Knock Your Heart

By ndaquilla

3.2M 266K 17.9K

Sebagian BAB berada dalam Mode Private *** Yang satu tengah mencari calon suami, sementara lainnya masih berl... More

Prolog
1. Eve - Abra
2. The Game
3. And Then ... Show Time!
4. Good Night, Boy!
5. Seminggu Berlalu
6. Merana Ala Abra
7. Bagian Yang Tak Disangka
8. Kejutankah?
9. Fix! Delusi Akut!
10. Kesintingan Yang Sama
11. The Idiot Man
12. What?!
13. Lemah Iman
14. Evelyn Aluna Smith
15. Analogi Celana Dalam & Putri
16. Mantan & Calon Masa Depan
18. Mendadak Pias
19. Gugup Part One
20. Gugup Part Two
21. Gugup Part Three
22. Menikahiku 'kan?
23. Restui Saya, Om!
24. Abra, Evelyn, Dan Dunia Yang Tak Sama
25. Abra Nikah, Mamen!
26. Hai, Istri!
27. Dua Idiot Yang Gemar Menggores Nadi
28. Dewinya Abra
29. Gangguan Fabian
30. Suami (Sah)
31. Dinding Yang Mencuri Dengar
32. Knock-knock Your Heart, Ab!
33. Telur Dadar
34. Abra Bilang "Jombelo"
35. Menyembunyikan Skandal Sang Puteri
36. Kegalauan Abra Versi Terbaru
37. Jadi gini ....
Knock Your Heart : Special Ilustration Moment
Pre Order Knock Your Heart

17. Bukan Biksu

48.5K 7K 596
By ndaquilla


Suatu hari di masa lalu, Abra pernah melakukan phone sex dengan salah satu mahasiswi binal di kampusnya. Ketika itu, ia sedang menjalani program magisternya. Dan bertemu dengan seorang teman kencan yang ternyata merupakan salah satu juniornya di kampus bukanlah hal yang patut Abra syukuri. Sebab biasanya, mereka akan mencoba menarik perhatian Abra dengan beragam cara.

Dan Adeva, nama mahasiswi itu pun melakukan hal yang demikian. Tetapi yang membuat wanita itu mendapatkan pengecualian dari Abra adalah karena Adeva tidak melakukan kegiatan norak seperti mengejarnya di kantin atau mencarinya sampai lapangan parkir. Adeva berbeda. Wanita itu menawarkan sesuatu yang tak pernah Abra bayangkan sebelumnya.

Ya, sebuah panggilan telepon penuh hasrat.

Lalu Abra bisa apa selain menerima itu dengan tangan terbuka. Oh, Abra menyukai proses tersebut di awal. Namun pada akhirnya ia merasa muak.

Serius, Abra benci telanjang sendirian di atas tempat tidur dengan tangan menggenggam kemaluan. Sumpah, Abra mulai jengah apalagi ketika bayangan mengenai dirinya yang sibuk mengerang seorang diri tertangkap cermin di dalam kamarnya.

Kemudian Abra bergidik, ia tiba-tiba saja merasa jijik. Sebab sejak awal memproklamirkan diri sebagai pria sejati, Abra hanya tahu kegunaan kedua tangannya di ranjang adalah untuk meremas. Tetapi bukan meremas batangannya sendiri, melainkan meremas payudara dan pantat milik wanita. Kemudian Abra bersumpah, ia tak akan mau lagi melakukan hal yang dapat merusak kredibilitasnya sebagai lelaki perkasa.

Dan itulah yang kini tengah ia pertimbangkan. Dengan duduk berdua saling berhadapan dengan seorang juwita malam yang bernama Aluna, lalu tak lama berselang juwita itu bertranformasi menjadi bidadari cantik yang tak terjangkau Abra dengan mengganti namanya dengan Evelyn.

