Teach Me to Love as (Gay)

By al-al12

611K 52.3K 8.3K

Anthony gay selama belasan tahun. Dan baru bisa jujur kepada kedua orangtuanya akhir-akhir ini. Kondisi perek... More

1. Coming Out
2. Arial
3. Anak itu ... sialan!
4. The Beginning
5. Surprised
6. Theodore
7. Serangan Maut
8. a Refusal
9. Ambigay
10. Confession
11. Big Deal (again)
12. Cobaan Terberat
13. Kontradiksi
14. Sarkasme Romantisme
16. Isi Hati
17. Titik Balik Om Roti Sobek
18. Togetherness part 1
19. Togetherness part 2
20. Jealousy
21. Big Disaster
22. Sepotong Kenangan
23. Demon
24. The Beginning II
25. Harapan Baru
26. Pertemuan
27. Madu dan Racun
28. Keputusan
29. Togetherness part 3
30. Togetherness part 4
31. The Last Togetherness
End

15. Aku, Kamu, dan Oreo

18.3K 1.6K 251
By al-al12

Selamat malam, saya dan om ChristianJCB datang lagi.

Vote komennya, ya.

Terima kasih

Salam kami

Malagoar & ChristianJCB

.
.
.
.
.

Anthoni nggak yakin sudah sampai di tempat kos ketika Theo membangunkannya. Anthoni mengerjap. Mengangkat kepala. Menguap. Mengedarkan pandangan. Mereka sekarang berada di kompleks ruko. Anthoni bingung. Mengeratkan rengkuhan lengannya di leher Theo.

"Kita dimana?" tanyanya dengan suara parau khas bangun tidur. Kepalanya tak lagi sesakit sebelum makan tadi. Meskipun masih berdenyut-denyut, tapi mendinglah dari tadi. Anthoni kembali menjatuhkan kepala di punggung milik Theo yang begitu menenangkan. Ah... Anthoni akan mengeklaim ini sebagai daerah teritorialnya. Punggung Theo molorable banget, sih. Sekali kepala terdampar di sana, pasti langsung molor.

Theo mendudukkan Anthoni di sebuah bangku yang ada di depan salah satu ruko yang udah tutup. Dia merapatkan resleting jaketnya yang dipakai kebesaran di tubuh Anthoni. Menepuk kedua pundak Anthoni.

"Lo tunggu dulu di sini. Gue ada perlu sebentar."

Anthoni menggeleng, "Nggak! Nggak! Aku nggak mau ditinggal sendirian. Aku takut, Theo."

"Lo ini nggak tahu diri banget, ya! Udah gue tolong. Eh malah ngelunjak! Tungguin gue sebentar apa susahnya sih."

"Aku takut di tempat gelap ini, Theo. Aku takut sendirian."

"Ah elah, penakut banget sih lo? Gue nggak lama kok. Bentaran doank."

"Tapi kamu kembali, kan? Kamu nggak ninggalin aku, kan?"

Theo berdecak sebal. "Iya lah, gue pasti kembali. Nggak mungkin kan gue nelantarin lo di sini. Bisa dibunuh orangtua lo nanti kalau gue ngebuang anaknya. Lo tunggu dulu di sini. Gue ada perlu bentar."

"Tapi...."

Terlambat. Theo udah beranjak meninggalkannya. Anthoni sendirian. Ketakutan. Diedarkannya kembali pandangannya. Ruko-ruko yang udah tutup, pada mematikan lampu. Sepi. Hampir nggak ada orang yang lewat maupun mengunjungi kompleks ruko. Anthoni merinding. Dia mau kabur aja ah.

Gue pasti kembali. Gue pasti kembali. Gue pasti kembali.

Kata-kata Theo mengurungkan niat Anthoni. Ia menarik napas panjang. Menghelanya perlahan. Kemudian menyandarkan punggungnya pada dinding ruko yang dingin. Anthoni merapatkan jaket tebal milik Theo. Pikirannya menjelajah kepada kebaikan Theo malam ini.

Tuh obat ketek bisa baik juga, ya?

