Thian San 2 : Dua Musuh Turun...

By JadeLiong

23.1K 267 5

Merupakan cerita kedua dari serial Thian-san karangan Liang Ie Shen. Salah satu karya Liang Ie Shen yang terb... More

I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI
XXXII

XVIII

564 3 0
By JadeLiong

Untuk sekian lama, In Loei berdiri tegak, tak bergeming. Ia bagaikan terpaku. Syukur
untuknya, berselang sesaat, ia sadar kembali. Segera ia menghela napas, untuk melegakan hati. Ia hirup hawa yang berbau harumnya bunga di dalam taman itu. Habis itu, dengan bersemangat, ia mendekam di jendela, untuk memasang kuping.

"Walaupun Toto Puhwa adalah raja Watzu, kekuasaan pemerintah berada ditangan Yasian," demikian terdengar suaranya Tan Hong. "Di samping Yasian ini, pangeran Atzu juga mempunyai sebagian kekuasaan atas tentara. Maka itu kenyataannya, Watzu adalah negara yang diperintah tiga orang. Ong Tjin menyarankan untuk menahan Pangeran Atzu,turut penglihatanku, inilah ada atas usulnya Yasian."

"Habis, bagaimana sekarang?" terdengar Ie Kiam menanya.

"Meminjam golok untuk membunuh orang, itulah suatu siasat untuk menyingkirkan lawan yang tanggu," Tan Hong berkata pula. "Aku kenal baik, Yasian itu ada orang macam apa. Dia bercita-cita sangat besar. Dia pandang dirinya sebagai pengganti dari Djenghiz Khan. Maka itu, lambat laun, dia pasti akan merampas tachta kerajaan. Dia dapat membedakan antara Toto Puhwa dan Atzu, di antara raja Watzu dan pangerannya itu. Teranglah dia percaya, kalau dia sudah dapat menyingkirkan Atzu, dengan gampang nanti dia dapat me- rampas tachta kerajaan."
"Mendengar kau, terbukalah hatiku yang cupat," kata Ie Kiam sambil menghela napas.
"Harus disayangi bahwa pihak kita sama sekali tak mengetahui keadaan dalam dari musuh
sebagaimana yang kau mengetahuinya....."
"Walaupun demikian, apabila benar terjadi perang saudara di dalam negara Watzu, itu
pun berarti rejekinya kerajaan Beng," kata Tan Hong.

Tiba-tiba anak muda ini tertawa menyeringai, matanya dialihkan ke arah jendela.

In Loei terkejut, dengan cepat ia umpetkan diri di antara pohon bunga. Ia berpikir keras, saking tak mengertinya.

"Thio Tan Hong anggap kaisar Beng sebagai musuh turunan, kenapa sekarang dia agaknya tengah bekerja untuk kerajaan Beng itu?" ia berpikir, heran.

Tidak sempat si nona berpikir lama, atau ia sudah dengar pula suaranya pemuda she Thio itu, mengingat siapa senantiasa hatinya goncang.

"Ingin aku menjelaskan tentang Tantai Mie Ming." demikian si mahasiswa berkuda putih. "Dia sebenarnya ada orang bangsa Han kelahiran negara Watzu. Dan dia bersahabat sangat erat dengan tiwan Atzu. Baharu kemarin aku bertemu dengan Tantai Mie Ming dan pasang omong dengannya, aku telah minta dia suka beri nasihat dan anjurkan ayahku agar ayah membantu memperbesar gelombang, untuk menyulut api dari sebelah dalam, supaya dengan begitu bisalah terjadi perang saudara di dalam negeri Watzu."

"Maukah ayahmu berbuat demikian?" Ie Kiam tanya.

"Untuk tidak mendusta." kata Tan Hong, "ayahku itu mempunyai cita-cita untuk merampas kerajaan Beng, akan tetapi di samping itu, ia tak lupa bahwa ia sendiri adalah putera Han, maka itu, di dalam hal ini, sulit bagiku untuk mengatakan dari sekarang bagaimana perkara ini nanti akan berakhir. Gagalkah atau berhasil?....."

"Jikalau begitu, sieheng," tiba-tiba Ie Kiam berkata kepada Tan Hong. "kenapa tidak kau sendiri saja yang menganjurkan ayahmu itu?"

"Sekarang ini belum dapat aku lekas-lekas pulang ke Watzu," Tan Hong akui terus terang. "Kedatanganku ke Tionggoan ini adalah untuk satu tugas yang sangat penting.

Hendak aku mencari satu benda berharga yang mengenai nasibnya negara." Ie Kiam sibuk juga.
"Kekacauan di dalam negeri Watzu itu jadi boleh diharap dan boleh tidak," ia kata,"sebaliknya tindakan Watzu untuk menerjang Tionggoan ada seumpama, alis akan segera terbakar..... agaimana sekarang?"

"Sebenarnya tak usah kita berkuatir," Tan Hong jawab. "Tionggoan besarnya berlipat puluh kali dibanding dengan negeri Watzu itu, bila semua rakyat dapat bersatu hati, tak usah kita kuatirkan musuh yang tanggu itu!"

"Yang dikuatirkan justeru tak adanya persatuan..." Ie Kiam utarakan.

"Piauwkie Tjiangkoen Kwee Teng, Pengpou Tjoesoe Yo Hong, begitu juga Gielim koen Toatongnia Thio Hong Hoe adalah penyinta negara yang dapat diandalkan," kata Tan Hong, "maka berhubung dengan ini, baiklah thaydjin lekas membuat persiapan. Ong Tjin itu besar pengaruhnya, akan tetapi di antara menteri setia dan pengkhianat ada perbedaannya yang nyata, maka bila tiba saatnya negara terancam bahaya kemusnahan,asal thaydjin bergerak secara tepat, mesti thaydjin dapat sambutan hangat dari empat penjuru! Ong Tjin adalah satu hamba kebiri, dia dapat diumpamakan dengan seekor cengcorang yang menerjang kereta, mana dia dapat memusnahkan negara?"

Akan tetapi Ie Kiam menghela napas pula.

"Sungguh sukar untuk mengatakan, siapa yang akan berhasil dan siapa yang akan runtuh," kata menteri setia ini, "tetapi aku, akan aku habiskan semua tenagaku untuk mencoba melindungi negara!"

"Kesesatan tak dapat melawan kebenaran, hal ini harap thaydjin jangan sangsikan!" Tan Hong menganjurkan.

"Siesieng, kau dapat melihat segala apa dengan tegas sekali, kau juga berpemandangan luas dan jauh, kau adalah satu orang cerdik pandai luar biasa untuk jaman ini," berkata Ie Kiam, karenanya, sieheng, kenapa kau tidak sudi bekerja untuk pemerintah?"

Thio Tan Hong tertawa.

"Seseorang mempunyai pendiriannya sendiri-sendiri!" ia kata. "Lagi pula, untuk satu laki-laki membela negara, apakah dia mesti selalu berdiri dipihak pemerintah?"

Ie Kiam diam, dia bungkam.

Tan Hong insyaf bahwa ia telah bicara terlalu tandas, maka ia tertawa pula.

"Thaydjin adalah tiang negara, tentang thaydjin adalah lain," ia tambahkan.

Bukan main tergeraknya hati In Loei mendengar pembicaraan antara Tan Hong dan menteri setia itu, teranglah sudah, mereka itu adalah penyinta-penyinta negara, hanya paham mereka itu yang berlainan. Ia girang dan kagum untuk Tan Hong. Ia kagum karena sepak terjang yang tak dapat diterka-terka dari anak muda itu. Ia girang karena terbukti ia tak keliru mengenali orang — Tan Hong benar-benar satu pemuda gagah dan jujur. Karena ini juga, dalam sekejap itu ia anggap benar-benar "tidak ada faedahnya permusuhan antara kedua keluarga mereka".....

Segera terdengar pula suaranya Tan Hong.

"Thaydjin, harap kau maafkan aku, sukalah kau percaya akan janjiku," demikian pengutaraan si anak muda. "Aku telah nelusup masuk ke kota raja ini, aku pun telah lancang menemui thaydjin, tindakanku ini penuh dengan ancaman bahaya, akan tetapi,lega hatiku, karena thaydjin telah mempercayai aku. Thaydjin, apabila di belakang hari kau membutuhkan aku, walaupun tubuhku mesti hancur lebur, masih itu tak cukup untuk aku membalas budi kebaikanmu ini."

"Jangan kau mengucap demikian, sieheng," kata Ie Kiam "Untukku adalah sama, kau membalas untuk negara, sama dengan kau membalas untukku!"

