Thian San 2 : Dua Musuh Turun...

Od JadeLiong

23.1K 267 5

Merupakan cerita kedua dari serial Thian-san karangan Liang Ie Shen. Salah satu karya Liang Ie Shen yang terb... Více

I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI
XXXII

X

646 7 0
Od JadeLiong

In Lui terperanjat apabila ia sudah pandang muka orang yang baru datang ini. Ia kenali orang itu adalah si orang Tartar, si bangsat dengan siapa ia pernah bertempur di luar kuil tua pada malam itu. Dia adalah murid Tantai Mie Ming.
Ketika Ciu San Bin sudah melihat tegas, ia lompat sambil membacok, mulutnya pun mengucapkan "Orang Tartar bernyali besar! Kau telah nyelundup ke Tionggoan, kau hendak berbuat apa?"
San Bin segera kenali musuh negaranya, sebab Tantai Mie Ming bersama muridnya itu pernah membawa pasukan tentara menyerang Ciu Kian dan dia pernah bertempur dengan musuh ini.
Murid Tantai Mie Ming itu, yang bernama Katalai, begitu dia masuk ke dalam pekuburan, lantas dia memanggil dengan suara keras, "Thio Siangkong!" Dia kaget apabila tiba-tiba dia dibentak dan diserang. Akan tetapi dia tabah dan sebat, maka dia sempat mencabut sepasang gaetannya, untuk dipakai menangkis, hingga kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring.
"Apakah kau telah membunuh Thio Siangkong?" tanya Katalai dengan bentakannya.
"Sekalipun kau, hendak aku mencincangnya!" jawab San Bin sengit, kembali dia membacok.
Katalai menangkis, lalu ia balas menyerang, maka dengan begitu, mereka jadi bertempur. Tapi orang Tartar itu menyerang hebat, ia sudah lantas mendesak, dari itu tidak lama, ia telah membikin San Bin kewalahan, sampai orang she Ciu ini cuma bisa menangkis, tidak mampu ia membalas menyerang. Hingga pertempuran jadi tidak seimbang.
Cui Hong berkuatir melihat pemuda itu bakal kena dikalahkan, di dalam hatinya, dia kata, "Toapeh ini kurang ajar, akan tetapi mesti aku bantu dia!" Dengan sendirinya, ia akui orang sebagai toapehnya, paman dari pihak "suaminya". Maka lantas ia hunus goloknya, terus ia maju menerjang, hingga orang Tartar itu kena dikepung berdua.
Dibanding dengan Katalai, Cui Hong kalah tenaga, akan tetapi dia menang enteng tubuh, dia jauh terlebih gesit, maka dengan andalkan kegesitannya itu dapat dia berikan bantuan berharga pada San Bin, hingga San Bin tidak lagi terdesak, malah sesaat kemudian, keadaan jadi berbalik, Katalai adalah yang kena didesak mereka itu.
Katalai tahu diri, selagi berkelahi, dia berseru keras, sepasang gaetannya juga bekerja, untuk menyerang dengan hebat kedua lawannya. Nyata ia telah gunakan siasat. Sebab begitu mendesak, dia lantas lompat mundur, dia putar tubuhnya, untuk segera lari keluar kuburan.
San Bin lompat untuk mengejar, di belakang dia, Cui Hong menyusul, dari itu, sebentar saja, ketiga orang itu sudah lenyap dari dalam kuburan.
In Lui yang menyaksikan pertempuran itu, goncang hatinya. Ia lantas angkat kepalanya, untuk memandang Thio Tan Hong. Justeru itu, si anak muda pun memandang padanya sambil tersenyum, agaknya dia hendak bertanya, "Kau lihat, adakah aku satu pengkhianat atau bukan?"
In Lui sangat percaya Ciu Kian dan puteranya, coba ia tidak berada bersama Tan Hong selama beberapa hari, hingga ia dapat menyaksikan kelakuan orang, begitu mendengar ucapan "pengkhianat" dari San Bin, tentu ia sudah tikam pemuda di sisinya ini. Akan tetapi sekarang, pikirannya jadi berlawanan satu dengan lain. Tidak nanti San Bin lancang menuduh, tapi juga Tan Hong tidak pantas ia menjadi pengkhianat bangsa. Selama bergaul rapat beberapa hari, dari jemu ia menjadi gemar bergaul dengan orang she Thio ini, malah agaknya ia menaruh penghargaan.
"Dia baru kembali dari Mongolia, "demikian ia berpikir lebih jauh, "mungkin dia telah menyingkirkan diri dari negara asing, karena mana bangsa Mongolia jadi hendak membekuk dia kembali ... Mungkin karena itu, San Bin menyangka dia ada satu pengkhianat."
Tidak lama In Lui berada dalam kesangsian, lantas ia dapat tenangkan diri. Begitulah ia tersenyum sendirinya.
"Toako, aku percaya kau," katanya kemudian dengan perlahan.
Wajah Tan Hong pun menjadi terang, nyata sekali ia gembira.
"Hiantee," katanya, dengan perlahan, "seumurku kau adalah sahabatku satu-satunya yang mengenal diriku. Sekarang lanjutkan semedhimu. Malam ini hendak aku perdengarkan kau dongeng yang kesatu."
Tan Hong bertindak keluar dari kamar rahasia, ia pergi menutup pintu depan, yang ia ganjal dengan dua potong batu besar yang panjang, hingga tanpa tenaga seribu kati, sulit untuk orang membuka pintu kuburan itu.
In Lui melanjutkan istirahatnya, semedhinya. Ia rasakan darahnya mengalir dengan sempurna, ia merasa tubuhnya jadi sehat sekali.
Waktu telah berlalu, tidak ada sinar terang lagi yang molos masuk dari sela-sela di atas wuwungan, itu tandanya bahwa sang magrib telah datang.
Hek Pek Moko mempunyai persediaan barang makanan di dalam istananya itu, maka Thio Tan Hong bisa menyalakan api, untuk masak bubur, untuk memanaskan daging dan ayam. Lalu ia suguhkan makanan itu pada In Lui, hingga si nona menjadi bersyukur sekali.
Tan Hong mengawasi sambil tersenyum ketika ia berkata," Kesehatanmu telah maju baik, akan tetapi kau masih belum boleh bicara banyak. Kau cuma harus dengarkan aku, tidak boleh kau banyak menanya. Sekarang hendak aku mulai dengan dongengku yang pertama. Nanti setelah selesai aku ceriakan tiga dongengan, baru aku tuturkan jelas tentang diriku kepadamu."

VII

In Lui angkat kepalanya, akan pandang anak muda di depannya itu.
Thio Tan Hong sudah lantas mulai dengan dongengnya.
"Pada jaman dahulu maka adalah dua orang bersengsara yang bekerja sebagai tukang meluku sawah dari satu tuan tanah. Belakangan, karena malapetaka alam, hidup mereka jadi semakin sukar, hingga kesudahannya, yang satu menukar penghidupannya sebagai pengemis, yang satu lagi menjadi tukang selundup garam gelap. Kedua orang ini hidup sangat akur satu pada lain, hingga mereka mengangkat saudara."
"Pada waktu itu, Tionggoan telah diduduki oleh bangsa asing. Karena ini pencinta-pencinta negara, yang hidupnya terpencar, bercita-cita membuat perlawanan. Juga kedua saudara itu berangan-angan besar, mereka mirip dengan Tan San dan Gouw Kong di jaman Liat Kok yang hendak merubuhkan kerajaan Cin. Mereka angkat saudara dengan bertepuk tangan, mereka saling berjanji, apabila mereka berhasil dan menjadi orang besar, mereka tak akan melupai satu pada lain."
"Berbareng dengan itu, bersama dua saudara angkat itu ada satu hweesio. Dia berusia jauh terlebih tua daripada dua saudara itu, dia ajarkan mereka ilmu silat, maka itu, ia dipanggil guru."
"Garam itu ada usaha negara, maka kalau rakyat membikin dan menjualnya dengan diam-diam, dia bakal ditangkap pembesar negeri dan dihukum mati. Apa mau si pengemis, si saudara muda, tidak berani bekerja sebagai kakak angkatnya itu, sebaliknya, dia pergi ke sebuah kuil dimana ia sucikan diri sebagai hweesio. Apa celaka, datanglah musim paceklik, tidak ada dermawan yang menunjang kuil, telah kejadian, dari sepuluh hweeshio, tujuh atau delapan diantaranya mati kelaparan. Dalam kesukaran itu, si kakak, yang jadi penjual garam gelap, menunjang adik angkatnya ini. Karena sisa-sisa hweeshio bubar, si pengemis juga ikut merantau, ia pergi kemana saja untuk hidup sambil menerima amal."
