PainHealer

By norsamora

84.6K 4.4K 191

[15+] PAIN SERIES #4 Aku hanya ingin membuat seseorang tersenyum tanpa membuat orang lain menangis. . . . Aku... More

Prolog
Betony
Camellia
Flax
Hyacinth
Forget-Me-Not
Oleander
Sweet Pea
Fig
Gillyflower
Hydrangea
Rosemary
Mistletoe
Snowdrop
Love-lies-bleeding
Chrysanthemum
Rose Leaf
Daffodil
Love-in-a-mist
Sweet William
Iris
Dandelion
Zinnia
Lily of the Valley
Epilog

Spearmint

3.5K 168 0
By norsamora

Spearmint memiliki arti Kehangatan Dari Sebuah Perasaan. Ada banyak kehangatan yang mampu menyelimuti perasaan kita. Saat bercanda dengan sahabat atau menghabiskan waktu bersama keluarga, keduanya adalah perasaan yang menghangatkan. Namun, tetap saja hangatnya perasaan dari orang yang paling dicintai adalah favorit semua orang.

***

AUTHOR POV

"Please, jangan hujan," gumam Lily dengan wajah panik saat melihat hujan yang turun dengan derasnya. "Cih! Sekarang Lily harus gimana?"

Dengan sebal Lily memeluk dirinya saat angin berembus kencang. Sekolahan telah sepi dan Lily tidak melihat siapapun disekitarnya selain dirinya. Keterlambatan Lily pulang disebabkan karna dirinya terlalu asik tidur di perpustakaan untuk menghindari jam terakhir di kelas. Dan sekarang Lily menyesali pilihannya tersebut.

Lily melihat arloji yang melingkar ditangannya, dan ia semakin gelisah saat jarum jam menunjukkan pukul 5 disana.

"Loh? Kamu belum pulang?" tanya Hujan yang entah sejak kapan berdiri disamping Lily.

"Eh?!" Lily tersentak karena tidak menyadari kehadiran Hujan. "Sejak kapan Kakak disana?"

"Baru saja," jawab Hujan. "Ah, deras juga hujannya, ya." Hujan mengadahkan kedua tangannya hingga rintik air yang dingin itu jatuh ke telapak tangannya.

"Kak Hujan sendiri kenapa belum pulang?" tanya Lily membuat Hujan menoleh kearahnya hingga pandangan mereka bertemu. "J-jangan salah paham dulu, Lily bukan peduli atau apapun kok. Cuma bertanya biasa ...."

"Kamu ini sangat lucu," ucap Hujan tertawa kecil. "Dengan kamu ngomong begitu malah membuat orang berfikir kamu itu peduli loh."

"B-berarti orang itu bodoh!" Lily membuang wajahnya yang sudah memerah ke arah berlawanan.

"Oke, berarti aku bodoh." Ucapan Hujan barusan cukup membuat Lily tersentak dengan wajah semakin memerah.

"Lily t-tidak maksud mengatai Kak Hujan b-bodoh ...," ralat Lily dengan cepat dan salah tingkah. Lily terdiam melihat senyum manis nan hangat Hujan. Senyum yang setara dengan musim semi yang selalu ia kagumi di dalam scene manga yang ia baca. Dalam sekejap, Hujan mampu membuat Lily mengagumi dirinya.

"Dan lagi, jangan terlalu mudah merona dihadapan laki-laki. Wajahmu yang merona itu sangatlah manis dan lucu." Hujan mengacak rambut Lily dengan ringan. "Kasihan laki-laki yang nanti salah paham kalau kamu merona dihadapan mereka."

Lily menyentuh pucuk kepalanya dan ia merasa hangat sekali lagi. Wajahnya memanas, namun kali ini ada sensasi aneh dari rasa malunya. Dalam sehari, Lily mempelajari cukup banyak perasaan baru yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Lily, ayo kuantar pulang," ucap Hujan sembari melepas jaket yang membalut tubuhnya. Tanpa permisi, Hujan menyampirkan jaketnya di bahu Lily. "Aku tidak mau mendengar penolakan, ya!"

