Unexpected Love | JunHwan [EN...

By minhyo__

140K 10.8K 935

Terikat hubungan dengan seorang Goo 'nightmare' Junhoe bukanlah jalan hidup yang Jinhwan inginkan. Junhwan St... More

INTRO
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22 [END]

Chapter 17

5.3K 479 50
By minhyo__

Ruang berisi tiga orang namja itu sunyi senyap, surat Jinhwan yang sudah kembali ke tangan Junhoe setelah Yunhyeong dan Donghyuk membacanya bergantian itu sudah berubah lusuh karena Junhoe berkali-kali meremasnya, berkali-kali Junhoe membacanya dan berkali-kali itu pula ia tak berhenti bergumam menyalahkan dirinya sendiri.

"Aku membuatnya ketakutan. Dia pergi karena aku."

Junhoe mengusap kasar wajahnya yang sudah lembab karena air mata yang masih mengembun tersisa di sudut matanya. Yunhyeong yang berada di sampingnya hanya bisa menepuk lemah pundak Junhoe berusaha menenangkan, dan Donghyuk, namja manis itu memilih tak peduli apapun keadaan Junhoe sekarang, otaknya lebih berfokus untuk berpikir kemana Jinhwan pergi.

"Ini bukan sepenuhnya salahmu Junhoe. Kau hanya tak tau apa yang dia inginkan,"

"Tapi kita membuatnya berpikir kalau kita memang ingin membunuh bayinya." Dengan suara yang masih bergetar Junhoe menjawab kalimat Yunhyeong, dan itu menarik perhatian Donghyuk.

"Bukankah kalian memang menginginkan itu?" Tanya Donghyuk sedikit bingung.

"Tidak, Donghyuk. Aku tak pernah ingin menggugurkan bayi Jinhwan," kata Junhoe spontan, namun sesaat ia sadar apa yang ia katakan saat ia melihat raut kebingungan terpantul di wajah namja manis yang lebih muda.

"Maksudmu, lalu perjanjian itu apa? Bukankah kalian yang sejak awal menginginkan itu?"

Junhoe tak bisa menjawab pertanyaan Donghyuk, karena ia juga tak tau harus menjawab bagaimana. Ia ingin menyangkal, namun Junhoe tau itu hanya akan membuat kening coklat namja manis itu semakin bertaut bingung. Jika Junhoe harus menjelaskan, ia tak tau harus mengatakannya mulai dari mana, karena ia pun tak tau sejak kapan ia merasa kalau ia juga tak menginginkan pengguguran itu.

"Apa ini lelucon," gumam Donghyuk, kali ini manik besar yang mengarah pada Junhoe itu sedikit berkilat marah, "kalau kau tak menginginkan itu, kenapa kau tak mengatakannya sejak awal!"

"Karena kami pikir itulah yang Jinhwan inginkan Donghyuk, jika kau tau Jinhwan juga tak menginginkan ini kenapa kau juga tak mengatakan apapun pada kami," ucap Yunhyeong ikut bicara merasa Junhoe sudah tak bisa berpikir lurus untuk membicarakan hal yang sebenarnya tak berguna lagi itu.

Jinhwan sudah pergi, namja manis itu sudah terlanjur salah paham dan membenci mereka semua, siapa yang tak mengatakan isi hati mereka terlebih dulu bukanlah sesuatu yang penting lagi.

"Itu karena Jinhwan melarangku untuk berkata apapun pada kalian, dia berpikir kalian hanya akan mentertawakannya. Dan jujur saja, kemana pun Jinhwan hyung pergi sekarang, ku pikir itu memang jalan yang lebih baik, dia hanya ingin menyelamatkan bayinya."

"Tapi itu bayiku juga Donghyuk," sahut Junhoe mulai bersuara, "aku tau aku adalah appa yang kejam karena sempat berpikir untuk menggugurkannya. Tapi aku...aku juga tak tau kapan aku mulai menginginkan bayi itu, aku tak tau apa yang Jinhwan inginkan, terlalu sulit untukku mengerti apa yang Jinhwan rasakan."

Junhoe memberi jeda pada kalimatnya sebentar untuk mengambil nafas, maniknya tak menatap Donghyuk atau Yunhyeong, namun berkeliaran nanar dalam kamar itu, kamar dimana ia selalu bisa melihat siluet Jinhwan yang sedang tidur setiap malam dan mengagumi betapa damainya wajah namja itu. Wajah manis Jinhwan yang sering kali membuat ekspresi yang sulit Junhoe mengerti. Dan yang semakin membuatnya membenci dirinya sendiri adalah, kenapa ia selama ini begitu bodoh tak bisa membaca apa yang Jinhwan rasakan dan inginkan.

"Aku diam sampai sekarang karena ku pikir Jinhwan membenciku. Kita semua tau apa yang dia inginkan sejak awal, dia hanya ingin terlepas dariku, dia hanya ingin hidupnya normal tanpa ada bayang-bayangku sedikitpun, dan jika dengan menggugurkan bayi itu bisa mengembalikan kebahagiaannya, aku akan memberikan apapun yang dia inginkan, karena bagiku sekarang yang terpenting hanya kebahagiaannya, aku tak mau membuatnya melahirkan bayi itu dan membuatnya terikat selamanya denganku meski jauh dalam hatiku aku menginginkan itu. Aku menginginkannya bersamaku dan merawat anak kami dengan baik bersama-sama."

Kepala Junhoe sudah tertunduk seiring kalimatnya berakhir. Berbeda dengan Donghyuk yang kini bahkan tak bisa berkedip menatap Junhoe, namja manis itu berusaha mencerna setiap garis wajah Junhoe sekarang.

"Kau menginginkan Jinhwan hyung untuk bersamamu? Apa kau mulai..." sejenak Donghyuk mengerjap, lalu menggigit bibirnya dan membuat kalimatnya menggantung begitu saja. Ia hanya menatap Junhoe yang juga menatapnya sayu dengan lekat, mencari sesuatu yang sangat ingin ia lihat di mata itu, sesuatu yang bisa menyelamatkan segalanya.