Oh, yeah ... dan fakta mengenai siapa Evelyn itu lah yang mengganggu Abra sampai saat ini. Mencoreng egonya sebagai lelaki yang bersiap menafkahi. Lalu terhambat hanya karena dunia membuat pertunjukan, kalau ternyata sosok yang berniat ia jadikan pendamping memiliki penghasilan setinggi langit. Kabar buruknya adalah, Abra membenci ketinggian. Ia benci memanjat, karena keahliannya merupakan mendaki. Iya, mendaki gunung wanita dengan puncak yang mengeras ketika terangsang.

Oh, sialan! Tolong, jauhkan Abra dari selangkangan dulu! Ia sedang tidak dalam keadaan baik untuk bercumbu.

"Jadi, apalagi yang mau dibicarakan?" Abra memulai, setelah berpikir dua kali kalau kodratnya laki-laki di mata perempuan itu memang harus menjadi pemulai segalanya. Dan beruntung di saat-saat begini, Abra ingat jelas jenis kelaminnya. "Karena kamu nggak mungkin datang cuma buat numpang tidur kan?" sindirnya halus.

Evelyn tersenyum kecil, lantas mengangguk setelah selesai dengan makanannya. "Awalnya cuma mau mastiin keadaan kamu kok, karena Soraya bilang kamu susah dihubungi dari kemarin."

Abra menahan diri agar tak mendengus, ia masih sok ketus sekarang. "Masih hidup kok, tenang aja."

"Aku bisa lihat."

"Bagus," sahut Abra judes.

Membuat Evelyn mau tak mau menyunggingkan senyum lebih lebar lagi. "Kamu masih kesel?"

Kali ini Abra benar-benar mendengus, lalu melipat kedua lengannya di atas meja. Matanya melotot memandang Evelyn. "Aku marah. Enak aja kalau cuma kesel." Lalu ia melempar pandangan sebal. "Kamu kalau ngelawak tuh nggak lucu. Dan kalau mau berubah jadi seleb harusnya nggak usah nanggung-nanggung bikin jantungan. Kenapa nggak sekalian bilang kalau kamu tuh reinkarnasi dari Lady Diana atau bilang kek kek kamu kembarannya Emma Watson. Biar sekalian mati kejang aku." Dumel Abra penuh penekanan. "Untung aja jantungku ini buatan Tuhan, jadi susah senang tetap berdentam. Coba aja buatan China, udah hancur jadi kepingan."

Menahan diri agar tak tersenyum, Eve mengembuskan napas pelan. "Maaf," gumamnya penuh penyesalan. "Kenya bikin aku pusing waktu itu. Dan beberapa tekanan ngebuat aku nggak bisa berpikir jernih." Eve bukannya ingin menarik simpati, ia hanya mau Abra mengetahui secara garis besar mengenai apa yang membuatnya memperkenalkan diri dengan nama tengah. "Keinginan sederhana, aku pengin orang lain mengenalku tanpa nama belakang keluarga. Just Aluna, kalau kamu masih keberatan soal Evelyn."

Abra menghela, "Udah nggak bisa lah," celetuknya sambil mengurai tautan tangan di atas meja. "Kayak satu tambah satu sama dengan dua, kita nggak bisa pura-pura bego dengan bilang hasilnya sebelas. Hidup kita nggak sesinetron itu, dengan berlagak amnesia."

Eve mengangguk, ia paham semua yang Abra katakan. "Jadi aku harus gimana?"

"Nggak tahu, aku juga bingung." Menyandarkan punggung pada sandaran kursi kayu yang menjadi penopangnya, tatapan Abra berubah serius. "Kamu masih berharap mengenai pernikahan?"

Evelyn mengangguk mantap. "Satu-satunya harapan yang nggak bisa aku capai seorang diri." Karena menikah tak bisa hanya dilakukan satu orang. "Aku nggak tau gimana harus jelasin ke kamu, kalau Evelyn dan Aluna nggak ada bedanya. Pribadiku sebagai Aluna, sama aja dengan pribadiku sebagai Evelyn." Eve mencintai nama pemberian orangtuanya, kedua panggilan itu sangat berharga baginya. "Kita nggak bisa menolak nama yang disematkan orangtua ke kita. Karena di sana ada doa kecil yang mereka harap setelah menyematkannya."

