Thian San 2 : Dua Musuh Turun...

By JadeLiong

23.1K 267 5

Merupakan cerita kedua dari serial Thian-san karangan Liang Ie Shen. Salah satu karya Liang Ie Shen yang terb... More

I
II
III
IV
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI
XXXII

V

580 9 0
By JadeLiong

Tantai Mie Ming bersenjatakan sepasang gaetan. Ia lihat penyerangnya ada satu nona, ia memandang enteng.
"Suruhlah orang tuamu yang keluar!" ia menantang. "Gaetanku tidak biasa membinasakan segala orang tak ternama!"
In Lui tidak gubris kata-kata jumawa itu, ia menerjang, terus sampai dua kali ketika tikamannya yang pertama ditangkis lawan itu. Tentu saja ia menjadi tambah gusar dan sengit.
"Hai, budak, apakah kau cari mampus?" bentak jenderal itu setelah ia sampok mental pedangnya. Kedua tikaman itu dapat dia elakkan. In Lui tidak mundur, dia malah maju mendesak. Dia membungkam ketika dia menyerang pula dengan Pek-hong koat jit (Bianglala menutupi matahari).

Mie Ming melayani dengan sungguh-sungguh, dengan sepasang gaetannya ia coba mengurung pedang si nona, tetapi In Lui tidak mau mengerti, ia bebaskan diri, ia menyerang pula, demikian hebat, hingga lawannya berseru," Eh!"
Orang Mongolia yang tangguh ini heran, mau atau tidak, ia mesti bekerja keras, setelah kedua gaetannya membuka ke kiri dan kanan, lantas ia desak si nona hingga orang mundur tiga tindak, tindakannya hampir kacau.
Gadisnya In Ceng menjadi penasaran sekali, tanpa pedulikan desakan, ia lompat, ia balas menyerang secara hebat.

Tantai Mie Ming kerutkan alis.
"Siapa yang mengajarkan kau ilmu menyerang?" dia tanya. "Kau berkelahi secara nekat begini, mana kau bisa layani musuh yang tangguh?"
"Memang niat aku adu jiwa denganmu!" jawab si nona dengan kaku. Dan ia perhebat serangannya.
Mie Ming menyeringai.
"Nanti aku desak dia, supaya aku bisa tegaskan kenapa di nekat begini," dia pikir. Terus ia mainkan sepasang gaetannya, untuk mengurung pula pedang si nona.
In Lui licin, satu kali ia telah dipedayakan, ia jadi waspada. Nampaknya ia sembrono, sebenarnya ia dapat berlaku hati-hati dan cerdik. Begitulah, selagi didesak, dengan tenang ia gerak-gerakkan pedangnya untuk memberi perlawanan, sambil berbuat begitu, ia cari ketika yang baik. Demikian waktu ketikanya telah sampai, ia menyontek ke atas, akan membentur langsung gaetannya.

Satu suara nyaring dari bentroknya senjata segera terdengar.
"Pedang yang bagus!" seru Tantai Mie Ming. Ia tidak menjadi kaget meski ujung gaetannya kena dipapas sempoak pedang si nona. Ia malah mendesak pula dengan dorongannya.
In Lui terkejut. Ia merasakan telapak tangannya kaku, ia lihat ujung gaetan menyambar ke dadanya. Tidak sempat ia memutar pedangnya untuk menangkis.
Tapi Tantai Mie Ming tidak meneruskan menyerang.
"Hian Kie It-su pernah apa denganmu?" dia tanya.
Justeru orang berseru. In Lui gunakan ketikanya akan lepaskan diri dari ancaman bahaya. Tentu saja ia jadi semakin mendongkol.
"Apakah pantas kau menyebut nama couwsuku?" dia menghina.
"Ha ha ha ha!" Tan Tai Mie Ming tertawa dan kembali dia ulangi desakannya.
In Lui mundur, dia sangat terdesak, repot dia membela diri. Pernah ia mendesak dengan nekat, tapi ia tidak peroleh hasil.
"Sekalipun gurumu, dia bukan tandinganku, kau tahu?" kata Mie Ming.
In Lui tidak perdulikan orang berjumawa, ia tetap berikan perlawanannya, beberapa kali lia membuat penyerangan balasan yang tak kurang hebatnya, walaupun ia mesti menempuh bahaya.

