Teach Me to Love as (Gay)

Von al-al12

601K 51.8K 8.3K

Anthony gay selama belasan tahun. Dan baru bisa jujur kepada kedua orangtuanya akhir-akhir ini. Kondisi perek... Mehr

1. Coming Out
2. Arial
3. Anak itu ... sialan!
4. The Beginning
5. Surprised
6. Theodore
7. Serangan Maut
8. a Refusal
9. Ambigay
10. Confession
11. Big Deal (again)
12. Cobaan Terberat
13. Kontradiksi
14. Sarkasme Romantisme
15. Aku, Kamu, dan Oreo
16. Isi Hati
17. Titik Balik Om Roti Sobek
18. Togetherness part 1
19. Togetherness part 2
20. Jealousy
21. Big Disaster
22. Sepotong Kenangan
23. Demon
24. The Beginning II
25. Harapan Baru
26. Pertemuan
27. Madu dan Racun
28. Keputusan
30. Togetherness part 4
31. The Last Togetherness
End

29. Togetherness part 3

14.1K 1.3K 318
Von al-al12

Saya dedikasikan kepada rekan saya, yang memiliki imajinasi cadas, pemikiran keren, dan membagi ilmu keromantisannya kepada saya ChristianJCB

Vote, komen yang membangun, kami nanti selalu

Selamat menikmati

Salam kami

Malagoar & ChristianJCB

.

.

.

.

.





"Iaaal, aku udah ganteng belum?" pertanyaan itu udah dilontarkan Anthoni lebih dari sepuluh kali. Kalau mau lebai, nyaris dua puluh kali. Arial yang ditanya hanya mengembuskan napas kasar. Gemas banget. Anthoni pagi ini sumpah cerewet sekali, demi apa. Dan pertanyaa 'Iaaal, aku udah ganteng belum?' itu ibarat peluru yang dirudalkan dari mulut Anthoni tanpa henti. Lebai? Menghadapi Anthoni yang dalam mode cerewet seperti ini, Arial emang perlu melebaikan diri.

"Iaaal, jawab dong. Aku udah ganteng belum?" pantulan wajah Anthoni di cermin terlihat makin manis dan lucu aja ketika ia memanyunkan bibir, sambil mengentak-entakkan kedua kakinya.

Arial gemas dong. Nggak kuat dong. Mana hari ini Anthoni pakai kaus bergambar Keroppi warna merah muda lagi. Mana bibir Anthoni merona merah lagi. Siapa yang nggak bisa khilaf coba? Arial bangun. Mendekati Anthoni. Berdiri di belakang Anthoni yang seketika menatapnya cemberut dari pantulan cermin. Lalu Arial memegang pundak Anthoni.

"Mau lo tanya ratusan bahkan ribuan kali sekali pun, jawaban gue tetap aja sama. Lo itu manis. Cute. Menggemaskan. Lucu. Nggak ada ganteng-gantengnya."

Oh, itu adalah kesalahan. Ok, Anthoni emang memiliki jejeran kosakata yang selevel dengan kata manis untuk disematkan buat wajah unyunya, tapi, jangan sekali-kali mengucapkan kata manis di depan Anthoni secara langsung.

Akibatnya bahaya, men. Nakutin, gan. Mungkin Anthoni emang nggak bisa memiliki tampang seram, tapi lihatlah mata yang dipaksa membulat itu. Pipi yang digembungkan itu. Bibir yang dikerucutkan itu. Alis tipis yang dikerutin itu. Siapa aja pasti akan tertawa melihat ekspresinya. Siapa aja pasti akan doyan mencubit pipinya yang tirus. Siapa aja pasti akan rela mencipok mulut sunable itu.

"Ial, jahat."

Atlet basket yang berdiri di belakang Anthoni kewalahan.

"Kok lo ngatain gue jahat, sih, An?"

Anthoni bersedekap. Berbalik badan untuk menghadapi Arial secara langsung. Mendengus kasar. Aroma minyak telon dan bedak bayinya tercium segar dari tubuhnya. Bercampur ama aroma sabun strawberry.