Hujan merangkul Lily dan membawa gadis itu ke area parkiran. Tak memedulikan Lily yang sama sekali tak berkutik karena menahan diri untuk tidak pingsan ditempat akibat menahan gejolak asing di dalam dadanya.

Di area parkiran, mereka berdua berhenti disebuah motor berwarna biru dongker. Hujan menyerahkan helmnya kepada Lily dengan senyum yang tak mampu Lily tolak.

"T-terus Kak Hujan gak pakai helm gitu?" tanya Lily menatap helm ditangannya dengan ragu.

"Keselamatan penumpang itu lebih penting," jawab Hujan sembari menstarter motornya. "Aku harus mengantar anak gadis seseorang pulang dengan selamat."

"Berlebihan sekali," gumam Lily membuat Hujan tertawa.

"Ayo, cepetan. Ini hujannya gak bakal reda lama, soalnya langit masih mendung banget." Hujan menepuk jok belakang yang masih kosong melompong. "Ayo."

Dengan canggung Lily duduk di jok belakang Hujan, dan dengan tangan gemetaran memegang pundak Hujan.

"Sudah?" tanya Hujan yang dibalas anggukan kecil dari Lily. Motor Hujan pun melaju, membelah jalanan dan juga angin yang berembus.

Sore yang suram itu, terasa sangat indah untuk Lily.

***

"Coba tebak, apa yang lebih horror dari film ini?" tanya Rion kepada Miranda yang tegang menonton film horror di theatre room bersama dirinya. "Kak Mira! Jangan cuekin Rion!"

"Apaan sih! Ini lagi seru-serunya jadi gak─KYAAAAA!!!" Miranda menjerit saat hantu di film itu muncul dan juga sound effect yang ikut mengagetkan dirinya. Sedangkan Rion mengusap-usap telinganya yang berdengung akibat jeritan barusan.

"Udah, gak usah ditonton lagi." Rion mengakhiri secara sepihak film yang sudah pertengahan jalan itu. Setelah itu, Rion meraih remot kecil yang tergeletak di atas meja untuk menyalakan lampu. Seketika ruangan gelap gulita itu menjadi terang kembali.

"Memangnya ada apaan sih?" tanya Miranda kepada Rion yang mulai bertingkah seperti Ibu-Ibu penggosip yang membawa berita terhangat.

"Kayaknya Lily lagi deket sama cowok deh," ujar Rion memulai aksi menggosipnya.

"Ah, yang bener kamu, Yon?!" Miranda mulai tertarik dengan bahan gosip yang dibawa Rion. Jiwa penggosip Miranda sepertinya sudah tidak bisa dibendung lagi sekarang.

"Beneran! Tadi gue ngeliat dia di antar pulang sama cowok. Gak cuma itu! Si Lily juga senyum-senyum gak jelas." Rion mengusap dagunya dengan tampang berfikir ala detektif. "Auranya Lily juga lebih ceria gitu."

"Kok kamu gak bilang-bilang ke Kak Mira dari awal sih!" seru Miranda tak terima.

"Gue juga baru ingat pas lihat pemeran utamanya bonceng cewek jadi-jadian itu," elak Rion yang dibalas cibiran dari Miranda. "Intinya, gimana kalo kita cengcengin Lily sekarang?"

Miranda dan Rion saling melemparkan senyum jahil dan juga mengeluarkan dua tanduk tak kasat mata di atas kepala mereka. Sedetik kemudian mereka berdua melesat cepat keluar dari theater tersebut untuk menemui Lily.

***

Hujan dan Sauzan memakan makan malam mereka dalam diam. Di ruang makan itu terasa sekali suasana mencekam yang tidak ada kehangatan sama sekali. Tak ada obrolan ringan apalagi candaan yang menandakan mereka saudara dekat dan akrab.