"Satu laki-laki mesti membalas budi negara, tentang itu tak usah orang sampai dipesan lagi," Tan Hong kata. "Sekarang sudah jauh malam, thaydjin harus beristirahat,maka itu harap thaydjin mengijinkan boanseng mengundurkan diri....."

Ie Kiam berdiam, ia bagaikan berbicara seorang diri.

"Bila kau akan datang pula padaku?" tanyanya kemudian.
"Kalau telah datang saatnya untuk bertemu pula, akan aku datang sendiri," jawab Tan
Hong.
"Pribahasa kuno mengatakan, "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan biasa," pribahasa itu cocok dengan kita," kata Ie Kiam. "Dalam usiaku yang lanjut ini, aku masih dapatkan satu sahabat sebagai kau, sieheng, sungguh aku puas sekali. Sieheng pandai main tabuhan, main catur, melukis gambar juga, kebetulan baru-baru ini aku telah mendapatkan gambar lukisannya Tio Yoe, 'Liang Hoe Gim Touw,1 aku harap sieheng sudi menuliskan sebaris syair untuk gambar itu, untuk dijadikan peringatan di kemudian hari. Sudikah kau menulisnya, sieheng?"

Dengan pribahasanya itu, "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan biasa," Ie Kiam maksudkan: Ada beberapa orang yang telah bersahabat satu dengan lain, sampai rambut mereka telah ubanan, persahabatan itu masih sama seperti sahabat-sahabat baru, masing-masing tetap tak mengerti satu pada lain. Atau, ada beberapa orang yang telah bertemu di tengah jalan, mereka hentikan kereta mereka,mereka membuka tenda kereta mereka, untuk pasang omong, asyik pembicaraan mereka,hingga mereka jadi mirip dengan sahabat-sahabat lama. Dengan itu diartikan,persahabatan itu, kekal atau tidak, tidak disebabkan melulu dari waktunya bersahabat
sudah lama atau masih baharu, hanya dari mereka saling mengerti atau tidak.

Atas permintaan menteri itu, Tan Hong jawab: "yang terlebih tua telah memintanya,mana berani aku menampik? Baiklah, akan aku menuliskannya dengan syair The Soe Siauw,"

In Loei di luar jendela dengar semua pembicaraan itu, lalu ia dengar juga suara goresan, dari jalannya pit di atas kertas, cepat dan tetap, maka tahulah ia, Tan Hong tengah menulis syairnya itu di atas gambar lukisan "Liang Hoe Gim Touw" — "Liang Hoe tengah bersenanjung."

Lalu habis itu, terdengarlah Ie Kiam membacakan syair itu, membacanya sambil bersenanjung.

"Sungguh indah! kata si menteri kemudian. "Entah bagaimana sieheng telah terpengaruh syair ini....."

Tiba-tiba saja Thio Tan Hong tertawa bergelak, menyusul mana, ia pun bersenanjung:
"Di dalam dadaku ada sumpah laksana dalamnya lautan, yang dapat membuat negara bagaikan karam terendam..... Boanseng tidak minum arak tetapi boanseng bagaikan telah mabuk, maka haraplah, thaydjin sudi memaafkan kelakuanku ini yang lancang! Di belakang hari masih ada waktu untuk kita bertemu muka pula, dari itu tidak usahlah thaydjin mengantar aku!"

Kata-kata itu disusul oleh Ie Kiam, yang membukakan pintu, atas mana lalu terdengar tindakan kaki Tan Hong, yang pergi berlalu.

Sejenak itu, kusut pikirannya In Loei. Ia bimbang, baik ketemui Tan Hong atau jangan.Tak dapat ia ambil putusan dalam sekejap. Sementara itu, Tan Hong sendiri sudah keluar dari kamar tulis, dia tengah memohon Ie Kiam tidak mengantar dia keluar.

Di saat tegang itu, mendadak In Loei ingat kata-katanya Tan Hong: "Kalau mesti tertawa, tertawalah! Kalau mesti menangis, menangislah! Kenapa segala apa mesti dipaksakan?....." Karena ini, ia pikir: "Kalau begitu aku pun mesti, kalau mesti bertemu, mesti aku menemuinya, kenapa aku mesti kuatirkan ocehan orang luar?"

In Loei segera merasa darahnya berjalan cepat sekali, hatinya menjadi goncang, tapi ia sudah lantas ambil putusannya. Hanya, pada saat ia hendak lompat, untuk menyusul,sekonyong-konyong ia merasa ada angin halus yang menyambar pada bebokongnya, lalu ia merasa ada benturan perlahan pada pinggangnya. Ia kaget, segera ia rabah pinggangnya.

Akhirnya ia menjadi kaget sekali. Pedang Tjengbeng kiam, pemberian gurunya, telah dicabut orang, hingga di pinggangnya tinggal sarungnya saja, yang kosong! Walaupun ia sangat kaget, tidak berani ia menjerit, tapi ia teruskan berlompat, kedua tangannya dibuka ke kiri dan kanan. Itulah sampokan untuk menyusul tangan yang membuatnya pedang itu terbang. Tiba-tiba saja, ia rasakan sebelah lengannya lemas bergemetar, lalu ia tampak, di depan matanya, satu tubuh berkelebat bagaikan bayangan. Kecewa dia,yang pandai ilmu silat, telah ditotok orang tanpa dapat bersiap. Dalam keadaan lemah itu,ia merasa orang telah menyambar tubuhnya, dikempit, terus dibawa pergi cepat sekali bagaikan terbang, sampai tak dapat ia berteriak. Tapi selagi dibawa kabur itu, di kupingnya, ia dengar suara Thio Tan Hong: "Turunkan dia! Turunkan dia! — Eh, adik
kecil, adik kecil! Benarkah kau?"

In Loei merasa bahwa Tan Hong, yang berkata-kata itu, tengah menyusul ia.

Larinya cepat luar biasa orang yang mengempit itu, In Loei merasa seperti dibawa terbang di tengah udara. Ilmu enteng tubuh Thio Tan Hong sudah liehay sekali, dalam dunia kangouw jarang ada tandingannya, tetapi kali ini, orang itu seperti melebihinya sebab di lain saat, dia telah membuatnya si mahasiswa berkuda putih jauh tertinggal, di sebelah belakang.....

In Loei kaget dan gusar, ia mendongkol tanpa ada gunanya. Sama sekali ia tidak mampu berontak, untuk membebaskan diri dari kempitan.

Adalah tidak lama kemudian, si nona merasa ada orang menepuk bebokongnya,menyusul mana dengan perlahan ia dilepaskan, diturunkan ke tanah. Itu waktu, orang telah berhenti berlari-lari yang pesatnya bagaikan terbang. Ia pun segera merasa,darahnya telah mengalir seperti biasa.

Sebenarnya, ketika ia menoleh, akan pandang orang yang membawa ia kabur, ia kenali dia adalah si orang tua yang lihay ilmu Taylek Kimkong Tjioe-nya dengan apa dia dapat melukai Tantai Mie Ming! Sedetik saja, kata-kata ketus yang sudah siap untuk dikeluarkan, ia batalkan mengucapkannya, ia tarik kembali ke dalam perutnya.....

Si orang tua buat main pedang Tjengbeng kiam-nya, dibulak-balik di tangannya, lalu dengan sepasang matanya yang bersinar tajam, ia tatap si nona. Dengan tiba-tiba dia menanya: "Bukankah gurumu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dari Siauwhan San di Soetjoan Utara?"

Tanpa bersangsi, In Loei menjawab: "Ya." Orang tua itu lantas menghela napas.

"Sudah belasan tahun aku tak pernah bertemu pula dengan dia," ia kata suaranya tak sekeras tadi, "walaupun demikian, dengan melihat pedangnya, aku bagaikan melihat dia sendiri. Dia telah serahkan Tjengbeng kiam kepadamu, rupa-rupanya dia sudah berhasil mewujudkan dua tugas yang menjadi pesan kakek gurunya"

Cepat-cepat In Loei manggut kepada orang tua itu. Ia tahu tentang gurunya. Itulah kejadian pada dua belas tahun yang lampau. Ketika itu Hoeithian Lionglie, si Puteri Naga Terbang, yaitu Yap Eng Eng, telah melanggar pesan gurunya, ialah Hian Kee It Soe.

Kesalahan itu ialah: dia bersama Tjia Thian Hoa, secara diam-diam telah saling menukar pelajaran ilmu silat pedang. Karena kesalahan itu, Yap Eng Eng dihukum duduk bersemedhi menghadapi tembok di gunung Siauwhan San selama lima belas tahun, dan selama lima belas tahun itu, dia dimestikan menjelesaikan dua rupa urusan, dua tugas.
Yang kesatu dia mesti melatih sempurna dua rupa ilmu silat yang paling sulit untuk dipelajarinya, dan yang kedua, dia mesti berhasil mendidik satu murid yang pandai "Pekpian Hian Kee iamhoat" yaitu ilmu silat pedang yang mempunyai seratus jurus perubahannya.