"Aku tuh ganteng ya, Ial. Enak aja ngatain aku manis. Manis itu hanya cocok diperuntukkan buat anak-anak kecil. Aku udah gedhe. Udah dewasa. Bentar lagi wisuda dan pakai toga. Jadi aku itu ganteng. Nggak manis. Camkan itu!"

Ya Tuhan, semakin unyu aja sih si kerdil itu? Ia dibuat dari adonan apa sih sampai kadar keunyuannya bisa di atas rata-rata gini?

Masalahnya kan, Gan, mau Anthoni bersikukuh mengeklaim dirinya sebagai cowo ganteng, macho, kekar, tapi ekspresi yang si bogel itu keluarkan malah terlihat makin manis masa. Unyu menggemaskan gitu, kan. Bikin pengin unyel-unyel pipi tirusnya, kan? Kan?

Tapi Arial orangnya bebal. Nggak mau nurutin kata Anthoni. Ia malah menjatuhkan klaim yang lebih nyakitin banget tahu, "Tapi di mata gue, lo itu ulet bulu gue yang masih kelas TK. Taman Kanak-Kanak. Lo nggak pantes aja jadi mahasiswa. Lo itu unyu banget sumpah!" Apalagi Arial menambahinya dengan gelak tawa yang sangat menyebalkan di telinga Anthoni. Plus cubitan tangannya di kedua pipi Anthoni.

Anthoni makin sangar, lah. Makin ngamuk, lah. Geram, karena cita-citanya disebut sebagai cowo ganteng tak Arial wujudkan, Anthoni meninju perut kotak-kotak Arial kasar. Tapi nyatanya, malah kepalan tinjunya yang kesakitan. Malah ia yang meringis karena nggak bisa menonjok lekukan-lekukan perut Arial yang terbentuk sempurna.

"Ial, kamu jahat!"

Dan sahabat sekos Anthoni itu kian mengakak kencang melihat kejengkelan Anthoni. Matanya sampai berair. Ini sumpah, Anthoni lucu banget. Bikin orang kena diabetes aja kalau dekat-dekat dengannya.

Anthoni menghampiri kardus kecil di dalam kamar tersebut. Menjumpai Oreo yang memicingkan matanya menatap Anthoni. Manusia bongsai itu jongkok. Mengangkat tubuh Oreo. Mengancam Oreo melalui picingan matanya. Sekarang Arial baru sadar, dapat pelajaran dari mana seringai dan picingan mata Oreo selama ini. Anthoni emang guru sekaligus Emak yang patut dicontoh.

"Tong, Mak kelihatan ganteng nggak?"

Dan pertanyaan itu sama aja menginjak-injak harga diri Oreo. Anjing jelek itu nggak sudi dipanggil Tong. For apa pun sake, ia anjing sekelas bangsawan. Yang seminggu dua kali makan sushi. Yang minumnya susu soya. Yang mandinya pakai sabun rasa melon. Yang sehabis mandi kudu dibubuhi minyak telon dan bedak bayi biar nggak masuk angin.

Memanggilnya Tong sama aja menjatuhkan harkat dan martabatnya. Oreo ngga suka itu.

Anjing itu berpaling. Mencebikkan bibir. Menutup mata. Ia nggak ingin menatap mata jelek Maknya yang seenak udelnya main mengganti nama Oreo menjadi nama Tong.

"Tong, tatap mata Mak, Mak terlihat ganteng nggak?" Anthoni geram.

Oreo pun tambah geram. Kuping Oreo panas donk main dipanggil-panggil pake sebutan buat rakyat jelata itu. Nggak maulah ia.

"Tong, buka mata kamu. Jangan jadi anak yang durhaka. Tatap mata Mak. Mak ganteng nggak?"

Oreo tak sudi membuka mata barang sekerjap pun. Kembalikan dulu panggilan Oreo, baru ia menoleh kepada Anthoni. Kedua kaki depan Oreo bersedekap. Memberikan pertahanan. Jangan sampai Mak tukang paksa itu bisa membujuknya. Atau merayunya.

"Tong, jangan bikin Mak marah."