Anthoni tersenyum geli. Anak sengak itu kalau lagi baik bisa lucu juga ternyata. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Theo nggak sedingin apa yang diomongin Om Patrick. Nggak sebrutal apa yang diceritakan Om Patrick. Buktinya, Theo bersedia menggendong Anthoni dari SMA dia sampai sini. Mentraktirnya makan. Bahkan, menyuapinya. Dan sekarang, meskipun Anthoni nggak tahu kemana perginya Theo, tapi entah kenapa Anthoni memiliki firasat yang baik kepada Theo.

Theo memiliki sifat yang jauh bertolak belakang dengan apa yang dijelaskan Om Patrick kepadanya kemarin malam. Atau Theo bersikap seperti itu hanya kepada ayahnya? Memiliki sifat menyebalkan hanya untuk ditujukan kepada Om Patrick?

Anthoni nggak tahu. Masih terlalu hijau jika harus menarik sebuah kesimpulan. Saat Anthoni memutuskan untuk kembali tidur selama menunggu kehadiran Theo, terdengar suara gong-gongan anjing saling bersahutan dari samping ruko.

Anthoni menengakkan punggung. Menajamkan pendengaran. Suara gong-gongan anjing itu terdengar lagi. Beberapa ada yang menyalak liar, namun, di antara suara tumpang tindih salakan anjing-anjing itu, terdengar dengkingan lirih yang begitu lemah. Anthoni berdiri. Bumi seolah berputar di sekitarnya. Dipeganginya kepala yang kembali berdenyut hebat. Mengatur napas sambil memejam sebentar.

Ketika ia merasa kepalanya tak sepusing saat baru bangun tadi, Anthoni berjalan ke arah suara-suara anjing itu. Keadaan yang gelap membuat Anthoni menajamkan pengelihatan. Ia berjalan dengan hati-hati, takut jika mungkin harus bertemu dengan sekumpulan anjing liar, juga karena rasa pusing di kepalanya belum sembuh benar.

Tak jauh dari bangunan ruko tempat Anthoni beristirahat tadi, terlihat ada dua anjing galak yang tengah membully anak anjing berwarna cokelat muda yang terlihat lemah meringkuk menempel pada tembok. Anjing yang besar itu menyalak-nyalak mengerikan. Sementara anak anjing lawan mereka tampak pasrah.

Oh ... hati si marmut sedikit mesum itu sedih. Ia mencari-cari tongkat yang kiranya bisa digunakan untuk mengusir anjing-anjing galak itu. Ketika menemukannya di dekat tembok ruko, Anthoni nekad melawan dua anjing sangar itu.

"Shoo ... shoo... shoo!!" Anthoni mengarahkan ujung tongkatnya ke dua anjing monster itu. Mereka berjingkat kaget. Menatap Anthoni. Anak tuyul itu semakin nekad. Maju selangkah demi selangkah, menodongkan moncong tongkatnya ke moncong si anjing galak.

Tiba-tiba anjing yang dicolok moncongnya bersin karena colokan Anthoni bikin hidungnya geli. Kontan kedua anjing itu menggeram sadis karena diganggu tuyul. Mereka balik nakut-nakutin Anthoni. Tuh ulat bulu keder, nggak nyangka jika anjing-anjing sangar itu malah melawannya. Demi menyelamatkan anak anjing unyu berwarna cokelat itu, Anthoni kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Bahasa ajaibnya, Bonek: bondo nekad.

Satu dari anjing itu melompat ke arah Anthoni, Anthoni yang belum melakukan persiapan, tersungkur ke paving. Kepalanya kembali berputar-putar. Lalu anjing lainnya menunjukkan taring. Membantu si kawan melakukan gempuran kepada Anthoni. Anthoni sekarat. Ketakutan. Pasrah. Ia mengangkat lengan untuk menutupi daerah bagian muka. Bersiap menghadapi cakaran bahkan gigitan dari si anjing.

Namun setelah ditunggu-tunggu, mungkin ada beberapa menit, cakaran yang Anthoni takutkan tak kunjung datang. Sebagai gantinya, sebuah pelukan hangat Anthoni terima. Membuatnya nyaman dan merasa terlindungi. Beserta aroma cokelat karamel familiar kesukannya.

