Bots

By AAlkadri

41.2K 3K 187

Dunia Barat menjelang Abad 22. Sebuah Android telah menyerang beberapa manusia, melukai dan membunuh mereka... More

Rights Explanation
Prolog
Chapter I
Chapter II
Chapter III
Chapter IV
Chapter V
Chapter VI
Chapter VII
Chapter VIII
Chapter X
Chapter XI
Chapter XII
Chapter XIII
Chapter XIV
Chapter XV
Chapter XVI
Chapter XVII
Chapter XVIII
Chapter XIX
Chapter XX
Chapter XXI
Chapter XXII
Chapter XXIII
Chapter XXIV
Chapter XXV
Chapter XXVI
Chapter XXVII
Chapter XXVIII
Chapter XXIX
Chapter XXX
Chapter XXXI
Chapter XXXII
Chapter XXXIII
Chapter XXXIV
Chapter XXXV
Chapter XXXVI
Chapter XXXVII
Chapter XXXVIII
Ucapan Terima Kasih

Chapter IX

874 78 2
By AAlkadri

Andri terbangun dengan tiba-tiba, seolah disentak keras oleh seseorang.

Kepalanya sakit, tubuhnya pegal. Dia duduk tegak, melihat ke kanan-kirinya, namun yang ada hanyalah kegelapan. Rambutnya berantakan, wajahnya panas. Sejenak, kegelapan tersebut membuatnya takut, namun kemudian dia ingat di mana dia berada.

Setelah beberapa menit, kedua matanya telah menyesuaikan diri. Dia bisa melihat sekelilingnya dengan lebih jelas. Rak-rak di kanan-kirinya, lengkap dengan jejeran Plat yang mengisinya, memberitahunya bahwa dia berada di perpustakaan. Dia ingat merasa sangat kesal dengan Diki, Novi, dan Dewa. Dia ingat keluar dari Kantin, berjalan tanpa arah ke berbagai lantai, menggunakan lift dan tangga, hingga akhirnya berhenti di perpustakaan yang kosong. Dia ingat berhasil menahan keinginannya untuk menangis, jadi dia meredakan rasa sedihnya dengan berbaring di lantai, di pojok perpustakaan yang dikelilingi rak-rak tinggi, tersembunyi dari pandangan.

Dia ingat memikirkan banyak hal, dari hal-hal yang menggalaukan hingga mengerikan, membayangkan tindakan- tindakan yang hendak dia lakukan kepada mereka bertiga, ketika akhirnya rasa lelah menghampirinya dan dia tertidur.

Menggeleng-geleng, Andri bangkit berdiri, mengambil jaket dan tasnya dari lantai dan berjalan keluar dari pojok perpus. Jendela tinggi di kedua sisi perpustakaan memasukkan cahaya bulan purnama, menerangi ruangan yang gelap tersebut dengan sinar perak redup. Dia berjalan ke depan salah satu jendela, memandang ke luar, ke langit malam yang bersih. Badai sudah berlalu, cangkang bangunan telah dilipat kembali, Mode Resistan telah dihentikan.

Dia mengecek arlojinya. Pukul sebelas malam. Dia mengerjap kaget, tak menyangka dia telah tertidur dari pagi hingga malam lagi.

Mengenakan jaketnya, dia berjalan menuju lift, menekan tombolnya, namun lift tersebut tak menyala. Fasilitas listrik gedung sekolah, sama seperti gedung-gedung lainnya, dimatikan di malam hari untuk mengurangi pemakaian energi. Mendecak kesal, Andri menggunakan tangga untuk turun menuju lantai dasar.

Menuruni lima lantai menggunakan tangga memang melelahkan, namun cukup berguna untuk membuat tubuhnya kembali panas setelah lebih dari dua belas jam tertidur. Dia mencapai lantai dasar, menyusuri koridor yang sangat gelap. Setiap langkah kakinya seolah digemakan hingga berkali-kali lipat, dan sekali-dua kali dia merasa seseorang mengikutinya, meskipun dia tahu tak ada siapa pun lagi di gedung. Dia mencoba membuka pintu depan, namun pintu tersebut terkunci. Menggerutu, Andri mengeluarkan kartu pelajarnya, mengangkatnya ke sensor di samping pintu, dan memasukkan nomor induk pelajarnya. Pintu tersebut membuka, dan dia melangkah ke udara malam yang dingin.