Ekspresi Abra benar-benar tak dapat di tebak. Pria itu diam, namun pandangannya tak teralih pada Eve yang juga tengah menatapnya sebelum wanita itu kembali melanjutkan ucapannya.

"Tapi aku sadar, kalau pernikahan juga bukan kata yang bisa kita mainkan." Menghela napas panjang, ekspresi Evelyn melembut kali ini. "Aku ngerti kalau sekarang mungkin kamu lagi berpikir ulang soal pernikahan yang pernah kamu setujui, Ab. Dan sekali ini, aku nggak mau maksa kamu." Abra berhak berpikir seribu kali untuk menikahinya. Lagipula, tidak ada alasan kuat bagi Abra tetap melaksanakan wacana tersebut. "Aku tau diri kok, tenang aja." Usahanya untuk berkelakar gagal, sebab Eve bukan orang yang bisa semudah itu bercanda.

Ia pribadi yang terlalu serius. Terlalu kaku dalam bergaul. Bahkan Evelyn tidak pernah ingat ia memiliki teman sebaya selama ini. Teman-temannya adalah keluarga juga beberapa anak dari teman orangtuanya, selain itu Eve sama sekali tidak memiliki seseorang yang pantas ia panggil sahabat.

"Abra, hubungan normal adalah saat laki-laki melamar perempuan 'kan? Dan karena waktu itu aku yang ngelamar kamu, itu ngebuat hubungan kita semakin nggak normal. Iya 'kan?" Betapa menyedihkannya Evelyn ini. Frustrasi karena tak dapat melupakan mantan kekasih, Eve mengikuti cara ekstrem dengan mengikuti kencan satu malam. Dan betapa amat murahnya, ketika pada akhirnya ia yang mengemis pernikahan hanya karena ketidakmampuannya membunuh perasaan salah yang bersemayam di jiwa.

Eve pikir, ia akan berhasil pada awalnya. Eve sampai lupa, kalau tidak semua yang ia inginkan mampu ia wujudkan. Manusia tetap milik Tuhan, tak peduli bahwa ia memiliki kekuasaan atas ribuan karyawan.

Menyapukan pijatan kecil di kening, Eve memilih mengemasi barang-barangnya. Ia tahu tidak semua kegilaan akan waras dengan kegilaan yang serupa. "Terima kasih udah sempat mempertimbangkan menikahiku, Ab." Cukup sudah ia mempermalukan diri sampai di titik ini. Rasanya, kewarasan yang dulu sempat menghilang kini kembali merajai hidupnya. "Seperti yang kamu bilang, waktu itu kita melakukannya atas dasar kemauan sendiri. Dan nggak seharusnya kamu tanggung jawab." Evelyn berdiri sementara pandangannya masih tersemat untuk pria itu. "Lupakan soal pernikahan yang pernah aku cetuskan. Tetapi terima kasih, karena kamu sempat menganggapnya serius."

Kalau boleh jujur, Evelyn sangat menghargai sikap Abra yang berniat mengenalkan dirinya sebagai seorang calon istri kepada keluarga pria itu. Dan andai ia hanya seorang Aluna, Eve yakin, mungkin hari ini Abra sendiri yang akan menjemputnya di kantor. Mengajaknya makan siang sambil bertanya kapan waktu yang tepat untuk bertemu kedua orangtuanya.

Ah, sayang sekali, sebelum ada nama Aluna, nama Evelyn terlebih dahulu berada di depan. Dan ngomong-ngomong Eve sama sekali tidak menyesali nasibnya. Tidak ingin merenungi garis keturunannya. Eve sangat bersyukur telah dilahirkan oleh keluarganya yang sekarang.