"Eoh...," Anthoni bengong. Menurunkan lengan. Dan terkejut sendiri ketika melihat tubuh bongsor Theo mendekapnya melindungi. Wajahnya yang babak belur tampak menahan sakit.

"Theo...," Anthoni berbisik.

Theo memutar mata, melepas pelukannya. Menghadapi dua anjing liar. Pertarungan kembali sengit. Manusia VS binatang. Satu manusia serapuh hymen, satu segarang Giant. Dan dua anjing menakutkan buas yang memiliki naluri menghabisi mangsanya.

Anjing-anjing itu mendengking. Menyalak liar. Mereka maju selangkah demi selangkah. Penuh pertimbangan dan strategi perang melawan manusia sereting tarzan itu. Saat keduanya bersiap melompat, dan melesakkan cakarnya, Theo udah terlebih dulu memberi perlawan jurus dalam bayangan. Dia mengeluarkan suara geraman lebih menakutkan dari anjing-anjing itu, sambil mengibas-kibaskan kedua lengan serampangan.

Kedua anjing itu saling lihat-lihatan, lalu berlari ketakutan. Meninggalkan Theo yang kayak bos Doberman. Anthoni yang sadar kemenangan diperoleh pihak Theo langsung berlari-lari kecil ke arah anak anjing cokelat tadi. Menggendongnya penuh sayang sembari mengelus-elus bulunya.

"Theo makasih, ya?"

Theo berdecak. "Kapan sih lo nggak nyusahin hidup gue?" semburnya sebal, menarik tangan Anthoni dan membawanya ke tempat yang lebih terang. Mereka duduk lesehan di samping ruko apotek yang masih buka. Seraya menyandarkan punggung di rolling dor yang tertutup.

"Hanya demi nyelametin anak anjing jelek itu lo sampai rela mengorbankan keselamatan lo sendiri?" Theo yang sedari tadi membawa bungkusan gedhe, mengeluarkan isinya. Sebuah roti daging porsi jumbo. Mengabaikan dua anak anjing. Eh salah. Satu anak anjing dan satu anak manusia yang sama-sama menyedihkan, Theo memakan nikmat roti dagingnya. Lalu melempar sisa isi keresek itu ke arah Anthoni dengan asal. Anthoni sempat mau marah ketika dia dilempar kresek, tapi ketika dia sadar ada obat demam dan sebotol air mineral di dalamnya, tuh anak perawan senyum-senyum sendiri.

Anthoni terkesiap ketika sadar akan perhatian Theo. Hatinya menghangat. Sama sekali nggak menyangka jika Theo si badung itu akan berbuat baik kepadanya. Ia menyambar air mineral yang ada di dalam kantung kresek, lalu meminum obatnya.

"Makasih, ya, Theo...."

"Hmmm!" Theo tetap melanjutkan makannya. Nggak memedulikan Anthoni maupun si anak anjing.

"Habis aku kasihan ama anak anjing ini...," Anthoni mengelus-elus anak anjing berwarna cokelat yang sedang menatap Theo penuh penderitaan. "Kalau dia nggak aku tolong, mungkin dia udah mati."

"Kalau lo nggak gue tolong, lo juga akan mati, kan?!" Theo mengomel. Anak anjing di pangkuan Anthoni semakin melihatnya melas. Anak anjing itu meringik-ringik. Theo nggak menggubrisnya.

"Maaf...."

"Makanya kalau mau ngapa-ngapain itu dipikir dulu akibatnya. Jangan asal ngelakuin tindakan berbahaya seperti itu! Gimana kalau lo terluka?!"

"Maaf...."

"Jauh-jauhin anak anjing jelek itu dari gue! Bau!"

"Iya ... iya...."

Hening beberapa saat.

"Theo...," Anthoni bersuara lirih. Menoleh ke arah Theo. Yang dipanggil hanya menyahut lirih. Tetap asik memakan roti dagingnya.

"Hmmm."

"Lihat Oreo deh...."

