PainHealer

By norsamora

84.6K 4.4K 191

[15+] PAIN SERIES #4 Aku hanya ingin membuat seseorang tersenyum tanpa membuat orang lain menangis. . . . Aku... More

Prolog
Betony
Camellia
Flax
Hyacinth
Forget-Me-Not
Spearmint
Oleander
Sweet Pea
Fig
Gillyflower
Hydrangea
Rosemary
Mistletoe
Snowdrop
Love-lies-bleeding
Chrysanthemum
Rose Leaf
Love-in-a-mist
Sweet William
Iris
Dandelion
Zinnia
Lily of the Valley
Epilog

Daffodil

2.4K 152 14
By norsamora

Daffodil memiliki arti cinta bertepuk sebelah tangan. Seperti senja yang merindukan secangkir teh yang tak pernah diseduh. Seperti mentari yang mendambakan sebuah kota yang tak memiliki pagi. Atau, seperti sebatang pohon yang menantikan nyanyian seekor burung kecil yang bisu. Memang ada banyak hal yang tidak mendapat balasan yang diharapkan.

***

AUTHOR’s POV

“Akhirnya UTS selesai!!!” Lia bersorak bahagia. Rasanya semua bebannya seminggu penuh hilang sudah. “Kita makan di─loh, Nggi mau kemana? Buru-buru banget?”

“Rumah sakit.” Anggi pun berlari menyusuri koridor sekolah yang masih ramai oleh siswa-siswi yang baru selesai Ulangan Tengah Semester.

“Sibuk banget si Anggi ke Rumah sakit mulu.” Jasmine mendesah pelan. “Dia sakit apa sih? Atau ada sanak keluarganya yang sakit? Perasaan beberapa hari yang lalu gue kerumahnya semua anggota keluarganya baik-baik saja.”

“Entahlah.” Lia mengendikan bahu acuh tak acuh. “Ayo, kita makan ke tempat biasa.”

“Lily tidak ikut.”

“Kenapa?” tanya Jasmine dan Lia bersamaan.

“Lily bosan makan. Udah ya, bye!!” Lily pun berlari ke arah yang sama dengan yang Anggi lewati.

“Bosan makan?” Lia membeo dengan wajah tak percaya yang luar biasa. “ALASAN MACAM APA ITU?!! GAK ADA MANUSIA YANG BOSAN MAKAN!!!”

“Yaudahlah kita berdua aja lagi.” Jasmine pun menarik tangan Lia yang masih terlihat tidak terima dengan alasan bosan makan.

***

Lily berhasil menyusul Anggi dan disinilah mereka berdua sekarang, di mobil Anggi dalam perjalanan menuju Rumah Sakit tempat Kala di rawat.

“Keadaan Kala semakin kesini semakin buruk.” Anggi membelokkan mobil ke sebuah Rumah Sakit ternama di Kota itu. “Tidak ada kemajuan.”

“Lily tidak bertanya,” sahut Lily datar dan dingin. Ada perasaan sesak menyelimuti gadis itu saat mendengar keadaan Kala yang katanya tidak baik. Pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi kepalanya.

“Ini bukan salah lo.” Anggi melepas seat belt lalu menoleh untuk menatap Lily yang berekspresi keras. “Kehadiran lo memberinya semangat. Gue terima kasih banget sama─”

“Tapi tidak ada kemajuan, ‘kan? Lantas apa gunanya semangat itu?” Lily tanpa sadar meneteskan setitik air mata. “Semua akan bernilai kalau dia sembuh, Nggi. Mau dia sesemangat apapun buat sembuh, kalau tidak ada perubahan apa gunanya?!”

Anggi tertawa miris. Lalu memasang wajah datar dan dengan cepat menampar pipi Lily. Tidak kuat tapi tetap saja rasanya sakit. “Kalo ngomong pake perasaan sedikit. Oke?” Lalu Anggi keluar dari mobil. Meninggalkan Lily yang terkejut sambil memegangi pipinya yang terkena tamparan.

Lily sedikit kesulitan mengejar langkah Anggi yang tergesa-gesa. Hingga semakin dekat dengan ruangan Kala, Lily tidak lagi memedulikan Anggi yang sudah berjalan cukup jauh. Tiba-tiba Lily menjadi ragu. Sudah seminggu bahkan lebih dia tidak menjenguk Kala sejak hari ia diberi momentum untuk mengatakan sesuatu yang begitu membangun semangat lelaki itu untuk sembuh. Semangat besar pertama dalam hidup Kala.