"Loodjinkee, bukankah kau Kimkong Tjioe Tang Toasoepee?" dia lantas tanya. Ia percaya betul, tidak ada lain orang lagi yang mengetahui hal ikhwal gurunya itu.

Orang tua itu, yang benar ada Kimkong Tjioe Tang Gak, tertawa bergelak.

"Hai, bocah, kau cerdik sekali!" katanya. "Kemarin malam di rumah Thio Hong Hoe kau menggondol pedang ini dibebokongmu, aku sudah lantas perhatikan padamu, cuma disebabkan kau menyamar sebagai satu pemuda, aku tidak berani berlaku lancang.Nyatalah kau benar ada keponakan muridku! Tahukah kau kenapa aku melarang kau turun tangan?"

Heran In Loei

"Apa?" dia tanya. Di dalam hatinya sendiri, dia kata: "Aku toh tidak memikir untuk turun tangan terhadap siapa juga.....?"

"Bukankah tadi kau berniat munculkan diri untuk membunuh Thio Tan Hong?" Tang Gak tegaskan. "Jikalau kau bunuh dia kau lakukan satu kekeliruan."

In Loei meringis. Nyata sudah paman guru itu telah keliru. Tapi ia cerdik. Ingin ia ketahui, apa yang menyebabkan kekeliruan paman guru itu.

"Kenapa keliru?" demikian ia tanya.

"Thio Tan Hong itu," sahut Tang Gak, menerangkan, "sekalipun benar dia ada puteranya Thio Tjong Tjioe, akan tetapi mendengar kata-katanya dan melihat sepak terjangnya, dia adalah satu penyinta negara. Kemarin ini setelah aku tempur Tantai Mie Ming, malamnya aku datangi tempat kediamannya si pangeran Mongolia, untuk mendengar kabar. Di sana dapat aku dengar pembicaraan antara Thio Tan Hong dengan Tantai Mie Ming itu. Mereka tengah merundingkan suatu urusan rahasia yang maha penting. Tentang itu, tak usah kau mengetahuinya jelas, tetapi itu ada sangat besar faedahnya untuk Tionggoan. Oleh karena itu, meski aku berniat memberi juga satu gaplokan lagi kepada Tantai Mie Ming, kesudahannya aku beri ampun juga padanya."

Mendengar ini, In Loei tertawa di dalam hatinya."Halmu ini telah aku ketahui....." demikian pikirnya.

Tang Gak tidak ketahui apa yang si nona pikir, ia bicara lebih jauh.
"Coba kau pikir, jikalau sampai terjadi kau binasakan Thio Tan Hong, tidakkah karenanya kau jadi melakukan satu kekeliruan besar?" katanya. "Lagi pula, dalam hal ilmu silat, kau bukan tandingannya Tan Hong..... Ah, apakah kau belum pernah menyaksikan kepandaiannya yang asli?"

"Baharu sebagian saja," In Loei jawab paman guru itu.

Orang tua itu kerutkan alisnya.
"Nah, itulah tak tepat," katanya. "Satu anggota dari Rimba Persilatan tidak seharusnya menuruti saja ambekannya tanpa mengukur tenaga sendiri. Eh, ya, apakah namamu?"

"Aku bernama In Loei," si nona jawab.
"Ah!" seru si orang tua, agaknya ia terkejut sekali. "Inilah yang pribahasa bilang, orang mencari sesuatu dengan memakai sepatu besi, sampai sepatu itu rusak, yang dicarinya tetap tak dapat diketemukan, sebaliknya, bila ada jodohnya, yang dicari itu dapat diketemukan dalam tempo sedetik, tanpa susah payah. Kiranya kau adalah adiknya In Tiong! Sungguh beruntung! Sekarang aku tak merasa aneh lagi kenapa kau, sekalipun kau ketahui kau bukan tandingan Tan Hong, tetap kau hendak mencoba membunuh dia!....."

In Loei meringis pula. Tak dapat ia menangis, tak dapat ia tertawa.

"Kemarin malam aku dengar Thio Tan Hong bilang, malam ini hendak dia menghadap Ie Kiam," Tang Gak bicara pula, "karena itu, aku pun telah datang kemari. Di tengah jalan tadi, satu urusan telah memhuatnya aku datang terlambat, maka itu, ketika aku tiba, Tan Hong sudah pergi, hingga tak tahu aku apa yang telah mereka bicarakan. Apakah kau dengar pembicaraan mereka itu?"

"Aku tak dapat mendengar nyata," sahut In Loei, yang tidak gembira untuk omong banyak. "Aku cuma dengar mereka menyebut-nyebut Watzu dan Tionggoan, mereka hendak menerbitkan perang saudara di Watzu. Ya, tak ingat aku semua apa yang mereka itu katakan."

"Itulah soalnya!" kata Tang Gak. "Aku dengar In Tiong juga berada di sini. Pernahkah kamu bertemu satu dengan lain?"

In Loei menjawab dengan suara dalam, tanda ia berduka. "Kakakku itu telah diangkat menjadi pahlawan dalam keraton," ia beri tahu.

Mendengar itu, Kimkong Tjioe menghela napas.
"Bagus cita-cita bocah itu," ia kata, "hanya kali ini, tak tepat tindakannya. Dia berpendapat, untuk dapat membalas sakit hati kakeknya, guna menyuci malu negara,mesti dia menghamba dahulu kepada pemerintah, untuk mendapat pangkat dan pengaruh besar."

"Toasoepee benar," kata In Loei, "Di mana ada dorna yang berkuasa dalam pemerintahan, sekalipun Lie Kong yang gagah tak ada jasanya!" Itulah kata-katanya Tang Gak dalam suratnya kepada Kimtoo Tjioe Kian.

Heran Tang Gak hingga ia mengawasi si nona. "Eh, apakah kau pun melihat surat itu?" dia tanya. "Sayang si Tiong tak menginsyafi dalil itu. Aku kuatir, karena sikapnya si Tiong itu, akan sukar untuk kita menemui dia....."

"Mungkin, lagi setengah bulan akan ada ketika-nya," In Loei beritahu. Ia utarakan dugaannya Thio Hong Hoe mengenai In Tiong.

"Sekarang begini saja," kata Tang Gak kemudian. "Aku pulang secara mendadak, untuk satu urusan sangat penting. Perlu aku segera menemui kakek gurumu. Ini pun sebabnya,sampai aku tak sempat mengunjungi pula Kimtoo Tjioe Kian yang namanya telah lama aku kenangkan. Bahwa aku telah mampir di kota raja ini, itulah untuk sekalian menengok si Tiong. Tidak dapat aku berdiam lama di sini, maka itu, kalau kau bertemu dengan kakakmu, kau sampaikan pesanku ini."

In Loei menyanggupi, ia manggut.

"Kamu berniat mencari balas untuk keluargamu terhadap keluarga Thio," berkata pula Tang Gak. "Mengenai ini, jikalau kita pakai aturan kaum Rimba Persilatan, tidak dapat aku mencampurinya. Tapi satu hal hendak aku terangkan: Thio Tan Hong itu adalah orang kaum kita dan dia tidak ada hubungannya dengan perbuatan leluhurnya, yang bermusuhan dengan keluargamu, maka itu aku harap, kalau bisa, bereskanlah permusuhan itu. Kakakmu menjadi putera sulung, dalam hal menuntut balas, kau mesti turut pendapat dia. Kau sampaikan kata-kataku ini kepadanya, untuk dia pikirkan dan fahamkan." Turut kebiasaan Rimba Persilatan, mengenai permusuhan ayah, ibu dan leluhur,meskipun satu guru, dia cuma dapat menganjurkan perdamaian, tak bisa dia memerintah atau melarang pembalasannya. Demikian, Tang Gak berikan pesannya itu.

"Tentang Thio Tjong Tjioe itu, dia ada seorang baik atau seorang busuk, aku masih belum tahu suatu apa," Tang Gak lanjutkan. "Shatee Thian Hoa terkurung di dalam keraton bangsa Ouw, tentang dia, tentang kejadian yang sebenarnya, aku pun tak mengetahuinya. Karena itu, hendak aku menemui kakek gurumu, ingin aku minta supaya kakek gurumu itu mengijinkan gurumu turun gunung....."

"Mungkin sekarang ini djiesoepee sudah sampai di Siauwhan San," In Loei utarakan dugaannya. Ia beritahukan warta perihal Tiauw Im Hweeshio, djiesoepee-nya itu, paman guru yang kedua.