"Belakangan, guru dari kedua saudara itu telah berhasil angkat senjata. Si adik, si hweeshio asal pengemis, turut gerakan gurunya itu, dia ikut dalam pasukan tentara. Dalam satu pertempuran besar, si hweeshio guru lenyap tak keruan paran, ada yang mengatakan dia terbinasa, ada yang mengatakan dia lolos dan kembali menuntut penghidupan sebagai hweeshio. Bagaimana sebenarnya dengan hweeshio guru ini, pada akhirnya tak ada yang mengetahuinya."
"Sekarang diceritakan tentang si tukang garam. Dia telah berusaha jauh sampai di Kangpak Utara, disana dia dapat kemajuan hingga dia dapat mengumpulkan beberapa ratus pegawai. Dia pun lantas berontak, dia angkat dirinya sebagai raja. Selama beberapa tahun, dia terus berhasil, hingga pengaruhnya jadi tambah besar. Begitulah ia angkat dirinya jadi kaisar di kota Souwciu."
"Beberapa propinsi di sepanjang sungai Tiang Kang adalah wilayahnya raja bekas penyelundup garammini, maka itu ia gunakan pengaruhnya untuk mencari adik angkatnya. Sekian lama, tidak pernah ia peroleh hasil."
"Sementara itu, kaum pergerakan muncul disana-sini, diantaranya rombongan Pelangi Merah. Dia pun pengaruhnya besar. Dua tahun kemudian, pemimpin Pelangi Merah itu telah menutup mata, dia digantikan oleh satu pemuda kosen, yang berhasil merampas pelbagai kota hingga daerahnya meluas di Tiangkang Selatan."
'Kaisar di Souwciu itu terus mencari keterangan perihal adiknya, ia lantas dapat dengar, pemimpin Pelangi Merah itu sebenarnya berasal dari satu hweeshio. Tapi berberang dengan itu, ia dengar lelakonnya adiknya ini. Katanya, ketika adik ini turut gurunya memberontak dan gurunya itu kalah, diam-diam ia telah jual gurunya pada pemerintah, musuh, dia sendiri berpura-pura menjadi orang baik-baik, dia melanjutkan memimpin pasukan gurunya itu, yang dia robah menjadi Pelangi Merah. Dia berjasa dalam pasukan Pelangi Merah itu, sampai akhirnya ia diangkat menjadi pemimpin utama. Lelakokn ini tidak dipercaya si kakak angkat, tapi dia kirim utusan, untuk mengajak bekerja sama, yang mana diterima baik. Adalah setelah ini, ia dapat kepastian pemimpin Pelangi Merah benar-benar ada adik angkatnya itu."
"Segera juga ada pertentangan pengaruh di wilayah Tiangkang antara kedua saudara ini. Si kakak mengirim utusan menyeberangi sungai, ia kirim surat yang berbunyi 'Kita berdua bersaudara, siapa pun yang menjadi kaisar, sama saja. Mari kau seberangi sungai, untuk kita bertemu, lebih dahulu kita bicara sebagai saudara, kemudian kita rundingkan dan tetapkan rencana bekerja untuk bersama-sama melawan musuh asing'. Di luar dugaan, adik itu merobek surat itu, dia tidak mau menyeberang, malah dia sebaliknya memotong kuping si pembawa surat, siapa disuruh pulang sambil memberikan pesan 'Diatas langit tidak ada dua matahari, dimuka bumi tidak ada dua raja, maka itu, sama-sama kita adalah orang-orang gagah dari jaman ini, baiklah jikalau bukan kau yang mati, akulah yang binasa!'."
"Kakak itu jadi sangat gusar, maka terjadilah peperangan antara mereka berdua. Selama beberapa tahun, mereka bergantian menang dan kalah. Pertempuran terakhir terjadi di Tiangkang. Kesudahannya, sang adik yang menang, si kakak kena ditawan, di dipaksa untuk menyerah, supaya dia suka jadi hamba dan akui si adik sebagai junjungannya. Si kakak tidak sudi tunduk, sambil tertawa bekakakan, dia kata 'Pengemis, jikalau kau dapat menurunkan tanganmu, kau bunuh saja aku!' Adik itu tidak menyahuti kakaknya, dia hanya perintahkan orang mengemplangi kakaknya hingga binasa, lalu mayatnya ditenggelamkan di dalam sungai Tiangkang. Habis memusnahkan kakaknya, adik ini angkat dirinya menjadi kaisar. Beberapa tahun kemudian, raja ini berhasil mengusir bangsa asing dari Tionggoan, dia dapat membasmi lain-lain jago, hingga dia berhasil juga mempersatukan negara. Dengan begitu, jadilah dia satu kaisar yang membuka satu jaman baru. Nah, adikku, coba kau katakan kaisar ini jahat atau tidak?"
Demikian Tan Hong akhiri dongengnya yang pertama itu.
"Adik itu tidak ingat saudara, pasti dia jahat," sahut In Lui, yang mendengarkan dengan perhatian. "Tetapi dia dapat mengusir bangsa asing, dia dapat merampas kembali negara, dia dapat dikatakan satu orang gagah, enghiong atau hoo-kiat."
Mendengar itu, air muka Tan Hong sedikit berubah.
"Hiantee, kau juga mempunyai pemandangan begini?" kata dia dengan tawar. "Pengemis itu, setelah dia menjadi kaisar, dia bunuh menteri-menteri yang berjasa, dan terhadap turunan kakaknya, dia tak sudi berlaku murah hati, dia sudah kirim orang keempat penjuru untuk mencarinya, turunan si kakak itu hendak dihabiskan. Maka juga, turunan si kakak itu, bersama-sama turunan beberapa menteri berjasa, sudah kabur jauh sekali, mereka telah berpencaran. Eh, adikku, kau telah dahar habis buburmu, bagus! Dongengku juga telah tamat."
In Lui angkat kepalanya, akan pandang kawannya itu.
"Toako," katanya," tentang dongengmu ini, dapat aku menduganya. Kau bicara tentang permulaan berdirinya kerajaan kita. Si pengemis itu adalah Beng-thay-couw Cu Goan Ciang, dan si kakak penjual garam gelap itu adalah orang yang menamakan dirinya Thio Su Seng, kaisar dari kerajaan Ciu. Hanya belum pernah aku mendengarnya yang mereka itu berdua telah angkat saudara satu sama lain. Dalam buku hikayat juga tidak ditulis demikian, sebaliknya ada dicatat bahwa Thio Su Seng itu asalnya orang yang rendah martabatnya dan Thay Couw membunuh dia adalah untuk membantu rakyat menghukum pemberontak."
Tan Hong tertawa dingin.
"Siapa berhasil, dia menjadi raja, siapa gagal, dia jadi berandal, demikian bunyi sebuah pepatah," dia kata. "Inilah pepatah yang dari jaman purba sampai sekarang ini tetap menjadi kenyataan. Mengenai mereka mengangkat saudara, jangan kata hikayat tidak berani menuliskan Cu Goan Ciang asal pengemis, asal hweeshio perantauan, malah dalam hikayat buatan negara tak disebutnya sama sekali. Sebenarnya, orang menjadi pengemis, orang jadi hweeshio melarat, bukankah itu tidak menghina leluhur mereka? Hm!"
Halnya Beng-thay-couw Cu Goan Ciang pernah menjadi pengemis dan di kuil Hong Kak Sie menjadi hweeshio, di kolong langit ini tidak ada orang yang tidak mengetahuinya. Tapi setelah Cu Goan Ciang menjadi kaisar, hal ikhwalnya itu ia jadikan pantangan untuk diceritakan orang, karena pantangannya itu, hingga ia telah menghukum mati beberapa orang yang dianggap sudah melanggar larangannya itu. Tentang ini, In Lui pernah dengar engkongnya bercerita, ia pun ketahui itu. Sekarang, mendengar cerita Thio Tan Hong, ia jadi ingat kepada bencana yang dialami engkongnya itu sendiri, yang teraniaya dan terbinasa secara kecewa. Maka di dalam hatinya ia berkata, "Dasar mereka yang menjadi raja semua bukan orang baik-baik, peduli apa kau dengan Cu Goan Ciang atau Thio Su Seng itu? Cuma, apa maksud toako menceritakan dongeng ini? Kenapa dia kelihatannya membenci kepada Beng Thay Couw pendiri dari kerajaan kita ini?"
"Sudah, jangan kau bicara banyak," kata Tan Hong, melarang orang banyak omong, dan ia teruskan menguruti "pemuda" itu.