Mendongkol juga Mie Ming karena si nona terus mendesak padanya. Selang dua puluh jurus, In Lui mati daya, tak sanggup dia menangkis terlebih jauh. Ketika gaetan kiri musuh menyantel pedangnya, dan gaetan kanan mengancam dari atas kepada batok kepalanya, ia berseru dengan keluhannya,"Ayah, tak dapat anakmu membalas sakit hatimu." Sambil mengucap demikian ia tarik pedangnya sekuat tenaga, karena ia masih mencoba untuk menangkis.
"He, budak cilik, apakah kau cucunya In Ceng?" tanya Tantai Mie Ming. Karena ini, tertundalah turunnya gaetan kematian itu.
In Lui lolos dari bahaya, segera ia menikam.
"Pemberontak, kau masih punyakan muka menyebut nama yayaku?" dia mengejek.
Mie Ming gusar mendengar hinaan itu.
"Memang telah cukup aku Tantai Mie Ming dicaci orang sebangsamu yang anggap dirinya kosen, setia, dan mulia hati. Baiklah, mari aku binasakan kau turunan orang-orang kosen, setia, dan mulia itu!"

Jenderal ini menyerang dengan hebat, maka itu, baru beberapa jurus, kembali In Lui mati kutu.
Selagi dua orang ini bertempur hebat, di pihak sana terdengar jeritan-jeritan hebat, sebab Ciu Kian yang melawan belasan musuh, telah peroleh hasil. Lega hati In Lui mendengar kemenangan susiok-couw itu.
Segera setelah itu terdengar seruan si ongya," Tantai Ciangkun, jangan perlambat waktu! Si bangsat tua Kim-too sedang mendatangi!"  

Dan benar-benar, Ciu Kian tahu-tahu sudah sampai di kalangan dan sudah lantas menyerang dengan golok besarnya.