Dan ia menemukannya, sepasang manik coklat Junhoe yang terpantul dalam pandangan Donghyuk adalah manik yang penuh rasa takut kehilangan, penuh rasa bersalah yang dalam yang akan segera berubah menjadi luka jika Junhoe tak menemukan Jinhwan secepatnya.

Namun satu hal yang begitu mendominasi disepasang manik itu, ada binar yang baru Donghyuk sadari sekarang saat namja itu kehilangan Jinhwan, binar cinta dan kasih sayang yang hangat, yang menunjukkan betapa Junhoe sangat membutuhkan Jinhwan untuk di sampingnya, sangat menganggap Jinhwan adalah sesuatu yang paling berharga dari apapun yang namja tampan itu miliki hingga saat ia kehilangan Jinhwan sedikit saja, Junhoe merasa dunianya akan segera berakhir.

Sebelum Donghyuk menyelesaikan kalimatnya pun, namja manis itu tau jawaban apa yang akan Junhoe berikan padanya, karena ia sudah bisa membacanya dengan sangat jelas di wajah Junhoe.

'Jadi mereka saling mencintai.'

Itulah yang Donghyuk pikirkan sekarang. Ia ingin mengatakan itu pada Junhoe sekarang, mengatakan kalau Jinhwan juga mencintainya sedalam apa yang namja tampan itu rasakan, namun ia juga berpikir itu bukan tugasnya, ia ragu apa dengan mengatakan itu sekarang adalah hal yang benar untuk Jinhwan. Jika Junhoe harus mengetahui perasaan Jinhwan, maka Jinhwan lah yang harus mengatakannya secara langsung.

"Jadi kau berpikir Jinhwan hyung membencimu, Junhoe?" tanya Donghyuk, Junhoe hanya terdiam, namja tampan itu memutus kontak matanya dengan Donghyuk lalu kembali menunduk dan menggeleng pelan.

"Entahlah."

"Kalau begitu cari taulah. Temukan Jinhwan dan katakan apa yang seharusnya kau katakan, setelah itu kau berhak bertanya apa dia membencimu atau tidak."

"Tapi, aku bahkan tak tau dimana dia sekarang."

"Sepertinya aku tau dimana Jinhwan sekarang," lirih Donghyuk akhirnya setelah berpikir keras mengingat ingat kemana tempat yang paling mungkin Jinhwan datangi.

***

Wanita paruh baya itu sontak menutup mulutnya ditengah mendengarkan penjelasan Jinhwan, Nyonya Kim terlalu shock dengan kenyataan yang baru saja di akui putra satu-satunya itu, sedang sang appa, sejak tadi hanya terdiam, tak bereaksi, namun menurut Jinhwan itu lebih menakutkan daripada namja itu memarahinya atau menamparnya, diamnya sang appa berarti ia tak bisa membaca apa yang appanya pikirkan tentang dirinya.

Saat Jinhwan datang dalam keadaan menangis hebat pagi tadi, Appa dan Eommanya yang mengerti keadaan Jinhwan tak langsung memaksa namja manis itu untuk membuka mulut, keduanya bisa melihat seberapa buruk keadaan Jinhwan, namja manis itu terlihat sangat kelelahan setelah perjalanan yang panjang dari Seoul.

Entah apa yang terjadi, keduanya menduga itu pasti sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan mereka, namun ketimbang memaksa Jinhwan bicara dalam keadaan seperti itu, kedua orang tua itu berpikir akan lebih baik jika mereka menyuruh Jinhwan untuk tidur beberapa jam dan menenangkan dirinya sesaat. Tuan dan Nyonya Kim hanya takut, jika terlalu menekan Jinhwan, itu akan berpengaruh pada kandungannya.

Dan setelah Jinhwan sudah tenang dan beristirahat cukup, di sinilah Jinhwan sekarang, di ruang tamu keluarga mereka. Jinhwan mulai menceritakan alasan mengapa ia tiba-tiba datang ke Busan dengan mata merah dan penampilan yang berantakan.

Pelan-pelan, satu persatu, namja manis itu mulai mengatakan pada dua orang tua di depannya tentang yang alasan sesungguhnya mengapa ia kabur dari Junhoe. Tak sampai disitu, Jinhwan juga menjelaskan pada orang tuanya tentang apa yang terjadi selama ini antara dia dan Junhoe, tentang pertemuan mereka di Jepang, tentang kehamilannya, bahkan tentang pernikahan palsunya, dan yang terpenting, adalah tentang penggugurannya.

Tak ada sedikitpun yang tak Jinhwan ceritakan, termasuk tentang perasaannya pada Junhoe, tentang betapa ia kini mencintai namja itu meski ia tau benar di mana posisinya bagi namja tampan itu.

Bagi Jinhwan tak ada yang perlu di sembunyikan lagi sekarang, semua yang terjadi antara ia dan Junhoe sejak pertama mereka bertemu di Tokyo sampai detik terakhir ia melihat wajah namja yang ia cintai itu tadi malam, ia menceritakan semuanya tanpa terkecuali.

Dan beginilah reaksi yang Jinhwan dapatkan, eommanya sudah menutup mulutnya rapat dengan kedua telapak tangannya untuk menahan isak tangis disana, dan sang appa masih setia berdiam diri, namun tatapan namja paruh baya itu sama sekali tak bisa di bilang baik-baik saja.

"Itulah yang sebenarnya. Kalian sudah tau segalanya," gumam Jinhwan mengakhiri penjelasan panjangnya dengan memilih menunduk, tak berani menatap sepasang manik orang tuanya yang seketika berubah kecewa itu.