In Lui terdiam, ia berdiam terus, karena ia tertidur. Ketika besok pagi ia mendusin, ia dapatkan Thio Tan Hong tengah berduduk di sisinya, apabila ia lihat tubuh orang, ia dapatkan orang belum merapikan pakaiannya. Yang membuatnya heran, ialah mata si mahasiswa tampak bengkak, suatu tanda bahwa tadi malam kawannya ini banyak menangis. Ia terharu, ia merasa berkasihan.
"Pasti dia berduka, sebentar telah ia selesai menutur padaku, aku mesti hibur dia," ia ambil putusan.
Ketika Thio Tan Hong lihat kawannya itu telah bangun dari tidurnya, ia tersenyum.
"Adakah kau merasa baikan?" dia tanya.
"Banyak baik," sahut In Lui cepat. "Tentunya semalam toako tidak tidur?..."
Tan Hong tertawa.
"Bagiku tidak tidur beberapa hari atau sekalipun tidur hingga beberapa hari ada sama saja, biasa saja," sahutnya. "Tak usah kau pikirkan aku. Sekarang mari lonjorkan kakimu."
In Lui menurut, ia majukan kaki kanannya itu.
Tan Hong loloskan sepatu orang, habis itu ia mulai menguruti kaki itu, dari ujung sampai ke mata kaki, ke seputarnya, lalu naik hingga ke betis. Selama itu, In Lui merasakan sedikit sakit. Itulah tanda bahwa urutan itu tepat sekali. Lalu, setelah itu, ia merasakan hatinya lega.
"Sekarang cukup sampai disini!" kata Tan Hong, yang menghentikan urutannya pada apa yangdia namakan "samyang". Besok akan kuurut pula, supaya pulih kesehatanmu. Sekarang kau boleh beristirahat pula, kau bersemedhi."
Habis berkata, ia geser tubuhnya, untuk kemudian keluarkan gambarnya. Ia gunakan terang api lilin untuk memandang gambar itu. Lama ia mengawasi, ia meneliti, seperti ia tengah mencari sesuatu dalam gambar itu. Begitu lama In Lui beristirahat, begitu lama juga ia memandangi gambar itu. Sampai tiba-tiba terdengar tindakan kaki di luar pekuburan. Baru setelah itu, pemuda ini menghela napas, lantas ia gulung pula gambar itu.
"Kenapa sih ada orang yang sangat menyukai tempat hantu ini?" katanya perlahan, setelah mana, ia pesan kawannya. "Tidak perduli apa yang kau saksikan, jangan kau buka suara!"
Rupanya di luar kubur itu bukan berada cuma satu orang, itulah ternyata dari suara dan caranya tanah digali, dibongkar. Tidak lama kemudian terdengar suara menggabruk keras, dari terbukanya daun pintu. Ini juga menandakan usahanya suatu tenaga yang besar sekali.
Segera ternyata, mereka itu berjumlah lima orang. Mereka membawaobor. Dengan melerot, mereka masuk ke dalam kuburan.
In Lui pasang matanya. Ia kenali, yang keempat adalah si saudagar barang-barang permata. Mereka ini, dua jalan di depan, dua lagi di sebelah belakang. Yang jalan di tengah adalah Hek-sek-chung Chungcu, atau tuan rumah dari Hek-sek-chung atau Cio-kee-chung, ialah Hong-thian-lui Cio Eng. Ia terkejut.
"Empat saudagar itu mestinya ketahui kamar rahasia ini," ia berpikir. "Jikalau Cio Eng menitahkan aku pulang, bagaimana?"
Ia menjadi bingung.
"Mereka berdua mesti masih berada di dalam sini," terdengar satu saudagar berkata. "Cio Loo-chungcu, kami mohon pertimbanganmu."
Menuruti hawa amarahnya, Hek Pek Moko sudah lantas menuju pulang ke Tibet, karena kepergiannya itu, mereka titahkan keempat saudagar pergi berusaha ke Selatan, untuk menyelesaikan usaha mereka. Dua hantu ini, dengan sudah menyerahkan harta bendanya, tidak ingin melanjutkan pekerjaannya itu. Tidak demikian dengan keempat saudagar ini, mereka ini tidak puas, maka kebetulan sekali untuk mereka, di tengah jalan, mereka bertemu dengan Cio Eng yang tengah menyusul gadisnya. Mereka tuturkan pada Cio Eng apa yang mereka alami, tentang Hek Pek Moko juga, setelah mana, mereka minta jago tua ini membantu mereka. Mereka pun sebut-sebut nama Thio Tan Hong yang mereka tunjuk adalah pencuri di rumah Cio Eng pada malam itu. Mereka tahu, Cio Eng kalah lihai daripada Hek Pek Moko, akan tetapi chungcu ini besar pengaruhnya, kalau "Liok-lim-cian" diumumkan, mereka percaya, Thio Tan Hong, tidak akan dapat terbang lolos.

Mohon sesuatu dari lain orang. Lagi pula, menindih orang dengan kekuatan pengaruh, itu membuat mukaku tidak terang. Bicara terus terang, jikalau aku takut orang menyiarkan Liok-lim-cian, tadi begitu aku keluar, begitu lekas juga dapat aku menghabiskan jiwa kakak angkatmu itu. Aku justeru hendak membiarkan orang mencobanya, ya Cio Cui Hong dengan Ciu San Bin itu memang setimpal sekali, pantas kau di dalam kamar pengantin selalu menyebut-nyebut kakak angkatmu itu!"
Tan Hong ucapkan kata-katanya yang terbelakang itu secara wajar.
Biar bagaimana, In Li toh berduka, ia berkuatir. Tidak tahu ia, diantara Tan Hong dan Ciu Kian ada urusan apa, mungkin antara mereka itu ada ganjalan.
Thio Tan Hong awasi si nona, ia tersenyum.
"Melihat wajahmu, kau maju banyak," ia kata. "Sekarang lanjutkanlah istirahatmu. Sebentar, selagi bersantap malam, akan aku ceritakan kau dongeng yang kedua."
In Lui turut nasihat itu, karena ia berbakat baik, pada waktu hendak bersantap malam, kesehatannya telah pulih tujuh atau delapan bagian, hingga dapat ia makan rangsum kering.
Thio Tan Hong layani orang dahar, sambil melayani, ia ceritakan dongengnya.
"Pada jaman dahulu kala, ada sebuah negara," demikian ia memulai. "Di dalam negara itu ada seorang menteri yang setia. Apa she dan nama menteri itu, tidak usah aku menyebutkannya. Sebab tidak peduli di jaman atau kerajaan apa, mesti ada saja semacam menteri setia itu. Mungkin dia she Thio, mungkin dia she Lie, bisa jadi juga dia she Ong atau she In..."
"Di samping negera itu, ada sebuah negara lain yang bertetangga dengannya. Kedua negara itu sering berperang satu pada lain. Suatu waktu, negara yang satu yang menyerbu, ada kalanya, negara yang lain yang menerjang, tapi, tidak peduli negara yang mana yang menerjang masuk, kesudahannya yang celaka adalah di rakyat jelata.
"Ketika terjadinya dongengku ini, kebetulan negara dari si menteri besar yang setia dan berpengaruh itu, menghendaki negara yang lain itu membayar upeti setiap tahun dan setiap tahun harus mengirim utusan selaku tanda hormat dan setia. Negara ini, yang kalah pengaruh, menjadi sangat tidak puas, maka itu ia mengumpulkan orang-orang cerdik pandai, hingga perlahan-lahan ia pun menjadi kuat. Negara si menteri besar dan setia itu tak senang melihat tetangganya menjadi kuat, dia berkuatir, segera dia kirim si menteri besar dan setia selaku utusan dengan tugas, di satu pihak untuk mempererat persahabatan katanya, di lain pihak untuk dengan cara diam-diam menyelidiki keadaaan yang besar dari negara taklukannya ini. Diluar sangkaan, menteri besar dan setia itu telah pergi dua puluh tahun lamanya...Eh, saudara kecil, kau kenapa?..Kau tahu, kenapa dia pergi sampai lamanya dua puluh tahun itu? Kiranya....Eh, adik Lui, adik Lui!"
Thio Tan Hong dongeng sambil mengawasi sahabatnya itu, selama hampir setiap detik, ia tampak air muka orang berubah sedikit demi sedikit, sampai waktunya ia menyebutkan "dua puluh tahun", wajah In Lui menjadi pucat sekali dan tubuhnya pun bergoyang, bagaikan hendak rubuh, ia menjad kaget, maka dengan lantas ia ulurkan tangannya, untuk pegang tubuh orang, untuk cegah dia jatuh.
