Teach Me to Love as (Gay)

By al-al12

611K 52.3K 8.3K

Anthony gay selama belasan tahun. Dan baru bisa jujur kepada kedua orangtuanya akhir-akhir ini. Kondisi perek... More

1. Coming Out
2. Arial
3. Anak itu ... sialan!
4. The Beginning
5. Surprised
6. Theodore
7. Serangan Maut
8. a Refusal
9. Ambigay
10. Confession
11. Big Deal (again)
12. Cobaan Terberat
14. Sarkasme Romantisme
15. Aku, Kamu, dan Oreo
16. Isi Hati
17. Titik Balik Om Roti Sobek
18. Togetherness part 1
19. Togetherness part 2
20. Jealousy
21. Big Disaster
22. Sepotong Kenangan
23. Demon
24. The Beginning II
25. Harapan Baru
26. Pertemuan
27. Madu dan Racun
28. Keputusan
29. Togetherness part 3
30. Togetherness part 4
31. The Last Togetherness
End

13. Kontradiksi

18.2K 1.6K 201
By al-al12

Saya mau minta maaf, nggak bisa balas komen kalian satu persatu kemarin, saya masih belum sehat. Mata masih kunam-kunam kalao lihat hp lama-lama. 

Malam ini walaupun kondisi saya masih kurang fit saya sempetin update. Bab ini sekali lagi nggak saya edit, kalo ada typo kasih tahu, ya. Terima kasih

Vote, komen, dan segalanya saya dan ChristianJCB tunggu

Selamat menikmati

Salam kami

Malagoar & ChristianJCB

.

.

.

.

.

Ini namanya kontradiksi. Sebuah keadaan berlawanan arah. Disaat alam mengamuk menumpahkan hujan dan geliat petirnya, Anthoni justru merasa kepanasan di dalam kamar kos. Suasana tegang bukan main. Arial dan Theo merenggut perhatiannya tanpa ampun. Ini sumpah demi apa mereka tidur bertiga seranjang? Sumpah demi apa?

Theo memberi benteng. Arial sok melindungi Anthoni. Anthoni mau pingsan. Cowo-cowo itu hwat banget masa. Pohon kelapa dan bakpao. Oh hidup Anthoni berasa di surga.

"Lo inget-inget garis ini," telunjuk Theo menunjuk bantal guling terepes yang ada di antara dirinya dan Anthoni, "sampe lo langgar garis ini, lo mati di tangan gue."

Anthoni terperanjat. Memepet tubuh Arial.

"Sebelum lo matiin anak gue, lo langkahin dulu nyawa gue." Ah, itu terlalu lebai. Arial merangkul pundak sempit Anthoni. Hidungnya melebar menyempit. Dagunya terangkat penuh.

Theo mendengus kasar. Menjatuhkan tubuh di atas kasur. Menutup tubuh dengan selimut sampai kepala. Lalu menjulurkan tangan. Jari tangannya terangkat ke udara.

"Ial...," Anthoni merajuk. Matanya berkaca-kaca. Dia menoleh ke arah Arial yang menepuk-nepuk pundaknya.

"Sudah nggak apa-apa," begitu Arial bilangnya.

"Aku mau tidur di pinggir aja, Ial," Anthoni takut-takut. Menggeleng penuh drama.

"Nggak akan. Lo bisa nggelundung kalo tidur di pinggir tempat tidur. Udah lo di tengah aja. Nggak usah mikir yang macem-macem. Ada gue. Semua aman."

Nggak usah mikir? Ini malah kadar kepikirannya di luar batas.

Anthoni merebahkan tubuh. Disusul Arial. Dan malam itu adalah malam penuh dilema hebat selama hidupnya Anthoni. Malam paling nggak pernah bisa bikin tidur. Mau ke kiri, eh ada Theo. Miring ke kanan, Arial terlihat sempurna. Mau menggerakkan badan juga nggak bisa. Anatomi tubuhnya terbentur bongkahan-bongkahan padat tubuh Theo dan Arial.