"Bagus, bagus!" tertawa Tang Gak. "Rupa-rupanya kita ke empat saudara seperguruan akan melakukan suatu apa yang menggemparkan di tapal batas bangsa Ouw, malah mungkin kakek gurumu juga akan turut terlibat, hingga dia turut turun gunung!....."

Hian Kee Itsoe telah sekap diri selama tiga puluh tahun lebih, In Loei belum pernah bertemu dengan kakek gurunya itu, maka itu, di dalam hatinya, ia kata: "Untuk melibat kakek gurumu turun gunung, itulah pekerjaan sangat sulit....."

Tentu saja, mengenai orang-orang pihak tertua, In Loei tidak berani campur tahu,karenanya, ia tidak menanyakan terlebih jauh.

Tang Gak pun berdiam, ia cuma memandang langit.
"Jam sudah hampir pukul empat," ia kata, "karena sebentar pagi aku mesti lantas meninggalkan kota raja ini, tak dapat aku antar kau pulang. Di mana kau tinggal?"

"Aku tinggal di rumah penginapan," sahut In Loei. "Toasoepee, silakan berangkat! Akupun tak dapat mengantar kau."

Waktu itu mereka berdua berada di luar kota, di tempat di mana mereka berdiri,terdapat sebuah empang kecil, maka itu, selagi rembulan bersinar terang, tegas sekali bayangan mereka berpeta di muka air itu.

Ketika Tang Gak berpaling ke muka air, tiba-tiba ia menghela napas.
"Buat belasan tahun aku lewatkan waktuku di tanah yang ber-es dan bersalju, tanpa merasa, rambut kepalaku pun telah berubah menjadi putih," dia kata, menyesal."Sungguh, sang waktu lewat pesat sekali! Ketika dulu aku berpisah dari gurumu, gurumu itu mirip dengan kau sekarang ini....."

Diam-diam tergerak hatinya In Loei. Ia ingat lelakon asmara antara gurunya itu dengan samsoepee-nya, paman guru yang ketiga. Mengenai kata-katanya toasoepee ini, ia separuh mengerti dan separuh tidak, ia diam saja, tunduk. Maka itu, ketika kemudian ia angkat kepalanya, ia dapatkan paman guru itu sudah tidak ada dihadapannya.....

Sampai di situ, In Loei segera putar tubuhnya. Ia tidak balik ke hotelnya, ia hanya menuju kembali ke rumah Ie Kiam. Tepat ketika ia sampai, ia dengar suara kentongan empat kali. Pada waktu itu, ia dapat lihat kamar si menteri masih terang benderang seperti tadi. Heran ia.
"Ah, apakah dia masih belum tidur?" dia tanya dirinya sendiri. Dengan perlahan, ia menghampiri pintu. Tanpa sangsi-sangsi, ia mengetok dengan perlahan, beberapa kali.

Ie Kiam belum tidur, lantas ia membukakan pintu. "Nona In, silakan masuk!" menteri itu mengundang, sambil tertawa manis, "sudah lama aku tunggui kau!" In Loei tercengang. Ia dandan sebagai satu pemuda, ia anggap tidak ada orang yang ketahui atau kenali padanya, siapa tahu, Ie Kiam sekarang buka rahasianya itu!

"Thio Tan Hong telah menuturkan halmu kepadaku," Ie Kokioo kata pula,menambahkan. "Dia juga telah melukiskan potongan tubuhmu dan wajahmu kepadaku.Apakah kau baharu sampai?"

Melihat sikap orang demikian ramah tamah, tanpa merasa In Loei jadi sangat terharu, hingga air matanya mengucur. Ia lantas saja berlutut, untuk memberi hormat.

Ie Kiam membungkuk, untuk memimpin bangun nona itu.

"Ketika dahulu aku diangkat menjadi Hanlim, adalah kakekmu yang menjadi ketua ujian," Ie Kiam kata pula. "Maka itu, andaikata aku tidak dipandang lancang, ingin aku panggil kau titlie saja."

Titlie ialah keponakan perempuan.

Mendengar disebutnya engkong-nya, In Loei menjadi terlebih berduka.

"Bagaimana meninggalnya kakekku itu?" dia tanya sambil menangis tersedu-sedu.
"Benarkah dia diberikan kematian oleh raja? Peehoe, tahukah kau keadaan yang sebenarnya?"
In Loei sudah lantas memanggil peehoe, paman, kepada menteri itu.
"Kau duduk dulu," berkata Ie Kiam serta menuangkan orang secangkir teh, yang masih panas. "Kau seka air matamu, nanti aku jelaskan padamu."

In Loei mengucap terima kasih, ia seka air matanya. Ie Kiam mengawasi, ia menghela napas pula.
"Ketika hari itu kakekmu menemui kecelakaannya, aku telah menjadi Pengpou Sielong,"menteri ini menutur. "Begitu kita dapat kabar buruk dari kota Ganboenkwan, semua menteri, sipil dan militer, menjadi kaget sekali, mereka berduka berbareng gusar. Semua orang anggap kakekmu itu sudah meninggalkan nama baik di negara asing. Selama dua puluh tahun kakekmu mengembala kuda di daerah ber-es dan bersalju, tak sudi ia menyerah di bawah tekanan musuh, sungguh dia mirip dengan Souw Boe yang setia dan keras hati, dialah satu manusia yang langka! Kakekmu menemui ajalnya secara demikian mengenaskan, manusia dan langit bergusar bersama. Demikian satu giesoe yang tak takut mati sudah memajukan surat kepada raja, untuk membalas kakekmu itu, ia minta supaya raja mencuci penasaran itu, agar nama kakekmu diperbaiki, untuk selanjutnya
diberi pangkat mulia.

"Apa benar In Tjeng telah meninggal dunia?" tanya raja setelah ia baca surat giesoe itu. "Aku masih belum tahu. Baiklah, nanti aku cari keterangan. Suratmu ini akan ditangguhkan dulu."
"Lantas raja menitahkan membubarkan persidangan di singgasana.
"Menteri besar yang bernama Lauw Tek Sin tidak puas dengan sikap raja. Ia berbangkit, ia susul raja sampai di kamar tulis.
"Bukankah Sri Baginda yang membubuhi tanda tangan atas surat titah yang menghadiahkan kematian kepada In Tjeng itu?" dia tanya.
"Raja mencoba menyangkal tapi bicaranya tidak jelas.
"Mengetahui rajanya disusul Lauw Tek Sin, Soeiee Thaykam Ong Tjin datang menyusul.
"Sri Baginda, apakah Baginda telah lupa menulis firman itu?" ia tanya.
"Oh, ya, ya," kata raja itu gugup. "Memang benar, akulah yang menulis firman itu. Ya,kenapakah dia diberi hadiah kematian? Baiklah, nanti aku pikir-pikir....."
"Ong Tjin, yang mendampingi raja, lantas membantu mengingat. Dia kata, In Tjeng menjadi utusan, dengan tidak tahu malu, dia bekerja kepada musuh. Begitulah maka dia dihadiahkan kematiannya....."
"Benar, benar!" kata raja. "Karena itu dia dihukum mati"

Lauw Tek Sin menjadi sangat murka.

"Teranglah kau yang membuat firman palsu, jahanam!" dia damprat orang kebiri itu."Kau telah memfitnah satu menteri setia dan membinasakannya, kau pakai nama Sri Baginda, dengan begitu kau membuatnya Sri Baginda tak disukai menteri-menterinya!"

"Akan tetapi Ong Tjin menjadi gusar sekali. Dia perintahkan menawan Lauw Tek Sin,untuk dijebluskan ke dalam penjara istana, habis mana, dengan mencari akal, menunjuk orang berdosa, dia hendak hukum mati pada menteri itu. Hal ini membangkitkan kegusarannya menteri-menteri sipil dan militer dalam istana, mereka ini memprotes,mereka menuduh Ong Tjin. Karena protes ini, Lauw Tek Sin bebas dari kematian, tetapi dia dipecat, dijadikan rakyat jelata. Sedang giesoe yang setia itu, yang membelai kakekmu, juga dihukum, yaitu dihukum buang ke Haylam. Tidak lama kemudian, giesoe itu terbinasa di bawah tangan jahat dari Ong Tjin. Kemudian lagi, satu demi satu, menterimenteri yang protes dorna kebiri itu, telah menerima bagiannya,pembalasannya Ong Tjin itu. Aku sendiri tidak terkecuali, aku telah diturunkan pangkat, dipindah ke Kangsee
menjadi soenan."

Mendengar keterangan itu, bukan kepalang mendongkolnya In Loei.

