Knock Your Heart

By ndaquilla

3.2M 267K 17.9K

Sebagian BAB berada dalam Mode Private *** Yang satu tengah mencari calon suami, sementara lainnya masih berl... More

Prolog
1. Eve - Abra
2. The Game
3. And Then ... Show Time!
4. Good Night, Boy!
5. Seminggu Berlalu
6. Merana Ala Abra
7. Bagian Yang Tak Disangka
8. Kejutankah?
9. Fix! Delusi Akut!
10. Kesintingan Yang Sama
11. The Idiot Man
12. What?!
13. Lemah Iman
14. Evelyn Aluna Smith
15. Analogi Celana Dalam & Putri
16. Mantan & Calon Masa Depan
17. Bukan Biksu
19. Gugup Part One
20. Gugup Part Two
21. Gugup Part Three
22. Menikahiku 'kan?
23. Restui Saya, Om!
24. Abra, Evelyn, Dan Dunia Yang Tak Sama
25. Abra Nikah, Mamen!
26. Hai, Istri!
27. Dua Idiot Yang Gemar Menggores Nadi
28. Dewinya Abra
29. Gangguan Fabian
30. Suami (Sah)
31. Dinding Yang Mencuri Dengar
32. Knock-knock Your Heart, Ab!
33. Telur Dadar
34. Abra Bilang "Jombelo"
35. Menyembunyikan Skandal Sang Puteri
36. Kegalauan Abra Versi Terbaru
37. Jadi gini ....
Knock Your Heart : Special Ilustration Moment
Pre Order Knock Your Heart

18. Mendadak Pias

56.9K 8.1K 740
By ndaquilla

Abra tak pernah berniat menjadi pengecut. Sewaktu kedua orangtuanya memutuskan berpisah dan Abra memilih tinggal bersama ibu dan kakaknya, di saat itu juga Abra paham, bahwa selain seorang penyumbang sperma, laki-laki merupakan benteng hidup untuk melindungi para wanita. Dan sebagai satu-satunya laki-laki di rumah, Abra sadar betul mengenai posisinya.

Lalu begitulah yang terus ia tanamkan hingga bangku kuliah. Sampai ia jatuh cinta, kemudian pemahaman tersebut pupus ketika ia mengalami patah hati. Well, se-simple membalikan pisang goreng di dalam kuali, perubahan yang Abra rasakan pun demikian.  

Luka di tinggal Alya sewaktu dirinya masih cinta setengah mati oleh perempuan itu, ternyata cukup membekas bagi Abra. Memengaruhi perkembangan mentalnya. Memutuskan tidak ingin berpacaran, Abra sepertinya mulai lupa bagaimana rasanya menjemput seorang gadis di rumah untuk ia ajak jalan.  Dan kini itulah yang tengah ia rasakan.

Sepuluh menit berada di dalam mobil yang mesinnya sudah mati sejak roda hitam mobilnya memasuki satu komplek perumahan elite tempatnya harus menjemput seorang gadis. Maksud Abra adalah wanita, karena kegadisan perempuan tersebut sudah ia ambil malam itu.

Well, jadi begini. Hari ini adalah Sabtu, hari di mana Abra akan mengajak Evelyn pergi ke acara pernikahan Mira, kakak Alya. Dan Eve sudah setuju, bahkan saat Abra hubungi tadi, wanita itu sudah siap berangkat, hanya tinggal menanti Abra datang menjemputnya saja.

“Gue gugup, ya, Tuhan,” desah Abra sembari meringis. Di tatapnya ponsel setengah memelas, andai ia sepengecut itu, mungkin ia akan menghubungi Evelyn untuk menyuruh wanita tersebut berjalan kaki menuju mobilnya yang terparkir beberapa rumah sebelum rumah wanita itu. “Gimana cara ngomong sama orangtuanya coba?” desah Abra putus asa. “Ya Allah, tolongin Abra ya, Allah.” Serunya konyol.