Anthoni gelisah. Dia nggak bisa tidur telentang. Akhirnya penuh dengan keberanian, Anthoni miring ke kiri. Dan itu bukanlah suatu tindakan yang tepat, karena saat tubuhnya miring ke kiri, Theo kebetulan menghadap ke arahnya. Kaki jenjang Theo memeluk guling, karena tuh guling kecilnya minta ampun, alhasil kaki Theo melewati guling, lalu mendarat sempurna di paha kecil Anthoni. Merangsek naik ke selangkangan anthonni.

Ah, keterlaluan emang. Lutut Theo secara indah nan biadab menggesek kepala Ciripa. Dan benda mungil menggemaskan itu, membengkak tak tahu diri. Anthoni meneguk ludah susah payah. Panas banget ya malam ini. Demi menyelamatkan hidup mati Ciripa yang suka konak sembarangan, Anthoni miring ke kanan. Lagi, itu bukanlah sesuatu yang bagus dan baik hati.

Arial yang selalu pakai cangcut saat tidur itu menoleh ke arahnya. Jendulan selangkangannya tersentuh kulit tangannya. Anthoni membeliak. Melotot tajam. Sengaja ia gerakkan jemarinya di jendulan Arial, dan sensasinya ... wow. Keras, berteksture, berjendal-jendul. Ya Tuhaaan... cobaan seperti apa ini. Anthoni mencoba menggerakkan jemarinya lagi. Keringat bermunculan di pelipis. Bagus banget sih. Ah... darah Anthoni berdesir. Saat dia ingin sekali lagi menyentuh benda itu, Anthoni kicep. Jangan, Nak. Hapus pikiran itu. Hapus!

Ya ampun ini dilema. Dilema. Akhirnya malam itu, Anthoni terjaga. Menjaga gerik tubuhnya supaya nggak mendarat di landasan yang ingin banget dia jamah. Matanya melotot. Sampai pagi. Sampai merah semua dinding korneanya. Ngantuk berat. Dengan kepala yang nggak bisa ditegakkan lama-lama. Lalu ia bersin-bersin. Hidungnya beringus bening. Di kepala sangat pening.

"Mata lo kok merah?" Arial keluar dari kamar mandi. Biasanya, itu adalah hal yang paling Anthoni gandrungi. Lekukan tubuh Arial yang basah adalah berkah untuk dipandang. Tapi pagi ini, Anthoni nggak nafsu. Demam agaknya.

Dia hanya menggeleng untuk sesuatu hal yang nggak jelas. Lalu menidurkan kepala di atas meja belajar. Tak lama kemudian, Theo keluar dari kamar mandi setelah mandi kilat sesudah Arial tadi. Bertelanjang dada kayak Arial. Ah Anthoni mau melayang. Sekarang di kamar kosnya ada dua Adam sempurna memiliki tubuh menggiurkan dan sama-sama nggak pake baju. Coba kalau mereka nggak pakai sempak, pasti demam Anthoni akibat begadang bisa langsung sembuh. Ah Anthoni melantur.

"Theo," panggil Anthoni, menaikkan kepala. Theo tak menyahut, mengambil seragam di tumpukan almari. "Nanti pulang sekolah kamu langsung pulang. Ini hari pertama kamu les privat. Jangan sampe telat."

Tak ada jawaban. Theo memakai seragam. Main lempar handuk seenaknya, menampakkan bakpao rasa lain bersempak biru donker. Ah Anthoni lagi-lagi masih sakit, jadi dia nggak bersemangat dengan pemandangan ini. Ia hanya cemberut. Ucapannya tak ada yang disahut.

"Lo kalau diajak ngomong tuh jawab, donk. Punya mulut kan lo? Atau jangan-jangan lo bisu lagi, nggak bisa bicara!" Arial menyalak tiba-tiba. Melanggar bahu Theo gemas.

Theo menghardik tangan Arial. Menatap nyalang. Lalu menoleh ke arah Anthoni yang mengenaskan. Berharap bisa segera sembuh, supaya bisa menikmati panorama keajaiban yang Tuhan berikan kepadanya.

Jeda sesaat. Lalu dengan enggan, tiga anggukan kaku kepala Theo menyudahi debat pagi ini. Masih belum mau menjawab, Theo yang udah selesai berseragam, menyambar tas punggung. Tatapannya terlempar ke arah Anthoni dan Arial bergantian, lalu hengkang dari sana.