"Sungguh satu dorna kebiri yang sangat menjemukan!" dia berseru. "Jadi dialah yang membinasakan kakekku itu? Kenapa dia membinasakan kakekku?"

"Hal itu baharulah kita ketahui kemudian," sahut Ie Kiam. "Sejak siang-siang Ong Tjin itu telah membuat perhubungan rahasia dengan Yasian ayah dan anak, secara diam-diam mereka itu menukar besi kita dengan kuda Mongolia. Perdagangan tukar-menukar secara gelap ini dilakukan secara besar-besaran, dengan begitu Yasian telah mengeruk uang dalam jumlah yang besar sekali. Turut kabar,untuk Mongolia, perdagangan semacam itu dilakukan secara terang-terangan. Kakekmu adalah satu menteri besar, dia ternama baik, sudah begitu, untuk dua puluh tahun dia
telah melindungi kesetiaannya, kesetiaan itu tak kalah dengan kesetiaan Souw Boe yang
mengembala kambing, umpama kata dia dapat kemerdekaannya, pulang ke negeri, pasti sekali dia akan perbaiki tata tertib di dalam istana, untuk mana tentulah dia akan singkirkan segala dorna. Karena ini semua, pasti Ong Tjin jeri terhadap kakekmu itu, Ong Tjin mestinya telah menerka yang kakekmu telah ketahui rahasianya. Untuk menjaga bahaya di belakang hari, Ong Tjin telah menggunakan firman palsu, untuk mendahului turun tangan terhadap kakekmu itu. Dia berpangkat Soeiee Thaykam, cap kerajaan berada di tangannya, karena semua surat-surat, dari luar dan dari dalam, mesti terlebih dahulu lewat ditangannya, kecuali jikalau yang dihaturkan pribadi oleh suatu menteri.Karena kekuasaannya itu, gampang sekali baginya untuk memalsukan firman."
Sampai di situ, In Loei teringat halnya Thio Tjong Tjioe telah memesan Tantai Mie Ming untuk menyampaikan tiga buah kimlong kepada kakeknya.

Memang kimlong itu surat tertutup, yang untuk sementara dirahasiakan dulu ada luar biasa. Dulu, dimasa ia kecil, In Loei tidak ketahui suatu apa tentang kimlong itu,adalah kemudian, sesudah ia dewasa, ia dengar hal itu dari Tiauw Im Hweeshio, dari Kimtoo Tjioe Kian juga, dan belakangan lagi, dari Thio Tan Hong. Dari ketiga kimlong,yang ketiga memuat sebutir pil lahwan, dan di dalam lahwan ini — lilin bundar — terdapat lagi sehelai surat. Itulah suratnya Ong Tjin yang di alamatkan kepada To Huan (ayahnya Yasian) serta Thio Tjong Tjioe, maksud yang tak adalah surat urusan pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia. Surat rahasia itulah yang menyebabkan In Tjeng ditawan. Sebenarnya Tjia Thian Hoa telah dititahkan pergi ke kota raja, untuk menyerahkan lahwan kepada Ie Kiam, supaya Ong Tjin didakwa. Sayang telah terjadi
kegagalan. In Tjeng bukan melainkan kena ditawan, dia malah segera dibinasakan. Meski begitu, terang sudah, itulah maksud baik dari Thio Tjong Tjioe berdua. Surat itu kesampaian.Ingat kebinasaan kakeknya "Apabila lahwan dapat diserahkan kepada Ie Kiam, pasti sudah Ong Tjin dan kawan-kawannya serta pengaruhnya tak jadi sehebat sekarang ini.Dengan bukti itu belum tentu Ong Tjin tak dapat dirubuhkan....."

Setelah menutur, Ie Kiam menghela napas.

"Memang sakit hati In Thaydjin belum dapat dicuci bersih," kata dia, "akan tetapi ia mempunyai satu cucu perempuan sebagai kau, di alam baka, dia tentunya dapat meramkan mata."

Ingat itu, In Loei berpikir itu, hati In Loei panas dengan tiba-tiba. Tiba-tiba saja ia tepuk kedua tangannya satu dengan lain, seraya berseru: "Jikalau aku tidak berhasil mencingcang hancur tubuh dorna kebiri itu, aku bersumpah tak sudi menjadi manusia!"

Tapi Ie Kiam menggeleng-gelengkan kepala.

"Nona In, sekarang ini, aku tidak setuju kau pergi menuntut balas!" dia kata.

In Loei heran. Ia memang sedang murka.

"Loopee, apakah artinya perkataanmu ini?" ia tanya.

"Sekarang Ong Tjin sedang besar pengaruhnya dan orang-orangnya pun banyak sekali," menteri itu berikan keterangan, "di samping itu, di dalam angkatan perang,banyak panglima yang menjadi anak pungutnya. Maka sekarang lebih baik kita pusatkan seluruh tenaga kita untuk menghadapi penyerbuan bangsa Watzu. Jikalau kita turuti hati saja, bisa-bisa kita mencelakai diri sendiri, bisa kita merusak urusan besar. Tidakkah pepatah mengatakan, 'Kalau seribu orang menuding, tak sakit pun orang dapat mati?' Jikalau orang telah penuh dengan kedosaan dan kejahatan, mana dapat dia hidup senang untuk selama-lamanya? Pendeknya kalau nanti telah tiba saatnya dari terbukanya kebusukan itu, taruh kata kau tidak pergi membalasnya sendiri, mungkin ada lain orang yang akan menyingkirkan dia! Kau pandai silat dan gagah, tapi kau harus ingat, tangan
sebelah tak dapat perdengarkan suara. Maka sedikitnya kau mesti tunggu sampai kau bertemu dengan kakakmu, baharu dapat kau berichtiar."

In Loei berdiam. Ia anggap pikiran menteri itu benar sekali. Tapi ia jadi sangat bersedih, hingga air matanya membasahi ujung bajunya.

Dengan perlahan-lahan, Ie Kiam berbangkit, akan bertindak ke jendela, yang daunnya
ia tolak.
"Ah, sudah hampir terang tanah!" katanya. "Keponakan Loei, kau tinggal di mana?"

Nada suara itu seperti mengandung maksud.

"Aku tinggal di rumah penginapan," sahut In Loei.

"Di rumah penginapan terdapat orang dari segala macam, kau bersendirian saja, kaupun menyamar, pastilah kau kurang merdeka," berkata menteri itu."Bukankah ada terlebih baik untuk pindah saja kemari, untuk tinggal bersama aku? Disini juga kabar-kabar datangnya terlebih cepat."

"Jikalau peehoe kehendaki itu, aku menurut saja" sahut si nona. "Baik, akan aku pulang dulu ke pondokku, untuk mengambil barang-barangku."

Justeru itu waktu, dari kamar sebelah, terdengar satu suara bocah perempuan yang terang sekali: "Ayah, kembali untuk satu malam kau tidak tidur....."

Bangun alisnya Ie Kiam, ia tertawa.

"Segera akan aku tidur," ia menyahuti. Ia terus berpaling pada In Loei, untuk meneruskan: "Anakku meminta aku masuk tidur, maka lekaslah kau pergi untuk lekas kembali. Seringkah, karena repot, aku tidak tidur satu malaman, untukku tidak berarti apa-apa, cuma kasihan bagi anak itu, dia jadi kesepian....."

Itulah kecintaan antara ayah dan anaknya, mengetahui itu, In Loei teringat pada kakek dan ayahnya. Ie Kiam ini, dalam hal usianya, tak berbeda daripada kakeknya pada sepuluh tahun yang lampau. Bedanya ialah, kakeknya tidak semanis budi seperti menteri ini.

Segera nona ini memberi hormat, untuk berlalu, dan di lain saat, ia telah kembali. Ia pun segera menjadi kawannya si nona tadi, puterinya Ie Kiam.

Puterinya Ie Kiam bernama Sin Tjoe,4j usianya baharu sembilan tahun, akan tetapi ia cerdik sekali dan gesit. Ia panggil entjie kepada In Loei, yang sudah lantas dandan sebagai satu nona. In Loei pun senang mendapat kawan yang manis ini.

Selama menumpang pada keluarga Ie, In Loei ada kandung suatu maksud. Ialah, ia harap-harap datangnya Tan Hong kembali untuk menemui Ie Kokioo. Akan tetapi,setengah bulan sudah lewat, pemuda itu masih belum kelihatan juga.

Sementara itu si pangeran asing beserta Tantai Mie Ming, enam hari sesudahnya In Loei pindah ke rumah Menteri Ie, telah berangkat pulang ke negeri mereka, sebabnya ialah karena pembicaraan mereka gagal.