"Oh iya, kayaknya tadi lo nganterin Lily pulang, ya?" tanya Sauzan memecah keheningan.

"Mau gue mengantarnya atau melecehkannya sekalipun itu bukan urusan lo, 'kan?" Hujan berucap santai tanpa sedikitpun menatap sang adik. "Daripada ngurusin bocah itu, kenapa waktu lo gak lo pake buat berhenti jadi pecundang?"

"Dan kenapa juga waktu lo gak lo luangkan sedikit untuk berhenti merendahkan orang lain?" Sauzan membanting alat makan di tangannya ke atas piring. "Memangnya gak aus merasa paling sempurna di dunia, hah?"

"Gue memang sempurna," balas Hujan menyeringai dan menatap Sauzan dengan tajam. "Apa yang gak gue bisa? Gue bisa mendapat apapun yang gue mau, dan lo sama sekali gak bisa apapun. Harusnya lo sekarang malu sama diri lo sendiri."

"Kalau lo sempurna, berarti Mimi itu Maha sempurna, ya?" Sauzan tertawa mengejek saat melihat perubahan air muka kakaknya. "Jangan kira gue gak tau sama rival lo yang satu itu. Mimi adalah jawaban telak untuk membuktikan kalau lo itu sama sekali gak semp─" Sauzan terbelalak dan setetes keringat dingin mengalir begitu sebuah pisau makan hampir menusuk matanya. Sangat beruntung ia bisa menghindar lebih cepat seperkian detik dan selamat dari pisau itu.

Hujan menatap Sauzan dengan sorot bengis yang sangat mengerikan. "Gue gak akan melepas siapapun yang berani menghalangi gue atau menentang ucapan gue. Siapapun dia, mau keluarga sekalipun ibu gue sendiri, semuanya akan hancur!"

Sauzan yang masih shock dengan apa yang terjadi barusan hanya membeku ditempat. Bahkan, ia masih tak berkutik saat Hujan dengan tenangnya meninggalkan meja makan seperti tidak terjadi apa-apa.

Begitu sosok Hujan benar-benar menghilang dari pandangannya, Sauzan melemaskan dirinya yang sangat tegang. Baru kali ini dia melihat Kakaknya sangat marah sampai tidak segan melukainya. Iya, Sauzan sadar sekali bahwa Hujan serius melempar pisau tadi kearahnya.

"Ini gawat!" Sauzan mengusap kasar wajahnya saat perjanjiannya dengan Kala terngiang di kepalanya. "Dia juga merencanakan sesuatu untuk bocah songong itu. Tugas ini jadi semakin berat." Sauzan memijit kepalanya yang terasa sangat pening. "What a good day."

***

Oliver menatap Ratih dengan bingung. "Kemana Miranda? Kenapa jadi Bu Ratih yang menyambut saya?" tanya Oliver sembari menyerahkan tas kerjanya kepada kepala Maid di rumahnya itu.

"Nyonya Miranda lagi─"

"KELUAR KALIAN BERDUA DARI KAMAR LILY SEKARANG!!!"

Teriakan menggelegar dari Lily membuat Ratih meringis. Tanpa melanjutkan kalimatnya lagi, ia sangat yakin jika Tuan Besarnya sudah tahu apa yang terjadi.

"Saya sudah mengerti situasinya. Terima kasih." Oliver meninggalkan Ratih untuk menuju sumber teriakan yang ia yakini berasal dari kamar putri bungsunya, Lily.

Oliver melongo melihat apa yang tersaji dihadapannya saat ini. Rion yang menyeringai jahil sembari mengunci kedua tangan Lily kebelakang tubuh gadis itu. Sedangkan Miranda menahan kedua kaki Lily, membuat gadis itu tidak bisa kabur dari mereka berdua. Lily sendiri sudah menekuk wajah dan menatap penuh dendam kedua orang dihadapannya itu.