Walaupun keadaannya sedemikian rupa, bagaikan kesehatannya sangat terganggu dengan tiba-tiba, In Lui masih dapat bicara, malah ketika ia buka mulutnya, ia seperti menyambungi dongeng Tan Hong itu. Ia kata, "Kau tahu, kenapa menteri besar dan setia itu pergi sampai dua puluh tahun? Kiranya orang telah menahan dia, dia dipaksa menggembala kuda di tempat dimana ada banyak es dan salju! Sudah, toako, tak usah kau lanjutkan dongengmu ini, tak usah aku mendengarnya..."
Wajah Tan Hong juga lantas berubah menjadi pucat, sepasang alisnya dikerutkan. Agaknya dongengnya ini, dongeng yang tua, sekarang telah berubah menjadi kenyataan. Nampaknya, ia seperti telah sadar dengan tiba-tiba dari mimpinya. Dengan tajam ia terus awasi In Lui.
"Saudara kecil," katanya kemudian, "kiranya kau telah ketahui dongeng ini. Kalau begitu, baiklah, besok malam aku akan ceritakan dongeng yang ketiga, nanti kau dapat mengerti semuanya. Saudara kecil, sekarang apapun kau tidak usah tanyakan, apa juga tidak usah kau mengatakannya. Kau harus beristirahat, tak dapat kau banyak bergerak dan banyak berpikir, nanti kau gagal memulihkan kembali kesehatanmu. Saudara kecil, mari aku bantu pula padamu."
Ia cekal kedua telapak tangan In Lui, tangan itu, ia rasakan, berhawa panas. Ia juga lihat bahwa sinar mata si nona guram.
"Saudara kecil, hatimu sedang pepat," ia kata. "Baiklah kau menunda sebentar untuk bersemedhi."
Ia lepaskan cekalannya, lantas ia jalan mondar-mandir di dalam kamar rahasia itu, atau ia jalan mengitari ruangan.
In Lui mesti tenangkan hati, kalau tidak kesehatannya tak akan pulih. Ia lihat kelakuan orang itu, ia insyaf Tan Hong sedang berduka. Beberapa kali hendak ia menanya, ia batal, masih dapat ia kendalikan diri. Akhirnya, ia singkap rambutnya, ia tersenyum.
"Toako, perlu kau tidur siang-siang," ia kata. "Akan aku sabarkan diri, untuk menanti sampai besok, guna mendengarkan dongengmu yang ketiga."
Setelah mengucap demikian, hati si nona benar-benar menjadi tenang.
Thio Tan Hong pun tersenyum, ia angkat ouw-kimnya dari atas meja kemala, lantas ia akurkan talinya, terus ia menabuh, yang mana ia iringi dengan nyanyiannya sendiri.Ia nyanyikan sebuah syair pujian untuk kota Hangciu yang indah, syair dari jaman Kerajaan Song. Pandai ia menabuh, merdu ia bernyanyi.
Mendengar itu, lega hati In Lui, lenyap kedukaannya.
Habis memainkan lagu dan bernyanyi Tan Hong letakkan ouwkimnya di atas meja, terus ia hampirkan si nona. Ia usap-usap rambut orang.
"Adik kecil, kau tidur, tidurlah," katanya perlahan.
Bagaikan kena pengaruh sihir, In Lui meramkan matanya, tidak lama, ia tertidur.
Besok pagi-pagi apabila ia mendusin, In Lui merasakan tubuhnya segar. Semalam ia tidur dengan nyenyak, tanpa gangguan. Girang Tan Hong menampak keadaan In Lui.
"Adik kecil, hari ini kau beristirahat pula," katanya. "Habis ini, kesehatanmu akan kembali seluruhnya, malah tenaga dalammu bukannya berkurang, tapi bertambah!"
In Lui menurut, ia terus beristirahat, ia terus bersemedhi. Tan hong pun tak bosan-bosan selang setiap satu jam, dengan tetap ia berikan bantuannya, untuk mengempos semangat si nona. Demikian, selewatnya tengah hari, selesailah ia dengan cara pengobatan sam-yang dan sam-im nya. Wajah In Lui telah bersemu merah sekarang.
"Saudara kecil," kata Tan Hong dengan girang. "Lewat lagi dua jam, kau akan pulih seanteronya!"
In Lui girang, ia tersenyum. Selagi ia terus bersemedhi, Tan Hong duduk sendirian di sisinya, memandangi gambarnya.
Berselang setengah jam, tiba-tiba Tan Hong kerutkan alis. Dengan kupingnya yang tajam sekali, ia dengar suara orang di luar pekuburan itu.
"Kenapa ada lagi orang datang mengacau?" ia berpikir.
Dengan sekonyong-konyong terdengarlah kuda Ciauw-ya Say-cu-ma berbenger, lalu disusul dengan satu suara sangat keras dan nyaring, yang mengakibatkan gempurnya pintu pekuburan, hingga debu pun mengepul. Lalu menyusul itu terlihatlah seekor kuda putih lari masuk, di punggungnya ada seorang dengan pakaian hitam.
Tanah dimana nancap tiang pintu memang telah lenyap kekuatannya, akan tetapi walaupun demikian, tidak sembarang orang dapat menggempurnya, sekarang orang berpakaian hitam itu dapat melakukannya, itulah suatu tanda bahwa tenaganya besar sekali. Dan yang lainnya yang mendatangkan keheranan adalah si kuda putih, kuda Ciauw-ya Say-cu-ma, kuda yang istimewa karena binalnya. Kuda ini tidak akan menurut kecuali pada majikannya, akan tetapi aneh, sekarang dia dapat dikendalikan orang lain.
Maka itu, di dalam kamar rahasia, In Lui dan Tan Hong terkejut.
Di ruang dalam, kuda putih itu berbenger pula dengan keras, berulang kali. Mulai dari pintu, dia sudah lari keras, sampai di dalam dia lari berputar-putar.
Di ruang dalam itu, si penunggang kuda lompat turun dari punggung kuda, begitu dia injak tanah, dia berulang kali perdengarkan panggilannya," Tan Hong! Tan Hong!"
Sekarang diantara kaca rahasia, Tan Hong kenali orang itu, ialah Tantai Mie Ming, panglima dari negara Watzu.
In Lui kaget sekali, sampai ia menjerit, lalu ia gerakkan tubuhnya, untuk lompat turun, tetapi, belum sampai ia bergerak, ia segera rasakan pinggangnya lemah, kaku, hingga tak dapat ia bergerak.
Dengan sebat luar biasa Thio Tan Hong totok kawan ini menyusul mana dia berbisik di kuping si nona, "Saudara kecil, jangan bergerak, lanjutkan semedhimu! Aku hendak keluar, segera aku kembali. Kau sabar, kau tunggu, nanti aku tuturkan kau dongeng yang ketiga itu..."
"Tan Hong, kau ada bersama siapa di dalam?"
In Lui, yang terus memandangi kaca, dapat melihat dengan tegas. Kuda putih berdiri di samping Tantai Mie Ming, kuda itu seperti telah kenal baik pahlawan asing itu.
Tan Hong sudah lantas membuka pintu rahasia, dia lompat keluar. "St!" katanya.
Milihat si anak muda, Tantai Mie Ming berkata pula, "Tan Hong, Siangya......" Lalu mendadak, ia berhenti.
"St!" demikian suara Tan Hong pula.
"Tan Hong, ayahmu menyuruh kau pulang!" terdengar Tantai Mie Ming berkata. Tidak lagi ia menyebut "Siangya", "Sri Paduka", panggilan untuk perdana menteri.
"Tantai Ciangkun," Tan Hong menyahuti, "tolong kau sampaikan kepada orangtuaku, setelah aku meninggalkan Mongolia, untuk selanjutnya hidupku adalah sebagai bangsa Tionghoa, dan aku tidak akan kembali lagi!"
Tantai Mie Ming tidak segera undurkan diri.
"Kau ingat, Tan Hong," katanya, "sekalipun kau tidak memikirkan lagi ayahmu, kau toh mesti pikirkan dirimu sendiri. Seorang diri kau memasuki Tionggoan, diantara orang-orang gagah dari Tionggoan itu, siapakah yang ketahui dirimu, siapa yang tahu hatimu?"
Tapi Tan Hong menjawab dengan suara pelan.
"Walaupun tubuhku hancur lebur menjadi laksaan keping, akhirnya, tubuhku mesti dikubur di tanah Tionggoan! Inilah terlebih baik daripada mayatku dipendam di negara asing, hingga aku meninggalkan bau busuk di negara lain! Aku minta tolong kau sampaikan kepada orang tuaku, pesanlah agar dia rawat dirinya baik-baik."
Mendengar sampai disitu, bukan main herannya In Lui.
"Kalau Tan Hong ada orang Tionghoa yang bertempat di Mongolia, kenapa Tantai Mie Ming berlaku begini baik padanya?" ia berpikir. "Tantai menyebutnya Siangya....Siangya....Mungkinkah Tan Hong ada?...."