Kening Theo mengernyit tajam. Menoleh ke arah Anthoni. "Oreo? Gue nggak beli Oreo."

"Bukan Oreo itu, tapi ini...," ucap Anghoni mengangkat anjing kecil cokelat yang manyun dan menatap Theo dengan sendu biji mata cokelatnya.

"Anak kita." Anthoni nyengir. Mengangkat anak anjingnya. "Kan, kita udah menyelamatkan dia. Jadi dia udah seperti anak kita sendiri."

"Pemikiran absurd macam apa itu?" Theo gusar. "Gue nggak sudi punya keturunan anjing! Dan Oreo? Atas dasar apa lo ngasih nama binatang jelek itu Oreo ... sejak kapan?"

"Tadinya mau aku kasih nama dia Nyinying tapi kan eww gitu. Lalu mau dinamai Jenglot, tapi temenku udah dipanggil itu. Jadi aku panggil aja Oreo karena dia itu manis seperti papahnya... Ayo Oreo, panggil dia papah." Suara Oreo yang kecil kaya kentut itu, menyalak imut. Mata cokelat pinusnya, mengerjap-kerjap.

Anthoni dan Oreo sekerang memandang melas ke arah Theo―benar-benar memelas. Demi Tuhan! Mata hitam Anthoni berpijar penuh pengharapan. Kedua tangan Anthoni mencekal lengan Theo. Kemudian dia mendusel lengan Theo. "Anak kita lapar, Theo!"

Demi dewa-dewi ... unyu banget sumpah! Mana suara Anthoni menyayat kayak orang penuh penderitaan gitu, mana bibirnya yang pucat terlihat basah gitu. Astaga!

Anthoni melepas anak anjingnya. Menaruh si kecil di pangkuan Theo. Namun tiba-tiba, anak anjingnya....

Oreo cokelatnya....

Anak anjing yang ia klaim sebagai anaknya dan Theo....

Melompat-lompat liar. Menjulur-julurkan lidah. Lalu mengendus-endus. Dan menjilati ... selangkangan Theo. Biadab kau Oreo! Batang pohon kelapa aku! Tega kau ama emak! Anthoni meradang. Berniat mengambil anak ngelunjak itu, tapi tangan Theo yang mengusir Oreo, malah dijilat ama anak mereka. Si kecil menggong-gong lirih, lidahnya terjulur-julur.

"Gue benar-benar nggak akan melupakan hari ini!" Theo mendengus sebal. "Berbagi makan dengan anjing? Yang benar aja...," Theo mengangkat Oreo dengan mencubit kulit di lehernya bak popok basah ke dalam pelukannya, lalu menyuapi si kecil roti daging pelan-pelan. "Bahkan gue nggak percaya, gue mau-maunya ngegendong dia." Oreo menerima suapan dari Theo penuh semangat sama seperti Anthoni makan disuapi Theo. "Bahkan gue amat-amat nggak percaya, kok gue mau-maunya sih nyuapin si jelek ini!" Ucap Theo sebal. Seakan Oreo mengerti, dia mendengking lemah dan terisak sedih hingga tubuhnya bergetar ketakutan.

Melihat anaknya dibully papanya, Anthoni mencubit paha Theo gemas. Theo meringis kesakitan. Menjerit kayak banci. Lalu melotot ke arah Anthoni. Disusul Oreo yang ikut-ikutan menyalak kecil bak kentut tertekan pantat ke arah pemudah cebol itu. Merasa dikhianati, Anthoni duduk meringkuk di tanah sambil mencolok-colok tanah, depresi.

Theo menatap Anthoni prihatin sekaligus lucu, senyumnya mulai mengembang dan sejenak dia merasakan sesuatu yang sudah lama hilang. Pelan-pelan Theo mulai menikmati kelakuan anjing kecil ini yang menjilat jarinya setelah menyuapi roti daging.

Melihat pemandangan romantis antara Theo dan Oreo, perasaan Anthoni benar-benar tersentuh. Ternyata ... meskipun suka ngomel-ngomel, Theo itu penyayang juga, ya.