***

Jalanan kosong dari pejalan kaki maupun pengendara, namun penuh akan daun-daun yang gugur, dahan-dahan yang patah, dan bahkan satu kereta kuda yang terbalik. Sebagian besar bangunan tidak menyalakan lampunya, sehingga lampu- lampu jalanan adalah satu-satunya sumber cahaya selain bulan dan bintang di langit.

Di seberang jalan, sebuah robot pekerja sedang menyapu daun-daun di depan sebuah gedung. Robot tersebut memiliki cap perusahaan yang sama dengan cap pada gedung di belakangnya, menandakan kepemilikan perusahaan tersebut atas si robot. Dia mengumpulkan dan merapikannya di sudut- sudut jalan, namun angin terus-menerus menerbangkan kembali daun-daun tersebut, sehingga si robot pekerja harus berputar balik, menyapunya lagi, merapikannya lagi, berulang- ulang.

Andri melambatkan langkahnya, memandangi robot tersebut. Si robot merupakan model lama, dengan roda alih- alih kaki sebagai alat gerak, tubuh yang seperti kotak, dan kedua mata yang tampak seperti sepasang lampu depan mobil, menyala merah dalam kegelapan. Bahkan, dari jarak beberapa belas meter, Andri bisa melihat gerakan-gerakan si robot yang kaku dan terpatah-patah. Waktu semakin mengalahkannya, dan Andri tahu bahwa takkan lama lagi robot tersebut akan diganti oleh perusahaan yang memilikinya dengan model terbaru yang lebih murah, produktif, dan efisien.

Robot itu berhenti bekerja. Dia mendongak dengan sangat perlahan, memutar kepalanya 180 derajat hingga menatap Andri. Kaget, Andri menunduk dan berjalan menjauh dengan cepat. Bulu kuduknya berdiri tegak, ia bisa merasakan tatapan si robot di punggungnya hingga akhirnya dia berbelok di sudut. Andri mencapai bundaran kota yang juga gelap gulita. Ada

beberapa robot lagi yang sedang bekerja, merapikan jalanan, membersihkannya dari kotoran dan sampah yang berserakan. Saat dia melewati mereka, Andri bisa merasa seolah para robot tersebut menatapnya. Ia bahkan yakin para robot berhenti bekerja saat ia berlalu. Merasa bingung dan takut, dia terus berjalan, melewati televisi raksasa yang kini sedang mati, terus hingga mencapai trotoar yang sudah familiar. Di jalanan tersebut, hanya beberapa belas menit dari rumahnya, lampu- lampu jalanan menyala lebih terang dan gedung-gedung digantikan dengan rumah-rumah yang memiliki lampu luar yang juga menyala. Dia merasakan ketenangan menjalarinya.

Namun, mendadak dia mendapati adanya dua sosok beberapa meter di depannya. Dan kedua sosok tersebut — siapa pun mereka — tampak sedang berjalan ke arahnya.

Dia melambatkan langkahnya, membiarkan mereka sampai lebih dulu di bawah cahaya lampu jalan. Kedua sosok tersebut tersinari oleh cahaya, dan tampaklah wujud mereka: dua pemuda, mengenakan jaket tua yang robek-robek, celana jins yang rombeng, berambut panjang berantakan, dan berpenampilan sangat kotor. Mereka berjalan dengan agak oleng, seolah-olah sedang mabuk.

Junkies, pikir Andri. Para preman, pemabuk, pemadat. Dia menunduk, bergeser lebih jauh ke tepian luar trotoar agar kedua orang tersebut dapat lewat tanpa menyentuhnya. Mereka kian mendekat, dan Andri menahan napas, tegang. Saat mereka berpapasan, ia bisa mencium bau sangat tidak enak dari mereka berdua. Dia bergeser menjauh, tidak tahan dengan bau tersebut.