"Aku tak akan memaksa kalian untuk tak membenciku, bagaimanapun aku sudah membohongi semua orang, meski aku sudah menyesal sekarang, namun aku tau itu tak cukup untuk menghapus kecewa di hati kalian. Silahkan jika eomma dan appa ingin membenciku." Bisa Jinhwan rasakan sepasang manik coklatnya mulai menyengat perih, jika ia mengangkat wajahnya ia yakin kedua orang tuanya akan melihat air matanya, namun Jinhwan tak melakukan itu, ia membiarkan seberkas cairan hangat itu meleleh di pipinya dan jatuh ke tangannya yang sudah sibuk meremas ujung kemejanya.

Tak ada suara yang Jinhwan dengar selain isakan kecil dari eommanya, dan yang terburuk, eommanya hanya diam di tempatnya, tak bergeser sedikitpun, tak menatap Jinhwan sedikitpun, apalagi memeluknya, pelukan yang sebenarnya sangat ia butuhkan saat ini.

Yang ia tau sang eomma adalah orang yang selalu mendukungnya dalam segala hal, selalu ada untuknya disaat apapun, tapi sekarang, melihat kenyataan eommanya yang tak sedikitpun menunjukan niatan untuk memeluknya membuat Jinhwan sadar seberapa dalam ia telah mengecewakan orang yang telah melahirkannya itu, dan Jinhwan tau, saat seperti ini pasti akan datang, saat semua orang yang ia sayangi ia kecewakan sebegitu dalamnya.

"Kau anggap apa kami selama ini?" Suara berat namun lirih itu menggema, akhirnya sang appa membuka mulutnya, sedikit melirik kearah sang appa, Jinhwan hanya mendapati manik appanya yang berkilat tajam penuh amarah, jemarinya sudah memutih dalam kepalan yang amat erat, berkali-kali namja paruh baya itu menarik nafas panjang lalu menghembuskannya, menandakan ia sedang berusaha menekan marahnya. "Apa kau bahkan menganggap kami sebagai orang tuamu?"

Hanya diam yang menjawab kalimat namja paruh baya itu, Jinhwan terlalu takut untuk berkata apapun lagi, jika sang eomma saja sudah sangat kecewa padanya, ia yakin appanya akan jauh lebih murka, namun yang ia heran, mengapa sampai sekarang sang appa masih terlalu tenang, tak berteriak atau kalau perlu memukulnya, karena Jinhwan akan lebih senang sang appa melakukan itu, ia akan merasa lebih lega jika appanya memukulnya, setidaknya ia bisa mengalihkan rasa sakit dihatinya menjadi rasa sakit fisik karena pukulan appanya.

"Mengapa kau baru mengatakan ini sekarang? Apa kau tak sungguh menganggap kami orang tuamu sampai kau memutuskan semuanya sendiri? Jika Tuhan tak menyadarkan dirimu, apa kau akan tetap meneruskan kebohonganmu dan membunuh bayimu sendiri. Kau benar-benar akan menggugurkannya, huh!"

"Appa, aku_"

"Apa kau masih mau memanggilku Appa saat kau bahkan tak memerlukanku? Kami sangat kecewa Jinhwan, kami sangat marah, tapi hal yang paling membuat terpukul adalah...kau... berniat untuk menggugurkan kandunganmu tanpa memberitahu pada kami. Kau berniat membohongi semua orang tentang bayimu, bayi yang sangat kami nanti-nantikan, bayi yang bahkan tak bersalah apapun. Kau tau, jika kau tidak dalam keadaan hamil, mungkin aku tak akan perlu menahan diriku untuk tak memukulmu, apa yang kau pikirkan Jinhwan? Bagaimana bisa kau membodohi semua orang sampai sejauh ini!"

"Maafkan aku," gumam Jinhwan lemah, "tapi sekarang aku menyesal. Dan itulah kenapa aku di sini, aku sudah memutuskan untuk mengakhiri semua kebohongan ini." Kali ini namja manis itu menatap sang appa dengan tegas, membiarkan maniknya yang tak berhenti menangis berhadapan langsung dengan manik tajam yang kental akan kekecewaan itu.

"Aku disini untuk memperbaiki semuanya, meski aku ragu itu akan berhasil, tapi setidaknya masih ada satu hal yang bisa ku selamatkan. Aku mungkin tak bisa menghilangkan luka kalian, aku mungkin tak bisa membuat kalian percaya lagi, tapi, aku punya bayiku, aku sudah menyelamatkannya.

Kedatangan ku kesini hanya untuk meminta maaf pada kalian dan memberitahu semuanya sebelum kalian mendengarnya dari orang lain. Jika kalian membenciku selamanya aku tak masalah, tapi aku mohon kalian tak membenci bayiku juga." Dengan itu, sang eomma yang sejak tadi tak bicara akhirnya bergerak, melayangkan kedua tangannya dan memeluk Jinhwan erat.

Masih dengan mulutnya yang terus terisak wanita paruh baya berusaha untuk bicara. "Bagaimana bisa kami membencinya, ia bahkan tak tau apapun. Kau sungguh membuat kami kecewa. Namun mendengar betapa kau menanggung beban seberat itu selama ini, menghadapi itu sendirian, ia jauh membuat appa dan eomma terluka," kata sang Eomma sedikit terputus karena kalimatnya silih berganti dengan isakannya.

Satu-satunya orang yang tak menangis diantara mereka hanya appanya. Namja paruh baya itu membuang wajahnya, sangat jelas dimata Jinhwan kalau kilatan amarah di wajah appanya tak sedikitpun berkurang.

"Bagaimana bisa kau menyimpan hal sebesar itu selama ini sendirian, terlebih, mengapa kau masih bisa berkata kalau kau mencintai namja itu," gumam sang appa lirih yang tak bisa Jinhwan jawab lagi.