Guk-guk itu masih bergeming. Di belakang mereka, Arial semakin santer tertawa. Ia mendekati Anthoni. Menepuk punggung Anthoni. Lalu berujar;

"Udah deh, An, kan udah gue bilang, kalau lo itu manis. Nggak ganteng. Anak semata wayang lo pun sampai nggak mau ngakuin kalau lo itu ganteng. Terima kenyataan napa sih? Iya nggak, Oreo?"

Ajaibnya, begitu nama Oreo disebut Pak Dhe Arial, mata si guk-guk langsung terbuka lebar. Manik cokelatnya mengerjap. Lidahnya terjulur-julur. Ia lalu menggonggong liar. Menyuarakan kebahagiaannya, akhirnya di dalam satu kamar ini ada juga yang waras yang memanggilnya Oreo. Bukan Tong. Demi Tuhan, Oreo bukan gentong. Tubuh Oreo sehat. Perutnya kotak-kotak karena sering latihan gym. Kakinya kuat, keseringan lari. Wajahnya maskulin. Dan mau menamainya Tong? Ngaca sana pria kerdil! Martabat Oreo jauh lebih tinggi daripada remahan upil di belahan bumi mana pun.

Anthoni semakin ngambek. Menatap jengkel ke arah Arial dan Oreo secara bergantian. Lalu Anthoni bangkit. Menyerahkan Oreo ke tangan Arial. Anthoni menyambar jaket Theo. Memakianya asal. Hendak keluar dari kamar kos ketika ia teringat sesuatu. Anthoni menghadapi Arial lagi. Masang tampang nggak suka lagi, lalu tatapan iris hitamnya jatuh ke wajah Oreo yang masih mengolok-oloknya.

"Kamu dengar ya, Tong, kamu lihat jaket yang aku pakai ini?"

Refleks kelereng Oreo bergulir ke jaket yang dipakai Anthoni.

"Masih ingat ini jaket siapa?"

Arial semakin menyangka dirinya nggak waras, ketika mendengar pertanyaan dari Anthoni tersebut, Oreo mengangguk lemas.

"Artinya aku mau ketemu ama Bapak kamu. Dan karena kamu nggak mau menyenangkan hati aku, aku nggak mau mengajak kamu ketemu ama Bapak kamu. Kamu di kos aja ama Pak Dhe kamu yang bau. Aku mau main-main. Jalan-jalan," itu adalah ancaman paling biadab yang keluar dari homo licik tersebut. Oreo nggak menyangka jika ia memiliki Mak tiri super kejam seperti Anthoni. Batin Oreo berteriak. "Dan, oh,"―lihatlah, homo serumpun umbu-umbian itu memasang tampang mengerikan di hadapan Oreo. Smirk keji. Picingan mata menakutkan. "Kamu pasti nanti akan dititipkan lagi ke paman Deden. Kan, hari ini Pak Dhe Arial lagi ada latihan basket?" iblis kecil itu tertawa menyeringai. Merasa menang dari Oreo. "Mampus kamu seharian dengan paman DEDEN!"

Oh, ini adalah pembalasan diatas kata setimpal. Nggak ketemu ama Bapak setelah sekian lama berpisah? Itu namanya menyiksa Oreo. Menitipkan Oreo sehari kepada paman Deden? Itu namanya membunuh Oreo secara diam-diam.

Oreo benci paman Deden for tititnya ayam ibu kos sake. Paman Deden itu lebih ngeselin. Suka ngasih susu bantal expired yang didapat dari beli dua gratis satu di minimarket. Main menyebutnya anjing jalang. Main memfitnahnya anjing perusak rumah tangga orang―karena saat Deden sedang ihik-ihik ama cewenya, Oreo pernah menggonggong dan menggigit pantatnya cewe Deden. Main mengurungnya di tas carrier sampai tepar. Pokoknya, Oreo benci paman Deden. Benci!

Oreo menggeleng kencang. Menggonggong meminta welas kasih dari Anthoni. Ia melompat-lompat di gendongannya Arial. Ia nggak setuju dengan ultimatum dari Anthoni. Nggak setuju sama sekali.

