Teach Me to Love as (Gay)

Par al-al12

601K 51.8K 8.3K

Anthony gay selama belasan tahun. Dan baru bisa jujur kepada kedua orangtuanya akhir-akhir ini. Kondisi perek... Plus

1. Coming Out
2. Arial
3. Anak itu ... sialan!
4. The Beginning
5. Surprised
6. Theodore
7. Serangan Maut
8. a Refusal
9. Ambigay
10. Confession
11. Big Deal (again)
12. Cobaan Terberat
13. Kontradiksi
14. Sarkasme Romantisme
15. Aku, Kamu, dan Oreo
16. Isi Hati
17. Titik Balik Om Roti Sobek
18. Togetherness part 1
19. Togetherness part 2
20. Jealousy
21. Big Disaster
22. Sepotong Kenangan
23. Demon
25. Harapan Baru
26. Pertemuan
27. Madu dan Racun
28. Keputusan
29. Togetherness part 3
30. Togetherness part 4
31. The Last Togetherness
End

24. The Beginning II

14.2K 1.3K 226
Par al-al12

Saya dedikasikan kepada Om ChristianJCB yang udah sabar dengan kesensitifan saya hari ini. Dan udah sukses buat saya baper sesorean. Huhuhuhu.

Vote, komennya kami tunggu selalu.

Yang tidak berkenan dengan cerita ini, kalian bisa langsung meninggalkan lapak usang ini. Terima kasih

Selamat membaca

Salam dari kami

Malagoar & ChristianJCB
.

.

.

.

Mata Theo terasa berat ketika ia mencoba membukanya. Perlahan, garis-garis cahaya putih menyatroni iris cokelat pinus Theo. Pemuda itu mengerang. Perutnya terasa terbelah. Ia mengaduh. Lalu, satu persatu pemandangan bangsal rumah sakit melayang di netra Theo. Ia mengerjap. Menyeimbangkan singgungan cahaya yang yang menyorot kuat di mata Theo.

"Aw...," Theo mengerang ketika ia mencoba bergerak tapi perutnya seperti tercabik. Menghunjaminya dengan tusukan rasa sakit.

"Lo nggak apa-apa?" Arial mendekatinya. Terlihat tegang dan khawatir. "Apa yang lo rasakan?" Arial cemas. Memeriksa kondisi Theo meskipun Arial nggak tahu apa yang ingin ia periksa.

"Hauuus...," Theo merengek lemah. Perutnya benar-benar memberikan suntikan rasa sakit luar biasa.

Buru-buru Arial mengambilkan air putih di atas nakas. Mengarahkan moncong sedotan ke mulut Theo, dan pemuda tanggung itu meminumnya perlahan. Setelah sedikit menenangkan diri. Dan mengingat-ingat kejadian terakhir yang menimpanya, Theo melirik Arial yang setia menanti di samping bed tempatnya berbaring.

"Anthoni...." ada nada kesedihan di sana. Perasaan Theo tetiba ngilu luar biasa. Ingatannya terpelecat di malam paling mengerikan yang pernah ia alami sepanjang hidupnya. Melihat Anthoni yang ditelanjangi. Lalu, dilecehkan seperti itu rasanya Theo murka. Ia nggak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada Anthoni. Pertanyaannya adalah, dari sekian banyak manusia, kenapa harus Anthoni? Kenapa harus orang paling berharga buatnya?

Theo nggak tahu. Dadanya sakit. Apa pun yang menimpa paru-parunya, Theo yakin itu adalah sesuatu yang sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas.

Sejenak, bangsal tempatnya rawat inap, terlihat senyap. Theo sampai menoleh ke arah Arial untuk memastikan bahwa teman sekosnya tersebut masih di sana. Dan Theo nggak tahu, kenapa perubahan mimik Arial terlihat sangat drastis. Wajah itu pias. Bibirnya terlipat dalam. Theo baru menyadari jika ada kantung mata tebal yang tercipta di bawah kelopak mata Arial. Ada apa?

"Anthoni...."

Lagi, mendengar nama itu disebut, ekspresi Arial terlihat seperti orang pesakitan. Arial resah. Itu sangat terlihat. Kentara di wajah kurang tidurnya. Arial memegang tangan Theo. Menyebarkan gelenyar rasa hangat kepada anak didik sahabatnya tersebut.

"Baik...," bahkan Arial nggak pernah menyangsikan kata tersebut adalah produk dari pita suaranya. Ada getar di sana. Ada ketakutan luar biasa di sana. Arial meremas tangan Theo. "Baik," tak hanya ingin menenangkan Theo, dengan satu kata tersebut, Arial mencoba meredakan gemuruh dari perasaan sakit yang nggak pernah ia alami sebelumnya.