"Apa yang kalian berdua lakukan? Kenapa Lily sampai digitukan?" tanya Oliver membuat ketiga orang disana menoleh bersamaan.

"Kita lagi mengintrogasi Lily, Ver," jawab Miranda dengan polosnya.

"Di introgasi untuk apa? Sudah, lepasin sekarang!" perintah Oliver yang telah mengukir senyum kemenangan di wajah Lily dan kekecewaan di wajah Rion dan Miranda.

"Ayah gak asik banget!" Rion memutar jengah bola matanya. "Padahal kita mau tahu siapa cowok yang tadi nganterin Lily pulang."

Oliver tersentak mendengar ucapan Rion. "Apa katamu tadi Rion? Ada cowok yang mengantar Lily pulang ke rumah?"

Lily merasakan firasat tidak enak saat Oliver berjalan memasuki kamarnya dengan wajah penasaran. Tak hanya itu, ekspresi Miranda dan Rion yang mendadak cerah juga memberikan peringatan jika dewi Fortuna tidak memihak dirinya saat ini.

"Miranda, Rion, tahan Lily dengan benar!" perintah Oliver lagi, membuat Lily terbelalak namun membuat Miranda dan Rion bersorak senang. Dengan ini, Lily sama sekali tidak bisa mengelak lagi.

"Ayah! Kok tega sih sama Lily?!" protes Lily penuh rasa tidak terima.

"Baru masuk sudah dekat sama cowok? Siapa cowok itu? Sudah sejauh apa hubungan kalian?" Oliver menatap Lily tepat di dua bola mata yang mewarisi warna matanya itu. "Hari minggu nanti, bawa cowok itu kerumah. Ayah harus tahu siapa cowok yang berani mendekati putri Ayah."

"Astaga! Kalian bertiga ini benar-benar menyebalkan! Sana pergi dari kamar Lily sekarang!" seru Lily hampir menangis. "Kak Hujan cuma senior Lily di sekolah! Tadi di antar pulang sama dia juga gara-gara udah kesorean dan sebelum hujan turun lagi!"

"Oh, namanya Hujan." Miranda manggut-manggut. "Keren juga, bertemu Hujan dibawah rinai hujan."

"Senior, ya ...," gumam Oliver dengan kening berkerut samar.

"Wah, malang juga nasib tuh cowok─Aduh! Kak Mira, sakit tau!" Rion mengelus kepalanya yang di jitak sama Miranda.

"Mulutmu tuh sembarangan, Rion." Miranda melotot garang kearah Rion. Sayangnya, pelototan itu tidak menakutkan sama sekali untuk Rion.

Lily yang menyadari sudah keceplosan hanya mampu menundukkan kepalanya. Ia merasa sangat malu hingga tak bisa membendung air matanya lagi. Merasa terpojok seperti sekarang membuatnya jadi tidak bisa berfikir jernih dan berakhir mengatakannya. Lily merasa malu sekali.

"Sudah puas, 'kan? Keluar dari kamar Lily sekarang!" perintah Lily dengan suara serak.

Oliver, Miranda, dan Rion yang menyadari perubahan dari Lily mulai merasa bersalah. Oliver memberikan isyarat agar Miranda dan Rion melepaskan Lily. Saat kuncian keduanya melemah, dengan cepat dan kasar Lily menyentaknya. Tak hanya malu, sepertinya Lily juga marah.

"Hei, sayang, kami cuma khawatir. Tidak perlu marah begitu." Oliver memeluk putri bungsunya dan memberikan usapan hangat dipunggung mungil itu. Oliver dapat mendengar isakan halus yang keluar dari bibir putrinya itu. "Ayah tidak bermaksud membatasi atau mengekangmu. Jujur, Ayah senang mendengar kamu memiliki teman yang sudah baik mengantarmu pulang." Oliver tersenyum tipis dan mengeratkan pelukannya. "Ayah akan sangat senang selama itu membuatmu bahagia, sayang."

