Knock Your Heart

By ndaquilla

3.2M 266K 17.9K

Sebagian BAB berada dalam Mode Private *** Yang satu tengah mencari calon suami, sementara lainnya masih berl... More

Prolog
1. Eve - Abra
2. The Game
3. And Then ... Show Time!
4. Good Night, Boy!
5. Seminggu Berlalu
6. Merana Ala Abra
7. Bagian Yang Tak Disangka
8. Kejutankah?
9. Fix! Delusi Akut!
10. Kesintingan Yang Sama
12. What?!
13. Lemah Iman
14. Evelyn Aluna Smith
15. Analogi Celana Dalam & Putri
16. Mantan & Calon Masa Depan
17. Bukan Biksu
18. Mendadak Pias
19. Gugup Part One
20. Gugup Part Two
21. Gugup Part Three
22. Menikahiku 'kan?
23. Restui Saya, Om!
24. Abra, Evelyn, Dan Dunia Yang Tak Sama
25. Abra Nikah, Mamen!
26. Hai, Istri!
27. Dua Idiot Yang Gemar Menggores Nadi
28. Dewinya Abra
29. Gangguan Fabian
30. Suami (Sah)
31. Dinding Yang Mencuri Dengar
32. Knock-knock Your Heart, Ab!
33. Telur Dadar
34. Abra Bilang "Jombelo"
35. Menyembunyikan Skandal Sang Puteri
36. Kegalauan Abra Versi Terbaru
37. Jadi gini ....
Knock Your Heart : Special Ilustration Moment
Pre Order Knock Your Heart

11. The Idiot Man

51.1K 6.3K 351
By ndaquilla

Abra mengangkat tinggi gelas cocktail di tangannya, bibirnya melengkungkan senyum sembari menyeringai geli menertawakan kesendiriannya malam ini. Telah memesan salah satu meja di bar yang menyediakan hiburan striptis paling terkenal di Ibukota, Abra harus menahan diri agar tak mengumpat ketika menyadari ia sudah berada di sini sendirian sejak hampir 90 menit yang lalu. Dan tanda-tanda kehadiran wanita itu tak juga terlihat.

"Seharusnya gue nggak usah sesemangat ini ngerjain dia," kekeh Abra sebelum memutuskan meneguk minumannya. Lalu meletakkan lagi ke atas meja dan berusaha fokus pada pertunjukkan yang sudah berlangsung sekitar setengah jam yang lalu.

Jika biasanya Abra akan sesekali bersiul ketika para penari mulai melucuti pakaian minim mereka yang tersisa, maka kali ini, Abra menatap panggung panjang tersebut tanpa minat. Bahkan ketika salah satu penari yang memang sudah Abra kenal, mengedipkan mata nakal padanya, Abra sama sekali tak bereaksi.

Sekilas pandangannya beralih pada ponsel hitam yang tak berkedip sejak ia meletakan benda itu. Setengah menahan diri untuk tak tergoda menyentuhnya, Abra kembali memfokuskan diri ke depan. Berlagak bahwa keberadaannya di sini adalah seperti malam-malam biasanya tanpa teman. Sedang meneguhkan hati, kalau setelah ini ia akan keluar dari tempat ini dengan seorang teman kencan yang sudah menjadi targetnya setelah memerhatikan beberapa saat.

Iya, biasanya Abra memang begitu.

Jika tak ada Wira yang menemani, ia hanya akan duduk santai sambil berusaha mengeluarkan segala pesonanya.

Iya, biasanya.

Tapi malam ini, Abra berbeda.

Walau ia tengah menyangkal habis-habisan, namun sesungguhnya ia memang sedang menanti kehadiran seseorang. Seorang yang telah ia kirimi alamat tempat ini lengkap dengan jam pertemuan keduanya. Seorang yang katakanlah, berhasil membuat Abra kesal sekaligus tak dapat menolaknya. Dan seseorang itulah yang kini berhasil membuat Abra sebal. Antara ingin mencekik ketika bertemu nanti, atau malau memerkosa wanita itu sampai mati.

Sial! Betapa Abra tak pernah mampu menebak apa yang dapat ia lakukan terhadap sesosok itu.

Perempuan bertubuh malaikat lengkap dengan paduan hasrat mencuat bagai godaan iblis yang mengajaknya tersesat. Dan entah bagaimana cara kerjanya, perempuan itu mampu membuat Abra berpikir waras sesaat, lalu akan kehilangan akal sehat sampai waktu yang tak ia tentukan.