Setelah lewat setengah bulan, tiba-tiba ingatlah In Loei akan omongannya Thio Hong Hoe tentang ujian militer Boe kiedjin istimewa untuk tahun yang sedang berjalan. Hal itu sangat menarik perhatiannya, maka sering sekali ia tanyakan Ie Kokioo, bilamana ujian itu akan diadakan.

"Keponakanku yang baik, kau sabarlah," kata Ie Kokioo sambil tertawa ketika ia ditanyakan yang terakhir. "Kalau nanti kakakmu turut ambil bagian, pasti sekali akan aku pertemukan kau dengannya!"

"Apakah ujian sudah dimulai?" si nona tanya.

"Sekarang baharu permulaan saja. Banyak sekali jumlah mereka yang mengambil bagian. Nanti aku pergi ke Kementerian Perang untuk mencari tahu angka ujiannya kakakmu itu."
Lima hari telah lewat sejak pembicaraan itu, atau pada hari ke enam, pagi-pagi sekali,Ie Kiam telah memanggil In Loei, dan semunculnya si nona, ia tertawa dengan manis.

"Bukankah kau ingin menemui kakakmu?" ia tanya.

In Loei berjingkrak.

"Peehoe, apakah sekarang juga kau hendak ajak aku menemuinya?" tanya ia, yang girangnya tak kepalang.

"Benar," jawab paman itu. "Hanya kau harus merendahkan sedikit dirimu. Kau menyamar sebagai pengiringku, nanti aku ajak kau ke lapangan pieboe untuk menyaksikan pertandingan."

In Loei girang bukan main, dengan lantas ia salin pakaian. Ia sudah biasa menyamar sebagai priya, untuk jadi pengiring atau kacung, iapun tak berkeberatan. Ia seperti tak pedulikan segala apa, asal ia dapat bertemu dengan kakaknya.

Kiranya hari itu adalah hari terakhir, untuk memilih Boe tjonggoan. Sudah dikatakan,ujian ada istimewa, maka itu, setelah ujian main panah sambil menunggang kuda, ujian lisan ilmu perang, datanglah ujian untuk pieboe, guna mengadu kepandaian silat.

Usul atau saran keluar dari otaknya Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay. Dia ambil alasan, ilmu silat ada banyak macamnya, tak berbatas cuma dengan ilmu panah di atas kuda, ada ilmu tombak atau golok, juga dengan bertangan kosong, tanpa ini, ilmu silat itu tidak lengkap.

Senantiasa berdiam di dalam keraton, atau istana, kaisar merasa kesepian, maka itu satu kali ia dengar akan diadakan keramaian — di antaranya termasuk pieboe — dengan segera dia terima baik usul Kong Tjongkoan itu.

Demikian di tengah-tengah lapangan segera dibangun satu ioeitay — panggung untuk adu silat itu — dengan di empat penjurunya diberdirikan pula panggung-panggung untuk penonton. Kaisar pun tidak datang menonton sendiri, ia diiring para pahlawan dan thaykam, pun Menteri Perang dan semua menteri lainnya turut mendampingi padanya.

Sebenarnya usul Kong Tiauw Hay ini disebabkan dia mempunyai maksud sendiri urusan pribadi. Dia mempunyai dua soehengtee, saudara-saudara seperguruan yang liehay ilmu silatnya, dia ingin kedua saudara itu memamerkan kepandaiannya, supaya mereka peroleh nama dan kedudukan baik. Tapi kedua saudara itu terlalu rendah pengetahuannya mengenai kitab ilmu perang, maka itu diciptakan akal ini, ialah adu kepandaian silat.

Sekitar lapangan dijaga tentara Gielim koen, pasukan pribadi kaisar. Kaisar sendiri,diiring oleh para pangeran dan orang kebiri, mengambil tempat di panggung tengah, yang menghadapi langsung panggung ioeitay. Ie Kiam beserta In Loei, bersama Menteri Perang dan menteri lainnya, mengambil panggung timur, dari mana orang pun dapat melihat tegas ke panggung raja.

"Kau lihat," kata Ie Kokioo pada pengiringnya sambil berbisik, "itu orang dengan juba naga di belakang siapa berbaris pahlawan-pahlawan adalah Sri Baginda raja. Di kiri raja,orang yang berdiri mendampinginya adalah Thaykam Ong Tjin."

Dengan mata tajam, In Loei awasi orang kebiri itu, untuk mengenali dengan baik roman orang dan potongan tubuhnya.
Semua boe kiedjin, yang berhak turut ujian, berkumpul di bawah panggung di mana ada sebuah gubuk istimewa untuk mereka menanti atau beristirahat, sebab sebelum tiba gilirannya, tak dapat mereka sembarang menaiki panggung ioeitay.

"Ujian istimewa kali ini namanya saja boleh diikuti oleh siapa saja asal berkepandaian silat dan telah terpilih," Ie Kiam terangkan pada In Loei, "akan tetapi kenyataannya,kecuali mereka yang memang sudah memangku pangkat dalam tentara, dia mesti diberi pertanggungan oleh suatu orang berpangkat, yang pangkatnya mesti sedikitnya sudah tingkat ketiga. Inilah sebabnya kenapa Sri Baginda berani turut datang menonton."

Mendengar ini, di dalam hatinya, In Loei kata:
"Kalau begitu orang kangouw, yang benar-benar gagah, tak dapat kesempatan untuk turut serta....."

Tiba-tiba terdengarlah suara tambur nyaring, tiga kali. Itulah tanda bahwa pieboe sudah akan dimulai. Mendengar suara tambur itu, In Loei merasa tegang sendirinya,segera ia mengawasi ke arah ioeitay.

Yang pertama kali maju adalah dua orang yang romannya kasar, mereka masing-masing bersenjatakan golok tantoo dan sebuah tombak. Sebentar saja, si pemegang golok peroleh kemenangan.

Menyusul itu adalah tiga pertandingan lagi. Siapa yang menang, dia mesti bertanding terus. Siapa menang dua kali beruntun, dia dapat hak untuk beristirahat, untuk nanti diadu pula dengan pemenang lainnya. Begitu seterusnya.

Selama itu, In Loei belum lihat kakaknya.

Pertandingan, ke empat telah selesai, dan pemenangnya adalah seorang yang tubuhnya tinggi tujuh kaki, besar dan tegap, gegamannya adalah sepasang gembolan.

Selama itu, kuranglah perhatian In Loei. Sampai ia dengar bicaranya Pengpou Siangsie,menteri perang, kepada Ie Kokioo. Kata menteri itu: "Pemenang ini adalah Tjiangkoen Ouw Tay Keng, panglima yang baru diangkat oleh Kementerian Perang, kedua tangannya bertenaga seribu kati. Sebenarnya jumlah peserta ada banyak sekali, semuanya sembilan puluh enam orang, tetapi Sri Baginda hendak menyaksikan yang paling kosen saja, maka kemarin diadakan ujian istimewa oleh Kementerian, hingga kesudahannya, dari sembilan puluh enam peserta itu sekarang tinggal dua puluh empat orang. Sri Baginda pun ingin supaya ujian selesai dalam hari ini. Dalam ujian kemarin, Ouw Tjiangkoen ini dapat angka baik sekali."

Ie Kiam sambut keterangan itu dengan senyuman. Ia tahu, Ouw Tay Keng adalah sanaknya Pengpou Siangsie, sudah tentu Siangsie itu, menteri, mengharap-harap si sanak keluar sebagai pemenang.

Segera juga terdengar suaranya kiepaykhoa di muka panggung: "Lim Too An, kiedjin nomor sembilan, naiklah ke atas panggung! Penanggung jawabnya adalah Leepou Tjoesoe Lie Soen."

Pemberitahuan itu menunjukkan bahwa peserta Lim Too An bukan perwira, maka ia memerlukan orang yang menanggung dirinya.

Heran juga In Loei, maka perhatiannya jadi tertarik sekali. Ia lantas lihat, Lim Too An lompat naik ke atas ioeitay dengan sebelah tangannya menggoyangkan kipas, dandannya pun tidak keruan, ialah sembarangan saja. Dia adalah puteranya Lim Tjhoengtjoe,sahabatnya Hongthianloei Tjio Eng. Dia juga yang beberapa bulan yang lalu telah melamar Nona Tjio Tjoei Hong akan tetapi dia kena dikalahkan Nona Tjio.

Too An beri hormat pada Ouw Tjiangkoen sambil menjura seraya pegangi terus kipasnya itu. Ia kata dengan lagu suaranya yang agak seram: "Ouw Tjiangkoen, aku mengharap belas kasihanmu....."