Tantai Mie Ming tinggalkan si nona, ia tangkis bacokan bekas congpeng itu, hingga berdua mereka jadi bertempur.
"Jikalau hari ini tidak dapat aku bunuh mampus padamu, percuma aku punyakan golok Kim-too ini!" berseru Kim-too Ceecu sambil mengulangi serangannya yang berbahaya.
Mie Ming berkelit, ia tertawa mengejek.
"Baiklah, aku ingin saksikan golok emasmu!" katanya. Ia menyerang, ia berkelit, ia menyerang pula, lalu ia tertawa kembali. Lalu ia berkata," Adakah ini yang disebut golok emas atau golok perak? Hm! Dimataku inilah tak lebih daripada tembaga rongsokan!"
Ia gerakkan gaetannya, ia ketok belakang golok musuh itu.
Ciu Kian jadi murka, benar ia diam saja, tapi ia balas menyerang.
Sampai disitu, In Lui maju pula, untuk membantu kawannya.
Tidak sibuk Tantai Mie Ming ketika ia tangkis dua senjata dari dua musuhnya itu, tidak perduli In Lui gesit dan golok emas berat, dapat ia melayani dengan leluasa, malah kemudian ialah yang lebih banyak menyerang.
Ciu Kian dan In Lui bingung pula, meskipun mengepung berdua mereka tak dapat hasil. Ciu Kian berkata dalam hatinya" Sudah lama aku dengar negara Watzu mempunyai panglima kosen ini, dia benar-benar gagah perkasa. Orang lihai semacam dia kena dipakai oleh bangsa Tartar, sungguh sayang."
Ketika itu terdengar pula suara si ongya," Tantai Ciangkun, ketika yang baik sudah tiba, jangan kau berkelahi lama-lama!"
Mendengar suara si ongya, Ciu Kian dapat daya.
"Menawan bangsat menawan rajanya!" demikian pikirnya yang menyandingi. "Apa perlunya aku berkelahi mati-matian dengan dia ini?"
Maka dia menangkis dengan keras, akan pecahkan kurungan gaetan, di saat Tantai Mie Ming mundur tiga tindak, dia teriaki In Lui," In Lui, layani terus padanya, berlakulah hati-hati!" Habis mengucap demikian, ia lompat mundur, akan tinggalkan lawan untuk sebaliknya lompat lebih jauh kepada si ongya.
In Lui sangat cerdas, segera ia mengerti maksudnya susiok-couw itu, maka lantas ia desak Tantai Mie Ming hingga tidak perduli orang Mongolia ini terlebih lihai, ia toh repot juga.
Si ongya sudah lantas diserang Ciu Kian. Ia lihat datangya musuh, dengan pertahankan tubuh sebisa-bisanya, ia tangkis bacokan itu. Kedua senjata beradu dengan keras, suaranya sangat nyaring.
Ciu Kian heran akan dapatkan orang bertenaga besar, ia kagum. Ia tahu, ngya itu sedang terluka, coba dia segar bugar, entah bagaimana besar tambahan tenaganya.
Si ongya juga tidak kurang kagetnya, telapak tangannya sampai pecah dan mengeluarkan darah, karena a telah menangkis dengan sekuat tenaganya untuk selamatkan diri. Celaka baginya, ia tidak sanggup berlompatan.
Kim-too Ceecu penasaran, ia ulangi serangannya, terus sampai tiga kali, serangan yang ketiga itu tak sanggup ditangkis lagi oleh si ongya, goloknya terpukul keras, terlepas dari cekalannya dan terlempar, maka dengan leluasa Ciu Kian kirim bacokan susulannya yang keempat.
"Habis aku!" teriak si ongya. Kendati demikian, dengan lawan sakit di kakinya yang terhajar piauw, ia buang dirinya untuk bergulingan.
Ciu Kian membacok tempat kosong, ia jadi semakin penasaran, maka ia maju terus, akan susul ongya itu, guna mengirim bacokannya terlebih jauh. Justeru itu ia dengar sambaran angin di belakangnya, hampir tanpa menoleh ia menangkis.
"Trang!"