"Dia bersama Om Patrick," sekali lagi, berita yang udah Arial rapal berkali-kali di kepalanya tersebut, Arial usahakan mampu menenangkan perasaannya. Walaupun nyatanya, nggak pernah ada yang tahu dengan kebenaran berita tersebut. Kondisi terakhir yang Arial ketahui dari sosok Anthoni sungguh membuatnya....

"Sama Papa?" suara Theo terdengar kering. Arial kembali mengangsurkan minuman buat pemuda itu. "Dia baik-baik aja? Serius?" Theo nggak tahu sekarang hari apa, udah berapa hari ia tertidur, dan udah berapa lama kejadian naas teresebut terjadi.

"Anthoni baik-baik aja, Theo, kamu nggak usah khawatir," bersamaan dengan terlucutnya kalimat tersebut, hati Arial tak pernah sekhawatir ini. Sahabatnya. Orang yang selama ini tidur satu ranjang dengannya. Orang yang selama ini selalu ceria. Selalu ceplas-ceplos. Orang yang nggak pernah terlihat sedih sedikit pun. Bagiamana ceritanya ia bisa sampai seperti itu? Menyayat perasaannya tanpa ampun. Mengganyang air matanya bukan main.

"Lo bisa cerita ke gue, bagaimana lo bisa ada di sana malam itu?" Arial bertanya setelah beberapa menit di antara keduanya terbebat senyap. "Karena jujur gue nggak sadar Anthoni keluar dari hotel tempat kami menginap. Gue terbangun, tahu-tahu Anthoni nggak ada. Gue kelabakan mencarinya. Gue keluar hotel guna mencari dia. Ke semua tempat, sampai gue menemukannya di gang dalam keadaan udah seperti itu dan lo tak sadarkan diri."

Theo menelan ludah. Mengingat-ingat. Dan jujur, itu adalah kenangan yang ingin ia hapus dari memori di kepalanya.

"Lo kemana seharian pergi sampai membuat Anthoni resah."

Theo tahu segala keresahan Anthoni. Ponselnya tak pernah berhenti berdering dari nama Anthoni. Andai aja ia segera menjawab panggilan Anthoni, nggak perlu menunggu dan menunda-nunda, semua pil pahit di ujung gang kala itu nggak akan pernah terjadi. Anthoni nggak akan dilecehkan. Ia nggak akan pernah ditusuk, meskipun jujur, mendapat luka tusuk seperti ini udah sering Theo alami.

"Kemarin itu adalah hari kematian nyokap gue," jeda sesaat, "gue selalu meluangkan waktu sehari penuh ke makam nyokap gue untuk mengenang hari-hari gue ama nyokap."

Preman berhati hello kitty rupanya. Arial nggak pernah tahu tentang hal itu. Yang jelas, ia menaruh simpati buat anak didik Anthoni tersebut.

"Lalu kok lo bisa ke tempat Anthoni dilecehkan?"

Dua tegukan ludah Theo sebelum ia menjawab. "Malam itu gue kebetulan baru pulang dari makam. Lalu Anthoni telepon. Gue angkat telepon ketika yang menjawab malah suara orang lelaki yang sedang mengancam. Gue kelabakan mencari keberadaan Anthoni. Gue lacak pakai GPS nomernya, dan alhasil gue ketemu di gang kecil itu," bulu-bulu di sekujur tubuh Theo merinding. Demi Tuhan Theo ingin menghapus kenangan buruk itu dari sana. Melukai Anthoni adalah cari paling ampuh menyakitinya. Dan sekarang, tak hanya perut Theo yang rasanya seperti terbelah, seluruh hatinya pun ikutan nelangsa.

"Gue ingin lo berjanji ama gue," Theo bersuara penuh keyakinan. Ia manatap Arial tegas.

"Apa?" Arial mengernyit. Tangannya terlepas dari genggaman tangan Theo. Menjauhkan diri. Melihat orang sakit mampu memberikan smirk itu bukan berita bagus. Theo memang masih SMA, tapi ia udah dua puluh tiga tahun. Seusianya. Arial nggak takut. Hanya waspada.

"Cukup sehari dalam setahun, lo boleh membawa kemana pun Anthoni pergi semau lo tanpa izin ke gue. Karena hari kematian nyokap gue adalah hari gue seharian penuh bercengkerama bareng beliau."