Tak dapat nona ini berpikir terus, pikirannya itu terganggu oleh seruan Tantai Mie Ming. Panglima Watzu ini mengayunkan tangannya ketika ia menegaskan, "Apakah benar-benar kau tidak hendak turut aku pulang?"
"Tantai Ciangkun," katanya dengan sangat masgul, "kenapa kau begini mendesak padaku?"
Kembali tangan Tantai melayang, kali ini ke arah dada.
Tan Hong tidak berkelit pula, ia menangkis, tapi karena ini, ia diserang pula, terus-menerus, setiap serangan panglima Watzu itu mendatangkan suara angin, satu kali dia menyambar batang leher orang, secara hebat.
Kalut pikiran In Lui. Ia heran, ia kaget, ia pun girang. Ia kaget karena serangan dashyat dari Tantai Mie Ming, serangan yang jauh melebihi hebatnya serangan dari Hek Pek Moko. Ia girang karena akhirnya Tan Hong membuat perlawanan, hingga teranglah sudah, Tan Hong itu bukan orang segolongan Mie Ming. Yang membikin ia heran dan curiga, adalah kata-kata "Siangya", Sri Paduka Perdana Menteri. Ia sampai merasa ulu hatinya bagaikan ditikam pisau tajam. Ia jadi ragu-ragu untuk dirinya orang she Thio ini.
Oleh karena perlawanan Tan Hong itu, pertempuran jadi berlangsung hebat, tubuh mereka berdua melesat pergi datang, mendatangkan sambaran angin tak putusnya. Tubuh mereka bagaikan bayangan-bayangan yang bergerak-gerak cepat tak hentinya.
Tantai Mie Ming gesit bagaikan kera, kepalannya berat bagaikan tubrukan harimau. Nyata ia sangat kuat dan lincah. Dengan serbuannya itu ia membuat Tan Hong tiap-tiap kali mundur.
In Lui bertegang hati, ia sangat berkuatir. Mau ia lompat, tapi tak dapat ia berbuat. Ia coba empos dirinya akan bebaskan diri dari totokan Tan Hong, ini pun tidak berhasil. Ia jadi mengawasi dengan mendelong, hatinya berdenyut keras.
Tiba-tiba Tantai Mie Ming ulur sebelah tangannya, menyambar tubuh Tan Hong, sambil menyambar, ia berseru nyaring, "Pergilah kau!"
Tan Hong kena disambar, lalu tubuhnya dilemparkan ke atas, dilepaskan dari cekalan.
In Lui kaget hingga ia meramkan matanya dan berseru tertahan. Begitu ia buka pula matanya, hatinya menjadi lega.
Tubuh Tan Hong terlempar, ketika jatuh ke tanah, ia perdengarkan suara, tetapi In Lui dapatkan ia tengah berdiri dengan tidak kurang suatu apa. Benar Tan Hong telah dilemparkan, tetapi ia dilemparkan hingga tubuhnya jumpalitan, maka itu, waktu tubuh itu turun, kakinya yang tiba lebih dahulu di tanah.
Sampai disitu, Tantai Mie Ming maju dua tindak kepada si anak muda. Ia tampak bersenyum.
"Tan Hong, tidak kecewa gurumu mengajari kau dengan susah payah!" katanya dengan kagum. "Kau benar-benar lihai! Karena kau sanggup melayani aku selama lima puluh jurus, kau boleh menjagoi di kalangan kang-ouw. Baiklah, kau boleh bawa dirimu, berlakulah hati-hati! Di depan ayahmu nanti, akan aku talangi kau bicara, kau jangan kuatir."
Baru sekarang Tan Hong ketahui orang sebenarnya mencoba padanya, orang bermaksud baik. Karenanya, ia lantas menjura.
"Tantai Ciangkun, dalam segala hal, aku mengandal pada kau!" ia kata.
Tantai manggut, atau mendadak ia tanya, "Siapa itu di dalam kamar?"
"Dia adalah satu sahabatku," Tan Hong beritahu. "Dia tidak ingin bertemu denganmu, dari itu aku mohon, dengan memandang aku, jangan kau membuat dia kaget."
"Jikalau dia tidak sudi menemui, tak usah dia dipaksa," kata Tantai. 'Kau tahu, adalah maksud Thaysu bahwa pada bulan sepuluh...."
"St!" Tan Hong perdengarkan pula cegahannya.
Tantai berhenti dengan tiba-tiba, lalu ia tertawa.
"Setelah sekarang ini, tak dapat diketahui di belakang hari kita akan bertemu pula atau tidak," kata dia, menyambungi, "maka marilah kau keluar, untuk kita bicara sebentar.''
Tanpa tunggu jawaban, Tantai sambar tubuh Tan Hong, untuk dibawa lompat naik ke atas kuda, kuda mana segera dikeprak untuk dilarikan keluar kuburan.
In Lui bernapas lega, atau segera ia merasa tertekan pula, seolah-olah jantungnya ditindih batu seberat seribu kati. Bukankah Tan Hong diajak keluar dengan paksa? Tapi karena ia tidak berkuatir, cuma hatinya yang tidak tenteram, lekas-lekas ia bersemedhi, untuk tenangkan diri. Ia empos semangatnya, ia mencoba kerahkan tenaga dalamnya. Kali ini, di luar dugaannya, ia berhasil. Ia bebas dari totokan. Maka lantas saja ia lompat turun.
"Kau tunggu, akan aku pecahkan rahasia dirimu!" ia kata di dalam hatinya. Ia melihat ke sekitarnya. Ia dapatkan pedang Tan Hong masih tergantung di tembok. Ia hampirkan pedang itu dan menurunkannya. Ia periksa gagangnya, ia dapatkan ukiran dua huruf "Pek In", Mega Putih. Lantas hatinya memukul.
Pek In beserta Ceng Beng adalah dua pedang atau sepasang pedang yang menjadi peryakinannya Hian Kee It-su. Ceng-beng-kiam telah diwariskan kepada Cia Thian Hoa, pedang Pek-in-kiam kepada Yap Eng Eng. Inilah sebab yang menggoncangkan hati si nona.
"Darimana Tan Hong peroleh pedang ini?" dia tanya dirinya sendiri. "Apa mungkin dia murid sam-supeh?"
Ia awasi pula pedang itu, yang bergantungkan sepotong batu kemala dan berukirkan naga-nagaan. Ia meneliti batu itu, yang pun ada ukiran-ukiran huruf-huruf "Yu Sin-siang-hu", artinya Istana perdana menteri muda. Di samping ukiran itu masih ada lain ukiran huruf-huruf yang halus sekali, yang menjelaskan darimana asal pedang itu. Huruf-huruf halus itu berbunyi, "Hadiah dari Raja ketika anak Hong dilahirkan."
Kaget In Lui, lemas kaki tangannya, hingga dengan menerbitkan suara nyaring, pedang Pek-in-kiam itu terlepas dari cekalannya dan jatuh ke lantai.
Terang sudah sekarang bagi In Lui, pemuda itu dengan siapa ia berada sekian lama adalah putera Thio Cong Ciu yang dipandang sebagai pengkhianat besar dan menjadi musuh besar dari kaum keluarga In. Maka itu, untuk sejenak, kosonglah hatinya, tak sanggup ia berpikir, ia seperti bukan lagi berada di dalam dunia.
Tiba-tiba In Lui, dengan membawakan tangannya ke dada, tanpa merasa, telah membentur suatu barang yang kecil tapi keras. Ia ingat, itu adalah warisan dari kakeknya, surat darah kulit kambing. Selama sepuluh tahun selalu ia bawa warisan istimewa itu, yang bunyinya "Turunan keluarga In, dimana saja ia bertemu dengan turunan keluarga Thio Cong Ciu, tak perduli lelaki atau perempuan, turunan keluarga Ciu itu mesti dibinasakan." Sudah sepuluh tahun surat wasiat itu disimpan, rasanya masih saja ada bau bacinnya.
In Lui rasakan tubuh dan hatinya gemetar. Ia menjadi ngeri tidak keruan. Surat wasiat berdarah itu bagaikan es yang sangat dingin, yang mengurung dirinya. Ia pun merasakan bagaikan ada tenaga yang tak dapat ia melawannya, yang menitahkan ia membunuh Thio Tan Hong dengan tangannya sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara kuda dari luar liang kubur, itulah tanda bahwa Thio Tan Hong telah kembali. In Lui segera tetapkan hati, ia sampai kertakkan gigi, ia menggigitnya dengan keras. Dengan cepat ia kembali ke tempatnya beristirahat, ia duduk sambil tunduk, bagaikan ia tengah bersemedhi, padahal ia sedang umpetkan mukanya yang pucat pasi itu, supaya Tan Hong tidak dapat melihatnya. Hatinya memukul keras, ia coba menenangkannya.
