaranya terkesan tenang dan dalam, tidak terlihat sama sekali emosi di sana. “Dan tiba-tiba saja kita bertemu kemarin. Lalu Evelyn mengatakan pada kami kalau dia siap menikah. Berita ini jelas mengejutkan.” Tambah pria itu masih dengan intonasi suara yang sama. “Saya tahu, anak saya juga sedang tidak hamil. Jadi, adakah alasan yang bisa membuat saya yakin untuk menerima lamaran kamu?”

Abra tercengang seketika. Buru-buru ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Tanpa sadar,  ia menoleh ke samping. Melihat bagaimana ekspresi Evelyn saat kata hamil tiba-tiba meluncur begitu saja dari bibir ayahnya.

Dan yang Abra temukan di sana hanya senyum simpul tanpa tekanan. Evelyn kembali mengejutkan Abra dengan lekukan indah di wajah yang tampak benar-benar lepas. Membuat Abra bertanya sendiri, apakah keterlaluan kepanikan yang melandanya kini?

“Kalau kalian mengaku saling mencintai, aku menyangsikan hal itu.”

Tanggapan pedas dari Alaric semakin membuat Abra kerdil.

“Aku mengenal kakakku. Sekalipun dia memang tidak pernah mengatakan apapun soal hal remeh macam cinta, aku tahu, saat ini pun dunianya belum berkutat dengan kata itu.” Lanjut Alaric dengan kemampuan menganalisa yang mengagumkan. “Ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku semenjak Evelyn mengabarkan soal rencana pernikahannya. Dan entah kenapa, otakku selalu mengarah pada sesuatu yang berbau negative, jadi tolong, buat aku menyingkirkan pikiran buruk itu dan berganti dengan pemikiran yang jauh lebih masuk akal dengan lamaran yang tiba-tiba ini.”

Oh, man! Abra benar-benar menggigit lidahnya sekarang!

Astaga, seharusnya Abra datang bersama Adam untuk mendampinginya melamar. Serius, Abra kehabisan kosakata menghadapi rentetan pernyataan yang luar biasa benar mengenainya. Sumpah, Abra mati langkah.

“Jadi, bisa kami dengar sesuatu yang dapat meyakinkan kami?”

Kali ini bukan Alaric yang bersuara, tetapi pria yang telah membuat Evelyn dan Alaric ada di dunia. Pandangannya yang penuh perhitungan tetap memandang Abra dengan sirat penuh keingintahuan. Pria itu lantas bersandar pada sofa, lalu lengannya yang lebar menarik ibu Evelyn ke dekatnya.

Aura mendominasi tampak jelas dari bahasa tubuh yang Abra lihat. Benar-benar seperti seorang raja yang meminta kejujuran rakyat jelata yang telah mencuri mangga di kebun sang raja.

Tapi baiklah, semua sudah kepalang tanggung. Jika ibarat berenang, Abra tak boleh membiarkan rambutnya tetap kering. Ia harus basah sebasahnya, biar dapat merasakan dingin yang menusuk tulang, sebelum rasa segar menggantikan semua itu. “Apa yang dikatakan Alaric itu benar, Om,” Abra mengubur segala kelabilannya. Berusaha sekuat tenaga tampil tenang, Abra menahan napas sejenak demi memelihara kestabilan dalam suaranya. “Saya dan Evelyn belum dapat merasakan cinta seperti yang Om dan Tante punya.” Walau Abra tergolong tidak peka, namun ia tidak buta. Ia bisa melihat luapan cinta yang begitu besar di antara Ayah dan Ibu Eve. “Tapi pelan-pelan, kami pasti bisa merasakan itu, Om.”

Eve segera menoleh, raut wajahnya begitu sulit di artikan. Bukan karena ia terperangah dengan keyakinan dari suara Abra yang tenang. Bukan juga ia terpanah karena Abra berhasil bersikap dewasa. Tetapi yang membuat Eve kaget adalah, kata-kata penuh kepercayaan diri yang Abra sampaikan.

Seharusnya bukan janji yang seperti itu.

Seharusnya, Abra tidak mengatakan hal krusial mengenai cinta.