Kepala berandal ini merasakan getaran keras pada tangannya, ketika ia berpaling, ia tampak Tantai Mie Ming yang membokong padanya. Ia belum sempat bersiap, atau Mie Ming sudah simpan sepasang gaetannya, buru-buru dia lompat pada ongyanya, untuk sambar tubuh si ongya, untuk segera dibawa kabur.
Ciu Kian tidak mau mengerti, ia lantas lompat, guna mengejar, goloknya dipakai membabat.
Mie Ming tidak bersenjata, ia pun sedang pondong ongyanya, tidak ada jalan lain, ia berkelit sambil mendak rendah, sebelah tangannya dipakai membarengi menyerang lengan lawan.
Ciu Kian menyerang dengan hebat, serangannya tidak mengenai sasarannya, goloknya jadi terulur ke depan, karena itu, tidak keburu ia menarik kembali tangannya atau lengannya itu telah dihajar lawannya, begitu rupa, sampai ia merasakan sakit sekali, hingga goloknya terlepas jatuh.
Tantai juga tidak luput dari serangan, ialah dadanya terkena tangan Kim-too Ceecu, hingga ia pun merasakan sakit, akan tetapi, dengan kuatkan diri, dengan menutup rapat mulutnya, ia terus lari dengan bawa kabur cukongnya itu.
In Lui lompat mengejar. Ia menjadi gusar dan penasaran. Tadi ia telah didesak mundur jauh, karena itu, Mie Ming keburu menolong ongya-nya dari tangan Ciu Kian. Dalam murkanya, ia ayunkan tangannya, akan menimpuk dengan tiga batang piauw.
Orang Mongolia itu benar lihai. Ia tidak berkelit, sambil lari, ia putar tangannya ke belakang, satu demi satu, ia sambuti ketiga piauw itu, untuk diteruskan dipakai menyerang kembali. Nyata ia bertenaga besar, timpukannya pun hebat.
In Lui dengar suara angin, tidak berani ia menanggapi piauwnya itu, yang ia lewatkan sambil berkelit, hingga piauw mengenai satu batu besar di sebelah belakang sambil perdengarkan suara nyaring dan muncratkan lelatu api.
"Hebat!"seru si nona di dalam hati. Ia lihat ketiga piauwnya nancap di batu, tidak jatuh.
Itu waktu Tantai Mie Ming sudah lari terus.
Masih In Lui hendak mengejar tatkala di timur lembah terdengar suara letusasn, hingga gunung bagaikan tergetar, menyusul mana, Ciu Kian berteriak," A Lui, jangan kejar musuh yang sudah mogok!"
Si nona batal mengejar, sedang itu waktu, di selatan, di barat dan utara lembah saling susul terdengar suara letusan nyaring seperti yang pertama tadi, begitupun terdengar suara riuh dari pertempuran-pertempuran yang mestinya dashyat.
Ciu Kian jumput goloknya, ia tertawa besar.
"Tidak perduli bangsa Tartar itu putar otaknya, mereka toh menjadi kura-kura dalam kerajaanku!" ia berkata dengan puas.
In Lui tidak mengerti, ia hendak bertanya pada si orang tua itu, akan tetapi belum lagi ia membuka mulutnya, Kim-too Ceecu sudah mendahului lari pergi, sambil lari dia menggape dan berseru,"Mari lekas, bantui aku menolong orang!"
Dengan masih tidak mengerti, si nona lari menyusul.
Di bawah gunung, mayat-mayat bergeletakan di sana-sini, darah berlimpahan. Itulah korban-korban Ciu Kian tadi. Tak tega In Lui menyaksikan itu, ia lari sambil menutupi muka.
"A Lui, apakah kau bawa obat luka pemunah racun?" begitu terdengar pertanyaan dari si orang she Ciu. "Eh, A Lui kau kenapa? Kau takut? Bagaimana nanti kau dapat membalas dendam?"
"Tak takut aku bertempur sama segala bangsat," sahut si nona. "tetapi tak tega aku menyaksikan mayat-mayat itu."
Ciu Kian tertawa.
"Sungguh kau satu pemudi gagah yang pemurah hati," ia kata. "Di medan perang, dimana pemandangan lebih mengerikan daripada ini masih dapat disaksikan! Mari, mari, kau tengok, kalau nanti kau sudah biasa, hatimu tidak akan goncang lagi."