Tidak masalah jika ia tak menikah sekarang. Toh, perihal jodoh bukan ia yang mengatur. Ia tiga puluh dua tahun dan belum menikah. Lalu apa yang salah? Hidupnya masih bahagia. Dusta saja orang-orang yang mengatakan kalau dunia mereka akan runtuh jika mereka tidak bersama dengan orang yang mereka cinta. Buktinya Evelyn baik-baik saja, saat ia juga tak bersama dengan orang yang ia cinta.

Setelah udara kering menerpa kulit wajahnya, Evelyn bersiap memulai babak baru dengan kembali mencoret pernikahan di dalamnya. Tetapi lengannya tertarik ke belakang. Saat ia menoleh, ia mendapati Abra yang berdiri dengan tampang kesal.

"Kamu nggak bisa seenaknya bilang berhenti, di saat aku lagi cari cara untuk tetap melaju." Abra mengeratkan genggamannya di lengan Evelyn. "Kamu bisa menyuruh siapa aja di perusahaanmu buat berhenti atau berlari, tapi hal itu nggak berlaku samaku."

Evelyn terkesiap, ia masih memikirkan ucapan Abra. Tapi lagi-lagi, pria itu sudah melakukan hal sebelumnya tidak Evelyn perkirakan.

"Marry with me?"

"Hah?"

Mengabaikan Evelyn yang melotot tak percaya, Abra kembali menambahkan. "Nikah samaku, jadi tanggung jawabku. Jadi istriku dan bersiap terima nafkah dariku. Kamu bisa?" Mereka masih berdiri di teras restoran dengan beberapa pengunjung yang keluar masuk untuk mengisi perut. Namun Abra tidak peduli. Karena kalau sampai ia memedulikan sekitarnya, Abra takut tekadnya ini akan mengendur.

Berusaha melepaskan cekalan Abra, Eve menyerah saat lelaki tersebut sama sekali tak mengendurkan cekalannya. "Aku Evelyn, Ab. Bukan sekadar Aluna." Tekan Eve serius.

Abra mengangguk ringan. "Aku juga Abra, Lun. Dan bukan Bradpitt."

Senyum Eve mengembang tanpa mampu ia cegah. Ya Tuhan, benarkah ia akan menghabiskan waktunya dengan menjadi istri pria ini?

"Walau aku punya cita-cita nikahi Emma Watson, aku tahu diri kok, judul film dia Beauty and the beast. Bukan Beauty and the handsome."

Eve tertawa kali ini. Sepertinya menikah dengan Abra tak akan membuatnya suram. "Aku ngebayangin suatu hari nanti kamu bakal berhasil buat aku terpingkal."

Abra mengerdikan bahunya, ia menarik Eve mendekat. "Apa itu jawabannya iya?"

Tak dapat menyembunyikan sirat gelinya. Eve mengangguk. "Kalau aku peluk kamu di sini, apa itu berpengaruh sama profesionalisme kamu sebagai seorang notaries?"

Abra mendecih, dengan tampang tengil ia membawa tangannya melingkari pinggul ramping wanita itu. "Kenapa nggak ngomong dari tadi? Di cium juga boleh kok." Lalu Abra membawa tubuh Evelyn ke dalam pelukannya. Membuat wanita itu terpingkal kecil tapi tidak mengeluarkan protes.

Dalam hati, Abra ingat betul bahwa ia pernah mengolok kemesraan Wira dan Karin yang kerap berpelukan di tempat umum. Setengah mencibir bahwa mereka melakukan hal paling norak di dunia. Namun kali ini, Abra tak bisa menghentikan benaknya untuk bersyukur. Tetapi tetap ada sisi dalam dirinya yang bangga dengan pencapaian ini.

Berada di teras restoran di jam makan siang, tidak pernah senikmat ini bagi Abra. Apalagi dengan kenyataan bahwa ia tengah berpelukan dengan sosok yang lebih menggairahkan dari Dakota Johnson. Oh yeah, apa sekarang Abra boleh menyombongkan diri lebih hebat dari Christian Grey?