Rion mendekati Ayah dan adiknya. "Meskipun lo udah kasar sama gue, gue tuh peduli sama lo tau! Gue janji kalo tuh cowok nyakitin lo, bakal gue kasih perhitungan! Selain gue, gak ada yang boleh nyakitin seorang Lily!" Rion tersenyum sembari mengacak rambut Lily yang masih nyaman di dalam pelukan sang Ayah.

"Aku gak tahu banyak seluk-beluk tentang masa lalu kalian. Tapi, sepertinya kejadian ini pertanda baik dan semoga semua tetap baik kedepannya." Miranda ikut bergabung dengan ketiga keluarganya itu. "Kebahagiaan kalian itu masuk list teratas hal penting untukku."

Dengan takaran yang berbeda, Lily merasakan kehangatan saat menikmati momen tersebut meski dalam diam sekalipun.

Namun, tetap ada satu sisi hatinya yang merasa sedih. Karena, Goldie tidak bisa bergabung dalam momen tersebut.

***

"Kita berangkat dulu, ya." Oliver mencium kening Miranda sebelum masuk kedalam mobilnya. Lily sudah stand by di dalam dengan anteng.

Miranda melambaikan tangannya saat mobil sudah meninggalkan pekarangan rumah. Miranda kembali masuk ke dalam rumah dan ia dapati Rion yang nampak sedang menunggu dirinya.

"Kak Mira, ada yang mau gue ceritakan," ucap Rion dengan raut serius. "Bagaimana kalau kita bicarakan di dalam kamar Lily?" lanjut Rion sembari menunjukkan sebuah kunci di tangannya.

Dalam diam, mereka berdua menuju kamar Lily. Entah bagaimana Rion bisa mendapatkan kunci kamar Lily, Miranda tidak mengerti dan tidak mau memusingkannya. Miranda hanya penasaran dengan apa yang mau Rion ceritakan padanya.

"Selama ini, Kak Mira hanya tau masa lalu Ayah dan sedikit bayangan masa lalu kami, 'kan?" Rion duduk di atas kursi belajar Lily. "Apa Kak Mira pernah merasa, kalau di antara kita bertiga, Lily adalah yang paling abu-abu?"

"Apa aku semudah itu untuk dibaca?" tanya Miranda saat Rion menebak sangat tepat.

Ya, Miranda memang merasa jika Lily adalah yang paling abu-abu dan tak bisa ditebak daripada Goldie dan Rion. Miranda masih tahu sedikit seluk kehidupan Goldie dan Rion, setidaknya siapa teman mereka. Namun, tidak dengan Lily. Miranda bahkan tidak tahu satupun siapa teman Lily.

"Gak cuma Kak Mira kok. Gue, Ayah, dan Goldie sebenarnya tidak terlalu mengenal Lily." Rion tersenyum miris menyadari kenyataan tersebut. "Hanya Bunda yang sangat kenal Lily. Bahkan, cuma Bunda yang bisa menemukan seseorang yang bisa Lily sebut teman."

Miranda dikagetkan saat Rion melempar sesuatu kearahnya. Sesuatu itu adalah selembar foto yang melayang lalu mendarat di dekat kaki Miranda. Miranda mengambil dan melihat foto itu. Foto yang memperlihatkan potret dua anak kecil yang tersenyum polos dan bahagia berlatar pantai.

"Bocah di foto itu namanya Kala, anak dari teman Bunda. Kala itu teman sekaligus sahabat pertama Lily." Rion memutar kursi yang ia duduki untuk berhadapan dengan Miranda. "Goldie pernah cerita kalau Bunda berniat untuk menjodohkan Lily dengan Kala di masa depan."

"Hm, kalo aku jadi Arin juga bakal berfikiran sama sih." Miranda menunjukkan foto tersebut kepada Rion dengan senyum lebar. "Mereka berdua sangat lucu!"

