PainHealer

By norsamora

84.6K 4.4K 191

[15+] PAIN SERIES #4 Aku hanya ingin membuat seseorang tersenyum tanpa membuat orang lain menangis. . . . Aku... More

Prolog
Betony
Camellia
Flax
Hyacinth
Forget-Me-Not
Spearmint
Oleander
Sweet Pea
Fig
Gillyflower
Hydrangea
Rosemary
Mistletoe
Snowdrop
Chrysanthemum
Rose Leaf
Daffodil
Love-in-a-mist
Sweet William
Iris
Dandelion
Zinnia
Lily of the Valley
Epilog

Love-lies-bleeding

2.5K 195 7
By norsamora

Love-lies-bleeding memiliki arti putus asa. Perpisahan akan selalu menjadi bagian dari perjalanan, begitu pula dengan rasa putus asa yang cepat atau lambat akan menyapa sebuah harapan yang besar. Bagaimanapun, menyerah telah menjadi bagian dari kehidupan.

***

AUTHOR’s POV

“Gimana?” tanya Miranda kepada Oliver yang menuruni tangga. Melihat Oliver yang menghela nafas lelah membuat Miranda mengacak-acak rambutnya geregetan. “Lily udah ngurung diri selama 2 hari. Kalau ada apa-apa gimana?”

“Bagaimana lagi? Kita diamuk sama dia. Rion saja sampai pingsan dipukuli Lily pakai pemukul baseball kemarin.” Oliver meringis sambil memegangi kepalanya, ngilu membayangkan kepala Rion yang dipukuli semalam. “Aku sih gak mau bernasib kayak Rion.”

“Kamu nih gimana sih, Ver!” bentak Miranda lalu mendengus kasar. “Kukira kamu bakal berani. Soalnya aku juga gak mau kayak Rion nanti,” gumam Miranda dibalas gelengan pelan dari Oliver. “Hhhhh … tapi, Lily belakangan ini memang terlihat tertekan. Aku khawatir dengan keadaannya,” lanjut Miranda.

“Aku baru ingat kemarin lusa ada temennya Lily datang kemari,” ucap Oliver mendapati pelototan Miranda. “Sorry Miranda, aku juga baru ingat.”

“Temennya yang mana?”

“Kurang tahu sih. Aku baru pertama kali lihat. Pokoknya cewek, rambutnya sebahu, kulitnya putih, dan wajahnya agak murung gimana gitu tapi lumayan cantik,” jelas Oliver. Oliver menaikkan sebelah alisnya ketika Miranda menjentikkan jarinya. “Kenapa? Kamu tahu, Miranda?”

“Gadis itu pernah kemari sekali. Gak salah lagi itu salah satu teman Lily di sekolah,” jawab Miranda tiba-tiba menjadi semangat. “Aku ke sekolah Lily sekarang.”

“Aku ambil kunci─”

“Gak usah,” potong Miranda. “Kamu nanti telat ke Bandara. Udah gak apa-apa.” Miranda menjinjit sedikit untuk mencium pipi Oliver. “Hati-hati, ya. Titip salam untuk Goldie dan Farhan disana.”

Oliver mengacak ringan rambut Miranda. “Kamu juga hati-hati, ya.”

***

Keadaan Lily sangatlah kacau. Wajah tanpa ekspresi, mata bengkak, lingkaran hitam di sekitar mata, dan bibir yang pucat membuatnya terlihat menyedihkan. Belum lagi keadaan kamar yang berantakan menambah kekacauan suasana kamar besar itu.

Lily menekuk dua kakinya lalu menenggelamkan kepalanya diantara dua lututnya. Samar-samar terdengar suara tangisan yang entah keberapa kali memenuhi kamar itu. Setelah itu, tak lama kemudian terdengar suara tawa yang parau menggantikan tangisan. Begitu terus hingga suara teriakkan tertahan menggema menyakitkan hati.

Lily menjambak rambutnya sendiri. “Aku … benar-benar menyerah,” ucap Lily dengan suara yang getir dan tangisan kembali terdengar.