"Sial!" keluh Ouw Tay Keng di dalam hatinya. "Dari mana datangnya makhluk aneh ini,priya bukan wanita bukan?....." Tapi waktu menjawab, sambil mengayunkan gembolannya, dia membentak: "Belas kasihan apa! Ini ada tempat resmi! Apakah kau anggap ini bagaikan sandiwara? Lekas kau keluarkan senjatamu!"

Jumawa panglima ini, tetapi Lim Too An tidak menghiraukannya.
"Boanseng empunya senjata ialah kipas ini," dia menyahut, suaranya halus bagaikan suara wanita. Ia pun membahasakan diri boanseng, artinya yang mudaan.

Ouw Tay Keng menjadi gusar sekali, segera ia menghajar dengan sebelah gembolannya.

Lim Too An berkelit sambil mendak, berbareng dengan itu kipasnya yang ia buat kuncup, diulurkan ke arah iga dari panglima itu, untuk menotok jalan darah djoanmoa hiat. Lincah gerakannya, tapi tidak segarang lawannya itu.

Ouw Tay Keng bertubuh besar, ia kurang gesit, tidak ampun lagi, begitu kena ditotok,tubuhnya itu bergelimpang rubah jatuh di lantai panggung dengan menerbitkan suara keras! Lim Too An tidak berhenti sampai di situ, dengan sebat ia angkat sebelah kakinya,untuk dipakai mendupak, maka tersapulah tubuh besar dari panglima itu, jatuh terbanting ke bawah panggung.

"Maaf, boanseng terima kalah!" kata dia sambil tertawa. Masih dia mengejek.

Gembira kaisar menampak pertempuran itu.

"Bagus!" serunya dengan pujiannya.

"Pertandingan yang menyusul akan lebih bagus lagi!" kata Ong Tjin. "Lekas Baginda lihat!"

Kiepaykhoa segera perdengarkan pula suaranya: "Nomor 10!"

Kali ini yang lompat naik adalah seorang dengan sebelah tangannya mengangkat tinggi sehelai tameng. Dia adalah Lou Liang, adiknya Lou Beng. Lou Beng sendiri kemarin telah dijatuhkan oleh satu anak muda, hingga Lou Liang mesti maju seorang diri. Dua saudara Lou ini adalah orang-orang kepercayaannya Ong Tjin.

Lim Too An layani ilmu tameng Koengoan pay dari keluarga Lou dengan tameng besinya, Lou Liang lindungi diri dari totokan ujung kipas. Untuk sementara, Too An tidak bisa berbuat suatu apa, maka itu dengan cepat pertandingan telah melalui kira-kira lima puluh jurus.

Lou Liang tahu orang pandai tiamhiat hoat, ilmu totok jalan darah, setelah bertanding sekian lama, ia menggunakan akal. Ialah mengangkat tamengnya demikian rupa hingga ia membuatnya satu lowongan.

Too An girang melihat ketika yang baik ini, ia tidak sia-siakan itu, dengan memutar kipasnya, segera ia menotok jalan darah soankee hiat pada dada lawan. Ia percaya,setelah lawan nampaknya lelah, ia akan berhasil.
Tiba-tiba saja tameng bergerak sangat cepat. "Prak!" demikian terdengar satu suara.

Too An kaget bukan main, karena kipasnya kena dihajar hingga patah seketika. Ia tahu selatan, segera saja ia lompat turun dari panggung.

Ong Tjin lantas saja tertawa, wajahnya berseri-seri.

"Kongkong, pahlawanmu benar kosen!" kaisar memuji. Ia membuatnya orang kebiri itu bergirang dan bersyukur.

"Kiedjin No. ", See Boe Kie, naik ke panggung! Penanggung jawabnya Hoetongnia Yo Wie dari Gielim koen!" demikian suara kiepaykhoa.

In Loei terkejut pula. Ia tidak sangka, juga penjahat besar ini, yang telengas, turut serta dalam ujian, malah dengan ditunggui oleh komandan muda dari tentara raja. Ia ingat benar, See Boe Kie adalah orang yang lamarannya telah ditolak Tjoei Hong.

Begitu ia mencelat naik ke atas panggung, See Boe Kie tidak berlaku sungkan lagi.

"Dengan kepalanku ini akan aku sambut tamengmu!" katanya dengan jumawa.

Lou Liang gusar terhadap sikap kasar itu.

"Baik, kau sambutlah!" dia jawab, dan tamengnya segera menyambar dari atas kebawah

Hebat serangan itu, sampai tameng itu mendatangkan siliran angin. See Boe Kie berkelit ke samping, dari situ ia membalas menyerang dengan kepalannya dibuka, hingga lima jarinya jadi berbaris rapat.

Lou Liang terkejut apabila ia tampak telapak tangan hitam dari lawannya ini. Itulah Toksee tjiang — Tangan Pasir Beracun. Lekas-lekas ia menangkis.

See Boe Kie sebat sekali, ketika serangan pembalasannya itu gagal, ia menyusul dengan tangan yang lain, ia barengi selagi orang menangkis. Kali ini ia berhasil menimpa pundak orang.

"Aduh!" teriak Lou Liang yang dibarengi dengan menggelindingnya tubuhnya ke bawah panggung. Ia sebenarnya kosen tetapi ia kalah sebat.

Wajah Ong Tjin menjadi matang biru, karena mendongkolnya, sebab pahlawan yang ia banggakan itu, rubuh sebelum mencapai tiga jurus.

Jangan gusar, kongkong1." tertawa Kong Tiauw Hay. "Pada babak selanjutnya,binatang itu tak akan bertahan lama!....."

Lalu terdengar suara kiepaykhoa'. "No. 12, Liok Thian Peng! Penanggungnya, Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay!"

Segeralah lompat naik seorang yang tubuhnya tegap, di pinggangnya terlibat cambuk lemas Kimsie Djoanpian. Dia tidak loloskan senjata itu, hanya sambil tertawa ia kata pada See Boe Kie: "Toksee tjiang-mu liehay sekali, tapi biarlah aku mengalah, kau menyerang dulu dua kali! Bila aku berkelit, anggaplah, aku kalah!"

See Boe Kie melengak. Orang ada lebih terkebur daripadanya.

"Hayo mulai!" kata Liok Thian Peng. "Kenapa kau belum menyerang juga? Di sini ada ioeitay tempat pieboe, jikalau kau tetap tidak hendak menyerang, hendak kau menggelinding turun saja dari atas panggung ini!....."

See Boe Kie mendongkol, ia penasaran.
"Mungkinkah tubuhnya kebal hingga ia tidak mempan racun tanganku yang liehay?" dia berpikir. "Belum pernah aku dengar ilmu kebal semacam itu....." Lantas ia kata dengan tawar: "Tanganku beracun, Tuan Liok, harap kau berhati-hati!....."

Belum berhenti si jago tangan beracun ini berbicara, atau sebelah tangannya sudah menyambar ke arah muka lawan. Sambil menyerang, ia berpikir: "Pada tubuhnya ada bajunya, yang mungkin menjadi alingan, maka akan aku hajar mukanya, yang kulitnya tipis! Mungkinkah mukanya pun kebal?....."

Pada saat tangan lawan hampir sampai pada mukanya, mendadak Liok Thian Peng mendak berkelit, menyusul mana, tangannya diangkat, dipakai membentur sikut orang.

Hebat benturan ini, See Boe Kie merasakan sakitnya sampai di jantungnya, lengannya yang dibentur pun lantas saja turun tergantung, tetapi ia kuat, masih dapat ia bertahan,maka dengan menuruti amarahnya, ia tidak mau menyerah kalah, lantas dengan menggunakan tangannya yang lain, ia menyambar ke iga Liok Thian Peng, mengarah jalan darah kematian.

In Loei saksikan pertempuran itu, ia tahu, kalau sambaran itu tidak gagal, mesti celaka Liok Thian Peng. Tapi yang menjerit hebat adalah See Boe Kie, tangannya semper,tubuhnya rubuh ke bawah panggung.

"Hebat!" kata In Loei di dalam hatinya. Ia insyaf atas orang punya ilmu "Tjiamie sippattiat" — "Membentur baju, delapan belas kali terguling." Itulah ilmu tenaga dalam yang paling sempurna. Sedikit benturan saja sudah cukup membuatnya orang kesakitan dan rubuh. Maka berpikirlah ia lebih jauh: "Dalam ujian ini turut ambil bagian orang kosen semacam ini, aku kuatir kakakku tidak akan dapat merebut gelar Boe tjonggoan....."

Liok Thian Peng adalah soetee, adik seperguruan, dari Kong Tiauw Hay, kepandaiannya berimbang dengan Tiauw Hay sendiri. Tentu saja dia jadi sangat puas dengan kemenangannya itu, hingga dia jadi bangga sekali. Kemudian terdengar pula seruannya kiepaykhoa: "Kiedjin No. 14 naik ke panggung!"