Abra bersumpah, bahwa ia sendiri bingung harus bagaimana. Meminta izin untuk membawa anak gadis orang pergi sudah sangat lama tidak ia lakukan. Dan  masalahnya adalah, anak gadis itu milik seorang pria yang dimasa mudanya kerap dipanggil dengan sebutan pria sedingin es. Kemudian Abra pusing sendiri menyadari fakta itu.

“Harusnya cewek biasa aja, Tuhan. Gue nggak bakal nolak kalau di sodorkan cewek biasa-biasa aja yang cakepnya kayak Aluna. Sumpah, sekarang gue bingung.”

Dalam kepalanya, Abra sedang merangkai kata yang tepat untuk ia keluarkan sewaktu berniat meminta izin orangtua Evelyn.

“Hallo Om, tante, kenalin saya Abra. Eh, om tante atau bapak ibu ya?” Abra pening lagi. Bahkan untuk memanggil orangtua Eve saja ia bingung. “Anjay banget, sumpah!” ia memukul kemudinya karena geram. “Mesti banget ya, anaknya konglomerat yang mau gue jemput! Halah, setan!” umpat Abra sedikit mengeram.

Andai orangtua Evelyn hanya seorang pensiunan PNS atau pemilik minimarket di depan gang, tentu kepala Abra tidak akan sepusing ini.

“Bodo amatlah, kalau sampai di usir ya udah, gue pulang.” Putus Abra sambil memutar kembali kunci mobilnya.

Di masa lampau, mungkin ia juga pernah melakukan hal yang demikian. Tetapi itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat Abra masih mengendarai sepeda motor yang mana uang bensin dan jajannya ditanggung oleh orangtua. Dan itu juga ia lakukan saat masih muda. Ketika masih memiliki cita-cita untuk menjadi presiden republik tercinta.

Ya, itu dulu.

Dulu sekali, sewaktu sosok Shahrukh Khan masih menjadi idola di kalangan ibu-ibu dan juga remaja tahun 90-an. Tetapi semenjak Lee Minho, Lee Jon Suk, Lee Donghae dan Lee Lee yang lain menjangkit Indonesia, sejak saat itu Abra tahu dunia telah berubah.

Tak lagi lagu Kuch-kuch Hota hai yang sibuk di dendangkan, pelan-pelan seruan Ahjussi rasa Oppa pun berkumandang.

Jadi intinya adalah, Abra tidak bisa menjelaskan apa yang saat ini tengah ia rasakan. Menjemput seorang wanita untuk di ajak jalan, walau lebih spesifiknya di ajak kondangan.

Mengusap wajahnya gugup, Abra menarik napas panjang saat memutuskan bahwa sudah saatnya ia menghadapi kenyataan. Well, ia akan menikahi Evelyn Aluna Smith, puteri pertama dari Bapak Keanu Abraham Smith. Oke, mari kita tinggalkan dulu racauan Abra yang semakin tak keruan. Ayo beralih, pada pagar berwarna hitam yang tinggi menjulang yang harus membuat Abra menurunkan kaca mobil demi memperlihatkan wajahnya pada satpam yang berjaga di depan.

“Siang Pak,” sapa Satpam itu tegas.

Dan Abra mengangguk singkat. “Saya Abra, udah ada janji sama Alu—“ Shit, namanya Evelyn, Ab! Dewa batinnya mengingatkan. “Maksud saya, udah ada janji sama Evelyn. Dan beberapa hari yang lalu saya juga baru dari sini kok, nganter Eve pulang.” Abra menjawab tenang, mengkhianati jantungnya yang lemas demi melihat kembali betapa megah rumah calon istrinya. Oke, maksudnya adalah rumah calon mertua.

Njirr … calon mertua?

Seakan Bapak Ken yang terhormat akan memberinya restu saja.

Halah!

“Baik, silakan masuk, Pak. Sudah ditunggu.”