Setelah itu udara canggung ditengah keheningan dan isakan itu berlangsung beberapa saat, hingga sebuah suara dari luar rumah menginterupsi ketiganya, sebuah suara mobil yang bergerak mendekat dan berhenti tepat di depan rumah Jinhwan. Tak menunggu lama, sudah terdengar bel rumahnya berbunyi berkali-kali, menandakan tamu yang baru datang itu tak sabar menunggu pintu di buka.

Jinhwan yang masih sibuk menenangkan sang eomma hanya diam di tempatnya, membiarkan sang appa yang yang pergi membuka pintu.

Dan sesaat, suara yang ia dengar diluar sana seketika mengejutkannya.

"Apa Jinhwan ada di sini?"

Kalimat yang bahkan tanpa salam itu membuatnya menegang di pelukan eommanya. Ia tau benar siapa pemilih suara rendah yang menanyakan dirinya itu, dan yang membuat Jinhwan semakin takut adalah, sang tamu kini sedang berhadapan dengan appanya.

"Bukankah itu Junhoe?" Lirih sang Eomma yang memandang Jinhwan penuh khawatir, seakan mengerti apa yang Jinhwan takutkan.

Segera Jinhwan melompat dari pelukan sang eomma dan melangkah keluar, hanya untuk mendapati sang appa sudah mencengkeram kerah Junhoe kuat, bersiap untuk memukul namja bersurai hitam itu jika Donghyuk dan Yunhyeong yang ternyata juga ada di sana memegangi appanya.

"Appa!" pekik Jinhwan spontan dan ikut menenangkan sang Appa untuk melepaskan cengkeramannya.

"Apa yang kau lakukan disini Jun!!!" pekik Jinhwan, dan dengan itu maniknya bertemu dengan manik Junhoe yang juga menatapnya lekat, tatapan yang sulit Jinhwan baca apa maksudnya karena terlalu banyak emosi disana, ketakutan, kelegaan, dan yang paling terlihat adalah rasa bersalah.

"Hyung, kami hanya_"

"Untuk apa lagi kalian datang kemari, huh!! Setelah apa yang kau lakukan pada putraku. Apa lagi yang kau inginkan darinya!!!" Suara Donghyuk terpaksa harus berhenti oleh teriakan sang appa, namja paruh baya itu menatap murka pada Junhoe dengan jari telunjuknya yang mengacung tepat di depan wajah tampan berahang tegas itu.

Jinhwan tak menyalahkan appanya kali ini. Sang Appa sudah cukup terpukul pada kenyataan yang baru saja ia terima dari Jinhwan, dan melihat Junhoe tiba-tiba muncul di hadapannya, jelas itu membuat appanya tak akan bisa mengontrol emosinya lagi. Dan di situ Jinhwan mengetahui, kalau kilatan marah yang sejak tadi bersarang di manik sang Appa, ternyata itu untuk Junhoe.

Hal yang satu-satunya bisa Jinhwan pikirkan adalah membawa Junhoe pergi dari situ, setidaknya sampai sang appa bisa menenangkan dirinya dan berpikir jernih.

"Kau ikut aku!!" Ucap Jinhwan melempar tatapannya dengan tajam sesaat ke arah Junhoe, setelah kedua tangan namja paruh baya itu terlepas dari pakaian Junhoe, segera Jinhwan meraih pergelangan tangan Junhoe dan menarik namja itu sekuat tenaganya, menjauhkan Junhoe dari appa.

Sebelum keluar dari rumah, Jinhwan sempat menoleh pada sang Eomma, seakan berkata kalau ia meminta sang Eomma untuk menenangkan sang appa, untuk kemudian tanpa mengindahkan suara Junhoe yang protes, dengan satu tangan memegang perut besarnya dan satu tangan lagi mencengkeram pergelangan tangan Junhoe. Jinhwan menyeret suaminya itu menuju mobilnya.

"Jinhwan! kita harus bicara!"

"Diam dan ikuti saja Junhoe!"

"Tapi kita akan kemana?"

"Masuklah!!"

"Tap-"

"MASUKLAH JUNHOE!"

Tak peduli seberapa kuat Junhoe berontak dan bertanya, Jinhwan menarik lagi Junhoe menuju kursi depan dan membuat namja itu masuk secara paksa ke dalam mobilnya, lalu Jinhwan juga masuk dan duduk di bangku kemudi untuk kemudian perlahan mobil itu mulai bergerak di bawah kendali Jinhwan dan melesat pergi.

***

Pada akhirnya Junhoe memilih diam dan membiarkan Jinhwan melajukan mobilnya, membawanya pergi entah kemana, hingga 15 menit kemudian mobil merah itu melambat saat mereka sampai ke daerah pelabuhan yang paling dekat dengan rumah Jinhwan.

Jinhwan baru menghentikan mobilnya saat mereka sampai ke area yang jauh dari aktivitas sekitar pelabuhan, namun dekat dengan pantai, berhadapan langsung dengan hamparan laut luas di depan mereka.

Sejak perjalanan Jinhwan tak bersuara, tak menjawab pertanyaan Junhoe yang ingin tau kemana mereka hingga Junhoe memilih menyerah bertanya. Namja manis itu juga tak menatap bahkan melirik kearah Junhoe, tidak sedikitpun, tatapannya hanya kosong, lurus menghadap jalan.

Jinhwan memilih keluar dari mobilnya setelah memastikan mematikan mesin mobilnya. Namja tampan yang bersama Jinhwan juga ikut keluar mobil, segera melangkah kesisi sebelah mobil dimana ada Jinhwan disana, namun langkahnya terhenti saat suara Jinhwan menghentikannya.

"Berhenti disana," gumam suara itu yang terasa sangat dingin untuk Junhoe.

"Kita perlu bicara Jinhwan"

"Kalau begitu bicaralah." Jinhwan masih tak menatap Junhoe, Junhoe yang masih berada di sisi sebelah mobil hanya bisa menatap punggung Jinhwan yang menyandar di mobilnya.