"Kamu boleh, kok, ikut aku ama Bapak kamu jalan," suara itu sungguh terdengar menyebalkan di telinga Oreo. "Asal kamu jawab dulu pertanyaan Mak," jika Anthoni udah menyebut dirinya Mak, itu artinya si bogel tersebut memiliki maksud tersembunyi. "Bilang jujur kepada Mak, Mak ganteng apa nggak?" Nah, kan, benar yang Oreo pikirkan.

Tapi kalau pertanyaannya dilontarkan dengan nada mengancam seperti itu. Dengan nada ngajak perang seperti itu. Dan jika Oreo secara gila main jawab 'nggak' bisa dipastikan ia akan menderita seharian. Sudah pasti jawabannya Cuma satu:

Oreo mengangguk terpaksa. Matanya terpaksa mengerjap terpesona. Lidahnya terpaksa menjulur bahagia. Itu adalah bahasa tubuh Oreo jika ia setuju dengan pendapat Anthoni.

"Gue nggak tahu deh, hubungan kekerabatan kalian seberapa jauh," komentar Arial takjub dengan bahasa pemersatu manusia dan hewan yang baru aja dipraktikin Anthoni dan Oreo barusan. "Kalian bisa nyambung banget sumpah. Kalian kayak bisa ngobrol aja gitu."

"Jangan ngomong ama aku, Ial," Anthoni merebut Oreo dari Arial. "Aku lagi ngambek ama kamu. Kamu menghina aku masih anak TK. Aku nggak suka!" Anthoni menatap sebal. Lalu menginjak kaki Arial tanpa ampun. Setelahnya, Anthoni keluar dari kamar kosnya.

Bertepatan dengan sepeda motor yang kebetulan berhenti di depan kamar kos Anthoni. Pengendara tersebut melepaskan helm yang sedang ia pakai. Dada Anthoni menghangat seketika melihat siapa yang datang.

"Theo...."

Arial berjalan tertatih menghampiri pintu. Melihat bagaimana kedua pemuda itu bertemu canggung di depan kamar kos. Seulas senyum tipis Arial terkembang di sudut bibirnya. Ia sangat berterima kasih dengan kehadiran Theo. Anthoni yang kemarin siang meringik bagaikan mayat hidup, kini seolah dialiri kembali dengan seutas nyawa. Melihat orang yang ia sayangi bisa tersenyum bahagia adalah kebahagiaan tersendiri buat Arial. Ia berharap, senyum itu terus terulas di bibir Anthoni. Sahabatnya. Sahabat dekatnya.

"Theo...."

Theo mendekap tubuh Anthoni. Mengelus punggung Anthoni. Mengeja tiap jengkal lekukan berdaging tersebut sebelum akhirnya ia akan pergi meninggalkan Anthoni. Ah, kenyataan itu. Kenyataan yang sangat pahit.

"Aku kangen, Theo," Anthoni memebenamkan wajahnya di dada Theo. Sebelah tangannya memeluk Oreo. Sebelah lagi terkalung di punggung Theo. "Theo janji, jangan tinggalkan aku lagi," ada harapan paling tinggi yang Anthoni letakkan di kalimatnya barusan. Ada sepucuk kebahagiaan yang menyerbak di dada Anthoni lewat bahasanya barusan. "Theo janji jangan tinggalkan aku."

Ah ....

Ya Tuhan, kenapa rasanya sangat menyakitkan seperti ini? Theo hanya mempunyai dua hari untuk menghabiskannya dengan Anthoni, sebelum ia dipaksa pindah sekolah keluar negeri. Kedua orangtua Anthoni setuju dengan dua hari yang ia inginkan tersebut. Om patrick pun nggak melarangnya. Namun ketika hari itu tiba, kenapa terasa sangat berat? Kenapa?

"Theo janji jangan tinggalkan aku," tangan Anthoni merenggut jaket kulit Theo. Air matanya udah membasahi dada Theo. "Theo...."

"Iya, An, aku janji, An. Aku janji."

"Serius, Theo? Kamu nggak bohong, kan? Kamu nggak akan meninggalkan aku, kan?"