Arial memiliki orangtua lengkap. Mama ama papanya selalu mendukung setiap langkahnya. Namun, melihat bagaimana Theo memberikan perhatian penuh kepada ibunya yang udah meninggal, entah kenapa Arial merasa malu kepada dirinya sendiri. Ia belum pernah berada di titik dimana ia mengagungkan orangtuanya sedemikian tinggi, sebagaimana Theo menghargai dan menyayangi mendiang ibunya sebegitu dalam.

"Gue harus janji apa?" ada sedikit rasa kagum di dada Arial kepada pemuda itu. Rasa sayang Theo kepada ibunya patut menjadi contoh buat Arial.

"Jangan pernah sekali pun mengajak Anthoni pergi tanpa sepengetahuan gue! Jangan pernah membawa Anthoni keluar tanpa seizin gue! Satu hari dalam setahun lo boleh membawa kemana pun Anthoni pergi. Tapi dilain hari itu, gue larang lo mengajak Anthoni keluar tanpa izin dari gue!" Tegas. Tak bisa terbantah. Raut wajah dengan rahang yang mengeras itu tak mau satu ucapannya disanggah Arial.

Arial bisa apa? Ia marah? Udah pasti! Ia merasa direndahkan? Tentu aja! Ia merasa harga dirinya dihempas ama anak kemarin sore? Arial nggak pernah merasa sedemikian tersinggung seperti saat ini. itu menyengat perasaan Arial, namanya. Arial nggak terima! Arial nggak suka!

"Lo...," nyatanya, dari sekian banyak nama binatang yang ingin diumpatkan Arial, nggak ada satu pun yang mampu terlontar. Arial terlalu terkejut mendengar perjanjian ini. Secara nggak sadar, Theo udah mengeklaim Anthoni sebagai miliknya. Arial nggak sudi menerima kenyataan ini. Dada Arial berontak. Tapi sekali lagi pertanyaan berpusing di kepala Arial, ia bisa apa? Statusnya di sini tak lebih dari sekadar sahabat. Orang yang paling dekat memang. Tapi bukan orang yang berpengaruh buat Anthoni.

Mendengar kenyataan bahwa Anthoni meninggalkannya sendirian di hotel. Pagi-pagi subuh kelayapan membeli pulsa seorang diri hingga mengakibatkannya mendapatkan serangan nggak manusiawi seperti sekarang. Dan semua itu demi menghubungi seorang lelaki bernama Theo, udah cukup jelas bagi Arial bahwa jabatannya di sisi Anthoni tak lebih dari sahabat. Tak lebih! Ya ampun, Arial seperti tak terima.

Menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, Arial mencoba mendebat "Lo siapanya Anthoni?"

Arial nggak tahu, pertanyaannya barusan untuk mengklarifikasi apaan. Seiyanya Theo suka ama Anthoni, emang kenapa? Arial mau menahan? Lalu untuk apa? Memiliki Anthoni untuk dirinya sendiri? Sementara ia seorang straight yang selamanya nggak akan berjalan bersama Anthoni yang homo. Pandangan mata mereka berbeda. Ideologi mereka berbeda. Jika melihat sepasang kekasih cowo-cewe, Arial dan Anthoni memiliki penilaian berbeda untuk flirting di antara mereka.

"Gue siapanya Anthoni?" Theo memberi isyarat supaya seterunya itu memberikannya minum lagi. Tiga tegukan dari gelas yang disodorkan Arial ke mulutnya, ketika kerongkongan Theo terasa basah, dan lidahnya tak lagi terasa pahit, ia melanjutkan. "Gue adalah orang yang nggak ingin Anthoni kenapa-kenapa! Gue adalah orang yang akan melindungi Anthoni! Gue adalah orang yang rela melakukan segala cara untuk menjaga Anthoni―" sengaja Theo memberi jeda di antara kalimat menggebunya barusan. "Dan gue―"

Arial nggak pernah suka dengan senyum meremehkan yang tercipta di bibir Theo sejak dari pertama kali mereka bertegur sapa. Kali ini, demi melihat senyum itu tersembul dari seorang pesakitan yang baru aja menjalani operasi jahit di perutnya, Arial menahan diri untuk nggak melayangkan hantaman keras di wajah Theo.

"―adalah orang yang rela mengorbankan diri gue untuk kesalamatan Anthoni."

Begitu aja! Menghajar telak ulu hati Arial! Arial nggak bisa membantah. Bukti udah di depan mata. Kemarin sore Theo selesai dengan operasi di perutnya. Tadi pagi sempat siuman beberapa jam lalu tertidur lagi.

