PainHealer

By norsamora

84.6K 4.4K 191

[15+] PAIN SERIES #4 Aku hanya ingin membuat seseorang tersenyum tanpa membuat orang lain menangis. . . . Aku... More

Prolog
Betony
Camellia
Flax
Hyacinth
Forget-Me-Not
Spearmint
Oleander
Fig
Gillyflower
Hydrangea
Rosemary
Mistletoe
Snowdrop
Love-lies-bleeding
Chrysanthemum
Rose Leaf
Daffodil
Love-in-a-mist
Sweet William
Iris
Dandelion
Zinnia
Lily of the Valley
Epilog

Sweet Pea

3.2K 156 1
By norsamora

Sweet Pea memiliki arti terima kasih untuk saat-saat yang menyenangkan. Tidak ada yang tidak menyukai momen bahagia yang akan selalu dikenang sampai nanti. Dimana hanya ada kita, dan orang-orang tersayang disana. Semua bahagia, tanpa hadirnya kesedihan. Ah, benarkah kesedihan benar-benar tidak akan mengusik?

***

LILY’s POV

Aku menghentikan permainan pianoku begitu ada pengganggu yang sebentar lagi akan berulah untuk merusak hari Mingguku. Dengan malas aku melirik ke arah pintu kamarku yang dibuka lebar oleh Kak Rion yang menampilkan senyum lebarnya.

“Mau apa Kak Rion kesini?” tanyaku saat ia berjalan memasuki kamarku. “Lily sedang sibuk sekarang. Sana keluar!” usirku mulai keki melihat senyum tidak jelasnya.

“Galak banget sih sama Kakak lo yang paling ganteng ini,” ucap Kak Rion sambil cekikikan. Kan, apa banget coba? Gak jelas!

“Keluar!” usirku lagi dengan nada membentak.

“Tidak mau~” ucap Kak Rion dengan nada menyebalkan. Oke, hari Mingguku yang baru saja dimulai sudah rusak sekarang.

Aku bangkit dari tempat dudukku dan menatap sosok yang lebih tinggi dariku itu dengan tajam. Sebelum aku melancarkan seranganku pada Kak Rion, sebuah suara lembut milik Kak Mira membuatku terdiam.

“Lily, di depan ada temenmu nungguin tuh.”

“Hmmm … jadi itu Si Hujan yang diceritakan sama Ayah, ya?” tanya Kak Rion lebih menjurus ke mengejek. “Sadar masa depan banget deh lo, Ly. Sekali ngegebet cowok langsung kalangan kelas atas. ”

“Berisik!” seruku mendorong Kak Rion dengan kuat. “Ayah cerita apa aja sih?!”

“Oh, ternyata itu toh yang namanya Hujan,” gumam Kak Mira membuatku menoleh kearahnya. Kak Mira mengulas senyum mengejek di wajahnya. “Pantas saja Oliver excited banget waktu melihat anak itu datang.”

Tiba-tiba kepalaku menjadi sangat pusing. Apa saja sih yang sudah Ayah bicarakan pada dua orang menyebalkan ini? Dan ada keperluan apa Kak Hujan datang kemari pagi-pagi? Daripada banyak mikir, aku harus segera memastikannya sendiri.

“Eits, mau kemana lo?” Kak Rion menahan lenganku.

“Ih, apaan sih!” aku menyentak lenganku, namun tidak berhasil karena cengkraman Kak Rion semakin kuat. “Lepasin Lily, dasar rese!”

“Kamu bercanda, Ly? Kamu yakin mau datangin cowok keren itu dengan penampilan kayak gini?” tanya Kak Mira dengan kekagetan yang dilebih-lebihkan.

“Memangnya ada yang salah, hah?!” aku masih berusaha melepaskan cengkraman Kak Rion yang sudah berhasil menahan kedua tanganku. “Kak Rion, lepasin Lily sekarang!!!” perintahku pada Kak Rion mulai brutal.

“Udah, kamu tenang saja, Lily.” Kak Mira kini ikut-ikutan menahan diriku yang semakin susah melepaskan diri. “Kamu itu mau di buat cantik kok, gak bakal diapa-apain.”

Lalu, dengan paksa mereka berdua menyeretku keluar dari kamar untuk menuju salon mini yang ada di rumah ini. Dua orang ini benar-benar paling mengerti bagaimana membuatku kesal.