Lalu begitu saja, dan gerbang tinggi itu terbuka otomatis.

Ya Tuhan … begini sekali ya, perbedaan kasta sosial itu? Apa Abra sanggup terus bertahan dan pasang wajah masa bodo setelah ini? Karena, kalau sudah mencakup status sosial, Abra tak akan bisa berkutik walau ia memiliki kekayaan di atas ranjang.

Shit! Mana ada orang terhormat yang akan menatapnya takjub, bila ia membeberkan betapa luar biasanya dirinya dalam memberi kepuasan pasangan. Atau berapa kali seorang Evelyn menjerit karena dirinya. Alih-alih di lihat hebat, Abra justru akan semakin kerdil di mata orang-orang penjunjung moralitas.

***

“Ngomong-ngomong, nanti jangan kaget ya, kalau orangtua mempelai ceweknya sedikit heboh kalau lihat aku.”

Kening Evelyn berkerut, ia memperhatikan Abra yang serius mencari tempat parkir untuk mobilnya. “Kenapa? Mempelai ceweknya mantan pacar kamu?”

Hampir benar, batin Abra berkomentar. “Bukan sama mempelainya sih,” Abra memilih jujur setelah merasa sangat lega saat ia menjemput Aluna tadi, ternyata kedua orangtua wanita itu sedang tak berada di rumah. Membuat Abra yang hampir mati gugup, tak pelak lagi mengembuskan napas selega mungkin. Entahlah, jiwa kokoh Abra tampak tak siap tadi. “Adeknya yang nikah, mantan pacarku waktu kuliah dulu.” Abra melirik Evelyn yang hanya menanggapinya dengan anggukan kecil.

Membuat Abra tampak salah tingkah. Kalau boleh jujur, bukan tanggapan begini yang ia harapkan.

“Kamu nggak keberatan?” Evelyn menoleh lagi. Kali ini dengan kening berlipat dalam. Mengingatkan Abra pada pemain sepak bola asal Inggris, Steven Gerrard. “Maksudku, datang ke acaranya mantan pacarku gitu?” wajah Evelyn sama sekali tak dapat ditebak artinya. Membuat Abra semakin salah tingkah mendapat pandangan seperti itu dari wanita tersebut.

Baiklah, sepertinya Abra sudah terlalu banyak berharap kali ini. Jelas sekali, walaupun mereka sudah merencanakan menikah. Tetapi hubungan mereka tetaplah tanpa nama. Lalu, mengharapkan Evelyn cemburu? Hohoho … sepertinya Abra terlalu banyak berhalusinasi.

“Udah mau sampai,” Abra bergumam, menutupi perasaan tak enak yang tiba-tiba saja menyerang. “By the way, kamu pakai pink,” sudah semenjak tadi sebenarnya Abra ingin mengatakan betapa cantiknya Evelyn dalam balutan kebaya berbrokat merah muda berlengan pendek dengan bawahan kain batik berwarna cokelat.

Serius, memandang lengan mulus Evelyn, seketika melambungkan imajinasi Abra mengenai betapa pasnya jika lengan-lengan kurus itu mengalung di lehernya. Lalu Abra akan memberikan kecupan ringan di sepanjang lengan putih tersebut, kemudian mengecupnya lama hingga menyisahkan ruam merah hasil ciptaannya. Dan sayup-sayup, Abra akan mendengar tarikan napas putus-putus ketika kecupan Abra merambat naik ke atas. Menjilat lama leher jenjang yang membuat jakunnya naik-turun saat secara samar ia mengingat betapa lembutnya bagian itu.

Atau tarikan lemah di rambutnya ketika Evelyn terengah, tampak susah menarik napas.

Sial! Kenapa sih tadi, ia tak segera mencuci otaknya dengan rinso sekali bilas? Bisa-bisanya otaknya sempat memproyeksikan bayangan kotor ketika Evelyn justru sedang menampilkan wajah polos yang mengisyaratkan ingin ditelanjangi.