“… Apa ini benar?” Lily bergumam pelan. Dengan lemah terduduk di kursi tunggu yang disediakan di koridor Rumah Sakit. Perasaan yang sama seperti dulu kembali; Rasa tidak berguna dan hanya menjadi parasit. Rasa akan membenci dirinya sendiri.

Terlalu sibuk dengan pikirannya, Lily tidak sadar seorang wanita menghampirinya. Wanita cantik dengan seragam kerjanya yang kasual. Wanita itu adalah Ibunya Kala.

“Lily kenapa disini?” tanyanya menyadarkan Lily dari pikiran yang bergema nyaring di dalam kepala. “Tidak masuk ke dalam?”

“Nanti keadaan anak Tante semakin buruk jika ada Lily.” Lily berucap datar, mengundang tawa kecil dari bibir wanita paruh baya itu.

Wanita itu mengusap lembut rambut kecoklatan Lily. Begitu pula dengan sorot matanya yang tak kalah lembut menatap Lily yang menunduk dalam. Sisi keibuan miliknya tak bisa ditahan lagi, maka dari itu ia menarik Lily kedalam pelukannya. Memberikan kehangatan yang ia miliki.

“Kamu adalah sisa semangat dari Kala. Ketidakhadiranmu yang selama ini membuat keadaannya memburuk.” Wanita itu berkata dengan suara yang lembut dan menenangkan. “Dari dulu, hanya satu orang yang Kala ceritakan dengan semangat. Orang itu kamu, Lilyana. Dia tidak pernah merasa sakit jika menceritakan dirimu, selalu tersenyum dan semangat. Jadi, Tante mohon, jangan menganggap dirimu buruk di dalam hidup Kala.”

Lily tidak mengucapkan sepatah katapun untuk menanggapi pernyataan dari Ibunya Kala. Lebih tepatnya mungkin ia tidak tahu harus mengatakan apa. Selama ini, jujur, Lily menganggap Kala adalah hal terburuk dalam mimpi indahnya. Ia selalu menghindari sesuatu yang berhubungan dengan Kala. Jika bisa, ia bahkan ingin sekali melupakan semua tentang Kala. Tak pernah Lily merasa sejahat ini.

“Selain itu, kamu adalah cinta pertamanya.” Wanita itu tertawa begitu Lily melepaskan pelukannya dengan raut terkejut yang lucu dimatanya. Ia menangkup wajah Lily sambil tersenyum tulus. “Terima kasih sudah hadir di dalam hidup anak saya, Lilyana.” Kedua mata wanita itu menyendu, jemarinya mengusap wajah Lily yang berkulit pucat. “Saya sangat berterima kasih. Berkatmu, hidup anak saya menjadi lebih berwarna.”

“Lily tidak pantas menerima itu.” Lily menjauhkan dirinya, lalu membuang muka tidak sanggup menatap kedua mata hangat wanita dihadapannya. “Untuk beberapa alasan, Lily sangat tidak pantas menerima rasa terima kasih dari Tante. Lily tidak sebaik yang Tante lihat.”

“Kala tidak masalah kok cintanya tidak terbalas. Uhm … Tante rasa begitu.”

“Ini lebih buruk dari sekedar cinta tak terbalas, Tante.” Tawa sinis keluar dari bibir Lily. Ia bangkit dari tempatnya dan dengan gaya arogan berjalan meninggalkan rumah sakit. Meninggalkan wanita itu yang saat ini mengusap kasar wajahnya dengan sorot mata hampa.

***

Lily terduduk lemah di koridor Rumah Sakit yang sepi dilewati orang-orang. Disana Lily menumpahkan semua perasaannya melalui air mata. Batinnya berteriak keras hingga tubuh mungil itu gemetar. Sekuat tenaga isak tangis ia tutupi dengan kedua tangan agar tak ada seorang pun yang mendengar.

Tapi, sebesar apapun upayanya bersembunyi, seseorang masih bisa menemukannya. Orang yang tak ia sangka akan berada disana saat ini.

“Gue benci banget liat lo nangis, Ly.” Jasmine berjongkok didepan Lily, mengusap air mata gadis itu dengan ibu jarinya. “Gak usah kaget gitu. Lo gak lupa Magnolia itu siapa, ‘kan? Tidak sulit mencari tahu masalah kalian berdua.”