***

Suasana kelas begitu tenang, Lia fokus mencatat materi pelajaran yang ada di papan tulis sedangkan Anggi disebelahnya diam-diam membaca novel. Jasmine sendiri dibelakang mereka menyumpal kedua telinganya dengan earphone. Bu Guru yang menjelaskan di depan kelas pun seakan tidak peduli anak muridnya yang kebanyakan tidak memperhatikan pelajarannya.

“Permisi, Bu, maaf mengganggu sebentar,” ucap seorang siswi setelah mengetuk pintu kelas yang terbuka lebar itu beberapa kali. “Apa Magnolia ada?”

“Guenya ada. Kenapa?” tanya Lia dari tempatnya.

“Itu lo dipanggil sama Pak Erick. Disuruh keruangannya sekarang. Penting katanya,” jawab siswi itu. Selanjutnya siswi itu mengangguk sedikit sembari tersenyum sopan kepada guru yang mengajar. “Saya permisi dulu, Bu. Maaf mengganggu waktu mengajarnya.”

***

Miranda memukul meja Erick didepannya. “Apa maksud dari memanfaatkan Lily, Rick?!”

“Santai dulu, Kakak Ipar.” Erick meraih tangan kedua tangan Miranda dan mengelusnya pelan sambil menyengir. “Biar Adik Iparmu yang keren ini jelaskan dulu.”

Tanpa menjawab, Miranda menarik kasar tangannya kembali sebelum memperbaiki posisi duduknya sambil mendengus sebal. Ia melipat tangan dibawah dada dan menatap Erick dengan sorot yang tajam.

“Ada beberapa alasan kenapa aku harus menahan Lily berada di sekolah ini.” Erick tertawa kecil sambil menggeleng dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. “Awalnya sih alasan paling besar adalah Kala. Dengan semaunya aku merangkai skenario agar Lily dan Kala bertemu disini. Aku tahu jelas sedekat apa Lily dengan Kala waktu kecil. Jadi, aku ingin mempersatukan kembali sepasang sahabat itu.”

“Awalnya sih ... ?” Miranda mulai serius mendengarkan. “Alasanmu berubah?”

“Tidak kok. Alasanku hanya bertambah dan alasan itu menggeser alasan utamaku.” Erick membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah foto disana. Erick memberikan selembar foto itu kepada Miranda.

Miranda meniti foto yang ia perkirakan adalah Erick sekitar 10 tahun yang lalu. Erick terlihat sangat bahagia disana bersama seorang gadis berwajah ayu yang memeluk pinggangnya sambil tersenyum lebar. Mereka terlihat seperti pasangan yang berbahagia di mata Miranda.

“Dia yang ada di foto itu adalah alasanku tidak menikah sampai sekarang,” ucap Erick pelan. “But, in another life I’ll marrying with her and we’ll be okay forever.”

“Rick ….” Miranda menaruh foto itu diatas meja. Kedua tangan mungil Miranda meraih tangan Erick dan menggenggam kedua tangan besar itu erat, berupaya memberikan kekuatan kepada adik iparnya.

“Miranda, kira-kira apa kamu bisa menebak siapa gadis di dalam foto itu?” Erick tersenyum perih ketika Miranda menggeleng pelan. Tanpa bisa ditahan, setetes air mata jatuh di pipi kiri Erick. “Dia adalah Ibunya Jasmine, namanya Tasya. Wanitaku, bagian dari hidupku, dan seseorang paling berharga yang menjadi milik orang yang tak pernah menginginkan kehadiran dirinya.” Erick memalingkan wajah, menyembunyikan air matanya yang mengalir semakin banyak.

Ketika tangan besar dalam genggamannya bergetar hebat, Miranda semakin mengeratkan genggamannya sambil sesekali mengelus lembut. Miranda masih tidak mengerti arah pembicaraan ini sebenarnya. Dengan sabar Miranda menunggu Erick sampai lebih tenang.