Brengsek!

"Bego banget sih lo, Ab?" gerutunya pada diri sendiri setelah tak berhasil menahan keinginan untuk tak menyentuh ponselnya. "Awas lo ya, kalau banyak alasan, gue blokir nomor lo." Lanjut Abra menggerutu sambil menyambar ponselnya.

Membuka aplikasi pesan singkat di sana, Abra segera mengetik beberapa kata pada profil bergambar taman bunga sebagai fotonya. Cih! Sama sekali tak menarik!

Abra : kalau nggak bisa datang, seharusnya bisa kasih kabar.

Tulis Abra secepat mungkin, dan tanpa merevisi tanda baca atau kalimatnya lagi, pria tersebut langsung mengirimnya. Jeda satu menit hingga Abra masih meneruskan menatap layar ponsel. Dan sampai waktu itu pula, pesannya sama sekali belum di baca.

Hingga kemudian Abra mengumpat dan memilih menghubungi wanita itu langsung. Lalu suara operator yang terdengar membuat Abra setengah mati geram karenanya.

"Shit! Pakai nggak aktif pula!" Abra masih berusaha menenangkan diri, menatap datar ponsel yang kini ia genggam erat. Saat ponsel itu masih menyala, Abra melihat sudah lewat dari jam sebelas malam. Dan ia merasa sudah sangat tak tertarik berada di sini.

"Hey, mau ke mana?"

Sebuah tangan menginvasi bahu Abra yang sudah hendak beranjak, kuku-kuku berkutek merah langsung terlihat begitu wanita tersebut melebarkan rabaannya.

Abra berdecak, lalu menyingkirkan tangan itu dari atas bahunya. "Gue mau balik," kata Abra enggan menoleh. Abra mengenal wanita ini, jadi tak perlu merasa kaget ketika mendapatkannya begini. "Stok cewek-cewek di sini udah mulai nggak asik, lo rekomen dong ABG-ABG tanggung yang suka jejeritan heboh buat di pajang gantiin yang tua-tua."

Kekehan manja wanita tersebut terdengar samar di telinga Abra, namun pria itu tak menanggapinya. Ia bersiap berdiri, ketika ponsel di tangannya bergetar. Secara refleks, Abra langsung mengusir wanita yang berusaha menggodanya. Setengah berharap bahwa panggilan itu dari Aluna, dan harus menghela pendek ketika nama Wira tertera di sana.

Sambil melangkah keluar dari klub malam yang tak mampu membakar semangatnya, Abra mengangkat panggilan dari temannya itu.

"Apa?" katanya langsung.  Mengabaikan fakta bahwa kini ia masih berada di ruangan penuh musik yang memekakan telinga.

Tak ada kekehan dari seberang ponsel seperti yang biasa Abra dengar bila mendapati Wira menghubunginya di Sabtu malam untuk meledeknya sementara Wira sedang bersama kekasihnya.

"Amar masuk RS, Ab. Baru balik sore tadi, kena DBD atau tifus gitu pas bininya nelpon gue."

"Hah, serius?" Abra sudah berada di luar. Dan sedang berjalan menuju tempat parkir. "Jadi lo di mana nih?"

"Gue sama Karin lagi mau oteweh ke sana, lo di mana?"

Abra melirik jam di pergelangan tangannya. "Bukannya jam besuk udah lewat ya, Wir? Mana bisa jenguk."

"Rumah sakit saudaranya si Kenya kalau nggak salah, jadi nggak masalah sih kita ke sana tengah malem gini. Jam sepuluh tadi katanya dia masuk RS."

Abra menghela, tentu saja. Mengapa ia bisa lupa, betapa kayanya keluarga istri Amar itu. Lagi pula, Amar juga seorang dokter, pasti ada hak istimewa mengenai jam besuk pasien. "Okelah, gue ke sana juga." Abra memutuskan cepat. "Lagian, malam minggu kan malam yang panjang ya, Wir? Walau buat gue yang nggak pacaran." Ia sengaja menyindiri Wira.

Lalu temannya itu hanya tertawa menanggapi. "Kata Karin, lo jomblo paling laris tiap weekend, jadi nggak usah sok kesepian."

"Sialan!" Abra terkekeh, ia sudah menemukan di mana ia memarkir kendaraannya. "Ya, udah, gue berangkat ini."