Oh, bajingan! Abra benar-benar sudah tak tertolong lagi.

“Lun, aku mau bilang kamu cakep banget pakai pink gini. Manis, sumpah. Tapi aku juga nggak bisa mengabaikan fakta bahwa penampilan kamu ini bikin aku pengin cium kamu.” Kalimat panjang itu Abra katakan dengan satu tarikan napas. “Sedikit aja, nggak apa-apa ya? Aku janji nggak akan ngerusak riasan.”

Evelyn belum mengerti, ia bahkan masih mengerjap untuk mengurai maksud Abra. Eve masih berpikir butuh waktu, tetapi rupanya Abra tak berpikir demikian. Ia segera menarik tengkuk Evelyn yang masih terpaku menatapnya. Memajukan tubuhnya sendiri, Abra yang sudah melepaskan sabuk pengaman segera menangkup wajah Eve dengan sebelah tangannya yang lain.

“Kamu cantik banget,” gumam Abra sebelum bibirnya menempel di atas bibir berwarna cherry yang ranum itu.

Ehmini dia …

Sensasi lembut yang berbalut rasa stroberi berpadu dengan napas mint Abra yang segar. Abra sedikit menurunkan ibu jarinya, mengusap bagian bawah telinga Evelyn selama bibirnya bergerak menutupi bibir bawah dan bibir atas Eve secara bergantian.

Oh Tuhan … andai mereka tidak berada di parkiran. Andai yang menikah ini bukan Mira. Serius, Abra tidak akan berpikir dua kali untuk melajukan mobilnya menjauh dari tempat ini.

Baiklah, sepertinya kali ini Lucifer nakal dalam diri Abra mulai sedikit jinak. Sebab alih-alih melanjutkan ciuman ke arah yang lebih brutal lagi, Abra sanggup menghentikan gerilya kecupannya.

“Manis,” Abra memberi kecupan ringan di sudut bibir Evelyn. Lalu dengan jantan, ia membantu membersihkan sisa-sisa kecupannya. “Nggak rusak kok, cuma di tambahi lipstiknya deh,” gumamnya pelan. Sementara Eve masih tak dapat mengartikan tubuhnya sendiri, Abra sudah kembali bergerak mengambil selembar tisu. “Bawa lipstick kan?”

Memejamkan mata, Eve menyimpan bagian yang belum mampu ia mengerti ke dalam kepalanya. Eve selalu begitu. Ia adalah perempuan yang cepat beradaptasi dan meninggalkan bagian yang masih abu-abu untuk di pelajari nanti sewaktu ia senggang dan sendiri.

“Ngapain sih, kamu?” Eve mendorong dada Abra sedikit menjauh darinya. Ia sedang butuh banyak udara untuk sekadar menarik napas. “Sini,” ia mengambil tisu di tangan Abra lalu membuka clutch bag dan mengambil cermin kecil dari dalamnya. “Awas kamu, ya?” Eve memperingatkan, namun matanya masih enggan beradu pandang.

Tertawa kecil, Abra merapikan penampilannya. Lalu tangannya bertengger di atas bahu Eve. “Kita mau nikah ‘kan? Kamu yakin?”

Selesai memoles lipstick, Eve baru berani membalas tatapan Abra. “Sekarang kamu balik nggak yakin?”

Abra menggeleng sekilas, lalu tangannya turun menuju lengan Evelyn. “Cuma mau nanya, status kita apa ya?” Evelyn tertegun. Dan Abra hanya memberinya senyum tipis. “Nanti di sana pasti ada yang nanya soal kamu ke aku, bingung kasih pengertian ke mereka.”

Sirat geli muncul di wajah Eve seketika. “Biasanya cewek lo yang nanya status?” tanyanya geli.

Mengangkat bahu ke atas, Abra membukakan sabuk pengaman yang masih membelit tubuh Evelyn. “Ngeliat kamu angkat dagu tinggi, siapa sih yang berani nanya-nanya ke kamu? Ya, otomatis yang penasaran nanya ke aku.”