“Aku dan Tasya dipaksa berpisah karena orang tua Tasya ingin anak mereka menikah dengan anak sahabat mereka. Tentu saja kita tidak terima, tapi Tasya pada akhirnya menyerah  dan menerima perjodohan itu. Kita pun putus.” Erick menarik tangannya dari genggaman Miranda untuk mengusap wajahnya dengan frustasi. Erick terdiam sejenak dengan sorot mata hampa yang penuh kesedihan.

Miranda menunggu dengan sabar. Akhirnya Miranda tahu alasan dibalik Erick menolak untuk menikah di usianya yang sudah di pertengahan 30 tahun. Padahal Erick bisa tinggal menunjuk untuk menikahi siapa saja karna ia hampir memiliki apapun. Tampan, kaya, baik, humoris, pintar, dan rajin ibadah. Calon suami idaman sekali pokoknya.

“Tasya seakan menjauhiku dan menghilang begitu saja. Rasanya aku mau gila waktu itu.” Erick tertawa pahit. “Ironisnya, belum selesai aku merelakan pernikahan Tasya, aku mendapatkan kabar bahwa Tasya meninggal karena bunuh diri.” Tanpa Erick sadari, ia memukul meja didepannya dengan tangan terkepal. Sekali lagi, air mata mengalir di pipi tirus lelaki itu.

Miranda bangkit dari kursi yang didudukinya untuk menghampiri Erick dan memberikan lelaki itu sebuah pelukan hangat. Erick menjatuhkan kepalanya di bahu mungil Miranda selagi wanita itu mengelus punggung lebarnya untuk menenangkan dirinya.

“Aku sangat putus asa, Miranda. Kala itu, rasanya seperti sebuah akhir.” Erick melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Miranda. Menyamankan posisinya di dalam pelukan itu. “Tapi, waktu melihat Jasmine, aku melihat ada kesedihan yang besar disana. Dibalik kelakuannya, aku yakin Jasmine hanya ingin melupakan kesedihannya. Aku … ingin melihat anak itu bahagia.”

“Apa kamu yakin dengan memanfaatkan Lily maka rencanamu akan berhasil?” tanya Miranda pelan. Dapat Miranda rasakan anggukan kecil dari Erick dibahunya. “Bagaimana?”

Tak ada jawaban dari Erick.

Tanpa Miranda maupun Erick ketahui, Lia sedari tadi dibalik pintu dan menguping semua percakapan mereka.

***

Malamnya, Miranda dan Skype-an bersama Oliver. Oliver memberi tahu bahwa keadaan Goldie mulai sedikit membaik dan itu membuat perasaan Miranda cukup tenang. Sayangnya Miranda tidak bisa melihat Goldie karena gadis itu sedang di terapi sekarang.

“Ketemu sama gadis itu?” tanya Oliver dibalas anggukan lemah dari Miranda. “Kenapa?”

“Aku malah mendengar curhatan Erick tentang Tasya,” ucap Miranda membuat Oliver terbelalak kaget. “Jasmine, salah satu temannya Lily, adalah anaknya Tasya. Dan, Erick memanfaatkan Lily untuk menarik Jasmine dari kesedihan kematian Ibunya.”

“Apa-apaan itu? Erick sendiri saja masih tidak menerima kenyataan. Anak itu tidak menghadiri pernikahan Tasya dan ia sekalipun tidak pernah melayat ke makamnya.” Oliver tertawa mengejek. “Gaya banget tuh anak mau jadi pahlawan. Padahal dia nyelamatin diri sendiri aja enggak bisa.”

“Serius, Ver?” Miranda sedikit membesarkan matanya. Ia tidak menyangka Erick akan sekanak-kanakkan itu. “Aku tahu kadang Erick bisa bocah banget. Tapi, ya masa sampai dia gak mau melayat gitu?”

“Ngapain juga aku bohong? Beneran kok,” ucap Oliver. “Berapa kalipun aku mengajak anak itu melayat ke kuburan Tasya, dia tidak akan pernah mau.”