***

Eve sedang mengelus-elus perut buncit Kenya dengan setengah hati. Entah apa yang terjadi pada sepupunya ini, tiba-tiba saja ketika Eve dan beberapa anggota keluarganya datang untuk melihat keadaan Amar yang baru saja kembali dari tugas kemanusiaannya di salah satu desa pedalaman di pulau Kalimantan, terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit, setelah Kenya menelpon heboh dan mengatakan bahwa tubuh suaminya mendadak seperti bara. Dan kebiasaan baru yang tengah di gandrungi Kenya, cukup membuat Evelyn jengah.

Apa-apaan wanita hamil itu! seenaknya saja, menyuruhnya mengitari perut berisi janin yang sibuk bergerak tiap kali Eve mengusapnya.

"Ini mau sampai kapan sih, di elus gini? Aku pegel." Keluh Eve dengan mata mengantuk. Beberapa waktu lalu, ia mungkin sempat takjub ketika menyadari ada yang bergerak-gerak di bawah telapak tangannya. Namun sekarang, ia pegal juga, karena Kenya tak memperbolehkannya berhenti.

"Sampai aku tidur, nggak bisa tidur sekarang kalau nggak di elus-elus, Eve."

Evelyn mencibir, matanya memutar dan ia melihat bahwa Amar masih memejam setelah obat dan suntikan disarangkan dalam tubuh pria itu. "Kok bisa sakit sih dia? Percuma dokter." Gerutu Eve jengkel, namun tetap diliputi kasihan pada sosok itu.

"Namanya dia manusia, dodol!" tangan Kenya bergerak ringan menoyor kepala Eve, yang langsung di hadiahi pelototan mengerikan oleh yang bersangkutan. Kenya hanya memberi cengiran saja, lalu kembali menyandarkan kepalanya di atas sandaran sofa. "Di sana banyak nyamuk, Eve." Giliran Kenya yang mengeluh. "Padahal udah pakai lotion anti nyamuk, tapi nyamuk sana lebih ganas-ganas kalau siang."

"Wah, jadi nggak bisa kamu taklukin dong? Kan biasanya kamu suka naklukin yang ganas-ganas kalau malam. Karena siang, jadi nggak bisa ya?" Eve mencibir sementara Kenya tergelak di sebelahnya.

"Ini mulut kalau ngomong sadis ya?" Kenya tertawa, kakinya sudah ia selonjorkan pada meja di depan sofa yang mereka duduki. "Anakku hebat lo, Eve," Kenya berkata, Eve sudah melepaskan tangannya dari perut wanita itu. "Malah sehat banget di bawa jalan-jalan ke pedalaman gitu. Eh, malah papanya yang keok, nggak asikkan?"

"Memang," Eve mendesah. Lalu ia menatap Amar di atas ranjang kecil dengan pergelangan tangan tersambung infuse. Banyak hal yang tengah dipikirkannya sekarang ini. Beberapa bahkan belum dapat ia selesaikan dengan baik. Termasuk dengan janjinya pada Abra.

Yeah, seharusnya ia menemui Abra sesuai janjinya. Namun kepulangan Kenya dan sakit yang menimpa Amar tak mungkin ia abaikan begitu saja. Ia memilih tetap waras dan bersama keluarganya. Daripada menemani kegilaannya demi mencipta kepuasan untuk membenarkan apa yang ia lakukan.

"Ada yang mau kamu omongin nggak?" Kenya menyela lamunan Eve, menyadari sepenuhnya, bahwa sang sepupu memiliki banyak hal yang ingin diucapkan. "Kita udah lama nggak ketemu. Banyak hal kan pasti yang udah terjadi dalam kurun waktu itu?"

"Banyak," gumam Eve berterus terang.

"Dan salah satunya?" pancing Kenya ingin tahu. "Tentang Dylan?" keenggan Eve dalam menjawab pertanyaannya sudah membuat Kenya menyimpulkan sendiri. "Kenapa lagi?" desaknya ingin tahu. "Masih belum nikah juga dia?"

Mau tak mau Eve terkekeh pelan, nada yang digunakan Kenya benar-benar menunjukkan ketidaksukaannya terhadap masalah tersebut. "Kalau aku yang nikah duluan, gimana menurut kamu?"