Thio Tan Hong menolak pintu dengan perlahan-lahan, ia bertindak masuk.
"Dongengku yang ketiga segera akan aku tuturkan," katanya sambil tertawa. "Kali ini aku mempercepat waktunya. Eh, saudara kecil, kau kenapa?"
Kendati ia menanya demikian, Tan Hong sebaliknya hampirkan kaca, di depan mana ia rapikan rambutnya yang kusut. Tiba-tiba saja pada kaca itu terlihat bayangan In Lui, kedua mata siapa mendelik berapi, tangannya tengah menikam dengan pedang.
Bergetar tangan In Lui itu, tapi hebat serangannya, hingga kaca perunggu itu pecah karenanya. Tan Hong lolos dari ancaman bencana, pedang itu lewat di samping lehernya, di atas pundak, langsung mengenai kaca itu.
"Saudara kecil, saudara kecil, kau dengar aku...." kata Tan Hong sambil berpaling.
In Lui tidak memperdulikannya, ia menikam pula, kali ini sambil meramkan mata, ketika ternyata ia kembali gagal, terus ia mengulangi hingga tiga kali.
Tan Hong masih berkelit, yang terakhir ia lompat melewati meja.
Segera juga terdengar tangis In Lui.
"Aku sudah tahu semua!" teriaknya. "Tak usah lagi kau tuturkan dongengmu yang ketiga!" ia lompat maju, lagi-lagi ia menyerang.
Tan Hong egoskan tubuhnya, ia menghela napas.
"Kau toh cucu perempuan dari In Ceng?" dia tanya.
"Dan kaulah anak musuh keluargaku!" teriak si nona, seraya menikamkan pedangnya kearah ulu hati.
Dengan sekonyong-konyong saja Tan Hong pasang dadanya.
"Baiklah, saudara kecil, tikamlah!" berkata dia. "Tak mau aku minta maaf padamu!"
Pedang menyambar, tetapi menyimpang ke kanan Tan Hong, dengan begitu bahu pemuda itu lantas saja mengeluarkan darah. Pemuda ini benar-benar tidak berkelit dari tikaman itu, adalah si nona yang tak dapat menarik pula pedangnya, telah menggeser incarannya. Masih Tan Hong tidak menyingkir.
"Adik kecil," berkata pula si anak muda, "kalau sebentar kau telah binasakan aku, kau jangan terus turuti hawa amarahmu, jangan gusar, hanya duduklah diam-diam kira-kira satu jam. Di atas meja kemala itu ada satu botol kecil dari perak, yang berisikan obat, itulah obat yang sengaja aku sediakan untukmu, guna menguatkan tubuhmu. Nah, sudah, adik kecil, tak mau aku mohon maafmu, kau tikam pula padaku!"
Kedua mata In Lui lantas mencucurkan air mata, tangannya gemetar, hatinya dirasakan sakit, hampir saja terlepas pedang Ceng-beng-kiam dari cekalannya. Berbareng dengan itu, ia juga merasakan seperti surat wasiat darah di dadanya menjadi besar bagaikan bukit, seperti menindih sangat berat kepada hatinya, sebagai juga ia dipaksa untuk melakukan pembalasan sakit hati.
Sesaat saja Nona In berdiam, lantas ia acungkan pedangnya.
"Ambillah pedangmu!" ia kata kepada anak muda di depannya. "Aku tidak hendak membinasakan seorang yang tidak memegang senjata di tangannya!"
Nona ini tahu baik Tan Hong ada terlebih kosen daripadanya, jikalau mereka berdua bertanding, yang akan terbinasa bukannya si anak muda, tapi dia sendiri, setahu kenapa, dia menghendaki Tan Hong tempur padanya, dia seperti ingin terbunuh Tan Hong. Dia seperti percaya, dengan binasanya dia di tangan Tan Hong, tidak nanti dia merasa kecewa terhadap kakeknya.
Tan Hong berdiri di tempatnya, tanpa bergerak, cuma wajahnya yang berubah daripada biasanya. Ia kelihatan nangis bukan, tertawa bukan. In Lui tak berani mengawasi air muka orang itu.
Melihat orang terus berdiam, si nona kertak giginya, ia jemput Pek-in-kiam yang terletak di tanah, terus ia lemparkan itu kepada si anak muda.
"Permusuhan kita kedua keluarga ada permusuhan sangat besar bagaikan langit!" ia kata. "Maka itu, jikalau bukannya kau yang mati, tentulah aku! Lekas kau hunus pedangmu!"
Thio Tan Hong sambuti pedannya itu.
"Adik kecil," berkata dia, dengan suara duka, "aku telah angkat sumpah, selama hidupku ini, tidak hendak aku bertempur dengan kau, maka itu jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah! Saudara kecil, jikalau kau tidak hendak turun tangan, aku akan pergi dari sini!"
In Lui membabat ke arah muka Tan Hong, akan tetapi pedang cuma berkelebat di depan muka, lalu ditarik kembali.
Menampak demikian, Tan Hong menghela napas, lantas ia lompat keluar dari kamar rahasia itu, setibanya di luar segera ia lompat naik ke atas kuda putih.
"Adik kecil, rawatlah dirimu baik-baik!" terdengar ia berkata dengan nyaring. "Saudara, aku pergi!"
Dengan bengernya kuda satu kali, sunyilah istana Hek Pek Moko itu, malah sedetik kemudian, Tan Hong sudah berada jauhnya beberapa lie. Di lain pihak, In Lui berdiri menjublak, pedangnya telah jatuh ke lantai. Di hadapan nona ini, segala apa ada suram, gelap.

VIII

Di luar pekuburan terdengar kuda berbenger, lalu keadaan menjadi sunyi dan Thio Tan Hong telah lenyap.
Biarlah Thio Tan Hong lenyap untuk selama-lamanya! Misalkan saja di dunia ini belum pernah ada Thio Tan Hong itu!
Demikian pikiran aneh yang melayang di kepala In Lui. Tapi Thio Tan Hong yang berdarah daging, yang telah berdiam bersama ia di dalam kamar rahasia, bagaimana bisa dia tidak ada di dunia? Tiga hari mereka berada bersama.
Ya, Thio Tan Hong telah pergi jauh, Thio Tan Hong tak tertampak pula. Benarkah dia telah menghilang? Oh, tidak, tidak! Lihat! Kau lihat, dia telah kembali, dia kembali, dia kembali! Bayangannya, secara sangat samar, secara perlahan sekali, telah nelusup masuk ke dalam hati In Lui, dan surat wasiat berdarah itu, telah hilang dialingi bayangan Thio Tan Hong itu.
In Lui berada dalam kegelapan, ia bagaikan meraba-raba. Membencikah ia? Mencintakah ia? Girangkah ia? Atau, berdukakah ia? Inilah ia tidak ketahui, tak dapat ia membeda-bedakannya. Kebaikan budi dan permusuhan sudah melibat menjadin satu, begitupun sang cinta dan kebencian, tak dapat itu diputuskan dengan gunting, hendak dibereskannya, tetap kusut.
Pada saat itu, tak dapat In Lui memikir apa jua, otaknya bagaikan kosong, tak suatu apa ketinggalan di kepalanya. Tapi dalam keadaanya seperti itu, dengan lapat-lapat ia seperti tampak Thio Tan Hong tengah mendatangi ke arahnya, dan akhirnya pemuda itu berbisik di telinganya, "Adik kecil, adik kecil..."
In Lui seperti mendengar kebengisan yang agung dari kakeknya, ia seperti melihat mata yang menyinta dari ibunya...Ia mendengar satu suara yang halus sekali, yang memanggil-manggil padanya. Di dunia dimana ada suara si lemah itu? Dimana ada sinar mata sehalus itu?
Itulah suara Tan Hong tadi. Itulah sinar mata Tan Hong tadi.
Kedua mata In Lui dengan perlahan-lahan menggeser, berpindah ke arah meja berbatu kemala, di atas mana Tan Hong telah meletakkan botol peraknya yang kecil. Itulah botol yang berisikan obat yang Tan Hong sediakan untuknya.
"Bukankah itu ada barang musuh? Tidak, tidak, tak dapat aku memakannya. Tetapi ini ada barang yang menandakan kebaikan terakhir dari Tan Hong. Tidak, tidak selayaknya aku menolaknya."
Kembali dua macam pikiran bertentangan satu pada lain. Kembali dengan sayup-sayup si nona seperti melihat sinar mata menyinta dari Tan Hong tengah mengawasi ia, lalu di kupingnya terdengar suara yang halus dan merdu. "Adik kecil, meski benar lukamu telah sembuh, akan tetapi tenaga dalammu belum pulih seanteronya, maka, adikku, makan, makanlah obat itu.."