"Ku bilang diam disana Jun," titah Jinhwan lagi saat ia mendengar suara kecil langkah kaki Junhoe yang mencoba mendekatinya, "kau bilang ingin bicara, sekarang bicaralah, aku akan mendengarkanmu."

Manik Jinhwan hanya menatap kosong riak ombak di tengah pantai di hadapannya, riak yang saling memburu seperti keadaan hatinya sekarang. Ia tau pergi dari Junhoe bukan sesuatu yang mudah, bisa ia duga dari awal sejak ia memutuskan untuk pergi kalau Junhoe tak akan membiarkannya pergi begitu saja hanya dengan meninggalkan sebuah surat, Junhoe pasti akan datang padanya, akan meminta penjelasannya.

Dan sekarang Jinhwan sudah siap untuk itu, untuk menghadapi apapun yang akan Junhoe katakan.

Tertegun Junhoe memandang namja manis itu untuk sesaat. Ia menggigit bibirnya sendiri sebelum melenguh kecil tanda ia menyerah untuk mendekat dan mulai berbicara.

"Apa yang terjadi Jinhwan, kenapa kau pergi begitu saja?"

Hanya hembusan angin yang terdengar untuk sesaat sebelum hening itu terisi suara rendah Jinhwan.

"Aku yakin kau sudah tau alasanku, aku menuliskannya dengan jelas di suratku."

"Bukan itu, kenapa kau pergi begitu saja tanpa bicara padaku apa yang kau inginkan. Kenapa tak bilang padaku kalau kau tak ingin bayimu di gugurkan?" ucap Junhoe hati-hati disetiap kalimatnya, dan sekali lagi Jinhwan perlu jeda yang panjang untuk menjawab pernyataan itu, dan Junhoe cukup yakin kalau namja manis itu sedang menegang di tempatnya sekarang.

"Aku pun, baru menyadarinya itu tadi malam, saat aku merasakan bayiku bergerak, mengetahui kenyataan kalau ia hidup dan bergerak di dalam tubuhku, itu terasa seperti menampar wajahku keras, dan aku ketakutan. Jika aku bicara padamu saat itu, apa kau akan mendengarkanku? Apa kau akan mengerti bagaimana rasanya? Apa itu akan mampu merubah keputusan yang sudah di buat sejak awal kita berkomitmen dalam perjanjian ini? Berkali kali aku menayakannya pada diriku, dan jawaban yang kutemukan adalah kata tidak."

"Jinhwan,"

"Jika aku ingin merubah keputusanku untuk menggugurkan bayi ini, maka semuanya sudah sangat terlambat, dan satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah meninggalkan kalian semua, bukankah itu sama saja."

Jinhwan melempar tatapannya ke atas langit, hanya agar matanya yang mendadak perih tak menciptakan cairan yang sangat tak ingin ia perlihatkan pada Junhoe sekarang. Namun ia gagal, seberkas tetesan putih mengalir dari ujung matanya, cairan hangat itu terasa dingin di pipi Jinhwan karena angin laut yang menerpa wajahnya. Satu persatu Jinhwan mengambil langkah, berjalan menjauhi mobil dan bergerak menuju pantai di depannya.

Bisa namja manis itu dengar langkah kaki Junhoe yang ikut bergerak mendekatinya, namun tak cukup dekat untuk menyentuhnya, Junhoe masih menjaga jarak antara mereka.

"Apa kau begitu membenciku? Apa kau begitu berpikir buruk tentangku hingga kau lebih memilih pergi?"

"Aku tak membencimu Junhoe, hanya saja, aku tau benar kau tak menginginkan bayi ini kan, kau membiarkan semuanya sampai sejauh ini, tak menghentikanku saat aku akan menggugurkan kandunganku, itu artinya kau tak menginginkan ini kan. Jadi untuk apa aku memaksamu menerima bayiku saat aku bisa membawanya pergi bersamaku."

Di tempatnya, Junhoe hanya menatap nanar siluet tubuh Jinhwan dari belakang, meski tak melihat bagaimana raut wajah Jinhwan sekarang, hanya mendengar bagaimana namja manis itu bicara, Junhoe bisa merasakan betapa namja itu menyesali segala hal yang selama ini ia lakukan bersama Junhoe, sangat terasa betapa kebencian membalut setiap suara Jinhwan, kebencian yang bukan untuk Junhoe, namun untuk diri namja manis itu sendiri.

"Maafkan aku, Jinhwan." Dan Junhoe, tak tau harus bicara apapun lagi selain meminta maaf, meskipun sepertinya kata maaf kini bukan lagi sesuatu yang ingin Jinhwan dengar.

Namja manis yang menjadi lawan bicara Junhoe hanya berdesis pelan dalam diam lalu menggeleng kecil, masih tak menghadap Junhoe, Jinhwan bergumam, "untuk apa, kau sudah melakukan hal yang benar, kau sudah melakukan apapun yang harus kau lakukan, akulah satu-satunya orang yang memilih pergi, akulah yang menyerah dan mengacaukan perjanjian awal kita dan mengakhirinya dengan cara seperti ini."

"Mengakhiri? Jadi maksudmu kita sudah berakhir? Benar-benar sudah berakhir?" Tanya Junhoe dengan nada yang...entah kenapa setiap kali Jinhwan mendengar Junhoe menjawab kalimatnya, ia seperti ingin menutup telinganya, suara rendah milik namja yang sangat ia cintai terlalu memelas dan terlalu kental dengan kesedihan. Jinhwan tak ingin mendengarnya, Jinhwan tak ingin tau dan tak mau tau apa yang sedang Junhoe rasakan saat ini.

"Ya, Junhoe. kita sudah berakhir." sahut Jinhwan pelan.

"Tidak. Jinhwan bukan ini cara yang ku inginkan. Aku ingin kau kembali. Kembalilah Jinhwan," lirih Junhoe setelah keheningan yang cukup lama.