Praktis, Kenya menarik kakinya dari atas meja. Bersusah payah melipat kaki tersebut untuk bersila, Kenya benar-benar memfokuskan dirinya pada Evelyn. "Udah ada calonnya?" Eve hanya menyeringai, namun hal itu justru membuat Kenya memekik heboh. "Ya ampun ... berapa abad sih aku ikut si Amar? Kenapa pas pulang nemu mukjizat gini?!" teriaknya hiperbolis. Bahkan lupa kalau sekarang sedang berada di rumah sakit dan yang tengah terbaring di sana itu adalah suaminya sendiri. "Aku inget-inget deh, ada kebaikan apa ya yang udah kubuat selama di sana? Sampai dapat berkah kayak gini." Kenya masih terkikik, sementara Eve hanya mendengus saja. "Jadi sama siapa?"

Kenya sangat tahu, Evelyn adalah sosok yang tak akan pernah membual sekalipun hal itu untuk menyenangkan seseorang. Jadi, saat sepupunya itu mengatakan hal tersebut, Kenya sama sekali tak berpikir dua kali untuk mempercayainya. Eve adalah salah satu dari sedikit orang yang Kenya percaya seumur hidupnya.

"Seseorang ..." Eve menjawab mengambang, membuat Kenya penasaran setengah mati. Apalagi, melihat ekspresi yang Eve tampilkan saat ini. Serius, segaris senyum tersirat di wajah kaku itu benar-benar membuat Kenya gemas.

"Dan orang itu adalah ..." sengaja Kenya membalasnya dengan pertanyaan menggantung yang serupa.

Eve berpaling, bahunya mengerdik pelan. Sementara sejumput senyum tipis masih tertera di sana.

"Evelyn ... ya ampun... tolong ya, buat ibu hamil penasaran itu dosa." Kenya mencebik gemas.

"Belum ada undang-undang yang mengatur hal itu. Aku tidak akan terpancing." Tanggap Eve cepat.

Lalu Kenya membuat wajah masam, namun tak bertahan lagi, karena beberapa saat setelahnya ia kembali merecoki Evelyn mengenai siapa sosok itu. Tetapi Eve tidak sempat menjawabnya, karena ketukan pada pintu membuat keduanya memusatkan perhatian pada orang yang sedang mencoba masuk ke sana.

"Masuk aja!" Seru Kenya tak tampak kelelahan. "Kayaknya temen-temennya Amar deh, tadi aku sempet nelpon salah satunya." Jelas Kenya memperbaiki posisi duduknya.

"Atau Al," Eve menambahkan. "Al dan Wildan sepakat menunggui Amar malam ini. Jadi, kamu bisa pulang ke rumahku. Karena Mama berniat mengurusmu selama tante Sarah masih berada di Milan."

Ibu Kenya adalah seorang designer. Dan sedang berada di Milan dalam rangka reuni seangkatan entah tahun berapa di sana. Sementara Wildan adalah Adik kandung Kenya.

"I love tante Alif," kekeh Kenya setengah berseru.

Dan benar saja, adalah tampang-tampang yang mereka kenal saat masuk ke dalam ruang inap. Ada Alaric dengan jaket tebal berwarna hitam yang membungkus tubuh pria muda itu dalam paduan yang begitu mengagumkan. Lalu Wildan yang berusia setahun di bawah Eve, menenteng selimut tanpa mau repot-repot membawa tas. Benar-benar kerjaan laki-laki, malas sekali di repotkan dengan tetek bengek mengenai berbagai hal sepele seperti membawa selimut di dalam tas.

Eve dan Kenya sedang melempar cengiran ke arah dua lajang tersebut, namun langsung surut, begitu melihat dua sosok yang berdiri di belakang mereka.

"Hai, Mbak," senyum canggung wanita muda tersebut sangat berbeda dengan tatapan datar pria di sebelahnya. "Tadi sewaktu Mas Dylan mau nganter aku pulang, Mas Al nelpon, dan kebetulan kami nggak jauh dari rumah sakit. Jadi aku ikut dulu buat jenguk Mas Amar." Jelas wanita muda itu tanpa di minta. Seakan kalau ia tak menjelaskannya, semua yang berada di sana akan bergerak salah sangka.

Namanya Antissa Dera Wardhana, sosok yang belakangan ini mulai membuat Eve jengah.

"Iya, nggak apa-apa, duduk sini, Tis!" Kenya bisa saja mengakui tak menyukai Tissa secara pribadi. Namun alasan yang membawa wanita itu kemari, adalah sesuatu yang membuat jiwa kemanusiaannya mengangguk sopan.

Sementara Tissa bergerak menuju tempat di mana Eve dan Kenya berada, Dylan masih berdiri kaku di ambang pintu.