***

AUTHOR’s POV

Hujan dan Oliver terdiam saat samar-samar mendengar suara cempreng teriakan Lily. Oliver lalu berdehem pelan untuk mencairkan suasana kembali.

“Biasalah, Lily berantem dengan Kakak dan Mamanya,” ucap Oliver sedikit salah tingkah. Ingatkan Oliver untuk menegur Miranda dan Rion nanti.

“Hari libur Anda pasti sangat ramai ya, Om.” Hujan terkekeh kecil.

“Sudahlah, Hujan, jangan terlalu formal sama saya. Kamu sekarang sedang berkunjung ke rumah temanmu, bukan menghadapi seorang klien.”

“Tidak bisa, Om. Untuk memanggil Anda dengan sebutan ‘Om’ dan bukannya ‘Tuan Oliver’ saja rasanya sudah cukup. Lagipula, ini adalah ajaran keluarga saya dan sudah seharusnya saya junjung.” Hujan tersenyum tipis sebelum menyesap tehnya dengan gerakan elegan. Benar-benar figur sempurna dari sosok mantu impian Oliver selama ini.

“Apa Lily merepotkanmu selama ini, Hujan?” tanya Oliver setelah Hujan selesai menikmati tehnya. “Kita tahu sendiri kalau Lily bukanlah gadis dengan sikap manis yang disukai banyak orang.”

“Yah, tapi Lily sangat menyenangkan dan saya tidak merasa direpotkan olehnya,” jawab Hujan dengan pembawaan tenangnya yang khas. “Satu lagi, menurut saya, tidak semua gadis dengan sikap manis memiliki sisi menyenangkan. Suatu kebanggaan bisa mengenal putri Anda dan berteman baik dengannya.”

“Semoga kalian berdua bisa berteman baik terus, ya. Lily pastilah sangat beruntung memiliki teman sepertimu.” Oliver menepuk pundak Hujan dua kali. Tak lama kemudian, Oliver menegakkan tubuhnya dan mimiknya sedikit mengeras. “Saya baru ingat, ada satu hal penting yang mau saya tanyakan  padamu.”

“Jangan sungkan-sungkan, Om.” Hujan mempersilahkan. “Tanya saja, ada apa, Om?”

“Apa keadaan Nyonya Markab sudah membaik?” tanya Oliver hati-hati. Hujan membeku dan kedua pupilnya melebar seperkian detik sebelum ia kembali pada mode tenangnya. “Saya tahu ini sedikit tidak─”

“Keadaan Ibu saat ini sama seperti dulu, tidak ada perubahan sama sekali.” Hujan menjawab sebelum Oliver menyelesaikan kalimat rasa tidak enaknya. “Anda tidak perlu khawatir, saya dan Adik saya bisa menangani beliau.”

“Jika ada apa-apa, kamu bisa meminta bantuan saya, Hujan. Ibumu itu adalah teman baik saya waktu kuliah. Akan saya bantu dengan senang hati jikalau memang ada yang bisa saya bantu.”

“Terima kasih, Om.” Hujan mengangguk sekilas dengan senyum menenangkan. Sebelum suasana menjadi canggung dan lebih berat, sebuah keributan yang dibuat oleh Lily, Miranda, dan Rion berhasil mencairkan suasana.

“Kalian ini daritadi heboh sekali! Tidak malu dengan Hujan, hah?” tegur Oliver menatap ketiga sosok didepannya dengan sorot tajam. Padahal, dalam hati Oliver sangat berterima kasih dengan mereka.

“Tau nih si Lily, Yah! Susah banget diurusnya!” Rion menyerukan pembelaan dirinya. “Dengerin kata Ayah tuh! Jadi cewek heboh banget kayak apaan.”

“Kamu sama saja, Rion.” Oliver memijit keningnya begitu Rion dan Lily sudah saling melemparkan tatapan sengit. “Sudah, sudah, kalian jangan berkelahi dan bersikaplah lebih baik dihadapan tamu. Terutama kamu Lily, ini adalah tamumu.” Oliver pun meninggalkan tempat setelah mengucapkan hal yang berhasil membuat anak bungsunya kembali pada realita dihadapannya.