Theo mengangguk berkali-kali. "Aku janji, An. Aku janji!"

Betapa sesaknya dada Theo sewaktu mengikrarkan janji tersebut. Dadanya terasa ngilu. Perasaannya tersakiti hebat. Kenapa sampai bibir itu mengikrarkan janji jika ia sadar bahwa ia akan melanggarnya dalam dua hari lagi? Kenapa? Kenapa?

"Kamu apa kabar, An?" Theo melepas pelukannya. Menyeka air mata Anthoni. "Kamu kelihatan kurus, An. Apa Arial nggak ngasih kamu makan?"

Anthoni tertawa di antara tangis yang ia coba hentikan.

"Ya ampun, bahkan Oreo juga ikut-ikutan kurus coba! Jagoan, bilang ama Bapak, siapa yang udah nggak ngasih kamu makan?"

Ingin hati Oreo menjawab bahwa Mak-nya lah yang tega nggak memberikannya makan, namun melihat bagaimana orangtua itu beberapa minggu ini mengalami tekanan berat, Oreo nggak sampai hati untuk menjawab jujur. Ia hanya menggonggong cantik dan anggun. Eh. Menggonggong macho dan jantan. Oreo anjing cowo maskulin. Bukan anjing bencong.

"Oreo ama Maknya rindu ama Bapaknya," alasan Anthoni tersipu.

Theo tersenyum. Mengacak-acak rambut Anthoni. Menjatuhkan ciuman sekilas di sana. Lalu mengacak-acak kepala Oreo, dan menjatuhkan ciuman juga di sana. Theo menoleh ke arah Arial yang tersenyum bahagia di ambang pintu. Melambaikan tangan kepadanya.

"Aku juga rindu ama kalian berdua. Kalian berdua adalah hartaku yang paling berharga." Dikecup lagi Anthoni dan Oreo secara bergantian. Setelahnya, ia mengajak keduanya pergi dari sana.

"Theo kok sekarang nggak pakai bahasa lo-gue lagi?" Anthoni bertanya sebelum Theo menyetarter motornya.

Theo hanya tersenyum simpul. Memakai helm. Menurunkan kacanya. Memasukkan gigi satu. Kemudian meluncur dari kosan Anthoni sebelum menjawab. "Untuk orang yang spesial, aku juga mau menyebut yang spesial."

Anthoni yang nggak mendengar jelas ucapan Theo, berteriak lantang, "APA THEO?"

Tapi Theo nggak menggubrisnya. Tetap melajukan motornya. Dan baru berhenti ketika mereka tiba di sebuah pemakaman umum.

"Theo kok kita ke pemakaman?"

Tanpa menjawab pertanyaan Anthoni, Theo yang membantu Anthoni melepas helm, menggenggam tangan Anthoni. Mengajaknya ke sebuah tempat peristirahatan terakhir di salah satu sudut pemakaman. Anthoni yang bingung, mengikuti kemana pun Theo mengajaknya. Ikutan jongkok ketika Theo jongkok di hadapan sebuah pemakaman.

"Theo, kok kita di sini?" Anthoni memangku Oreo yang juga ikutan bingung. "Ini makam siapa, Theo?"

"Ada yang ingin aku kenalkan ama kamu, An?" Theo membenarkan anak rambut Anthoni yang berserakan.

"Siapa? Kok di makam?"

Lagi, Theo tersenyum. Tak mengindahkan pertanyaan Anthoni, Theo mulai membersihkan makam tersebut dari rumput-rumput liar dan dedaunan. Anthoni diam. Membiarkan Theo berulah sesukanya. Namun, saat mata hitam itu memindai nama yang tercetak di nisan makam yang sedang Theo bersihkan, Anthoni tertegun. Meneguk ludah susah payah. Di sana, di nisan tersebut, sebuah nama yang familier di telinga Anthoni diukir dengan cat berwarna emas. Berdiri rapi. Tegak. Namun santun, dan penuh sayang.

Theressa Theodore.

"Theo ... ini."

"Hai, Ma, apa kabar?"