In Lui lari terus kepada jago tua itu, ketika sudah datang dekat, ia lihat si jago tua sedang pondong satu orang dengan dandanan sebagai busu, orang yang mengerti ilmu silat, di bebokong siapa nancap sebatang panah yang masuk hampir separuhnya.
"Apakah dia masih dapat ditolong?" nona ini tanya.
"Dia masih bernapas, kita coba saja," jawab Ciu Kian.
"Aku membekal obat luka pemunah racun, hanya entah tepat atau tidak," kata si nona, yang terus berikan obat itu.
Ciu Kian terima obat itu. Ia cabut panah di bebokong orang itu yang terluka, yang tubuhnya diletakkan di tanah. Dari lobang luka terus keluar darah hitam.
"Benar-benar panah beracun," kata orang tua ini sambil mengobati luka itu, kemudian ia urut-urut tubuhnya.
Tidak lama antaranya, si luka itu membuka kedua matanya, cuma napasnya masih lemah, belum dapat ia membuka mulutnya.
Ciu Kian mengawasi, ia geleng-gelengkan kepalanya.
"Bagaimana?" tanya In Lui.
"Inilah racun Mongolia yang hebat sekali, tanpa obat pemunah dari si pemilik panah, tak dapat kita menolongnya," sahut si orang tua. "Syukur orang ini mempunyai tenaga dalam yang tangguh, karenanya ia masih dapat bertahan sampai sekarang ini. Obatmu dan urutanku cuma bisa menolong ia untuk sementara waktu, untuk membuatnya sadar, akan tetapi jiwanya tidak dapat bertahan sampai besok."
In Lui jadi sangat berduka.
"Kalau begitu, lebih baik kita tidak tolong dia, supaya dia lantas mati dan tak usah menderita terlebih lama," ia kata.
"Dia buron dari tanah daerah Tartar, dia dikepung sampai di sini, mungkin dia mempunyai rahasia penting," Ciu Kian utarakan sangkaannya.
"Maka kalau dia tidak dapat berbicara sebelum dia menutup mata, mungkin dia mati tidak puas."
Dari sakunya, ciu Kian keluarkan sepotong jinsom korea, lalu dipotongnya, kemudian dimasukkan ke dalam mulut orang itu. Obat ini (koleesom) mempunyai khasiat manjur, rupanya ia mengharap orang itu dapat ditolong.
Di empat penjuru lembah masih terdengar riuhnya suara pertempuran, juga ringkikan dari banyak kuda, terutama letusan-letusan yang memekakkan kuping. Mendengar itu semua, Ciu Kian ketok-ketok goloknya sambil tertawa.
"Tidak sampai terang tanah, tentara Tartar akan musnah semuanya," kata dia. "In Lui, sekarang tahulah kau sebabnya kenapa aku rampas angkutan harta tentara kota Gan-bun-kwan."
In Lui cerdik, ia cuma berpikir sebentar atau ia tertawa sambil tepuk-tepuk tangan.
"Sungguh tipu dayamu yang bagus, susiok-couw!" dia memuji. "Kau rampas uang negara, itu artinya kau hendak bikin congpeng dari Gan-bun-kwan dengar perkataanmu. Begitulah ketika bangsa Tartar menjanjikan dia untuk bekerja sama, kau suruh dia diam saja, jangan gerakkan tentara. Demikian, kau berada di tempat terang, musuh berada di tempat gelap. Semua kau atur sempurna, pasti sekali kau menang perang!"
Ciu Kian puas, ia tertawa pula.
"Teng Tay Ko itu bukannya seorang yang buruk," ia kata. "Pemerintah titahkan dia membasmi berandal, dia insyaf bahwa tenaganya tidak cukup, dia membuat perhubungan dengan bangsa Tartar. Lebih dahulu aku rampas hartanya, setelah itu seorang diri aku pergi padanya. Aku tegaskan padanya apakah dia ingin mampus dicincang tentaranya yang kelaparan atau hendak bermusuh dengan bangsa Tartar. Nyata dia masih sayangi jiwa dan pangkatnya, dia dengar perkataanku. Sekarang nampaklah buktinya."
Tak tahan jago tua ini, kembali dia tertawa.