Dan ya, ada apa dengan Abra? Bukankah seharusnya pria itu tak boleh bersikap layaknya gentle yang benar-benar ingin melamar?

Namun belum selesai Evelyn dengan segala asumsinya, Abra kembali membuatnya tak bisa berpikir apapun terkait yang pria itu akan lakukan hari ini. Lalu Evelyn merasa, skenario yang telah ia persiapkan tidak akan berjalan semestinya.

“Ada banyak cinta yang datang seiring berjalannya waktu, Om. Dan saya adalah salah satu yang percaya pada hal itu.” Senyum simpul Abra sertakan, semata hanya untuk melenturkan wajahnya yang kaku. “Saya dan Evelyn mengenal beberapa bulan yang lalu. Awalnya, karena kami merasa tertarik satu sama lain. Lalu setuju membentuk komitmen.” Abra sebenarnya tidak begitu yakin, bahwa ada sisi dari dalam dirinya yang mendadak mampu bermelankolis begini. Namun apapun itu, Abra tak keberatan, sebab ia memang membutuhkan dirinya yang seperti ini. “Usia kami tidak mengizinkan untuk beromongkosong dengan pacaran, harus lebih serius dari kencan setiap malam mingguan. Maka dari itu, pernikahan adalah jawaban dari komitmen yang ingin kami segerakan.”

Andai Abra diberi kesempatan untuk merekam segala yang telah ia ucapkan barusan. Maka dengan senang hati ia akan mengeluarkan ponsel dan menyuruh adik Evelyn yang menyebalkan itu merekam setiap momen berharga yang berhasil ia katakan. Ck, sayang sekali, dunia tidak sebercanda acara Sule dan Andre Taulani.

Jadi Abra menahan diri agar tak membuat kesalahan dengan segala kenarsisannya. Mungkin setelah ini, ibunya harus memasakannya bubur merah putih dan di letakkan di bawah tempat tidur untuk sesajen bagi Ratu Pantai Selatan yang sudah berhasil membuat Abra mendadak waras begini. Atau seharusnya, ibunya bisa mengaraknya keliling kompleks dengan mengundang anggota marawis sekalian.

Oh ya Tuhan … tolong jangan cemari otak Abra yang mendadak nyernih ini.

“Saya serius, ingin menikahi Evelyn.” Abra melanjutkan, “Banyak hal yang secara tidak sadar sudah saya bayangkan dengan keberadaan Evelyn di hidup saya, Om. Terlepas dari cinta yang belum kami rasakan. Tapi kalau boleh saya menambahkan, saya sudah memiliki rasa sayang yang begitu besar untuk Eve.” Abra berusaha meyakinkan dengan binar mata penuh keseriusan. Mendadak, ia benar-benar membayangkan hari-harinya di masa yang akan datang. Tentunya dengan Evelyn di sisinya. “Saya dan Evelyn memang terhitung baru dalam segi perkenalan. Tetapi kami memiliki kemauan yang sama untuk lebih dari sekadar saling mengenal, Om.”

Seandainya diibaratkan dengan artis sinetron, kemampuan Abra mengolah kata, rasanya tak berbeda jauh dari Nicholas Saputra. Dan seandainya nanti ada project film AADC jilid 3, Abra bersumpah tidak akan keberatan melalukan casting demi peran Rangga—pujangga modern yang berhasil membuat wanita-wanita jejeritan.

Fix, Abra baru mengetahui bakat terpendamnya di situasi begini. Oh, sepertinya sekarang Abra pantas mengatakan, bahwa dibalik setiap musibah pasti terselip berkah.

Well, jika nanti Evelyn berubah pikiran dengan menyatakan ingin suami yang terkenal dan kaya raya. Mungkin Abra tak akan keberatan untuk diminta bermain film dengan Raline demi menambah penghasilan. Atau membintangi iklan ponsel dengan Agnes Monica. Dan kalau memang sudah sangat terpaksa sekali, Abra tidak keberatan untuk bermain sinetron striping dengan menjadi lawan main Stevan William, atau bahkan Aliando sekalian. Begini-begini, Abra memiliki wajah yang tak jauh berbeda dengan Andrew Garfield yang berhasil menarik perhatian Emma Stone di Amazing Spider-man.