Lily merasa kedua kakinya siap meleleh ketika melihat sosok Hujan didepan matanya. Hujan dengan rambut yang di tata lebih rapi, kemeja yang digulung sampai siku, dan jins hitam yang membalut kakinya sangatlah keren. Entah ini efek outfit kerennya atau memang Hujan yang ganteng dan penuh pesona, yang pasti Hujan sangat sempurna di mata Lily.

“Oi, sadar! Gausah mupeng gitu deh, bikin malu tau!” Rion menjentikkan jarinya beberapa kali di depan muka Lily hingga adiknya itu memukulnya penuh rasa jengkel.

“Tuh mulut gak usah berisik sehari, bisa?” tanya Lily dengan nada dan tatapan sinis. Akan tetapi, beberapa saat kemudian ekspresi itu mencair ketika ia mendengar tawa kecil dari Hujan. Seketika Lily menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus apa dengan degup jantungnya yang mulai tidak karuan.

Hujan berdiri dari posisi duduknya, lalu memberikan Lily sebuah senyum hangat. “Kamu harusnya berterima kasih saat orang lain membuatmu menjadi secantik ini. Bukannya malah menjadi kesal, ‘kan?” Hujan beralih pada Rion lalu Miranda. “Untuk kalian berdua, terima kasih sudah membuat Lily menjadi sangat cantik hari ini.” Hujan menunduk sedikit lalu tersenyum sopan.

“Masih ada ya remaja seperti ini ….” Miranda menaruh kedua tangannya di depan dada. “Ya Allah, nikmat mana lagi yang bisa ku dustakan ketika melihat salah satu mahakarya-Mu yang indah ini? Lily beruntung sekali.”

“Gak tau kenapa gue merasa kasihan lihat nih anak jadi gebetan Lily,” gumam Rion membuat Lily reflek menoleh kearahnya dengan mata menyipit sebal. Lily kembali menghadapi Hujan, dan dia hampir saja pingsan saat menyadari Hujan sudah berdiri tepat disampingnya. Belum lagi wangi Hujan sangat maskulin dan memabukkan.

“O-oh iya ... K-kak Hujan ng-ngapain kesini?” tanya Lily gugup.

“Mengajakmu jalan-jalan. Aku sudah izin dengan Ayahmu, dan beliau mengizinkan,” jawab Hujan dengan tenang.

“L-l-lily ….” Lily mengatupkan bibirnya kembali saat kedua matanya bersirobok dengan kedua mata Hujan yang memandangnya bertanya dan sedikit memohon. Hujan memang paling mengerti bagaimana meruntuhkan dinding yang ada di dalam diri Lily.

Hujan beralih pada Miranda dan Oliver. “Baiklah, saya izin bawa Lily jalan-jalan dulu. Saya akan membawa Lily pulang tepat waktu dengan selamat. Saya dan Lily pamit.” Hujan kembali menundukkan sedikit kepalanya pada Rion, lalu beralih menyalimi Miranda. Untuk ukuran seorang Miranda yang dikelilingi anak-anak bertingkah cukup kurang ajar, tentu saja sikap Hujan membuatnya kaget.

Begitu juga Rion, yang biasanya bertingkah sesukanya dan melarang keras saudara perempuannya keluar bersama cowok lain, sangat kaget melihat seorang laki-laki yang sangat sopan meminta izin untuk membawa adiknya pergi. Tak pernah Rion temui laki-laki seperti Hujan yang bisa sangat gentle membawa anak gadis seseorang seperti itu. Ataukah, memang Rionnya saja yang dikelilingi orang-orang tidak gentle? Intinya, Rion merasa terharu melihat kaum adam semacam Hujan.

Dan, begitulah Hujan bisa membawa Lily pergi tanpa hambatan berarti.

***

“Ada tempat yang mau kamu kunjungi?” tanya Hujan yang fokus dengan setir didepannya. Hari itu, Hujan memilih membawa mobil daripada motor. Pilihan yang sangat tepat karena di tengah jalan tiba-tiba hujan turun cukup deras.

“L-lily ngikut saja, Kak.” Lily menjawab pelan hingga suaranya hampir tenggelam dengan suara hujan di luar sana.