"Aku tertawa karena Teng Congpeng itu jenaka," sahut si orang tua. Di dalam surat-surat resminya dia namakan aku Kim-too si bangsat tua, akan tetapi bila berhadapan dengan aku sendiri, dia berulang kali memanggil tayjin, tandanya ia tetap akui aku sebagai atasannya."
Mau tidak mau In Lui juga tertawa.
"Apakah sebelum dia berada di sini, dia tahu Kim-too si bangsat tua ada seatasannya?" dia tegaskan sambil berkelakar.
"Dia adalah orang angkatanku," Ciu Kian beri keterangan. "Begitu ia saksikan golokku, dia mesti dapat menduga aku siapa. Cuma tadinya dia berpura-pura tidak tahu. Pun biasanya, setiap kali aku tempur tentara negeri, aku selalu pakai topeng, maksudku ialah agar mereka tidak mengenali aku."
"Kenapa begitu, susiok-couw?"
"Jikalau tentaranya mengetahui aku adalah bekas congpeng dari kota Gan-bun-kwan," sahut si orang tua, " ada kemungkinan sebagian dari tentaranya itu akan lari ke pihakku. Gan-bun-kwan adalah kota perbatasan, sudah semestinya kota itu mempunyai pasukan penjaga yang kuat, karena ini aku cuma terima orang-orang melarat, aku tolak tentara negeri."
In Lui masih muda sekali, tidak pernah ia pikirkan siasat semacam itu, karenanya ia melengak mendengar pembicaraan Kim-too Ceecu yang dalam maksudnya itu.
"Bagus, dia telah mendusin!" tiba-tiba Ciu Kian berseru.
Memang benar si orang luka itu membalikkan tubuhnya.
"Kamu siapa?" tanya dia pertama kali dia membuka mulutnya, suaranya serak. "Lekas pimpin aku, aku hendak bertemu dengan Kim-too Ceecu!"
Ciu Kian girang.
"Akulah Kim-too Ceecu," ia perkenalkan dirinya.
Orang itu segera menanya,"Apakah kau tahu cucu perempuan dari In Ceng yang bernama Lui? Tahukah kau dimana dia berada?"
In Lui terkejut.
"Aku adalah In Lui!" ia segera menjawab.
Dengan mendadak orang itu pentang lebar matanya.
"Kau In Lui?" katanya. "Bagus! Bagus! Mati pun aku meram! Kakakmu masih hidup, sekarang dia telah pergi ke kota raja untuk turut dalam ujian, maka lekaslah kau pergi susul dia!"
Kembali si nona terkejut. Memang ia tahu yang ia masih mempunyai satu saudara lelaki, dan usianya lebih tua, namanya In Tiong, akan tetapi waktu kakaknya itu berumur lima tahun, ayahnya telah mengirimkan dia pada satu suhengnya, kakak seperguruan, untuk dijadikan muridnya. Hal ini ia baru tahu kemudian, sesudah ia dengar keterangan gurunya..
Sama sekali Hian Kie It-su, guru In Teng, mempunyai lima murid. In Teng keluar dari perguruan sebelum tamat, dia pergi ke negeri asing untuk menolong ayahnya, In Ceng. Empat murid lainnya, masing-masing mendapat serupa kepandaian istimewa. Tiauw Im adalah murid yang kedua, dia mendapat ilmu tongkat Hok-mo-thung serta gwa-kang, ilmu tenaga luar. Cia Thian Hoa yang ketiga, bersama Hui-thian Liong-lie, yang keempat, berdua mereka peroleh ilmu pedang. Murid kesatu adalah Tang Gak, dia diberi pelajaran Tay-lek Eng-jiauw-kang, Tenaga cengkraman garuda, dari ilmu slat Kim-kong-ciu, Tangan Arhat. In Tiong telah dikirim kepada Tang Gak ini. Sejak Tang Gak tiba di Mongolia, dari mana ia berpesiar ke perbatasan Tibet, untuk selama sepuluh tahun, selama itu tidak pernah ada kabar ceritanya, maka itu apakah In Tiong sudah mati atau masih hidup, orang tidak mengetahuinya. Siapa tahu sekarang mendadak datang kabar dari orang yang tidak dikenal ini.
In Lui menjadi girang berbareng heran.
"Kau siapa?" ia tanya.
"Aku adalah suheng dari kakamu," ia berikan jawaban.