Baiklah, sepertinya Abra sudah kembali melantur. Oke, mari kita kembali fokus pada niat suci Abra untuk menghalalkan seorang wanita. Apa sekarang Abra sudah memerlukan backsound dari lagu Pasha dan Rossa yang berjudul Kupinang Kau dengan Bismillah?

“Jadi, bagaimana lamaran saya, Om? Apa lamaran saya untuk menikahi Evelyn di terima?” Abra sudah kehabisan kata untuk dirangkai menjadi kalimat indah. Sebelum terlambat dan ia membuat kekacauan, lebih baik Abra mengakhiri saja Kultumnya sebelum ia sendiri yang tersesat. “Saya pernah mendengar, seseorang yang memiliki niat baik untuk berumah tangga, wajib diperhitungkan, Om. Terlepas dari ketidaksetaraan saya untuk bersanding dengan anak Om. Tapi paling tidak, tolong pertimbangkan niat saya, Om.” Abra mengakhiri pidato panjangnya dengan senyum rikuh yang terpaksa ia persembahkan demi kesopansantunannya sebagai anak muda.

Suasana hening kembali setelah semenjak tadi hanya Abra yang bersuara di sana. Namun akhirnya pecah, begitu mendengar suara lembut milik Ibu Evelyn.

“Dan bagaimana mengenai umur kalian? Ada rentang empat tahun yang Eve katakan. Apa itu nggak masalah?”

Sesaat Abra tertegun, sama sekali tanggapan yang di luar ekspektasinya. Abra sudah menyiapkan mental untuk dicerca. Namun yang ia dapat malah kerisauan mengenai usia. Tidakkah keluarga ini memang terlihat luar biasa?

Dengan sopan Abra menggeleng, senyumnya masih terukir apik di wajah. “Usia bukan masalah, Tante.” Jawab Abra santai, “Justru yang saya khawatirkan adalah bagaimana pendapat Om, Tante, juga Al, mengenai ketidaksetaraan penghasilan saya dan juga Evelyn. Karena jujur, Tan, saya cukup sulit meyakinkan diri mengenai hal itu. Ada kecemasan yang membuat saya ragu pada awalnya.” Jujur Abra menyuarakan apa yang masih menghantuinya.

Lalu tanggapan dari Ayah Evelyn mengejutkan. “Kamu takut orang-orang berpikir bahwa kamu hanya memanfaatkan Evelyn?” Abra tak perlu menjawab, matanya sudah memberitahukan jawaban. “Kita tidak bisa membuat semua orang satu pemikiran dengan kita. Seribu kali pun kita menyakinkan, mereka yang sudah memandang kita remeh dari awal, tidak akan mempercayai. Tulikan telinga, butakan mata untuk orang-orang seperti itu.” Petuahnya bijak.

Abra mengangguk antusias, kali ini ia akan menyimpan nasihat itu di dalam kepalanya. Biar ia tak lupa, jika suatu hari nanti ia menjumpai orang yang seperti itu. “Jadi, apa lamaran saya di terima, Om?”

Ken mengangkat bahu, lalu bergerak pelan seperti hendak bangkit. “Kita liat nanti, saya perlu memikirkannya beberapa saat.”

Rahang Abra yang sedari tadi mengulum senyum sopan mendadak jatuh mendengar penuturan pria setengah baya itu.

Tangan Ken langsung terulur meraih lengan istrinya. “Kita makan dulu, udah selesai ‘kan, Ma?”

“Udah kok,” tanggap Kirana cepat. “Makan ya, sayang?” ajaknya pada Alaric yang langsung di jawab dengan anggukan sang anak. “Kakak sama Abra mau makan sekalian ‘kan?”

Evelyn segera berdiri, ia memberikan isyarat pada Abra untuk mengikutinya. Namun sebelum Evelyn memberikan pendapatnya, Ken terlebih dahulu menyela.

“Kakak sama Abra boleh kok makan di luar, kalau Abra nggak bisa nelan nasi di depan papa.” Seru Ken santai. Seakan mampu membaca pikiran Abra yang tiba-tiba kalut begitu di ajak makan bersama.