Benar juga, selama ini pasti banyak sekali yang penasaran mengenai kehidupan pribadi seorang Evelyn. Namun mengingat bagaimana dingin dan kakunya Eve, bisa dipastikan siapapun yang merasakan hal itu akan menelan bulat-bulat penasarannya. “Kalau misal kamu bilang calon istri, kira-kira kamu malu nggak?”

Abra mendengus kuat-kuat. “Ya, seharusnya yang nanya kayak gitu aku.” Abra mencibir, “Kira-kira kamu malu nggak jalan samaku?”

Eve menggeleng santai. “Selama kamu pakai celana dan nggak telanjang, aku nggak akan malu kok jalan sama kamu.”

Lalu tiba-tiba saja Abra menyeringai. “Kalau nggak pakai celana dan telanjangnya di tempat tidur boleh dong ya?”

Eve kontan meringis, “Turun yuk, terlalu lama terkurung dalma ruangan sempit bisa mengakibatkan IQ menyusut.” Seru Eve malas menanggapi godaan Abra.

Abra tertawa sejenak, namun ia mengikuti kegiatan Evelyn membuka pintu. Abra tidak tahu apa nama yang tepat untuk hubungannya dengan Evelyn saat ini, tetapi yang jelas mereka yang sama-sama masih asing, memutuskan untuk menjalaninya dengan serius. Mungkin hanya alasan konyol yang membuat keduanya nekat mengambil langkah ini, namun yang pasti, Abra tak akan munduk lagi.

“Ngomong-ngomong, kapan aku bisa ketemu orangtua kamu?” Abra menawarkan lengannya pada Evelyn. Dan beruntung, Evelyn bukan perempuan naïf yang harus bertanya mengenai ini dan itu. Eve segera menyambutnya.

“Kamu udah siap ketemu keluargaku?”

Abra mengangguk antusias. “Biar enak, cepet ketemu, cepet tahu gimana reaksi mereka ngeliat rakyat jelata macam aku.”

Evelyn terkekeh kecil, “Kamu nggak serakyat jelata itu kok. Masih punya kerjaan, dan artinya kita sama.”

“Ya, memang sih.” Eve tidak tahu saja, bagaimana jungkir baliknya dunia Abra ketika harus menata keyakinan diri saat mempertanyakan kapan waktu yang tepat agar ia bisa bertamu ke rumah wanita itu. “Jadi kapan kira-kira ya?”

Eve terdiam sejenak, ia menatap wajah Abra serius. Lalu mengembangkan senyum kecil sambil mengelus lengan pria itu. “Nggak bakal lama lagi kok, tenang aja.”

“Oh ya?”

Langkah mereka yang sejajar terhenti, Evelyn yang menghentikannya. Membuat kening Abra berkerut bingung, apalagi saat wanita di sebelahnya ini melempar senyum dan setengah melembai ke arah depan. “Itu orangtuaku, Ab.”

Tak perlu menunjuknya, Abra jelas tahu siapa yang dimaksud oleh Evelyn.

“Kebetulan, Mamaku sama Mamanya si Mira temenan.”

Dan Abra mendadak pias, ketika dengan mata kepalanya sendiri, ia mendapati Keanu Abraham Smith yang dahulu begitu tersohor melangkah tegap ke arah mereka.

Tuhan … tenggelamkan Abra Tuhan!

***  

Continue Reading

You'll Also Like

500K 20.4K 31
Disclaimer! WAJIB FOLLOW AUTHOR KALAU PARTNYA GA MAU BERANTAKAN Kuno. Satu kata yang selalu terselip di benak Jenni Subagyo mengingat bahwa dirinya s...
3.1M 163K 61
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...
999K 59.6K 54
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
577K 71.3K 58
TAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh berurusan sekali dengan kliennya. Itu idealnya...