Lily menatap datar Jasmine yang terlihat sangat khawatir dengannya. Lalu, Lily melihat ke kanan dan kirinya, mencari keberadaan Lia yang pasti juga ada didekat mereka.

“Lia tidak ingin ikut campur lebih dari ini katanya. Dia berada di kantin Rumah Sakit.” Jasmine menjawab pertanyaan yang tak diutarakan oleh Lily. “Ly, lo tahu kalau elo itu sama berharganya dengan Mama gue, ‘kan? Melihat lo terluka kayak gini rasanya seperti melihat Mama gue terluka.” Jasmine menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Gue sayang sama lo dan gue gak mau lo terluka. Lo terlalu berharga untuk disakiti.”

Dan, selanjutnya Lily terbelalak merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Jasmine menciumnya tepat di bibir. Dengan sekuat tenaga Lily mendorong tubuh Jasmine hingga terjatuh.

“APA YANG KAMU LAKUKAN HAH?!” Lily yang merasa cukup tertekan dengan pikirannya kini merasa akan meledak sebentar lagi. “KAMU PIKIR APA YANG KAMU LAKUKAN, JASMINE?!!” Lily mengusap kasar bibirnya sambil menangis. “JANGAN BERCANDA!!!”

“Gue gak bercanda. Gue beneran sayang sama lo.” Jasmine mencoba mendekat tapi Lily menatapnya penuh peringatan. “Silahkan lo jijik sama gue. Tapi, itu benar adanya.”

“Kenapa … kenapa kalian semua bisa melihat Lily setinggi itu? LILY CUMA BRENGSEK YANG GAK BERGUNA! KALIAN HARUSNYA TAHU ITU!!!” Lily menangis kencang. Tubuhnya semakin gemetar. Pikirannya sangat kacau. “Gak ada yang bisa Lily lakukan dengan baik. Semuanya selalu hancur! Tragis! Berantakan!! GAK ADA YANG BERJALAN BAIK!!!” Air mata mengalir semakin deras, menganak sungai di kedua belah pipinya.

Perlahan, Jasmine mendekat dan mengusap punggung mungil Lily. Jasmine tidak kaget atas cintanya yang tidak terbalas, ia sudah memprediksi itu. Sebenarnya, ia mau memendam rasa cintanya kepada Lily selamanya. Tapi, melihat keadaan Lily yang sangat hancur dimatanya, ia jadi ingin mengatakan perasaannya yang sebenarnya. Jasmine hanya ingin mencintai dan menjaga seseorang yang berharga di hatinya.

“Gue tidak memaksa jawaban. Gue udah tahu jawabannya apa.” Jasmine berkata pelan. Tak munafik, ia merasa patah hati juga. “Yang penting lo tahu, disini ada gue yang selalu sayang sama lo. Selalu ada buat lo kapanpun. Jadi, jangan menangis sendiri kayak gini lagi. Apalagi beranggapan buruk tentang diri lo, sama sekali jangan.” Jasmine meraih tangan Lily dan menggenggam erat. “Lo itu lebih dari apa yang diri lo sendiri bayangkan. Orang-orang yang pernah merasakan kebaikan lo pasti akan setuju dengan apa yang gue ucapkan. Jadi, jangan berpikiran seperti itu lagi.”

Lily menoleh menghadap Jasmine, menatap gadis itu dengan nanar. Dengan kasar ia menghempas tangannya yang digenggam Jasmine. “Tidak perlu menghibur Lily. Jangan bohong, di matamu juga pasti Lily jahat banget, ‘kan?”

“Barangkali lo yang harusnya tidak perlu menjelek-jelekkan diri sendiri. Gue dan yang lainnya gak suka itu!” Jasmine mulai terbawa emosi. “Kita semua yang ditolong sama lo tulus berkata terima kasih dan menyampaikan rasa sayang kami. Lo gak bisa menerima sedikit saja? Lo gak bisa buka tuh hati seenggaknya sama kata ‘terima kasih’, hah?!” Jasmine merasakan kedua matanya memanas. “Lo yang kayak gini malah bikin penderitaan orang-orang yang sayang sama lo itu bertambah! Tolong, sedikit cintai diri lo dan katakan ‘sama-sama’ pada semua rasa terima kasih yang lo dapat.”