Itulah sinar mata yang tak dapat ditentang, itulah suara halus yang tak dapat dibangkang. Tanpa merasa, In Lui ulur tangannya, menjemput botol itu, dari dalamnya ia keluarkan tiga butir obat warna merah terus ia masukkan ke dalam mulutnya.
Sekonyong-konyong dari luar kuburan terdengar kuda meringkik.
In Lui terperanjat, hatinya goncang. Dengan gesit dia lompat bangun, hatinya pun berpikir, "Mustahilkan dia kembali?"
Tiba-tiba terdengar satu seruan dari kegirangan yang meluap-luap, lalu disana, di lorong kuburan, tampak Ciu San Bin lari mendatangi dengan keras sekali.
"Adik In! Oh, sungguh benar kau berada disini?" demikian seru she Ciu itu. Tapi segera suara itu disusul suara kaget dan sangat berkuatir, "Eh, eh, adik In, apakah kau terkena tangan jahat binatang itu?"
In Lui perlihatkan senyuman tawar, ia mengeleng-gelengkan kepalanya.
San Bin sudah lantas sampai pada si nona, malah segera ia duduk di sampingya, terus ia tatap muka orang. Ia tampak satu wajah yang kumal, roman yang lesu, seperti orang kehilangan semangat, maka itu, ia merasa kuatir untuk nona itu.
In Lui berdiam, ia coba menenangkan diri.
"Kiranya kau dan dia bersembunyi di dalam kuburan," kata San Bin. "Apakah dia tidak mengganggu padamu? Tahukah kau, siapa dia? Dia adalah putera pengkhianat besar Thio Cong Ciu! Ya, dia adalah musuh besar dari kakekmu!"
San Bin menyangka, mendengar perkataanya itu, si nona akan kaget, tapi sangkaannya meleset.
"Ya, aku sudah tahu," sahut si nona, perlahan sekali.
Maka itu, adalah San Bin yang terperanjat bahna herannya, hingga ia lompat berjingkrak.
"Apa?" tanyanya separuh berteriak. "Kau telah ketahui? Bila kau ketahui itu?"
Tubuh In Lui tetap tidak bergerak.
"Baru saja aku mengetahuinya," ia menyahut, tetap dengan perlahan. "Tantai Mie Ming barusan datang kemari..."
San Bin keluarkan napas lega.
"Begitu?" katanya. "Aku heran, kalau kau tahu dia ada musuhmu, kenapa kau ada bersama dia. Apakah kau telah bertempur dengannya? Apakah kau tidak terluka?"
"Aku terluka di tangan Pek Moko," kata In Lui beritahu. "Dia justeru yang mengobati aku..."
San Bin heran.
"Dia?" ia ulangi. "Dia siapa?"
"Ialah dia musuhnya kakekku."
San Bin melengak.
"Apakah dia tidak tahu bahwa kau cucu perempuan In Ceng?" tanyanya.
"Aku telah menikam dia dengan pedang. Dia telah mendapat tahu."
Kembali San Bin melengak. Tapi kali ini segera ia sadar.
"Oh, aku tahu sudah!" ia kata. "Mulanya anak pengkhianat itu tidak tahu bahwa kau adalah musuhnya, maka itu ia berdaya mengambil hatimu, supaya kau dapat digunakan untuk keuntungan dia, kemudian setelah kau tikam padanya, dan ia tahu bukannya tandinganmu, ia lari kabur! Sayang kau tengah terluka, tenagamu belum pulih, jikalau tidak, pasti kau dapat membunuhnya. Coba kau ketahui, tidak usah kau berdaya demikian keras."
In Lui tunduk, ia tidak berkata suatu apa.
Tapi San Bin, sambil tertawa, berkata pula, "Jikalau aku tahu ilmu silatnya tidak lihai, tidak nanti aku berdaya keras, hingga aku minta Hong-thian-lui Cio Eng mengirimkan Lok-lim-cian..."
In Lui terkejut.
"Apa? Lok-lim-cian?" dia Tanya.
San Bin tertawa.
"Pengalamanmu mengenai kaum kang-ouw masih belum banyak," ia berikan keterangannya. "Apakah benar kau masih belum tahu apa itu lok-lim-cian? Itulah panah titah yang dikirim pemimpin kaum Lok-lim kepada jago-jago Lok-lim, siapa yang melihat itu, dia tentu akan datang untuk memberikan bantuannya walaupun dia mesti terjang api. Adik In, inilah pengaruh malaikat atau iblis yang membuat anak Thio Cong Ciu berani seorang diri saja masuk ke Tionggoan. Adik, pastilah sakit hatimu akan dapat dibalas, dilampiaskan."
Pada mata In Lui, surat wasiat berdarah itu tampaknya seperti melar semakin besar. Pada saat itu, tak tahu ia, warta San Bin ini harus diterima dengan kegirangan atau kedukaan. Ia tahu, pesan kakeknya, yang mewajibkan dia menuntut balas, tidak dapat diabaikan, bahwa musuh she Thio itu tidak boleh diberi ampun. Bolehkah dia membiarkannya pembalasan itu dilakukan oleh lain orang? Pantaskah kalau ia tidak turun tangan sendiri?
Tapi, ketika ia bayangkan halnya Thio Tan Hong nanti tercincang golok kaum Rimba Hijau, tidak berani ia membayangkannya terlebih jauh, tidak berani ia memikirkannya.
"Adik In," terdengar pula San Bin berkata, "sejak kau meninggalkan gunung, aku selalu pikirkan kau..."
Suara itu sangat perlahan, manis terdengarnya.
"Banyak terima kasih untuk perhatianmu," katanya, lemah.
Kecewa San Bin melihat orang lesu.
"Sejak perpisahan kita itu, aku selalu ingin bertemu pula dengan kau," berkata pula pemuda she Ciu. Itu, "sayang, aku senantiasa repot. Mana bisa aku segera cari kau? Baru satu bulan yang lalu mata-mataku di perbatasan dapat mengendus bahwa putera Thio Cong Ciu sendirian saja masuk ke Tionggoan, bahwa dia telah menyamar sebagai satu mahasiswa dengan menunggang seekor kuda putih, kuda jempolan. Lantas ayahku berdamai dengan orang-orang kita. Rata-rata orang anggap kedatangan Thio Tan Hong ke Tionggoan tidak nanti ia mengandung maksud baik, pasti dia mengandung tujuan untuk mengacau-balau Tiongkok, maka itu ayah menugaskan aku pergi mencari, guna mengintai dia. Aku dipesan supaya bekerja sama dengan semua saudara Rimba Hijau, untuk bersama membekuk dia. Begitulah lok-lim-cian telah disiarkan. Tempat ini termasuk wilayah Shoasay, pemimpin Rimba Hijau dari kedua propinsi Shoasay dan Siamsay adalah Cio Eng, dari itu aku sudah lantas cari ketua she Cio itu. Sayang, ketika aku sampai di rumahnya, Cio Loo-enghiong kebetulan tidak ada di rumah, aku Cuma dapat bertemu dengan puterinya. Dari Nona Cio aku mendapat keterangan, kau telah menjadi baba mantu Cio Loo-enghiong itu. Selagi aku cari Cio Loo-enghiong, dia sendiri sedang mencari kau. Haha, adik in, sandiwaramu ini membikin aku tertawa geli sampai perutku mulas! Kau tahu, Nona Cio itu sungguh-sungguh menyintai kau!"
In Lui tersenyum.
"Bagaimana kau lihat Nona Cio itu?" dia Tanya.
"Ilmu silatnya cukup baik," sahut San Bin.
"Yang lainnya lagi?" Tanya pula In Lui.
"Aku kenal dia sebentar saja, mana aku ketahui sifatnya yang lain lagi?" San Bin membaliki.
In Lui bersenyum pula. Hendak dia berkata pula, tapi ia tercegah halnya lok-lim-cian, panah Rimba Hijau itu. Ia bingung, Cio Eng begitu menghormati Thio Tan Hong, kenapa dia bekerja sama dengan San Bin menyiarkan panah istimewa itu? Inilah satu soal, yang perlu ia ketahui jelas.
San Bin tidak ketahui apa yang si nona pikirkan, menerkanya pun tidak. Ia bicara terus.
"Itu hari bersama-sama nona Cio aku telah kejar muridnya Tantai Mie Ming," kata dia. "Murid Mie Ming itu menunggang seekor kuda pilihan, kita kejar dia sampai kira-kira lima puluh lie, tapi tak dapat kita menyandaknya. Kuda kita semua telah kehabisan tenaga. Kuda dia lari bagaikan terbang, tak dapat disusul terus."