Lalu Evelyn bangkit ketika Tissa hampir mencapai tempatnya. Sambil meraih dompetnya di atas meja, Eve melempar senyum kecil pada Wildan yang mengangkat satu alis kepadanya. "Aku beli minuman dulu ya, untuk kita?" ucap Eve seraya bergerak menjauhi sofa yang tadi sempat membuat rasa kantuknya datang. "Aku samakan aja ya semua pesanannya?" lagi-lagi ia bertanya, walau ia sendiri tahu, ia tak membutuhkan jawaban 'Iya' dari mereka.

Anggaplah ia kekanak-kanakan, Eve tak akan keberatan kali ini. Karena jujur saja, berada dalam satu ruang yang sama dengan wanita muda itu belum ada lagi dalam agenda yang disusun Eve di waktu dekat ini. Telinganya seakan masih berdenging nyeri, mengingat semua kata yang sebelumnya sempat terlontar dari sosok mungil yang duduk sopan di sebelah Kenya.

Tepat, di tempat yang tadi ia duduki. Meringis sendiri, Eve mencoba mengabaikan Dylan sepaket dengan tatapan pria itu yang menatapnya lurus. Eve sedang dalam mood yang tak baik untuk kembali berdiskusi dengan pria tersebut.

"Kak, sekalian kalau ada makanan atau roti, beli ya?"

"Sip!"

Bahkan Eve tak mau untuk sekadar menoleh pada adiknya. Sialan betul mood-nya ini. Luar biasa mengolok-olok dirinya. Baru beberapa menit lalu, Eve tertawa lepas. Namun kini, ia harus mengkerut masam.

Dan ketika Eve hendak melewati Dylan, pria itu langsung memberinya jalan. Eve sudah berpikir bahwa Dylan akan mencegahnya, namun tampaknya pikiran Eve kali ini meleset. Alih-alih mencekal lengannya, Dylan justru memuluskan langkahnya yang menderap pergi.

Ah, ternyata Dylan pun merasa perlu menjaga jarak ya darinya? Tentu saja begitu, bukankah memang sudah selayaknya seperti itu?

Setengah menertawakan dirinya sendiri, Eve menggeleng pedih terhadap hal-hal mustahil yang bersarang di kepalanya. Namun seketika saja langkah tenangnya, harus berhenti mendadak ketika suara berat di belakang punggungnya mengalun.

"Tis, aku bantu Eve untuk bawa minuman buat kita ya?" pamit suara itu singkat. Lalu bergegas melangkah, mengikuti jalur yang Eve telusuri.

Eve terdiam.

Dan langkah pria itu melambat. Berdiri di samping Eve, Dylan menghela napas sebelum menoleh pada wanita berkuncir satu itu. "Berhenti bersikap begitu," bisik Dylan sembari mengamit lengan Eve agar kembali memulai langkah dengannya. "Dia tidak bersalah, Eve. Aku yang membawanya masuk."

Eve menipiskan bibir mencerna ucapan Dylan. Teguran pria itu, dan semua kata yang tertuju padanya, semata-mata hanya untuk membela wanita itu. Lalu Eve merasa muak.

Menyentak tangan Dylan, Eve berjalan beberapa langkah lebih dahulu dari pria itu. Hal itu ia gunakan, untuk meminimalisir gemuruh yang hendak meledak. Ia tak mau mengakuinya, tapi ada satu sisi di hatinya yang tak terima bahwa Dylan membela wanita lain di depan dirinya. Anggaplah Eve egois, ia tak ingin mengingkarinya.

"Eve," Dylan berusaha menarik bahu Eve. "Bukan begitu. Dengarkan, aku?"

Ck, yang paling menyedihkan di antara hubungan rumit ini. Hanya Dylan satu-satunya yang mampu memahaminya. Menyedihkan!

"Evelyn—"

"Berhenti membelanya!" bentak Eve setelah mereka sudah berbelok untuk meneruskan langkah menelusuri lorong lainnya. Ia sudah berbalik menghadap Dylan yang tetap saja menampilkan raut tenang yang kini mulai membuat Eve muak. "Aku memang sedang bersikap kekanak-kanakan, Dylan. Jadi, tolong ... biarkan saja aku dengan segala sikap labilku ini!" hardik Eve berusaha mengontrol emosi yang tidak sepantasnya. Lalu tempo suaranya mulai normal. "Aku hanya kesal, Lan. Dan itu karena semua kata yang sudah keluar dari bibirnya, mengenai aku dan semua beban dalam hubungan kalian." Kata Eve merana.