Bukan dengan kata-kata. Nggak membutuhkan waktu tahunan untuk berada di sisinya. Dalam sekali hantam, kelakuan Theo udah menunjukkan segalanya. Bukti dari Theo yang masa bodoh dengan dirinya sendiri demi keselamatan Anthoni adalah nyata bahwa, entah bagaimana dulu ia menghina Anthoni sedemikian hebat, nyatanya, sekarang manusia itu rela menawar nyawanya untuk Anthoni.

Satu hal yang pasti ... Arial belum tentu berani mengambil risiko seperti itu. Terlalu riskan. Juga ... terlalu pengecut. Sial.

"Gue nggak ingin kejadian ini terulang lagi!"

Bedebah!

"Gue nggak ingin Anthoni celaka di dekat lo lagi!"

Gue bukan pembawa sial, Bangsat!

"Gue nggak ingin ada orang yang berani menyentuh Anthoni lebih dari kewajaran."

Lo pikir gue nggak? Sial, cowo itu baru dioperasi apa dikasih cabe sih sebenarnya? Pedes gila.

"Jadi?"

Arial bersiap meledakkan kepalanya. Ini demi apa orang yang baru dioperasi kemarin bisa secerewet ini, hah? Ia menatap sebal ke arah lelaki menjengkelkan tersebut. Sialnya lagi, Theo kembali meminta air minum. Kalau Arial mau menjadi jahat, bisa aja ia menjorokkan Theo dari lantai tiga ini. Tapi kan, Arial nggak sejahat itu.

Walaupun dongkol dan menahan perasaan ingin menendang kaki cowo besar kepala tersebut, Arial mengambil lagi gelas di atas nakas. Menyorongkan sedotan plastik ke mulut Theo. Seperti kerbau dicucrup ubun-ubunnya, Arial patuh begitu aja. Oke, tadi peribahasa ngasal. Arial memang dalam mode membenarkan apa pun yang ngasal sekarang. Ada yang keberatan? Kayang aja!

"Yal, gue butuh jawaban dari lo!"

Hampir tiga bulan menjadi teman sekos, dan murid SMA yang udah tua itu tak pernah sekalipun menyebut nama Arial. Dan sekarang, ketika entah kenapa ia seperti mendapat wahyu dari otaknya yang sepertinya sekarat, pemuda songong itu main menyebut 'Yal' untuk Arial.

Nggak terima dong? Dikira Arial apaan? Nggak sudi lah.

"Bisa lo ulangi lagi pertanyaan lo barusan?"

"Yang mana?"

"Yang barusan!"

"Pertanyaan apaan sih, maksud lo?"

"BISA.LO.ULANGI.SEKALI.LAGI.PERTANYAAN.LO.BARUSAN?!" Persetan deh dengan luka bacok di perut Theo, kesabaran Arial udah di puncak ubun-ubun. Dalam keadaan sakit pun Theo bisa super ngeselin seperti ini? Bagaimana sehatnya? Tambah sialnya, Theo lagi-lagi minta minum! Ya ampun, Arial mau meledak aja. Ubun-ubunnya mungkin udah habis dicucrup bangau. Tak taulah, Arial keki ketika untuk entah yang kesekian kalinya, ia mengambilkan minum air putih kepada Theo.

"Pertanyaan yang mana sih maskud lo, Yal?"

"Nah ITU! ITU! ITU!" Telunjuk Arial terhunus tepat di muka Theo. "Lo panggil gue apa?" murka sekali atlet basket tersebut.

"Yal?" kening Theo mengernyit bingung. "Nama lo emang Ariyal, kan?"

Penghinaan! Sejak kapan ada huruf Y nyangkut di tengah-tengah namanya?

"Nama gue A-R-I-A-L. Bukan ARIYAL. NGGAK PAKE Y!"

Theo melongo. Kernyitan di dahinya naik satu lipat.

"Lo ngerti nggak sih?" Arial nggak sabaran.

"Gue kira ARIYYYAL," Theo benar-benar menanamkan tiga Y pada kalimatnya barusan. "Arial?" nggak tahu deh, apa yang ada di pikiran kedua pemuda tersebut. Saling silang silat hanya untuk mendebat nama. Lagi, kening Theo tampak kian berkerut. "Kok familier, ya?"

"Maksud lo?"

"Nama lo?"

"Familier gimana?"

"Gue kayak pernah dengar tapi lupa dimana? Arial ... Arial ... hmm ...."

Arial nggak pernah tahu apa yang sedang dipikirkan Theo. Terlalu absurd untuk diraba.

"Arial Black?" celetuk Theo tetiba. "Gue pernah dengar nama itu. Tapi gue lupa ketemu dimana. Dia cowok deh sepertinya. Sama kayak lo!"