Tegukan ludah kedua Anthoni memberi respons. Ini makam?

"Hari ini Theo kemari mengajak orang yang paling berarti buat hidup Theo, Ma."

Anthoni masih belum mampu mengeluarkan sepatah kata pun untuk menanggapi perilaku Theo. Makam ibunya?

"An, kenalin, ini Ibuku. Kamu coba sapa deh Ibuku, siapa tahu Ibu senang ama kamu, terus restuin kita, deh."

Anthoni mendengus mendengar candaan Theo yang garing itu. Ia meletakkan Oreo di tanah. Mengusap nisan Ibu Theo penuh sayang. Kemudian berujar;

"Hai, Tante," senyum yang tercipta di bibir itu terlihat sangat manis. Penuh gula. Penuh madu. Namun, di dalamnya, percayalah ada jelaga yang menghitam di sana. Ada bara penuh sayat yang merekah di sana. "Tante, duh saya grogi nih, mau ngomong apaan," ia melirik Theo yang malah cekikikan sambil gendong Oreo. Anthoni mencoba meminta pertolongan, tapi agaknya, Theo kembali ke mode menyebalkannya dengan Oreo. Dua pemuda itu sama sekali nggak mau memberikan bantuan kepada Anthoni.

Meneguk ludah lagi, Anthoni nggak tahu apa yang akan ia bicarakan. Lelaki muda itu hanya mengikuti perasaannya. "Terima kasih udah menghadirkan Theo di sini, Tante. Terima kasih udah melahirkan seorang anak yang sangat berarti buat saya."

Pernyataan Anthoni barusan sukses membungkam senyum cekikikannya Theo. Ia tertegun. Menatap Anthoni dalam. Nggak percaya Anthoni akan berkata seperti itu.

"Tante, maafkan saya kalau saya sangat menaruh harapan kepada Theo, anak Tante. Maafkan saya jika saya harus meminta janji kepada Theo untuk nggak meninggalkan saya."

Theo menggigit bibir bawahnya untuk mencegah rasa sakit yang mulai menyebar di seluruh tubuhnya.

"Saya sangat membutuhkan Theo, Tante," jeda beberapa saat, ketika Anthoni menghela napas panjang. "Saya sangat membutuhkannya di samping saya," sela lagi tiga menit, ketika embun-embun itu mulai menggenangi mata Anthoni. "Saya tidak tahu apa jadinya saya jika tidak ada Theo di samping saya."

Ya Tuhan, harus dengan bahasa apa mengutarakan maksud Theo bahwa ia akan dikirim sekolah keluar negeri, jika Anthoni sangat mengharapkan kehadirannya di sampingnya?

"Tante, anak Tante nggak nakal, kok, cumaaa ... sedikit ngeselin."

Theo tersenyum kecil untuk meredakan luka di hatinya.

"Suka banget ngatain saya lemah. Nggak bertenaga. Kayak anak TK."

"Padahal tujuan Theo ngomong gitu kan, supaya Theo bisa ngejaga dia, Ma," Theo menyela. Mengusahakan sebuah senyum, "Bisa melindungi dia. Memeluknya jika sedang sedih. Menghapus air matanya jika lagi nangis. Kalau nggak ada Theo yang kuat, bagaimana Anthoni yang lemah bisa berjaga diri? Ya, kan, Ma?"

Anthoni tertawa bahagia. Ia menyenggol pundak Theo. "Tapi kan nggak harus ngatain saya masih anak TK, Tante. Saya udah gedhe. Udah dewasa. Bentar lagi wisuda dan pakai toga."

"Tapi coba, deh, Mama lihat, wajah Anthoni nggak pantas-pantasnya menjadi mahasiswa, kan? Unyu banget, Ma. Manis banget kayak gula jawa. Tuh, Ma, apalagi pas Anthoni lagi manyun kayak gini. Tuh, Ma, bibirnya dimonyong-monyongin, kan gemesin, Ma. Kayak anak TK."

"Tuh Tanteee ... anak Tante ngeselin sumpah."

"Lihat, Ma, mantu Mama ngambek. Ya Allah, Ma, buruan dilamar Anthoni buat Theo. Biar Theo bisa memeluknya setiap hari tanpa gangguan."