"Tidak ada yang menganggapmu begitu, Eve." Dylan meralat kesimpulan yang Eve ambil sendiri. "Dia tidak bermaksud mengatakan hal demikian."

"Tapi aku sudah terlanjur berpikir begitu, Lan!" Eve membantah Dylan cepat. "Aku tidak pernah ingin menghambat pernikahan siapapun hanya karena keadaanku yang belum menikah," bisik Eve tercekat. Tiba-tiba saja, ia merasa menjadi beban banyak orang hanya karena tak menikah di usia yang katakanlah setua ini. "Bukan mauku begini," lalu sepertinya perasaan melankolis yang biasanya segera ia depak pergi, merangkul Evelyn begitu erat. Hingga Eve merasa kewalahan untuk menghalau perasaan itu. "Bukan mauku, Lan."

Kesedihan akan nasib dan juga percintaannya, membuat jiwa kedinginan. Apalagi setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, sosok yang biasa merengkuh kerapuhannya telah bergerak jauh dengan menggandeng tangan lain yang bukan miliknya.

"Aku wanita normal, di saat semua teman sebayaku menargetkan angka 25 sebagai waktu yang tepat untuk memulai babak baru, aku pun sama." Bohong, jika Eve berkata ia tak ingin menikah di penghujung usia dua puluhan. Sekuat-kuatnya ia sebagai wanita, ada kalanya ia memimpikan sebuah pesta lengkap dengan pelaminan dan seorang mempelai pria yang akan menemaninya duduk di atas sana. Tapi lagi-lagi, semesta begitu kuat menentang keinginan sederhananya itu. Hingga harus berkali-kali pula, Eve merasa tersungkur karena angannya tidak sampai di saat itu. "Tolong, jika tidak bisa membahagiakanku. Maka jangan, melukaiku."

Lalu Dylan membeku.

Hatinya menggigil tak wajar melihat Eve telah bersimbah air mata. Ada tusukan kecil namun begitu dalam yang terasa melubangi hatinya.

Evelyn ...

"Aku juga ingin menikah, Lan. Aku juga mau menikah," Eve kembali berbisik. Dan kali ini terasa begitu menyayat hati. "Tapi dengan siapa aku harus menikah? Kalau tidak seorang pun pria yang kamu ketahui sedang dekat denganku." Putus Eve mengiba.

Lalu, suara yang keluar dari keremangan tempat ini membuat Eve maupun Dylan menegang secara bersamaan.

"A—aku," kata suara itu terbata.

Kemudian, sosok yang sama sekali tak pernah Eve perkiraan, ada di sana. melangkah dekat ke arahnya.

"Aku orang itu." Ulang suara tersebut dengan yakin, sementara senyum yang tadi ditahannya berangsur terbit. "Bukannya kita udah berencana menikah, Lun?" kata sosok asing tersebut dengan penuh kepercayaan diri. "Maaf ya, tadi nggak bisa langsung datang sewaktu kamu ngehubungi." Lalu sosok tanpa nama tersebut menampilkan wujud sempurnanya. Dan tanpa sungkan, melingkari pinggang wanita yang sebelumnya masih terguguh pilu dengan lengan kanannya. "Tapi sekarang aku udah datang kok, kamu tenang aja."

Dan dengan tak tahu dirinya, Abra mengecup puncak kepala Evelyn.

"Hai, bro, gue Abra."

Lalu dengan santai, ia memperkenalkan diri pada Dylan. Seratus persen mengabaikan raut kebingungan yang tercetak jelas di antara dua manusia yang sebelumnya terlibat pertengkaran hebat.

Yeah! He is Abra.

Fix! The idiot man!

***

Eh, aku mau nyanyi lhoooo ...

Seiring berlalu ... bergulirnya waktu ... membuka rahasiaa ... diantara kita ...
Pastinya kan adaa ... hati yang terlukaaa ... menerima semua kenyataan yang adaa ...

Hahahaaa... apaa bangeett yaa kan... tapii cocok lhooo liriknya sama kelakuan mereka-mereka ini. lagunya merpati band yaa, yang judulnya selingkuh itu indah. Hahahaha ...

Continue Reading

You'll Also Like

702K 1.9K 22
WARNING!!! IAM COMEBACK AWASSS BASAHH!! Jangan Dibaca semuanya sesat Sudah ada peringatan!!! kalau bermaksud me-REPORT cerita gw mending skip
138K 6.4K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
2.4M 12.8K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
577K 55K 123
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...