Bukan kepalang girangnya In Loei apabila ia tampak, siapa calon yang ke empat belas itu, dialah In Tiong, kakaknya.

"Ha, In Tongnia juga naik!" tertawa Liok Thin Peng. "Silakan tongnia keluarkan senjatamu!"

Belum lama In Tiong masuk dalam kalangan Gielim koen akan tetapi namanya menaik dengan cepat sekali, hingga hampir menyamai kesohornya ketiga jago utama dari kota raja. Tentu saja, terhadap tongnia ini, Liok Thian Peng tidak berani memandang enteng,maka itu, ia sudah lantas loloskan cambuk lemasnya. Ia malah segera rebut tempat di kepala di mana ia berdiri dengan siap sedia.

Cambuk lemas itu terbuat dari rotan tua terlibat dengan urat harimau, keuletannya istimewa, dapat melibat juga golok atau pedang. Karena In Tiong bersenjatakan golok Angmo Pootoo, dalam tandingan, ia kalah imbangan. Baharu ia hunus goloknya, atau Liok Thian Peng sudah mulai menyerang padanya.

Dahsyat serangan cambuk itu, akan tetapi mengimbangi kegesitan lawan, In Tiong kelitkan diri. Nampaknya ia akan tercambuk, tapi kesudahannya, bajunya pun tidak tersentuh. Sebaliknya ia, dari samping, segera membalas membacok.

Liok Thian Peng benar-benar liehay. Ia terancam bahaya tapi, dengan mudah ia egoskan tubuhnya, untuk selanjutnya, menyambuk pula berulang-ulang tiga kali, guna mendesak lawannya, yang pun gesit sekali, hingga tiga cambukan itu tidak memperoleh hasil. In Tiong tidak cuma berkelit, dia pun berlompatan pesat, dan di bawah bayangan cambuk itu, ia melakukan serangan pembalasannya.

Serangan tiga kali saling susul dari Liok Thian Peng itu adalah serangan jurus-jurus "Kenghong sauwlioe" atau "Angin besar menyapu pohon yanglioe," biasanya sulit untuk orang menghindarkan diri dari bahaya itu, maka itu kagum Thian Peng, terhadap lawannya. Ia pun mengelakkan diri dari pelbagai bacokan, sesudah mana, lagi satu kali ia menyerang hebat, untuk melibat lengan orang. Apabila ia berhasil, yang paling dulu akan terjadi adalah golok In Tiong mesti terlepas dari cekalan dan terlempar.

In Tiong perdengarkan suara, bagaikan kaget, berbareng dengan itu, tangan kirinya,yang hendak dilihat itu, dilonjorkan lempang dan kaku, atas mana, dengan sendirinya,libatan cambuk lolos dan cambuk lemas itu mental, tidak mendapatkan korbannya. Tapi itu belum semua, selagi dilonjorkan, tangan In Tiong dan kepalannya, berbareng dipakai menjotos dada lawannya!

"Bagus" teriak Liok Thian Peng, yang kaget dan kagum. Kakinya tidak digerakkan,hanya tubuhnya digeser sedikit, untuk melewatkan kepalan itu, menyusul mana tangan kirinya, dengan lima jarinya, dipakai menunjuk, akan menyambuti kepalan lawan itu.

Kelihatannya kepalan dan jari-jari tangan akan bentrok satu dengan lain, akan tetapi di saat yang berbahaya, keduanya mundur sendirinya, diganti dengan gerakan cambuk dan golok — cambuk bagaikan terbang, golok bagaikan menari.....

Kedua pihak nampak merenggangkan diri tetapi sebenarnya, mereka asyik mengadu kepandaian mereka, hingga penonton rata-rata menjadi kagum, ada yang menyaksikannya seperti matanya kabur.

Ilmu silat "Tjiamie Sippattiat" dari Liok Thian Peng liehay, akan tetapi, kali ini,menghadapi ilmu silat "Taylek Kimkong Tjioe" dari In Tiong, dia repot juga. Kelihatannya dia cuma dapat bertahan. Maka itu, dia lantas berlaku sangat hati-hati, dia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat melayani terus.

"Bagus, bagus!" kaisar memuji berulang-ulang. Ia kagum dan girang.

In Loei sebaliknya, berdebar-debar hatinya.

Pertempuran seru berjalan terus, sampai kemudian In Loei lihat, gerakan kaki kedua
pihak mulai ayal.

"Kali ini umpama kata kakak menang," pikir In Loei kemudian, "ia pasti akan jadi sangat lelah, sedang menurut aturan pertandingan, dia mesti melayani terus lawan-lawan baru hingga dua pertandingan, baharu ia boleh beristirahat. Jikalau tandingan kakak yang kedua ada sebangsa Liok Thian Peng kosennya, pasti lenyaplah gelaran Boe tjonggoan1.Sekarang masih belum ada kepastiannya....."

Pertempuran berjalan untuk banyak jurus, kedua pihak masih sama imbangannya,kejadian itu membuatnya kedua pihak tegang sendirinya.

In Tiong berkemauan keras untuk menang, ia berani melakukan penyeranganpenyerangan yang berbahaya sekalipun untuk dirinya sendiri, setiap kalinya, pukulannya bertambah berat. Untuk ini ia berlaku lambat dan sebat dengan tiba-tiba. Ia mainkan siasat, ia mencari lowongan, sekalipun dengan memancing.

Liok Thian Peng lebih berpengalaman, dia tidak membiarkan dirinya dipancing, dia berlaku tenang, matanya pun dipasang dengan tajam.
Selagi pertandingan berjalan, tiba-tiba tubuh In Tiong terhuyung, lalu lolos di antara cambuk, ia menyerang dengan kedua tangannya, golok di tangan kanan, kepalan di sebelah kiri.

"Bagus!" seru Liok Thian Peng atas serangan tiba-tiba itu. Ia berkelit dari kepalan dan menangkis golok, sesudah mana, ia pun membalas, yaitu ia membarengi, meneruskan gerakan cambuknya, yang ia pakai menyerang membalas.

Hampir In Loei keluarkan seruan karena menyaksikan saat yang sangat berbahaya itu,atau segera ia dengar jeritan "aduh!" dari Liok Thian Peng. Ia pun belum melihat nyata atau ia saksikan Thian Peng rubuh, cambuknya terlempar, tubuhnya terguling di atas panggung.

Dengan tibanya serangan membalas itu, tiba-tiba Thian Peng merasakan lengannya tertusuk jarum yang sakit rasanya. Tentu saja ia menjadi sangat kaget, apapula pada saat itu, serangan In Tiong datang menyusul. Tak ada jalan lain, sambil melepaskan cambuknya, ia buang dirinya ke panggung, guna berkelit dari serangan Kimkong tjioe yang dahsyat. Selagi bergulingan, di dalam hatinya, ia kata: "Hm! Kiranya di tangan bocah ini masih ada senjata rahasianya! Kecewa aku terpedaya!" Tapi ia bungkam.

Di dalam pieboe itu tidak disebutkan larangan menggunakan senjata rahasia. Tentu saja, ia pun
tidak ketahui, penyerang dengan jarum rahasia itu bukannya In Tiong.

Di bawah panggung, In Loei heran. Di atas panggung, In Tiong tidak kurang herannya kenapa lawannya itu rubuh sedang serangannya belum lagi mengenal sasarannya.

Dengan begitu, selesailah sudah pertempuran itu, maka kembalilah kiepaykhoa dengan tugasnya, memperdengarkan suaranya seperti biasa: "Kiedjin ke lima belas, Thio Tan Hong, naik ke panggung! Penanggungnya Thio Hong Hoe, Tjongkauwtauw dari Gielim koen merangkap Tjiehoei
dari Kimie wie!"

In Loei mendengar nyata, ia menjadi kaget hingga semangatnya bagaikan terbang pergi. Ia berdiri menjublak. Ia heran bukan main. Kenapa Thio Tan Hong juga turut dalam ujian? Kenapa Thio Tan Hong hendak perebutkan gelar Boe tjonggoan dengan kakaknya itu?

Continue Reading

You'll Also Like

497K 18.3K 30
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
Hostium (END) By Keila

General Fiction

1.2M 57.4K 47
Reanka adalah gadis pendiam dengan sejuta rahasia, yang hidup di keluarga broken home. Di sekolahnya ia sering ditindas oleh Darion Xaverius. Reanka...
91.7K 1.3K 44
Ia menulis dalam sebuah buku, kemudian berseru melayangkan pengumuman lagi: "Pertandingan selanjutnya antara kepala cabang di kota Tiang-siu, Busur E...
5.5M 272K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...