Tiba-tiba, sebuah tangan menyambar sikunya.

Andri terkejut, namun sebuah tangan lagi menutup mulutnya, membuat teriakannya terhenti. Dia menatap wajah orang yang menahannya tersebut dengan ngeri, menyaksikan mulutnya membuka, gigi-gigi kuningnya bergerak, dan seringai yang terbentuk di sana.

“Wah, wah,” kata pemuda tersebut. “Ada cewek di sini, Jon.”

“Masa’? Aku tak tahu mereka juga menyediakan cewek, Roy,” jawab pemuda satunya lagi, yang baru saja disebut sebagai ‘Jon’.

“Memang tidak, tolol. Kita sudah meninggalkan pesta payah itu. Sekarang kita... baru saja menemukan cewek... cewek sungguhan... yang sangat jauh lebih menyenangkan, sepertinya...” desis pemuda tersebut, yang bernama ‘Roy’.

“Ooooh, benarkah?”

“Ya,” bisik Roy. Dia melepas cengkeramannya dari mulut Andri, dan Andri menghela napas, dadanya naik-turun dengan cepat. Rasa panik melandanya, dia berusaha melepaskan diri, namun genggaman Roy pada tangannya masih terlalu kuat.

“Mau melawan ya,” kata Roy, terkekeh. “Bagus. Sangat bagus. Siapa namamu-UGH!”

Andri mengayunkan tangannya sekuat tenaga, dan dalam ayunannya tersebut, berhasil mengangkat Roy tinggi-tinggi, memutarnya, dan membantingnya ke tanah — semuanya dalam satu gerakan. Genggaman Roy pada tangannya lepas. Sejenak, dia kaget, namun melihat Roy yang terbaring di tanah, mengerang, dia tahu ini kesempatannya. Dia berlari menjauh —

“Akh!”

Baru beberapa meter berlari, dia terjatuh ke tanah dengan keras. Pemuda satunya, Jon, telah berlari mengejarnya dan menyergapnya dari beakang. Dia meronta, namun Jon menahan kepalanya di tanah, membuatnya tak bisa bernapas, apalagi berteriak.

“Diam!” gerutu Jon. “Diam atau kupatahkan lehermu! Diam!”

Roy telah bangun, mengerang kesakitan, menyentuh kulit kepalanya yang berdarah. Dia berjalan mendekati Andri, mengeluarkan sebuah pisau.

“Dia senang main kasar!” seru Roy, terkekeh lagi. “Jon, buka bajunya! Kita lihat dia!”

Jon, terkekeh juga, menjambak rambut Andri kuat-kuat. Kepala Andri tertarik ke belakang, dia kesakitan hingga tak bisa bersuara. Dia mendengar suara sabuk dibuka, dan rasa panik makin melandanya. Dia ingin berteriak, ingin meronta, ingin lari dan kabur, namun rasa sakit di kepalanya terlalu besar. Perlawanannya terasa sia-sia. Dia mulai menangis, air mata mengalir di pipinya. Roy mendekatinya, menyentuhnya —

“Menjauh darinya,” sebuah suara berbicara.

Roy dan Jon berhenti tertawa. Mereka menoleh, Jon bahkan melepaskan jambakannya, mendorong kepala Andri ke trotoar. Mengaduh kesakitan, Andri berguling, memegangi luka di dahinya.

Melalui matanya yang berair, Andri melihat seorang pria berdiri beberapa meter dari mereka. Tubuhnya besar, sepertinya mencapai dua meter atau lebih. Dia mengenakan jas hujan berwarna hitam, dan di bawah bayang-bayang pohon, dia tampak seperti raksasa. Lalu, ia mulai berjalan ke arah mereka bertiga.

“Saya ulangi, menjauh darinya,” perintah pria tersebut, nada suaranya sangat dalam.