"Bagaimana dengan Nona Cio?" Tanya In Lui.
San Bin tertawa.
"Hai, nyonya, rupa-rupanya terhadap aku, kau kandung suatu maksud!" katanya. "Terus-menerus kau angkat aku, dari suaramu, agaknya kau merasa kurang puas terhadap kakak angkatmu ini, hingga kau membuatnya aku tidak mengerti! Aku toh kakak angkatmu? Ada hubungan apa antara Nona Cio itu dengan aku?"
Di dalam hatinya, In Lui tertawa. Ia ingat halnya sendiri pada malam pengantin, terhadap Cui Hong berulang kali ia menyebut-nyebut San Bin.
San Bin mengangkat pundak, ia berkata pula, "Oleh karena kita gagal mengejar musuh itu, Cui Hong dan aku berselisih mulut sebentar, katanya dia hendak pulang sendirian saja, tidak ingin dia mengajak aku untuk menemui ayahnya. Dia pun membikinn banyak ribut, dia ingin aku kembalikan batu sanhu kepadanya, seperti juga dia anggap sanhu itu bagaikan jiwamu."
Tanpa merasa, In Lui tertawa.
San Bin berkata pula, "Aku tahu, batu itu engkaulah yang memberikan padanya selaku tanda mata terhadapmu, dia sangat menyinta, pantas ia sangat menyayangi batu itu."
In Lui tertawa.
"Tetapi kali ini adalah kau memberikan dia tanda mata, bukannya aku yang memberikannya!" katanya.
"Ah kau, setan cilik! Kau ngaco belo! Nanti, aku robek mulutmu!" Dan ia ulur tangannya.
In Lui palingkan mukanya, masih ia tertawa.
"Mari kita bicara dari hal urusan yang benar," ia kata kemudian. "Nona Cio tidak sudi mengajak kau menemui ayahnya, habis dari manakah kau dapatkan panah Lok-lim-cian itu?"
"Itu adalah kejadian yang kebetulan saja," jawab San Bin. "Sesudah nona Cio tidak mau mengajak aku, dia berangkat, kemudian aku pun berangkat. Aku menuju ke barat. Tidak lama kemudian, aku bertemu dengan Hong-thian-lui Cio Eng, ayahnya itu. Cio Eng belum tahu bahwa barusan aku berada bersama gadisnya. Rupanya ayah dan anak itu mengambil jalan yang berlainan, hingga mereka tak bertemu satu dengan lain."
"Bukankah Cio Loo-enghiong itu ada bersama empat saudagar barang permata?" In Lui tanya.
"Benar! Dia jalan terburu-buru, seperti mempunyai urusan sangat penting, hingga dia tak sempat bicara banyak denganku. Aku minta lok-lim-cian padanya. Sebenarnya hendak aku bicara lebih banyak padanya, untuk menceritakan gadisnya, tapi dia sudah mendahului mengoyang-goyangkan tangannya dan berkata 'nama Kim-too Ceecu sangat kesohor, siapakah yang tidak ketahui? Kau hendak bekuk seseorang, dia tentunya ada seorang yang jahat tak berampun, maka tentang dia, tak usah kau menjelaskannya. Kau perlu Lok-lim-cian, kau boleh dapatkan itu. Aku mempunyai urusan penting, maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau. Siauwceecu, kalau urusanmu telah selesai, aku undang kau datang ke Hek-sek-chung, nanti kita pasang omong dengan asyik'. Tanpa tanya apa-apa lagi, ia serahkan Lok-lim-cian padaku, terus ia ajak keempat saudagar itu melanjutkan perjalanannya."
"Oh, demikian duduknya hal...." In Lui berpikir. "Coba Cio Eng menanyakan nya dan ia ketahui siapa yang hendak dibekuk orang she Ciu ini, tidak nanti akan terjadi kekeliruan semacam ini."
"Aku bertemu dengan Cio Loo-enghiong di ekeat tanjakan Beng-liang-kong," berkata pula San Bin, "tempat itu adalah daerah pengaruhnya Ceecu Na Thian Sek. Aku lantas pergi menemui Thian Sek, aku serahkan Lok-lim-cian kepadanya sambil menitahkan dia agar dalam tempo tiga hari, panah itu sudah sampai kepada seluruh kaum Rimba Hijau. Aku berdiam satu hari di pesanggrahannya, untuk mendengar-dengar kabar. Lancar jalannya urusan itu. Dengan bekerja sama antara Cio Eng dan ayahku, ada beberapa orang yang tadinya tidak sudi mendengar titah, yang biasa menjagoi di tempatnya masing-masing telah menyatakan sudi memberikan bantuannya. Adik In, kali ini pastilah sakit hatimu dapat dibalaskan! Eh, eh, kau kenapa? Kenapa kelihatannya tidak gembira?"
San Bin terkejut, ia ucapkan kata-katanya yang terakhir ini karena tiba-tiba saja ia tampak wajah si nona menjadi pucat. Akan tetapi nona itu, begitu ditegur, dia paksakan diri untuk tertawa.
"Sebenarnya aku merasa kurang sehat," ia kata. "Tapi sekarang aku sudah sehat, aku, aku girang sekali."
"Tentang Lok-lim-cian itu tidak usah aku memperhatikannya terlebih jauh," San Bin menerangkan pula. "Satu kali panah telah dikirimkan, orang-orang Lok-lim sendiri masing-masing tahu bagaimana harus mengurusnya. Aku ingat hari itu di tempat ini aku bertemu dengan kuda merahmu, karenanya aku kembali untuk mencari kau. Thian mengasihani aku, beruntung aku telah bertemu denganmu!"
In Lui berdiam.
San Bin masih hendak bicara lebih jauh, tapi ia seperti dengar suatu apa, lantas ia jatuhkan diri, untuk mendekam di tanah seraya memasang kupingnya.
"Apakah ada orang tengah mendatangi?" tanya In Lui menyaksikan kelakuan orang itu. "Kenapa aku tidak dengar apa-apa?"
San Bin lantas bangkit pula.
"Ada orang datang, tapi masih jauh," sahutnya. Lantas ia lari keluar, untuk coba menutup pintu, kemudian ia kembali.
Itulah "Hek-tee teng-seng" atau ilmu memasang kuping sambil mendekam di tanah yang San Bin gunakan, itu adalah suatu ilmu istimewa. Pernah In Lui pelajari ilmu itu tetapi belum sempurna.
San Bin awasi si nona, lalu ia bersenyum.
"Bukankah baik kau salin pakaian?" katanya.
Merah wajah In Lui. Kata-kata San Bin seolah-olah teguran untuknya. Sambil tunduk, ia bertindak masuk ke dalam kamar rahasia, yang pintunya terus ia tutup.
Ditinggal seorang diri San Bin berpikir keras. Ia sangsikan nona ini, ia bercuriga. Bukankah selama ia belum ketahui Thio Tan Hong ada musuhnya, In Lui telah bergaul rapat sekali dengan Tan Hong? Sampai dimana pergaulan mereka?
In Lui sendiri, selagi ia buka bungkusan pakaiannya, di kepalanya seperti terbayang wajah Thio Tan Hong yang seolah-olah sedang tertawa, kupingnya seperti berulang kali mendengar, "Adik kecil, adik kecil..." suara itu halus dan manis yang menggoncangkan semangat. Ia menjadi tidak keruan rasa, hingga ketika ia angkat bajunya, baju untuk wanita, ia merobeknya. Kenapa ia menjadi sengit? Bencikah ia pada bajunya itu? Tidak. Tak tahu kenapa dengan mendadak ia jadi sengit. Lalu timbul keinginan untuk menjadi seorang lelaki! Ia percaya, kalau ia menjadi seorang pria, mungkin tak akan dialaminya segala kesukaran ini.
Tengah memeriksa pakaiannya, nona ini lihat sepotong baju merah tua. Ia ingat, inilah baju yang pertama kali ia pakai setelah Tan Hong ketahui bahwa dia adalah satu nona. Ketika itu, Tan Hong, yang mengawasinya dengan tajam padanya, sangat mengagumi dan memuji kecantikannya. Ia lantas menghela napas. Ia terus pandang bajunya itu. Ya, tidak salah, itulah baju yang dipuji Tan Hong. Ia lantas usap-usap baju itu, lalu disimpan secara hati-hati juga.

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

1.7K 93 8
Serial ke 159. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal d...
315K 2K 11
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
391K 34.3K 55
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
11.4K 176 15
Cerita silat ini merupakan lanjutan dari Karya Khu Lung yang berjudul ANAK BERANDALAN dimana akhir pertempuran antara Siau Cat It Long melawan Raja g...