“Begitu, ya? Aku sudah menyusun rencana hari ini sih. Kalau begitu mau tak mau kamu harus ikuti aku, oke?” Hujan memberikan senyum mematikannya pada Lily. Daripada menjawab, Lily lebih memilih menetralkan wajahnya yang memerah hingga merambat ke kedua telinganya, dan tentu saja debaran jantungnya juga.

Hujan membelokkan mobilnya dan melaju ke tempat tujuan pilihannya untuk menghabiskan waktu bersama Lily hari ini.

***

LILY’s POV

Aku terpana melihat hamparan bunga-bunga yang bermekaran di dalam rumah kaca ini. Ya, Kak Hujan membawaku ke sebuah rumah kaca yang sangatlah besar dengan tanaman-tanaman indah, terutama bunga Lily.

“Bagaimana? Ibuku yang menanam semua bunga-bunga disini.” Kak Hujan berjalan mendekat ke kumpulan bunga-bunga Lily berwarna putih. “Terutama Lily putih ini, Ibuku sangat suka dengan Lily berwarna putih.”

Kak Hujan memetik setangkai Lily tersebut, lalu berjalan mendekat padaku kembali. Aku tersentak saat Kak Hujan menyerahkannya padaku dengan tatapan yang berkata ‘ambillah’. Dengan sedikit ragu, aku mengambil Lily putih tersebut dari tangan Kak Hujan.

“Selain kesucian, kamu tahu tidak arti lain di balik Lily putih itu apa?” tanya Kak Hujan yang kubalas gelengan lemah. Sungguh, aku sama sekali tidak tahu dan tertarik masalah bunga-bungaan.

Kak Hujan membalik tubuhnya, menghadap kembali pada hamparan bunga di depannya, terutama Lily putih disana. “Aku akan memberitahumu saat mengantarmu pulang nanti.”

Hal yang paling tidak kusukai adalah di gantungi seperti itu. Jika saja yang berkata adalah orang lain, mungkin sudah kuhajar daritadi. Tapi, ini adalah Kak Hujan! Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Bisa berbicara normal didepannya saja sudah sangat bersyukur.

“Lily, suatu saat nanti apa kamu akan membenciku?” Kak Hujan tiba-tiba bertanya hal random yang tidak kupahami maksudnya. Kenapa cowok ini penuh kejutan sekali sih?!

“Ke-kenapa tiba-tiba bertanya s-seperti itu?” tanyaku balik.

“Jawab saja,” ucap Kak Hujan kembali menghadapku. “Jika nanti aku melakukan sesuatu yang buruk, apa kamu akan membenciku?”

“Lily tidak mengerti … sebenarnya ada apa? Kenapa Lily harus benci sama Kakak?” tanyaku semakin penasaran. Semua kegugupanku benar-benar hilang karena rasa penasaran ini. “Lagipula, Lily tidak memiliki alasan kenapa harus membenci Kakak. Ini aneh sekali.”

“Kalau begitu, suatu saat nanti apa kamu akan mencintaiku?” tanya Kak Hujan sembari menatap dalam ke arah mataku.

“A-apa?” tenggorokanku tercekat dan dadaku rasanya meledak. Ruangan disekitarku pun tiba-tiba terasa sangat sempit, dan oksigen rasanya juga sudah hilang entah kemana. Suasana macam apa ini? Cowok ini memang suka berfikir dan berbicara random, ya?!

“Jika kamu tidak memiliki alasan untuk membenciku, haruskah kamu memiliki alasan untuk mencintaiku?” tanya Kak Hujan membuatku kian menciut. Kenapa pertanyaannya begini amat sih? Dan, ada apa dengan sistem diriku yang rasanya jadi bekerja tidak normal? Oh, ayolah!

“I-itu pertanyaan yang b-bodoh, K-kak! Li-lily tidak suka m-menjawab p-pertanyaan bodoh,” jawabku dengan tubuh gemetar. Ck, dasar mulut sialan! Kenapa malah berbicara seperti itu!

“Hm, kalau begitu aku minta maaf.” Kak Hujan menggaruk tengkuknya sambil tertawa garing. “Ah, apa kamu lapar? Bagaimana kalau kita cari makan sekarang? Aku tahu tempat makan enak di dekat sini.”

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Lagian lama-lama disini hanya membuat kecanggungan semakin jadi. Setelah keluar dari sini, aku tidak boleh menghancurkan momen lainnya!