"Untuk apa? Apa kau masih belum mengerti, aku tak ingin menggugurkan bayiku. aku merasakan ia bergerak, ia hidup, dan kau masih memintaku untuk membunuhnya, maafkan aku, tapi aku tak bisa, jika kita teruskan semuanya hanya akan berakhir dengan bencana, seumur hidupku aku hanya akan dihantui dengan rasa bersalah karena telah merampas nyawa_"

"Aku tak menyuruhmu kembali untuk itu!" Potong Junhoe cepat, merasa Jinhwan sudah bicara terlalu banyak, mendengar itu Jinhwan perlahan memutar kepalanya dan menatap Junhoe, menatap manik coklat yang sangat ia hindari sejak awal. Manik coklat Junhoe yang selalu berkilat indah dimatanya, selalu menatapnya penuh lembut yang bisa membuat Jinhwan seketika lemah pada pendiriannya, pendirian untuk pergi dari Junhoe, untuk berhenti mencintai namja itu, untuk membunuh pengharapannya kalau suatu hari nanti Junhoe bisa mencintainya seperti ia mencintai namja itu.

Dan hanya dengan menatap sepasang manik tajam penuh hangat itu satu detik, dan menyadari betapa lembut tatapan Junhoe yang diberikan untuknya, membuat Jinhwan kembali berharap kalau tatapan itu adalah tatapan penuh cinta dan kasih sayang sesungguhnya, bukan pandangan iba seperti yang Jinhwan anggap selama ini, namun Jinhwan tau siapa Junhoe, hubungan mereka terbatas oleh peraturan di surat perjanjian mereka, dan Junhoe adalah orang yang akan menaati itu, jika sekarang Junhoe melanggarnya untuk mengizinkan Jinhwan tak menggugurkan kandungannya, Jinhwan yakin itu juga salah satu bentuk dari rasa iba Junhoe padanya, bukan cinta, itu jelas-jelas berbeda.

Akan tetapi, yang membuat Jinhwan menatap Junhoe dengan kening bertaut samar adalah, mengapa Junhoe menginginkannya kembali.

"Kau tak ingin menggugurkan bayimu? Baiklah. Baiklah, jika kau tak ingin melakukannya. Tapi, ku mohon kembalilah Jinhwan."

"Sekali lagi ku tegaskan, kita sudah berakhir. Jika salah satu dari kita menyerah, maka permainan kita berakhir dan kita harus berpisah. Kita tak punya urusan apapun lagi, kenapa aku harus masih mengikutimu?"

Junhoe menggeleng, "karena aku..." suara rendah milik Junhoe berhenti, ia ingin menyangkal kata-kata Jinhwan, ia ingin membantah, namun apa yang lawan bicaranya terlalu benar, jika satu dari mereka membatalkan perjanjian maka perjanjian berakhir dan mereka harus berpisah, itulah tujuan mereka sejak awal, mereka bersama hanya untuk berpisah.

Namun, bagi Junhoe kini keadaannya berbeda, dirinya dihari dimana ia menyetujui perjanjian itu berbeda dengan dirinya yang kini berdiri dihadapan Jinhwan.

Ia bukan lagi Junhoe yang hanya menginginkan kariernya selamat, bukan lagi namja yang merasa Jinhwan hanyalah orang asing yang mengacaukan hidupnya, tapi, dirinya kini adalah namja yang menganggap Jinhwan adalah prioritas utamanya untuk ia lindungi, Jinhwan adalah orang asing yang datang untuk memenuhi ruang kosong dalam hidupnya, namja manis yang berarti segalanya untuk Junhoe, namja yang kini sangat ia sayangi dan... cintai.

"Aku hanya... tak bisa membiarkanmu pergi begitu saja, Jinhwan."

Mendadak pandangan tajam Junhoe berubah sendu, Jinhwan yang melihat itu ikut menatap namja tampan di hadapannya sedalam-dalamnya, dan satu hal yang Jinhwan sadari dari mata Junhoe, mata itu mulai berkaca.

"Kenapa...apa lagi yang kau inginkan dariku? Katakan padaku kenapa aku harus kembali padamu?" Suara Jinhwan mulai meninggi, menegaskan setiap kalimatnya dan menatap lurus lurus pada Junhoe.

"Karena aku...aku...membutuhkanmu. Aku membutuhkan orang yang ku cintai berada disisiku."

Junhoe mengatakan itu dengan bibir yang bergetar, namja tampan itu berusaha bicara saat maniknya sudah mengalirkan tetesan bening menuju pipi tegasnya.

Meski kalimat Junhoe terputus-putus dan tak jelas, namun kalimat itu mampu menyentuh sisi terdalam hati Jinhwan, menghantam kuat hingga terasa menyesakkan.

"Apa maksudmu?" Jawab Jinhwan ikut lirih, sulit untuknya bicara normal saat rongga dadanya terasa terhimpit, Jinhwan memang sangat menginginkan Junhoe berbalik mencintainya, namun ia tak pernah membayangkan itu benar-benar terjadi, ia selalu membunuh pemikiran itu setiap kali Jinhwan mulai mengkhayalkannya. Dan saat itu benar-benar terjadi sekarang, entah kenapa rasanya berbeda, rasanya tak seindah yang ia pikir, apa mungkin karena itu sudah terlalu terlambat.

"Aku mencintaimu, Jinhwan. Sesuatu yang terlambat aku sesali, aku pikir dengan semua perjanjian kita selesai maka semuanya juga selesai, namun ternyata aku salah. Tanpa aku sadari aku mulai mencintaimu, aku sudah terbiasa dalam kehidupan dimana kau ada didalamnya."

Perlahan Junhoe mencoba bergerak mendekat, dan Jinhwan yang terlalu terkejut dengan kalimat Junhoe terlalu sibuk untuk menyadari jarak mereka.