“Sesakit itu hatinya?” Miranda meringis pelan. “Dimana memang kub─” Miranda bungkam ketika ia mendengar suara teriakan Goldie diseberang sana. Oliver secepat kilat meninggalkannya dengan Skype yang masih terhubung.

Untuk sejenak pikiran Miranda terpusat kepada Goldie yang masih berjuang melawan traumanya disana.

***

“Bu, Lily udah ada keluar dari kamar? Makanannya dihabisin? Udah mau bukakan pintu buat orang lain?” tanya Rion beruntut kepada kepala pelayan di rumah, Bu Ratih. Bu Ratih baru saja menyelesaikan pekerjaannya hari ini.

“Belum ada, Tuan. Jangankan makan, pintunya saja tidak ada dibuka-buka. Kami tidak berani menggunakan kunci cadangan karena Nona Lily mengancam akan menyakiti dirinya kalau ada yang masuk ke kamarnya.” Wanita yang sudah berusia senja itu berucap dengan raut khawatir.

“Anak itu benar-benar keterlauan,” desis Rion kesal. “Bu, siapkan makanannya lagi. Urusan dibukakan kamar biar Rion yang atur.”

“Tidak apa-apa, Tuan? Nanti Tuan pingsan lagi …,” ucap Bu Ratih tidak yakin.

“Lelaki sejati itu belajar dari kesalahan. Tenang saja, tidak usah khawatir.” Rion memukul dadanya dengan bangga sebelum meninggalkan Bu Ratih yang masih tidak yakin.

Rion bersiap dengan menggunakan helm, jaket kulit, dan seutas tali tambang yang ia ambil dari gudang. Penampilannya itu nyaris membuat Bu Ratih berteriak karena mengira ada begal menyusup. Mereka berdua bersiap-siap menuju kamar Lily dengan cara mengendap-endap seperti maling.

Tapi, semua berubah begitu letak kamar Lily tinggal 5 langkah lagi. Rion dengan brutal berlari sambil membuka kamar itu menggunakan kunci cadangan dengan hebohnya. Bahkan ia berteriak seperti orang kesetanan. Membuat Bu Ratih cengo di tempat.

“LILYANA KELUAR! KAMU SUDAH DIKEPUNG!!” teriak Rion sama sekali tidak peduli waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. “LILYANA DIman─” Rion seketika menjatuhkan tali tambang ditangannya ketika ia mendapati Lily yang duduk di atas kasur sambil memeluk lutut. “Lily?!” seru Rion lalu ia berlari kearah Lily dan menarik sang adik kedalam pelukannya. “Lo kenapa jadi kayak berhantu gini sih? Ngapain aja lo dikamar selama ini, hah?!” Rion mengeratkan pelukannya, perasaan takut merasuki dirinya saat ia terbayang-bayang keadaan Goldie.

“Lepaskan!” perintah Lily dengan suara parau yang cekat.

“Enggak!” ketakutan semakin terlihat di wajah Rion saat Lily mencoba berontak dengan gerakan yang teramat lemah. “Lily, kakak disini. Kakak mohon jangan begini.” Rion menciumi pucuk kepala Lily.

“LEPASIN!!!” jerit Lily mencoba berontak dengan isak tangis yang menyakitkan.

“ENGGAK!” Rion balas berteriak dengan seluruh tubuh gemetar yang merengkuh sang adik. Ciuman tak hentinya ia berikan dipucuk kepala Lily, serta gumam-gumaman menenangkan yang ia layangkan sesekali. Semua itu terus ia lakukan sampai akhirnya Lily kelelahan dan menjatuhkan diri pada dada bidang Rion yang hangat.