***

AUTHOR’s POV

“ … Akhirnya, dia pingsan karna kaget dan rapat OSIS terpaksa dibatalkan. Benar-benar chaos dan semua orang jadi sibuk ngurusin dia saja.”

Lily tertawa mendengar cerita Hujan tentang pengalamannya sewaktu menjabat jadi Ketua OSIS di sekolah. Hujan pun tertawa kecil mengingat kejadian dimana salah satu rekan OSISnya yang berulang tahun dikerjain hingga pingsan.

Pandangan Hujan teralih pada wajah Lily yang tertawa dihadapannya. Tawa Lily bukanlah tawa lepas dan bebas, hanya saja tawa itu mampu membuat siapa saja merasa senang dan ingin melihat tawa itu lagi dan lagi. Begitu pula Hujan, yang tanpa sadar sudah tersenyum dan menatap Lily dengan sorot nan lembut.

“Eh? K-kenapa Kak?” Lily yang sadar diperhatikan Hujan seperti itu lantas menjadi salah tingkah. “A-ada yang a-aneh di wajah L-lily?” tanya Lily memegangi wajahnya dengan tangan gemetar karena rasa gugup.

“You have a great laugh,” jawab Hujan jujur apa adanya.

“H-huh? K-kak Hujan ada-ada saja.” Lily tertawa garing lalu menyesap teh hangatnya hingga tandas untuk meredakan rasa gugupnya.

“Beneran tidak ada tempat yang mau kamu kunjungi, Ly?” tanya Hujan mengalihkan topik. Diam-diam Hujan pun merasa sedikit malu. “Masih ada waktu 2 jam sebelum aku mengantarmu pulang.”

“T-tidak ada kok,” jawab Lily dengan kedua mata menatap liar sekitarnya. Berusaha keras tidak bertabrakan dengan kedua mata yang menatapnya menyelidik.

“Oke, kalau begitu kamu ikut ke satu tempat terakhir pilihanku.” Hujan bangkit dari kursinya dan dis usul oleh Lily yang berjalan sedikit berjarak untuk kebaikan degup jantungnya.

***

Hujan membawa Lily ke sebuah lapangan basket. Dari jauh, Lily menyaksikan Hujan yang dengan lincahnya mendribble bola lalu melakukan three point yang mulus dan sempurna. Lily bertepuk tangan pelan melihat kebolehan Hujan bermain basket.

“Ngomong-ngomong soal basket, apa kamu kenal dengan siswa di sekolah kita yang bernama Kala?” tanya Hujan sedikit berteriak dan masih mendribble bola basketnya.

“Eh?! K-kala?” gumam Lily tanpa sadar berjalan mendekati lapangan. Dari gugup, perasaannya berubah menjadi takut. Lily bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan Hujan mengungkit tentang seseorang yang dibencinya itu?

“Iya, siswa raksasa setinggi 190 cm yang pernah menjadi pemain basket di sekolah.” Hujan menghentikan permainan basketnya. "Apa kamu mengenalnya?”

Lily menelan salivanya dengan berat, kakinya lemas dan kepalanya mendadak pusing. Topik yang paling Lily benci adalah soal Kala. Ada banyak hal yang membuat Lily sangat anti dengan mantan sahabat kecilnya itu.

“M-maaf, Kak. Tapi ….” Lily tersenyum hampa, memikirkan kata apa yang harus ia ucapkan selanjutnya. “Lily tidak mengenalnya.”

Hujan mengangguk dengan kedua mata melirik gelagat Lily dengan sorot menyelidik. Menghela nafas berat, Hujan memeluk bola basket di lengan kirinya. Sedangkan tangan kanannya meraih pergelangan tangan Lily dan menuntunnya pergi dengan lembut. Pilihan yang tepat untuk Hujan ambil saat ini adalah mengantar Lily pulang.

Dalam perjalanan pulang, keheningan menyelimuti perjalanan mereka. Hujan nampak menikmati keheningan tersebut, tak ada niat mengeluarkan suara atau memecah keheningan dengan sedikit musik di radio. Hal yang sama pun juga terjadi pada Lily yang tidak berniat sama sekali membunuh atmosfer tegang dan mencekam.

Begitu sampai di depan gerbang besar rumahnya, Lily mengucapkan terima kasih tanpa sedikitpun menatap Hujan.