Fuck! Apa kini Abra harus memiliki Red Room sendiri?

Ugh! Kenapa tiba-tiba menjadi sesak begini?

Shit! Baiklah, sebelum otak kotornya mengotori kemurnian otaknya yang sekarang. Ada baiknya Abra segera mengakhiri pelukan ini. sebelum tangannya merambat dan mendorong Evelyn semakin menempel padanya.

"Tapi aku masih punya beberapa syarat," Abra mengatakan ketika mulai mengurai pelukan. Dan lipatan di kening Eve membuat Abra semakin gemas. Oh, andai ini adalah Amerika, mungkin Abra tak akan keberatan dengan mencium kening wanita itu lalu menurun hingga mempertemukan bibir mereka. "Bukan syarat sih, cuma permintaan aja." Lanjut Abra sembari mengajak Eve berjalan menuju parkiran mobilnya. "Tapi nanti aja aku bilang," menggenggam tangan Eve, Abra hanya berharap bahwa keputusan yang ia ambil ini tidak akan begitu buruk.

"Apa yang ngebuat kamu berubah pikiran?" tanya Eve berhati-hati.

Dan Abra segera menanggapi. "Aku nggak pernah berubah pikiran. Cuma mematangkan aja apa yang sebenarnya pernah aku bilang." lalu pria itu menghela sambil mengeluarkan kunci mobil dari saku celana. "Laki-laki itu paling seneng di pegang dua hal." Matanya berkilat nakal saat melirik Evelyn. "Laki-laki itu di pegang janjinya, dan satu lagi paling suka di pegang selangkangannya."

Evelyn bisa merasakan wajahnya memanas di saat itu juga. Sampai ia tak mau memandang Abra dan memilih membuang pandangan ke arah lain.

Lalu Abra segera berdeham, ia merasa perlu menyekolahkan mulutnya lagi. "Maksudnya bukan aku sih," ia melepaskan tangan Eve dan memilih mengusap tengkuknya. "Sebagian besar laki-laki gitu. Tapi bukan merujuk ke aku kok." Buru-buru Abra menimpali.

Dan Evelyn mengangguk kaku. Tiba-tiba saja, ia teringat dengan peristiwa beberapa bulan yang lalu. Bayangan mengenai dirinya dan Abra tiba-tiba saja menyusup sevara tidak tepat. Kemudian Evelyn mendesah. "Iya, aku percaya."

Abra tak mengatakan apapun dan memilih segera berjalan cepat menuju mobilnya. Tak ada perlakuan istimewa dengan membukakan pintu untuk Evelyn. Abra masuk terlebih dahulu, lalu Evelyn menyusul di belakangnya. Tidak ada percakapan berarti selama mereka berada di dalam mobil.

Tetapi Abra yang membenci kesunyian segera saja memusnahkan sepi itu. "Ngomong-ngomong, Sabtu depan ada acara nggak?"

"Belum tahu, aku lihat jadwal dulu."

Abra mengangguk, "Kalau nggak ada kegiatan, ikut aku kondangan mau?"

Eve segera menatap Abra yang tengah membuka kaca mobilnya dan memberi sejumlah uang untuk membayar parkir. "Ke mana?"

"Kakaknya temen nikah, aku di undang. Mau ikut?" tawarnya tak hanya sekadar berbasa-basi.

"Boleh," Eve mengangguk. "Nanti aku kabarin."

"Oke," tanggap Abra cepat. "Ngomong-ngomong, aku antar ke kantor lagi?"

Evelyn menggeleng, lalu menurunkan sandarannya. "Antar ke rumah mau?" Abra segera menoleh dan Eve tersenyum geli karena reaksi pria itu. "Aku lagi kurang enak badan. Kurang tidur, jadi mau pulang aja buat tidur. Semalaman begadang nyelesaikan kerjaan."