Demi Tuhan, Arial memutar mata sampai tujuh kali. Memijit di antara mata, Arial mendesah. Berbisik pelan, lah ni cowo kok begonya nggak ketulungan, sih! "Begooo, Arial Black itu nama font di Ms. Word. Kalau lo pernah buka Word lo pasti pernah lihat lah nama itu." Arial benar-benar nggak habis fikir dengan jalan pemikiran cowo itu. Ia mendesah kemudian.

Setelah perdebatan nggak masuk akal mengenai nama itu, Theo kembali serius. Menagih janji Arial. Ia nggak rela jika sahabat Anthoni tersebut sampai melanggar janjinya. Terlebih, Anthoni bisa sampai mengalami celaka seperti ini. Theo nggak suka. Dan nggak mengizinkan.

"Ya!" Pungkas Arial tanpa perlawanan. Haribaannya memang berpendapat jika Theo orang yang mampu menjaga dan melindungi si kecil. "Gue berjanji akan meminta izin kepada lo dulu sebelum mengajak Anthoni. Asal lo juga berjanji nggak akan menyakiti dan meninggalkan Anthoni."

Anggukan kepala Theo sangat mantab, "Gue berjanji!" Sumpahnya pun tak ragu. Detik berikutnya, ketika tetiba Theo teringat sesuatu, ia menyalak gusar. "Anak gue?" mata cokelat pinus itu membulat. Ia melirik Arial secepat ia membuang napas. "Oreo?" histeris di nada dalam pertanyaan tersebut sangat kentara. "Lo udah ngasih makan anak gue, kan?"

Lagi, Arial hanya mampu memutar mata melihat ekspresi yang ditunjukkan Theo. "Iya," jawabnya malas. Menopang dagu. Seraya menghitung waktu untuk membesuk Anthoni yang saat ini sedang dikuasai Om Patrick.

"Lo udah pastikan tempat bobok anak gue bersih kan?" Theo memang sangat lebai. Dalam keadaan seperti ini pun, ia masih sempat-sempatnya menanyakan si guk-guk tersebut.

"Iyaaah," kembali Arial menjawab ala kadar. Ia malas ngomong-ngomong.

"Lo udah pastikan memberi vitamin buat anak gue, kan?"

Gusar? Iya! Tapi Arial mencoba meredakan amarahnya. Sekali lagi ia mengangguk.

"Lo juga udah pastikan memberinya sushi, kan? Demi Tuhan, anak gue seminggu dua kali harus makan sushi sebagai kudapan. Gue nggak ingin anak gue kehilangan gaya hidupnya."

"Iyaaah, udaaah...."

"Lo juga udah―"

"STOP!" Arial mengangkat tangan. Menggeleng memperingati. "Perlu gue ingatkan kalau gue Pak Dhe buat si cebol itu? Gue pasti memberikan yang terbaik buat anak lo, lah. Gue juga nggak ingin keponakan gue kenapa-kenapa lagi elah. Lo khawatir banget, sih."

Saat Theo mau membuka mulutnya, Arial kembali menskak Theo dengan dengusan kasar dan perkataan pedas. "Dan gue, juga udah memberikan keponakan gue susu soya, karena gue masih dan terus ingat jika KEPONAKAN gue alergi susu sapi!" Kata keponakan itu sengaja Arial tekan dalam supaya bapak angkatnya Oreo bungkam.

Sempurna. Arial sepertinya tahu bagaimana cara menyumpal mulut Theo perihal guk-guk yang sekarang dititipkan ke Deden.

"Gue kangen ama Oreo!"

Mendengus lagi, Arial mau meledak aja diombang-ambingkan dengan perasaan Theo yang berubah-ubah. Belum sempat Arial memberikan respons terhadap perkataan Theo barusan, pintu bangsal tempat mereka berdebat, terbuka. Tiga orang berseragam cokelat susu datang. Di pinggang mereka tersimpan sarung pistol beserta isinya. Theo mencelos.

Ketiga bapak tersebut terlihat sangar dan tak bersahabat. Salah satu dari mereka mendekati Theo. Mengabsen jati diri Theo sambil mengeluarkan selembar kertas dari sakunya. Kemudian bersuara penuh penekanan yang seketika membuat Theo dan Arial membeku.

"Saya membawa surat penangkapan kepada Saudara yang bernama Theodore atas tuduhan pembunuhan terhadap lelaki bernama Haikal."

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

6.6M 338K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
3.6M 53K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
688K 57.9K 64
"Lo udah berusaha semampu yang lo bisa, dan itu cukup. Arsa, lo nggak perlu nyalahin diri sendiri atas masalah yang nggak sanggup lo tangani. Lo ngga...
2M 9.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...