“Tunggu,” cegat Hujan meraih pergelangan tangan Lily. “Maaf, hari ini sangat berantakan.”

“Kak Hujan t-tidak perlu minta ma-maaf.” Lily menyisipkan anak rambutnya ke belakang telinga. “M-maaf juga sudah membuat hari K-kakak menjadi sangat buruk.”

“Kalau ini hari yang buruk, aku pasti sudah meminta balik Lily putihmu daritadi. Atau, mungkin dari awal aku tidak akan memberimu bunga itu.” Hujan mengeratkan genggamannya, menyalurkan kehangatannya untuk Lily. “Kamu tahu, Lily putih yang kuberi untukmu itu artinya bukan kesucian.”

Lily sedikit memiringkan kepalanya. “Lalu apa?”

Sangat menyenangkan bisa bersamamu.” Hujan tersenyum hangat. Sangat hangat. “Itulah artinya saat kuberikan bunga itu padamu.”

Wajah Lily menghangat, begitu pula dengan hatinya. Hujan dengan mudah menaikkan mood Lily kembali, dan Hujan sangat sadar akan hal itu. Hujan melepas genggamannya di pergelangan tangan Lily dengan gerakan lembut.

“L-lily masuk kedalam d-dulu, Kak.” Lily menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan senyumnya. "Terima kasih untuk hari ini."

“Baiklah, aku pulang sekarang. Titip salam untuk keluargamu, ya.” Hujan berucap dan di balas Lily dengan anggukan kecil.

Dengan gerakan tergesa-gesa, Lily keluar dari mobil Hujan dan berlari memasuki kediamannya. Satpam yang berjaga menunduk sekilas pada mobil Hujan sebelum menutup gerbang megah kediaman keluarga Chakradinata tersebut.

***

Hujan menghentikan langkahnya begitu melihat Sauzan duduk di sofa sembari menatapnya dengan sorot tajam. Hujan melengos, dan dengan santai berjalan menghampiri adiknya itu.

“Gue bisa membantu lo balas dendam ke Mimi. Tapi, tolong, jangan libatkan Lily lebih jauh lagi,” ucap Sauzan dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya.

“Apa yang  bisa dilakukan orang bodoh kayak lo?” tanya Hujan dingin dan mengintimidasi. “Katakan, apa yang bisa dilakukan manusia gak berguna kayak lo ini, hah?!” tanya Hujan lagi dengan penuh penekanan di tiap katanya.

Sauzan tak bergeming, bahkan tatapan tajam nan beraninya kian memudar saat melihat kemurkaan dalam diri Kakaknya. Sauzan sadar akan situasi yang di alami Kakaknya. Namun, untuk beberapa alasan, ia sengaja menutup mata dan telinganya.

“Tujuan besar gue sekarang adalah membasmi parasit brengsek itu sampai benar-benar mati,” ucap Hujan dengan senyum mengerikan. “Tapi, sepertinya ada lagi satu parasit yang tidak kalah menganggunya disini, ya?”

Tubuh Sauzan menegang saat telapak dingin Hujan menepuk kepalanya. Tanpa sadar Sauzan bergerak mundur ketika telapak tangan itu turun ke bahunya dan mencengkram dengan sangat kuat.

“Lo sendiri yang membuat diri lo menjadi parasit dalam hidup gue, Zan.” Hujan menatap mata Sauzan dengan sorot dingin dan kosong. Sauzan sendiri bahkan ragu jika didepannya ini adalah Kakaknya sendiri. “Dan gue tidak keberatan sama sekali untuk musnahin lo.”

***

#CATATAN MORA#

Haaiii~ maaf atas keterlambatan Mora up cerita ini yaa T.T

Semoga chapter kali ini tidak mengecewakan~

Iya, Mora sungguh tidak bakat bikin adegan pedekate mesra goals menye-menye gitu. Jadi, hanya segini yang bisa Mora berikan untuk chapter yang niatnya tidak berat-berat dulu.

Oh iya, Mora bikin cerita baru loh! Judulnya Secret Love Code!

Gak berat-berat banget ceritanya kok, tentang anak sekolahan bandel gitu~

Hehe malah promosi. *plak*

See you next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

542K 88.4K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
9.8M 886K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...