Menarik napas dengan dramatis, Abra bergidik sambil mengangguk. "Oke, ayo pulang."

Abra mengabaikan tawa Evelyn yang meledeknya. Serius, setelah tahu bahwa Aluna adalah Evelyn. Abra segera menyadari bahwa yang akan menjadi calon mertuanya bukanlah orang yang dapat dengan mudah di luluhkan. Namun Abra segera menepis pikiran itu. Sebab ada hal lain yang ingin ia beritahu pada Eve. Paling tidak agar wanita itu dapat bersiap dan memikirkan ulang mengenai baik atau buruknya pernikahan mereka nanti.

"Lun, ada yang mau aku bilang ..." Abra agak ragu mengatakannya. Tetapi ia harus mengatakan ini sebelum hal yang lebih besar ia sampaikan lagi nanti. "Aku bukan biksu, Lun. Aku punya kebutuhan." Abra berhenti sejenak untuk menilai ekspresi Evelyn sebelum Abra mengutarakan maksudnya. "Dan aku lagi nggak pengin jajan sembarangan. Kamu ngerti maksudku 'kan, Lun?"

Jika tadi wajah Evelyn hanya memerah, kini wajahnya seratus persen memanas. Ia paham apa yang Abra maksudkan.

"Dan satu lagi," Abra menahan napas. Namun ia memejamkan mata setelahnya, sepertinya yang satu ini nanti saja. "Kapan-kapan aja deh, nggak sanggup aku ngasih tau sekarang. Takut jatuhnya jadi mengekang dan ngebatasi kamu. Tapi yang jelas, waktu aku bilang nggak mau jadi biksu. Aku mau pernikahan yang sebenarnya, Lun. Ada aku sebagai suami dan kamu tahu tempat kamu sebagai istri. Aku mau nikah beneran. Bukan cuma perjanjian di atas kertas. Kamu menempatkan aku sebagai suami. Dan pelan-pelan, kita coba menyesuaikan ke mana hidup yang ingin kita tentukan."

Sederet kalimat serius Abra itu justru membuat Evelyn bungkam.

Ada pecutan yang mengenai jantungnya. Membuat bagian itu mendenyut saat ia mulai membanding alasan apa yang membuatnya meminta Abra menikahinya.

Lalu Eve paham, jika kau tak menyukai kembang api, maka jangan pernah mendekatkan lilin ke arahnya. Dan kini, Eve sendiri yang memercikan apinya, sumbunya mulai menyala. Kali ini mungkin masih terjaga kobarannya. Tapi Eve juga berfirasat, suatu waktu ia pasti akan terkena libasan panasnya.

"Bayangkan menyambut kepulanganku dengan tubuh beraroma kue, Lun. Karena aku bakal jadi laki-laki sekuat baja untuk melindungi  permaisuri di rumahku."

Kemudian Eve menutup mata, mencoba membayangkannya. Tetapi yang tergambar di benaknya justru wajah kusut Abra berbalut kecewa.

"Aku mungkin kayak gini, Lun. Pecicilan dan kurang waras. Tapi aku bisa kok berubah serius. Apalagi kalau udah berkeluarga. Cuma aku nggak bisa berubah dalam satu malam. Karena menurutku, yang bisa berubah cepet itu cuma power rangers. Dan sayang aja, aku udah lama nggak nonton itu." mengembalikan fokusnya pada jalan raya, Abra melirik Evelyn yang masih terdiam di sebelahnya. "Tenang aja, sekalipun nanti kamu pakai daster. Aku masih sanggup kok bayangin kamu pakai lingerie."

*** 

Continue Reading

You'll Also Like

286K 739 4
bocil diharap menjauh
123K 10K 83
Complete Story ada di Karya Karsa Buku cetaknya, bisa dicari di tokopedia dan shopee (@bebekz_hijau) Hai, Kenalan dulu... namaku Sandra Bayu Hutama...
97.6K 17.6K 31
COMING SOON...
193K 12.2K 57
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...