Arial buru-buru mendekati Anthoni, dasar matanya mengisyaratkan rasa bela sungkawa. Ia mengelus lembut surai beraroma strawberry Anthoni, kemudian berujar, "Kalau lo butuh bantuan, lo langsung hubungin gue. Ingat, mulai kemarin, hidup gue itu hidup lo. Milik gue itu milik lo. Lo nggak usah sungkan. Gue akan marah kalau lo nyembunyiin semuanya dari gue. Mengerti?"

"HATCIIIM!!" ingus Anthoni keluar lagi. Ia buru-buru meperin piyama kedodorannya untuk mengelap ingus. "Iya, Ial," sahutnya lesu. Menjatuhkan kembali kepala di atas meja.

"Apa gue nggak usah kuliah aja, ya? Lo sakit gini. Nggak tega gue ninggalinnya." Kening Arial mengernyit tajam.

Anthoni sontak mendengak. Menggeleng tegas. "Ial nggak boleh bolos di hari pertama kuliah. Ial harus masuk. Aku nggak apa-apa, kok. HATCHIIIM. Ial nggak usah khawatir. Cuma demam do―HATCHIIIM―ang kok." Anthoni kewalahan mengelap ingusnya.

Arial buru-buru mengambil tisu yang ada di kotak bergambar Keroppi kesukaan Anthoni. Mengelap lembut ingus Anthoni yang meleleh-leleh. Lalu kembali merengut. "Kaya gini dibilang nggak apa-apa? Gue nggak masuk kuliah. Oke? Kita ke dokter."

Anthoni masih menggeleng berkali-kali. Rambut halusnya berkibas-kibas. Kemudian memutar mata dramatis, memekik dengan suara parau, "Kalau Ial tetep ngotot bolos kuliah. Aku marahan ama Ial. Aku mau tidur di kamar Deden aja nanti malam. Oh sampai seminggu."

Itu ancaman. Ancaman. Arial nggak bisa tidur kalau nggak nyium bau minyak telon dan bedak bayi Anthoni. Apalagi dengan ditinggal sekamar ama anak SMA songon itu. Nggak! Nggak! Arial nggak mau. Itu horor.

"Oke, oke, oke...," Arial mengangguk. Ngebersihin ingus Anthoni lagi. Kemudian pamitan kepadanya. Dan meninggalkan Anthoni sendirian di kamar kos. Si kerdil itu badannya panas gegara ngga bisa tidur. Begadang pertama kali dalam hidupnya dan hasilnya langsung tepar. Mengibarkan bendera putih. Ah, ia kan udah dua puluh tiga tahun, tapi belum pernah begadang. Jam malam Anthoni itu jam sembilan.

"HATCHIIIM!" Anthoni butuh Inzana ah.

Anthoni mengendap-endap ke kamar Deden. Mahasiswa komunikasi itu ambil kuliah non-reguler. Masuk tiap akhir pekan aja. Siapa tahu dia punya stok Inzana di kamar yang bisa buat menghentikan Anthoni dari serangan demam.

Saat berada di depan pintu kamar Deden, Anthoni terdiam sebentar. Lalu, melayangkan tangannya, mengetuk tiga kali. Nggak ada sahutan. Diketuk lagi empat kali. Tetap nggak ada sahutan. Anthoni bingung. Berfikir. Deden kan termasuk jajaran kaum mahasiswa paling malas sedunia. Nggak mungkin pagi-pagi gini Deden udah keluyuran. Apa udah berangkat kerja? Anthoni menggeleng. Bergumam. Deden bekerja di kelab malam. Ndeso-ndeso gitu, medok-medok gitu, dia adalah seorang disk jockey. Yang ramuan tangannya di atas DJ Gears adalah hal yang paling dinanti-nanti para penikmat bar.

Merasa penasaran, Anthoni mencoba mengetuk lagi. Tak tanggung-tanggung, kali ini enam ketukan sekaligus. Namun, pintu yang kayu tripleknya terkelupas sana-sini itu tetap nggak terayun terbuka. Bergeming seorang diri. Saat dia bersin untuk yang kesekian kali, dan ingus terus-terusan meleleh, Anthoni nekad. Membuka diam-diam pintu kamar Deden. Lalu terkesiap begitu saja. Langkah kaki pendeknya terhenti. Merasa dejavu.