Tertawa pelan, Evelyn berjalan meninggalkan Abra untuk menghampiri orangtuanya yang sudah hendak melangkah ke meja makan. Wanita itu segera memeluk tubuh ayahnya. “Sayang papa,” kekeh Evelyn sembari mendaratkan satu kecupan. “Ini yang buat aku nggak bisa berpaling dari cinta pertamaku. Keanu Abrahama Smith, I love you.”

Ken mendengus, bukannya membalas kecupan sang anak, Ken memilih mencium kepala istrinya saja. “Cinta di tolak. Karena cinta papa cuma buat mama.”

Masih tertawa, Evelyn berpindah pada adiknya yang masih memandang Abra dengan tatapan tak suka. Eve yakin, sekalipun tanggapan positif telah di berikan ayahnya, Alaric masih punya banyak alasan untuk mencari tahu siapa Abra dan apa arti pria itu untuk Eve. Karena sedikit banyaknya, Alaric sangat paham di mana hati Eve berada.  “Ini muka asem terus, senyum dikit dong sayang?”

Alaric mengabaikan Evelyn sepenuhnya, “Nanti, setelah aku yakin dia layak dapat senyum atau sesuatu yang lain.”

Eve mengangguk maklum. Kedua orangtuanya mungkin bisa diyakinkan setelah melihat kesungguhan Abra tadi. Namun Alaric … Eve tahu, adiknya tidak akan semudah itu percaya. “Take your time, honey.”

Lalu Eve berjalan kembali menuju Abra yang berdiri tegang di tempatnya.

“Kita pergi?”

Abra meringis, “kamu yakin nggak apa-apa?”

“Papaku aja yakin, kamu nggak akan bisa makan tanpa tersedak di sini.”

Menyambut tangan Eve setelah memastikan anggota keluarga wanita itu menghilang ke ruang makan. Abra segera membawa tangan tersebut dan mengecupnya. “Aku gugup, aku bahkan nggak yakin bisa inget cara makan kalau duduk di meja yang sama bareng papa kamu.”

Tergelak dalam tawa rendah, Eve mengangguk setuju. “Aku ganti baju bentar. Kamu tunggu di sini, oke?”

Biarlah berjalan seperti ini dulu. Jika nanti jalannya sudah berbelok jauh dengan apa yang sudah Eve persiapkan, Eve sendiri yang akan menghentikan lajunya.

Pelan-pelan Evelyn memejamkan mata,  lalu menyapa hatinya yang sudah lama berkabung dalam duka. Kemudian hati itu membisikan sesuatu yang membuat Evelyn mengernyit.

Jika kebohongan ini bisa mengikatnya selamanya.  Maka aku akan mengenyahkan semua kenyataan yang ada.

Tapi apakah Eve mampu?

Mengenyahkan semuanya?  Mengenyahkan Dylan?

"Lun!"

Panggilan Abra membuat Eve membuka mata, kepalanya segera menoleh ke belakang.  Dan mendapati Abra memasang seringai di wajah.

"Pakai celana aja,  jangan pakai rok. " cengir pria itu tanpa dosa.  Dan kernyitan di kening Eve membuat Abra tertawa kecil. " Takut khilaf,  makanya pakai celana panjang aja ya? " terang pria itu kalem.

Hingga kemudian,  Evelyn mengulum senyum kecil.  Ia tahu apa yang dimaksud pria itu.  Kemudian benaknya kembali meyakinkan,  bahwa Abra dan Dylan adalah dua pribadi yang berbeda.

" Aku pakai dress,  di atas lutut.  Kamu tunggu aja. " Evelyn sengaja menggoda Abra.  Dan saat umpatan kecil keluar dari bibir pria itu,  Eve tahu sudah saatnya mulai membersihkan hatinya yang semula hanya berisi satu nama.

***

Continue Reading

You'll Also Like

47K 5K 27
Juwita pernah menaruh hati pada Jeremy, namun terpaksa ia pendam karena sahabatnya Serena memiliki perasaan yang sama dan berbalas. Bertahun-tahun ia...
202K 10.3K 36
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
98.2K 17.7K 31
COMING SOON...
441K 25.8K 30
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...