"Aku tau kau tak mencintaiku. Aku tau kau begitu ingin pergi dariku. Tapi, bisakah, beri aku kesempatan? Bisakah kau mencoba untuk mencintaiku juga? Bisakah kau tetap bersamaku?"

Di tempatnya berdiri, Jinhwan membeku, tak bergerak menjauh meski Junhoe semakin dekat ke arahnya. Ia hanya masih berpikir kalau apa yang sejak tadi Junhoe katakan adalah lelucon, Jinhwan masih tak bisa menelan kata-kata Junhoe begitu saja, otaknya terus berpikir, berpikir setiap kejadian yang telah mereka lalui bersama selama ini. Jinhwan mengingat benar tatapan Junhoe saat pertama kali menawarkannya untuk menggugurkan bayinya, jelas terlintas di otaknya saat detik-detik pernikahannya dan mengucapkan janji palsu didepan semua orang, semuanya kini berputar ulang di benak Jinhwan. Dan satu hal yang paling melekat di kepalanya adalah tentang surat perjanjian yang sudah mereka tanda tangani hari itu.

"Apa yang sedang kau bicarakan Junhoe? Bagaimana dengan perjanjian itu? Dalam perjanjian, kita tak boleh bersama setelah semuanya selesai, kita tak boleh mengganggu kehidupan satu sama lain," ucap Jinhwan, kini Junhoe berada tepat di depannya, hingga ia bisa melihat dengan jelas decakan kecil yang tiba-tiba keluar dari bibir penuh Junhoe.

Sesaat Junhoe terdiam untuk kemudian namja tampan itu membawa tangannya menyusup ke dalam mantelnya sendiri, mencari cari sesuatu disana.

"Apa kau bicara tentang ini?" Ditangan Junhoe kini sudah ada satu berkas tipis yang Jinhwan kenal, ia pernah melihat itu sebelumnya, saat ia menandatangani surat kontrak mereka, itulah surat perjanjian yang sedang mereka bicarakan.

Tanpa bicara, tanpa melihat kearah kertas yang ia pegang, Junhoe hanya menatap tajam pada reaksi Jinhwan saat ia dengan kasar merobek surat perjanjian itu didepan wajah Jinhwan, membuat lembaran tipis itu tak lagi bisa dikenali di tangan Junhoe.

"Berhenti bicara tentang surat ini lagi, karena ini..." lembaran kertas yang tak lagi berbentuk itu sudah tergenggam erat di tangan Junhoe, perlahan ia membuka tangannya, dan membiarkan serpihan itu tertiup angin laut disekitar mereka, menerbangkannya ke segala arah termasuk ke depan wajah Jinhwan, "sudah lenyap, Jinhwan."

Sambil mengatakan itu, Junhoe tak menyadari kedua manik tajamnya sudah menggenang hebat, Jinhwan tak menyadari itu, maniknya terpusat pada serpihan kertas kecil yang kini berterbangan entah kemana, untuk kemudian ia mengalihkan pandangannya pada Junhoe.

"Apa yang kau lakukan, Junhoe?" Tanya Jinhwan bingung. Sekali lagi, Jinhwan menatap Junhoe sedalam yang ia bisa. Kedua manik coklat Junhoe yang basah itu juga menatapnya lekat, perlahan Junhoe melangkah lebih dekat kedepan Jinhwan, dan dengan sekali sentak, ia menyeret Jinhwan jatuh dalam pelukannya.

"Aku melakukan hal yang seharusnya sejak dulu ku lakukan." Suara Junhoe sedikit terputus karena isakannya yang tiba-tiba pecah, namja tampan itu menanamkan wajahnya dalam di bahu Jinhwan, memeluk erat Jinhwan seerat-eratnya seakan ia takut kalau Junhoe melonggarkan tangannya sedikit saja Jinhwan akan mendorongnya dan meninggalkannya lagi.

"Seharusnya aku tak mencoba untuk membuat perjanjian itu sejak awal. Maafkan aku sudah membuatmu menderita selama ini karena harus mengikuti perjanjian itu. Ku mohon maafkan aku." Ucap Junhoe, dengan itu, Jinhwan mencoba melonggarkan pelukan Junhoe, membuat namja tampan itu agar menatap ke arahnya.

"Ini bukan hanya salahmu Junhoe, tapi aku juga. aku juga yang menerima perjanjian itu, ku pikir itu adalah hal yang mudah dijalani, namun ternyata itu jauh lebih sulit dari yang kubayangkan. Aku juga harus meminta maaf untuk itu."

Perlahan Jinhwan membawa tangannya mengusap lembut wajah Junhoe yang penuh air mata, meski tak ia sangkal, wajahnya pun kini sudah sangat basah karena ia juga tiba-tiba tak bisa menahan diri untuk tak menangis.

Tanpa bisa Jinhwan hentikan, hangat tubuh Junhoe yang tadi memeluknya sudah menjalar ke setiap celah tubuhnya, menenangkannya seketika, membuat perasaan takut, resah dan sakit yang bercampur di hatinya berubah menjadi satu rasa yang damai, karena ya, karena Junhoe ada bersamanya, dan itu membuatnya mengerti apa yang sebenarnya ia inginkan dan butuhkan. Namja manis itu hanya membutuhkan Junhoe bersamanya, meski sejauh dan sekuat apa Jinhwan mencoba pergi dari Junhoe, tatapan dan sentuhan kecil Junhoe akan sangat mudah menariknya untuk kembali pada namja itu.

Dan saat kini Junhoe sudah ada di hadapannya dan bahkan mengatakan kalau ia mencintai Jinhwan, tak ada yang ingin Jinhwan lakukan selain mempercayai namja itu, namja yang juga sangat ia cintai.

Junhoe membawa jemarinya menangkap tangan Jinhwan yang mengusap pipinya lembut, ikut menggenggam tangan itu erat lalu mencium punggung tangan Jinhwan dengan dalam untuk kemudian kembali membuat kontak mata diantara keduanya.