Di sana, di atas tempat tidur yang reyot khas kos-kosan, Deden sedang telentang tanpa busana. Di selangkangannya ada seorang cewe yang penampakan miknya familiar di mata Anthoni tengah mengenyot anunya Deden. Suara desahan dua anak manusia itu keluar masuk gendang pendengaran Anthoni.

Mulut Anthoni terbuka. Melongo lebar. Desahan Deden semakin santer. Dan gerakan kenyotan itu makin giat.

"HATCHIIIM!!"

Kenyotan itu terhenti. Si cewe menoleh ke arahnya. Nggak salah lagi. Ini bukan lagi dejavu. Anthoni pernah melihat kejadian kek gini. Kejadian kenyot-kenyotan anu. Dengan cowo yang berbeda. Namun, satu cewe yang sama.

Karena cewe yang miknya familiar di mata Anthoni itu ... adalah cewe yang kemarin menyucrup pohon kelapanya Theo. Ya ampun ... ya ampun ... ya ampun ....

Ah Anthoni salah kamar. Ia buru-buru menutup pintu sebelum Deden sadar keberadaannya. Anthoni lari terbirit-birit ke kamarnya. Meringkuk di bawah selimut. Memutuskan untuk tidur, siapa tahu bangun-bangun nanti demam Anthoni udah berkurang. Dan mencoba mengenyahkan olahraga Deden yang cukup membuat darah Anthoni berdesir.

Nyatanya, demam Anthoni nggak juga berkurang ketika ia bangun jam delapan malam. Kos dalam keadaan sepi. Arial tadi mengiriminya pesan singkat kalau malam ini ia nggak bisa pulang. Ada latihan basket ama clubnya. Lalu, Theo?

Nggak ada. Anthoni cemas. Anak didiknya tak kunjung pulang. Dia segera bangkit. Menyambar sweater rajut bergambar Keroppi. Mondar-mandir sejenak. Berfikir tak enak. Dilirik kembali jam dinding itu. Kemudian si kecil itu gamang. Mau mencari Theo apa menunggunya selama sejam. Kalau sampai jam sembilan malam Theo tak kunjung pulang, Anthoni akan nekad. Mencarinya. Walaupun takut, tapi ia tetap akan mencarinya.

Dan di sinilah Anthoni sekarang. Di depan sebuah sekolah elite yang tampak gelap di balik gerbang. Sekarang udah tepat jam sepuluh malam. Namun, Theodorant itu tak kunjung menampakkan batang hidung. Kepala Anthoni terasa sangat berat. Bersin-bersin mulu dari tadi. Tapi, keberadaan Theo yang menjadi tanggung jawabnya tak mampu membuat Anthoni berdiam sabar di dalam kamar. Dia nggak mau sesuatu terjadi ama si tengil itu.

Kliyengan, dan bumi seolah berputar di mata Anthoni, marmut itu nekad memanjat pagar. Nggak ahli-ahli amat sih. Tapi dia mampulah mengajak tubuhnya memanjat dan melompati pagar. Anthoni merapatkan sweaternya. Mengendap-endap menyusuri halaman sekolah yang seluas lapangan sepak bola.

Mungkin belum sepuluh langkah kaki-kaki pendek Anthoni menyeberang halaman, cowo itu berjalan berlawanan arah dengannya. Wajahnya babak belur. Bonyok bekas tonjok dengan darah menetes-netes. Anthoni terkejut.

"Theo...," dia berlari menyongsong Theo yang tak kalah kaget melihat keberadaannya. Belum sempat Anthoni menghampiri Theo, bumi seolah terbalik di mata Anthoni. Bayang hitam berkelebat-kelebat. Sakit di kepalanya mendera hebat. Kemudian semua tak terlihat. Hilang begitu aja.

Anthoni semaput. Benar-benar semaput.

.

.

.

.

.

:)

Continue Reading

You'll Also Like

823K 36.2K 6
[END] Truth or dare membuat Sabian lebih dekat dengan sang dosen serta anaknya. "Daddy, Mika pengen rambut kaya kaka cantik." "Aku mau kita putus." "...
6.4M 716K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
14.7M 1.5M 53
[Part Lengkap] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Reinkarnasi #01] Aurellia mati dibunuh oleh Dion, cowok yang ia cintai karena mencoba menabrak Jihan, cewek...