"Ah! Kalau begitu, kau juga adalah suhengku." Ia beritahu. Tadinya ia niat menanyakan lebih jelas, tiba-tiba ia tampak matanya menjadi putih mencilak, lalu dengan lebih serak, suheng itu berkata," Masih ada kabarku yang lebih penting pula. Bangsa Tartar berniat mengurung gunungmu, untuk merusak bendungan air."
"Tentang itu, aku telah ketahui dari siang-siang," Ciu Kian beri keterangan. "Dapatkah kau dengar suara ledakan? Itu tandanya pihakku telah peroleh kemenangan."
Orang itu tersenyum, ia perlihatkan roman girang.
"Musuh juga akan mengerahkan angkata perangnya untuk menggempur kerajaan Beng," dia masih menerangkan lebih jauh. "Kau .....kau mesti berdaya untuk memberi kisikan kepada Sri Baginda. Di......d.....di badanku ada sepucuk surat untukmu...... Bagus, aku telah bertemu dengan kamu, bolehlah aku pergi."
Suaranya semakin perlahan, begitu ia berhenti bicara, ia tersenyum pula, habis itu, kedua matanya dimeramkan kembali.
Secara demikian dia berpulang ke alam baka.
Ciu Kian terharu, ia menghela napas. Ia ambil surat yang dimaksudkan, ia menekes batu untuk menyalakan api.
"Inilah surat toa-supeehmu," ia kata.
Surat itu ditulis dengan huruf "Co-jie" suatu tanda ditulisnya lekas-lekas. Ciu Kian lantas sobek sampulnya, untuk membaca suratnya. Mula-mula ia baca, "Gak adalah seorang gunung. Ia titipkan dirinya di padang pasir, cita-citanya besar, akan tetapi akhirnya, dengan arak ia membuat dirinya sinting selalu. Seumurnya tidak ada yang Gak buat menyesal, kecuali belum pernah berkenalan dengan tuan."
Di dalam hatinya, Ciu Kian berpikir," Tang Gak ini mempunyai cita-cita luhur." Ia membaca terus," Walaupun tuan dengan aku belum pernah bertemu, akan tetapi dari saudara Thian Hoa, tahulah aku tentang kegagahan tuan yang kaum kang-ouw mengaguminya. Benar tuan telah berdiri sendiri dengan menduduki sebuah gunung dengan menolak bangsa Han dan menentang bangsa asing, akan tetapi aku tahu pasti tuan tak sudi melihat bangsa asing meluruk ke selatan untuk menggembala kuda hingga kesudahannya Tionggoan nanti berubah Han menjadi asing."
Ciu Kian menghela napas.
"Sungguh orang ini mengenal diriku." Ia kata. Ia membaca pula," Di negara Watzu setelah perdana menteri To Hoan menutup mata, puteranya yang bernama Ya Sian telah menggantikannya, mulanya sebagai menteri, belakangan dia angkat dirinya guru negara, hingga dia pegang kekuasaan atas pemerintahan dan tentara. Dia telah menyiapkan angkatan perangnya dengan maksud menyerbu Tionggoan. Sekarang dia mengumpulkan rangsum dan lain-lainnya, hingga rasanya tak lama lagi ia akan mulai menggerakkan tentaranya itu. Musuh tangguh sudah seperti di depan pintu kota perbatasan, akan tetapi di dalam pemerintahan, menteri-menteri tengah bermabuk-mabukan, mereka seperti tengah bermimpi adakah itu bagus?"  

Continue Reading

You'll Also Like

Hostium (END) By Keila

General Fiction

1.2M 57.5K 47
Reanka adalah gadis pendiam dengan sejuta rahasia, yang hidup di keluarga broken home. Di sekolahnya ia sering ditindas oleh Darion Xaverius. Reanka...
1M 3.3K 15
Ingin cerita lebih lengkapnya lagi, Silahkan klik Link di profil saya... 🙏🙏😊
1.1M 49.8K 47
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...
261K 3K 53
01. Pendekar Sakti 02. Dara Baju Merah (Ang I Nio cu) 03. Pendekar Bodoh 04. Pendekar Remaja Lu Kwan Cu adalah nama asli Pendekar Sakti Bu Pun Su, to...