Tunggu! Anthoni melihat Theo tersenyum! Astaga! Tersenyum! Benar-benar tersenyum. Menarik dua sudut bibir ke atas. Ya Tuhan, meleleh batin Anthoni. Terobrak-abrik seluruh rasa Anthoni.
Senyuman Theo benar-benar... ya ampun senyuman Theo benar-benar... Ah si mungil speechless. Dunianya seolah berwarna hanya gegara melihat makhluk astral itu melengkungkan bibir ke atas. Senyuman Theo sungguh memikat. Seolah sesuatu yang udah mati, tiba-tiba merekah sempurna. Dan itu ... luar biasa indah. Mulai dari sekarang, Anthoni bertekad untuk membuat senyum Theo lebih sering terkembang di wajah tampannya.

"Hei...," panggil Theo kepada Oreo. "Walaupun tubuh lo kecil, tapi lo harus kuat. Jangan seperti Mak lo itu, marah-marah ama gue. Lo tahu ndiri, kan, emak lo yang boncel kayak bongsai itu kalau cerewet, suaranya nyakitin kuping bukan main. Jadi lo kudu jadi anak sholeh. Oke? Eh―" Theo menoleh ke arah Anthoni yang ketawa-tawa ngakak.

Tiba-tiba Oreo ditidurkan di pangkuannya dengan posisi mengangkang, lalu Theo mengobok selangkangan Oreo yang terlihat pasrah. Anthoni tersentak. Memekik lantang dalam hati: OREOOOOO!!! Teganya kamu nyuri start lagi!

"A-apa yang kamu lakukan?!"

"Gue hanya memeriksa apakah dia jantan atau betina."

"Astagaaa!!!"

Anthoni semakin tergelak.

Saat malam semakin merayap. Theo mengajak Anthoni balik. Menggendong lagi tubuh kecilnya di punggung. Namun kali ini, di tangannya, Oreo tengah tertidur pulas. Dua makhluk rapuh itu, tersimpan rapi dalam gendongannya.

"Coba, ya, kalau di kos diperbolehkan miara anjing," Anthoni menceracau. Menempelkan kepala di punggung Theo yang hangat. Tangannya terkalung di leher Theo. "Kasian banget sih Oreo kalau harus sendirian di luar malam-malam. Kalau ada yang mau jahatin dia lagi gimana, ya? Kasihan banget ya, Theo, anak kita."

"Berisik! Tidur sono! Sakit telinga gue, dengerin lo ngoceh mulu!"

Anthoni cemberut. Menggerutu. Tapi nurut. Ia memejamkan mata. Dan punggung molorable itu pun mengajaknya hanyut ke dunia mimpi.

Setelah menidurkan Anthoni di kasur di dalam kamar kosnya, Theo keluar kos mengendap-endap. Berjalan santai menuju gang di samping kos-kosan Anthoni. Menghampiri sebuah kardus yang terbuka di sana. Lalu ia jongkok di dekatnya. Oreo yang sengaja ia tidurkan di kardus itu tampak memeluk tubuhnya sendiri. Tertidur nyenyak. Theo tersenyum. Melepas seragam putihnya, lalu menyelimutkannya di tubuh Oreo.

"Selamat malam, Thoni kecil," lalu Theo tertawa geli, "atau Oreo..." Theo mengelus kepala Oreo. Menciumnya. Kemudian pergi dari sana.

Continue Reading

You'll Also Like

684K 43.5K 23
Zifylia Queenzy G.V seorang gadis berusia 15th yang terpisah dengan keluarganya sajak bayi dikarenakan diculik oleh babysiter-nya sendiri yang merupa...
2.9M 191K 16
"Oh rupanya yang meretas sistem kita adalah bayi mungil ingusan?" "Brengsek. Lepaskan aku!!" "Oh tidak semudah itu babe. Sekarang, mari kita menghuku...
3.7M 240K 19
Erik yang merupakan anggota OSIS kelas 10, sangat benci kepada Ketua Paskibra di sekolahnya, Ka Zidni. Sifatnya yang kasar dan arogan membuat semua o...