Dan homo bongsai itu tersipu. Pipinya merona merah mudah. Ia manyun, mencoba menghilangkan rasa malunya. Namun gagal, pipi tirus tersebut yang ada malah semakin merah dan merekah.

"Ya ampun, Ma, mantu Mama kalau lagi blushing malah pengin Theo cubit pipinya, masa."

Anthoni menyodok rusuk Theo lagi. Teruna SMA tersebut ketawa ngakak. Senang banget menggoda Anthoni. Theo merangkul pundak Anthoni. Merapatkannya ke tubuhnya. Mencium kepalanya berkali-kali penuh sayang, sambil terus menggendong Oreo.

"Tapi Theo bahagia, Ma," Theo bergumam. Netranya menerawang. "Theo bahagia sekarang. Ada Anthoni, ada Oreo, Theo merasa memiliki keluarga yang selama ini menghilang dari hidup Theo. Semuanya terasa lengkap, Ma. Terasa sempurna," masih tersenyum, sambil mengelus pundak Anthoni, Theo melanjutkan. "Mama lihat, kan, Theo nggak membutuhkan uang untuk bahagia. Kesederhanaan ini. Kebersamaan ini. Sudah cukup membuat Theo menjadi orang paling beruntung. Sudah cukup membuat Theo merasa mensyukuri hidup."

Theo mengelus-elus nisan Mamanya. Mengecupnya sekilas. "Terima kasih, Ma. Walaupun mungkin kehadiran Mama bisa membuat kesempurnaan ini menjadi lebih berarti, tapi Theo sudah cukup bersyukur dengan apa yang ada. Theo akan menjaga kebersamaan ini agar tetap utuh, Ma. Theo akan menjaga kesederhanaan ini agar tetap bersatu." Sampai hari perpisahan itu datang. Akan Theo usahakan untuk memberikan kebahagiaan kepada Anthoni, Ma. Akan Theo berikan yang terindah kepada Anthoni. Anthoni. Anthoni.

....

//

\

Saya tahu kok, jika tulisan saya ini masih jelek. Berupa remahan elektron di antara upil. Saya menyadari hal itu, tapi jujur saya mengetiknya pakai perasaan. Karena saya senang dengan cerita ini. Saya mencintai tokoh-tokoh yang saya ciptakan. Saya sangat menikmati tiap detilnya. Bahkan saya rela nggak tidur hanya demi mengetik kisah yang menginspirasi saya ini.

Saya mohon, dengan sangat, pliiiis, jangan kotori cerita ini dengan komentaran menyuruh saya untuk lanjut. Ingat! Menyuruh lanjut dan menanyakan kapan lanjut itu beda. Soalnya saya merasa jika saya ini robot yang main diperintah lanjut jika ada komentar itu di sini.

Saya tahu cerita ini nggak sepadan jika dibandingkan dengan cerita yang lain, tapi saya ikhlas ngetiknya. Tolong hargai saya dengan nggak menuliskan komentar lanjut di sini. Kalau toh kalian nggak bisa ngasih komen selain lanjut, cukup Votenya aja udah bikin saya bahagia.

Sekali lagi maafkan saya.

Terima kasih udah mengikuti cerita ini dari awal sampai akhir.

Semoga kalian menyukainya.

Love you

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

2M 9.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
476K 35.3K 32
Si cowok sad boy sekaligus si anak rantauan itu udah susah payah main pelet biar bisa dapetin cinta nya Biduan cantik. Dyah Janu Asmaranta, di tenga...
112K 4.1K 14
⚠Gak jadi TAMAT⚠warning18++⚠ ??❎✔gay. ZONA PELANGI🌈 Kebanyakan adegan dewasa:v "lo mau jadian sama gue gak" "gak " "kenapa? " "lo cowok bego " "ter...
269K 14.2K 20
Aris tak menyangka bahwa pertemuan nya dengan Izan adalah sebuah ikatan janji orang tua mereka sejak dulu. Sebuah kesalahan masa lalu yang mengharus...