“Lily sangat lelah,” gumam Lily sangatlah pelan. Rion menanggapi dengan memberikan usapan-usapan lembut di kepala Lily. “Lily ti-dak b-bisa m-melakukan apapun … payah seka-li.” Lily mengucapkan semua itu dengan suara cekat dan terbata-bata. “L-lily benci diri Li─”

“Ini bukan Lily banget elah.” Rion menangkup wajah Lily, memaksa agar gadis itu menatapnya. Hati Rion terenyuh melihat adiknya yang terlihat begitu kacau didepannya. “Lily yang gue kenal itu barbar, sinis, fujoshi, dan penggila oreo garis keras. Bukan yang kayak gini!” Rion menepuk pelan kedua pipi chubby Lily. “Udahan sedih-sedihnya, ya? Nanti Kak Rion traktir manga laknat kesukaan lo deh! Masih kurang? Kita makan oreo sampai muntah, oke?” ibu jari Rion menarik ujung bibir Lily sembari tersenyum lembut. “Asal lo gak kayak gini lagi, apapun akan gue lakukan dan berikan, Ly. Gue tuh biar lo siksa mulu tetap aja sayang banget sama lo.”

Lily memukul kepala Rion yang dilindungi helm. “Dasar masokis,” ucap Lily pelan. Lily memeluk Rion, menyamankan diri dalam dekap hangat itu. “Lily ngantuk, kak.”

“Malam ini Kak Rion temani Lily,” ucap Rion dengan lembut mengusap-usap punggung mungil Lily. Ada rasa lega yang begitu besar, membuat Rion yakin ia bisa tidur nyenyak malam ini. Terbayarkan sudah rasa khawatir dan takutnya sekarang.

Bu ratih yang menonton dari depan pintu kamar Lily hanya bisa tersenyum lega. Disamping wanita itu ada Miranda yang datang karena mendengar teriakan suara Rion dan Lily sebelumnya.

“Bu Ratih sebaiknya istirahat sekarang. Kita biarkan kakak-beradik itu menikmati momen mereka,” ucap Miranda yang dibalas anggukan sopan dari Bu Ratih. Miranda menutup pintu kamar Lily perlahan sebelum pergi meninggalkan tempat itu.

***

Lily bangun dari tidurnya dan pemadangan pertama yang ia lihat adalah wajah Rion yang tertidur masih lengkap dengan helmnya. Semalaman ia tidur nyenyak dipangkuan paha Rion.

“Punya kakak kok bego banget sih,” gumam Lily sembari memperhatikan wajah Rion dari tempatnya. Wajah tampan itu terlihat lelah sekali. Senyum kecil terukir di wajah manis Lily, mau sekonyol apapun kakaknya, tetap saja Lily merasa bahagia memiliki kakak seperti Rion. “Terima kasih, Kak.” Lily bergumam lebih pelan dari sebelumnya.

“Hoaaaaammmmhhhhhhh~” Rion menguap lantang membuat Lily reflek menampol wajahnya sampai dirinya mengaduh. “Hah? Apaan sih?” tanya Rion sambil menggaruk helmnya. “LOH? GUE BOTAK! RAMBUT INDAH GUE─ANJIR SAKIT WOY!” Rion merasa kepalanya pusing ketika Lily memukul kuat helmnya.

“Kak Rion tuh yang apa-apaan?! Menguap didepan muka Lily kayak gitu! Pake acara teriak segala lagi!” bentak Lily garang. “Dasar nyebelin!” Lily bangkit dari tempatnya sambil mendumel tidak jelas.

Bertepatan saat sosok Lily menghilang dibalik pintu kamar mandi yang ada didalam kamar tersebut, sebuah senyuman terukir lembut di wajah Rion. “Sama-sama, Ly.” Rion menghela nafas lega untuk kesekian kalinya sambil bersandar di kepala tempat tidur Lily. “Gue yakin lo itu kuat dan gak semudah itu untuk putus asa.”

***

#CATATAN MORA#

Adakah yang masih membaca cerita ini…

Maaf atas keterlambatan updatenya T.T

Mora lagi ngejar tugas yang ketinggalan buanyaakk dan ide juga lagi gak ada karna kebanting sama mikirin tugas-tugas itu. Maafkan Mora, ya… T.T

Waktu Mora baca komen chapter kemarin tuh─

I’m like TT just like TT

IYA SEDIH BANGET MORA MERASA BERSALAH DAN JAHAT HEUHEU.

Semoga chapter ini tidak mengecewakan.

See you next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

54.7M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...