"Jika Bunda masih hidup, gue yakin banget lo sama Bunda bakal jadi sahabat." Rion kembali memutar kursinya keposisi semula, menghadap meja belajar. "Kembali ke masalah Kala. Kala tidak cuma menjadi sahabat pertama untuk Lily, melainkan jadi orang pertama yang mengkhianati dan meninggalkan Lily. Kala sudah menyakiti Lily sebelum Ayah dan Bunda yang melakukannya."

"Kamu tau darimana?" tanya Miranda yang mulai merasa pembicaraan mengarah ke hal yang lebih serius.

"Seusil apapun gue sama Lily, gue sayang sama dia, Kak. Diam-diam gue jagain Lily meskipun masih di bantu dan diarahkan sama Goldie." Rion bertumpu wajah dengan tangan kirinya sembari membuka-buka notebook dihadapannya dengan tangan satunya yang bebas. "Dan gue nyesal pernah mengabaikan Lily dan memusuhi Goldie selama 4 tahun. Padahal, waktu sebanyak itu bisa gue pake untuk lebih mengenal saudara-saudara gue."

"Kamu gak mesti menyesal. Cukup jadikan pelajaran dan menjadi lebih baik lagi kedepannya." Miranda duduk di tepi kasur Lily. "Kak Mira yakin kalau Lily gak pernah benar-benar membencimu. Lily pasti juga sangat sayang denganmu. Kamu sosok kakak yang baik, Rion."

Rion mengusap tulisan rapi Lily di dalam notebook tersebut. "Lily itu tidak mudah bergaul, memiliki lidah yang tajam, dan sering membuat orang salah paham dengan tingkahnya. Hal yang membuat gue gak kaget sama sekali waktu tahu dia jadi sasaran bully saat ia di SMP."

"A-apa?!" Miranda mengernyitkan keningnya. "Lily pernah jadi korban bullying?"

"Ya, dan gue tidak melakukan apapun." Rion tertawa hambar. "Gue sama sekali gak melakukan apapun. Gue cuma melihat dari jauh saat dia dibully, lalu pergi kayak gak ada apa-apa. Selama 2 tahun gue lakuin itu entah untuk apa." Rion mendesah berat. "Tapi, untungnya pembullyan itu mereda saat Lily sudah kelas 9."

Rion tertawa kecil saat membaca tulisan Lily di halaman belakang notebook tersebut. "Semoga Lily mengenal orang-orang yang baik. Gue gak mau kejadian seperti Goldie terulang kembali."

Diantara semua hujan yang turun ke bumi, dialah yang paling hangat.

Diantara semua hujan di musim semi, dialah yang paling lembut.

Diantara semua hujan yang kutemui, dialah yang paling indah.

Dan ...

Diantara semua hujan yang pergi, dialah yang paling kuharapkan untuk kembali.

***

#CATATAN MORA#

Untuk yang baca PainKiller pasti tau bagaimana masa lalu keluarga Oliver dan kelakuan Goldie, Rion, dan Lily sebelum ada Miranda.

Scene melempar pisau itu terinspirasi dari scene dimana Akashi melempar gunting kearah Kagami. Dan, yaaah~ Hujan mungkin bakalan mirip-mirip sifatnya dengan Akashi yang gak mau kalah dan absolut. Tentu saja tidak akan seabsolut Akashi ... mungkin.

Dan, ini adalah Akashi. Salah satu karakter di anime Kuroko No Basuke!

Kyaaaaa~

See you next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

9.8M 886K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
1.3M 35.5K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
RavAges By E-Jazzy

Science Fiction

1.1M 111K 80
[Completed Chapter] Pada kepindahaannya yang ke-45, Leila kabur dari rumah. Dia melihat kacaunya dunia, serta alasan ayahnya yang terus mendesak mere...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...