"Kau tak perlu meminta maaf, Jinhwan. Yang ku perlukan sekarang adalah kau tetap bersamaku, memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal, memberiku kesempatan untuk menunjukkan betapa aku sangat menyayangimu dan bayi kita. Bisakah kau melakukan itu untukku? Untuk pernikahan kita dan untuk bayi kita?"

Sesaat keduanya hanya saling menatap, untuk kemudian Jinhwan tersenyum lembut lalu mengangguk, "ya, tentu saja, Junhoe," dengan itu sekali lagi Junhoe membawa tubuhnya memeluk Jinhwan dengan sangat erat, berkali-kali mengucap terimakasih di telinga Jinhwan sambil kembali terisak.

Di pelukan Junhoe, Jinhwan hanya diam memejamkan matanya menikmati pelukan Junhoe yang selalu sama, selalu hangat dan menenangkannya, namun ada satu hal kecil yang kini berbeda, dulu setiap ia merasakan hangat pelukan itu, akan ada rasa takut yang terselip disana, rasa takut kalau suatu hari nanti Jinhwan akan kehilangan namja itu, namun sekarang, tak ada rasa lain lagi yang menakutinya, yang ada hanya bahagia yang sulit untuk ia jelaskan seberapa besarnya.

Kedua tangan Jinhwan juga melayang melingkari pinggang ramping Junhoe, ikut membuat pelukan itu menjadi dua kali lebih erat. Keduanya hanya saling berpelukan seperti itu untuk beberapa saat. Hingga kemudian Junhoe mulai melonggarkan pelukannya untuk kembali menatap Jinhwan .

"Aku mencitaimu, Jinhwan," bisik Junhoe lembut, tanpa menunggu Jinhwan menjawab, namja tampan itu perlahan membungkuk dan berdiri dengan lututnya di depan Jinhwan, lebih tepatnya di depan perut besar Jinhwan. "Appa mencintaimu juga, sayang." Dengan sangat lembut, Junhoe mengirim satu kecupan kecil pada perut buncit itu untuk yang pertama kali, setelah itu Junhoe membiarkan dirinya sebentar untuk menyandarkan pipinya di perut Jinhwan sambil kembali memeluk perut Jinhwan, menutup matanya dan mencoba merasakan sendiri keberadaan bayi mereka didalam sana.

Dan tiba-tiba sesuatu mengejutkan keduanya. Ada sesuatu yang menyentuh pipi Junhoe dari dalam perut Jinhwan. Junhoe menjauhkan wajahnya dari perut Jinhwan dan menatap Jinhwan dengan manik berbinar girang.

"Aku merasakannya, aku merasakan ia bergerak Jinhwan!!!" Pekik Junhoe tak bisa mengendalikan kebahagiaannya lagi saat merasakan bayi dalam perut Jinhwan tiba-tiba menendang tepat di bagian Junhoe menempelkan pipinya.

"Bukankah sudah ku bilang dia bergerak, Jun," komentar Jinhwan seadanya lalu menggeleng pelan sambil tersenyum. Sejak gerakan pertamanya kemarin malam, ini kedua kalinya Jinhwan merasakan bayinya bergerak, dan itu terasa menakjubkan, apalagi Junhoe juga ikut merasakannya.

Namja tampan itu kembali memegang perut, berharap bisa kembali merasakan tendangan bayinya, keduanya menunggu dan menunggu, namun kemudian keduanya mendesah kecil bersamaan.

"Mungkin karena masih terlalu awal, Jun. Dia belum begitu aktif," ucap Jinhwan disambut anggukan kecewa dari Junhoe saat tau sang bayi tak membuat gerakan lagi.

Namja tampan itu lalu kembali berdiri, sekali lagi menatap Jinhwan lekat dengan kedua tangan sudah beralih membungkus kedua pipi Jinhwan. Sebuah senyum mengembang di wajah keduanya, air mata yang tadi mengganggu pipi Jinhwan kini sudah mengering tertiup angin. Sedikit demi sedikit Junhoe mendekatkan wajahnya pada Jinhwan, menghapus jarak antara mereka dan dengan sangat manis, sebuah ciuman lembut terkirim ke kening Jinhwan.

"Terimakasih atas segalanya, terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk bersamamu sekali lagi, dan terima kasih sudah mengizinkanku untuk mencintaimu. Aku sungguh mencintaimu, Jinhwan." Tutur Junhoe pelan namun penuh kesungguhan. Jinhwan ikut mengusap lembut tangan Junhoe di wajahnya. Namja manis itu tak ikut bicara, ia hanya ingin mendengar dan menikmati setiap kalimat Junhoe yang menyentuh hingga hatinya.

Jinhwan...kini merasa sangat bahagia.

***

To Be Continued

😭😭😭

Sumpah, aku sendiri juga hampir nangis bacanya 😭😭😭

Terimakasih buat yang masih berkenan membaca & sabar menanti update selanjutnya yang nggak jelas kapan waktunya, tapi tetep diusahakan semoga bisa cepet 😅😅

Diusahakan lho ya 😁😁

Seperti biasa, jangan lupa tinggalkan jejak 🙏🙏

Continue Reading

You'll Also Like

496K 5.3K 88
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
126K 7.3K 45
pemuda yang bernama AREKSA MAHENDRA, tak disangka pemuda itu diselingkuhi oleh pacarnya sendiri padahal mereka berdua sudah bersama selama 1 tahun la...
157K 12K 48
Book [1] The Neighbor - GMM Book [2] Crazy Rich Family [OhmNon side] #1 - ohmnon [December 2, 2020] #1 - GMM [August 17, 2020] #2 - GMM [August 18...
1.5K 154 5
Kim Joonmyeon. Dia ganteng, kulitnya putih mulus, kaya, mobilnya banyak, rumahnya banyak, memiliki perusahaan dimana - mana, dan uangnya bagaikan air...