“Kamu gak ngerti─”

“LO YANG GAK NGERTI, LY!” Jasmine mengepalkan kedua tangannya. Air mata mengalir juga dari matanya. “LO GAK NGERTI BETAPA SAKITNYA PERASAAN KITA SEMUA YANG TIDAK TERBALAS! APA SUSAHNYA BERKATA ‘SAMA-SAMA’ TANPA MENDENGAR LO MENGHINA DIRI LO SENDIRI HAH?!”

Lily terdiam, tenggelam dalam tangisan juga pikirannya. Jasmine menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum bergerak memeluk tubuh Lily. Menyalurkan kehangatan yang ia punya untuk Lily.

“… Terima kasih sudah membuatku mencintaimu.” Jasmine berucap sangat lirih.

“Ya, sama-sama ….” Lily membalas pelukan Jasmine dengan ragu. Apa benar menerima rasa terima kasih yang ia rasa tidak pantas mendapatkannya? Apa benar ia berkata demikian? Bagaimana jika ternyata memang ia tidak pantas? Pikiran Lily penuh sekali.

“Terima kasih,” ucap Jasmine sekali lagi terdengar lebih tulus.

“... Sama-sama.” Lily membalas sekali lagi. Terdengar tidak seragu sebelumnya, tapi cukup membuat Jasmine tenang.

Jasmine pikir ini sudah bukan tentang perasaannya yang dibalas atau tidak. Tapi, tentang membuka mata dan hati gadis di dalam pelukannya bahwa ia berharga dari apa yang dipikirkan.

***

“Kak Mira tumben gumam-gumam lagu anak-anak gitu.” Rion yang tengah menyantap kue di ruang makan menegur Miranda yang muncul sambil menggumamkan lagu Twinkle-Twinkle Little Star.

“Tadi Kak Mira lewat kamar Lily dan dia lagi mainkan lagu itu dengan pianonya. Tapi, terdengar agak sedih entah kenapa.” Miranda menarik piring Rion dan memakan kue milik lelaki itu. “Tetap sih permainan pianonya Lily selalu oke.”

“Gak mungkin,” gumam Rion dengan kening berkerut. Bahkan ia sampai tidak memikirkan kue terakhir miliknya yang dimakan oleh Miranda. “Lagu itu adalah lagu yang paling Lily benci. Tuh anak punya dendam gede banget sama lagu itu.”

“Memangnya kenapa?” Miranda bertanya kepo.

“Lily tidak pernah mau membicarakannya. Yang pasti dia tidak suka lagu itu.” Rion menatap Miranda dengan penuh selidik. “Kak Mira sudah korek kuping hari ini?”

“Astaghfirullah! Kak Mira yakin banget itu beneran lagu Twinkle-Twinkle Little Star!” Miranda mempertahankan kebenaran dari apa yang ia dengar dan katakan.

“Tau ah. Gak percaya gue sebelum dengar sendiri.” Rion bangkit dari tempatnya, meninggalkan Miranda yang mendumel pelan karena diragukan.

Tapi, saat Rion sampai di depan kamar Lily, hanya ada keheningan disana. Membuat laki-laki itu yakin sekali jika Miranda memang salah dengar atau barangkali sumbernya bukan dari kamar Lily melainkan tetangga atau seseorang yang menyetelnya. Tapi, semua orang di rumah ini tahu kebencian Lily terhadap lagu itu jadi tidak mungkin.

Rion ingin mengetuk pintu Lily, tapi entah kenapa diurungkan niatnya. Ia lebih memilih pergi dan menganggap apa yang dikatakan Miranda sebagai khayalan belaka.

Lalu, di dalam kamar itu, Lily menangis dengan isak tertahan setelah menyelesaikan lagu yang sudah sangat lama ia benci dan hindari. Twinkle-Twinkle Little Star.

***

#CATATAN MORA#

Bagi homophobes, kalian tidak salah baca kok. Jasmine adalah seorang lesbian dan dia menyukai Lily seperti bagaimana Hujan menyukai Lily.

Love is love.

Dan ayo kita lupakan kenapa Mora telat update mulu HE HE HE HE HE

Ampuni Mora pweeaaaseeeeee T.T

See you next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
30.4M 1.6M 58
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 2 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...
723K 67.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...