Roy, memandang pria tersebut, menyeringai dan terkekeh lagi. Dia berkata, “Kalau kami tidak mau, apa yang akan kamu lakukan? Melapor polisi?”

“Saya peringatkan untuk terakhir kalinya, menjauhlah darinya.”

Mendengus geli, Roy menoleh kepada Jon, yang juga tampak geli. Mereka berdiri berdampingan sekarang, menghadapi si pria tersebut.

“Kau dengar katanya? ‘Menjauh darinya’,” kata Roy, menirukan suaranya.

“Ya. Kau ini... apa? Vigilante? Mau sok pahlawan?” tanya Jon, menunjuk si pria. “Kau tahu, bung? Kami pikir, kau yang seharusnya pergi.”

“Saya akan memperingatkan kalian sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya,” ujar si pria, masih dengan suara dalam yang sama.

Roy tertawa terbahak-bahak, menggeleng-geleng. Dia mengusap wajahnya, lalu mendongak menatap pria tersebut.

“Tidak,” bisiknya.

Tanpa peringatan sama sekali, Roy menyerbu maju dengan pisaunya. Dia mengacungkannya pada si pria, diarahkan tepat ke dadanya. Mereka bertubrukan, dan sebuah suara tusukan terdengar.

Darah menetes-netes ke trotoar. Sejenak, hening. Kemudian, perlahan-lahan Roy merosot, jatuh ke tanah dan terpuruk. Pisaunya menancap di dadanya.

Ia tidak bergerak.

Pria tersebut mendongak untuk menatap Jon. Jon sendiri, setelah beberapa detik terpaku, akhirnya bisa bergerak kembali. Dia mundur, sementara si pria maju.

“B-berhenti!” kata Jon, mengeluarkan sebilah pisau dari jaketnya, mengacungkannya dengan gemetaran. “Kubilang, berhenti! Berhenti!”

Namun si pria tidak berhenti, dia malah mempercepat langkahnya. Ngeri, Jon berbalik, berlari ke tempat Andri masih terbaring, hendak menyambarnya. Tapi, tangan pria itu mencapainya lebih dulu. Jon berteriak, namun suaranya tidak berarti. Pria itu mengangkatnya, melemparnya. Ia mendarat di trotoar, beberapa meter di belakang Roy berada. Sebuah suara krak mengerikan terdengar. Ia mengerang kesakitan.

“Pergi,” perintah pria tersebut, jelas dan tegas.

Jon tidak butuh perintah lagi. Memegangi siku kirinya, dia berjalan, susah payah dan sempoyongan, menjauh dari tempat tersebut, meninggalkan temannya begitu saja. Setelah dia berbelok di sudut jalan, si pria akhirnya maju lagi, mendekat ke Andri. Andri bergerak mundur secara naluriah, ketakutan.

Cahaya lampu menyinari pria tersebut, dan rupanya tampak sepenuhnya. Wajah tersebut, kulit berwarna gelap, dan tubuh raksasa itu adalah milik si penjaga sekolah, Rho. Dia menunduk memandang Andri yang gemetaran.

“Bangun,” perintahnya. “Dan pulang ke rumah. Jangan pernah pergi sendirian di malam hari. Pergi.”

Andri tidak menjawab, dia bergerak mundur lebih jauh. Saat jarak di antara mereka sudah mencapai beberapa belas meter, barulah dia berani untuk bangun, menatap Rho, yang berdiri menjulang. Di belakang Rho, terbaring tubuh Roy, orang yang hendak menganiaya dirinya beberapa menit lalu. Kemudian, dia kembali menatap Rho, yang menatapnya balik dengan tajam.

Dia tak perlu diperintah dua kali. Berbalik, Andri mulai berlari, tidak berhenti hingga dia mencapai rumahnya.

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 298 74
Antonio membunuh seluruh anggota Keluarga Wolfgang dan lari meninggalkan istri serta putrinya yang menunggu kepulangannya. Tujuh belas tahun setelahn...
174K 15.6K 19
Prequel dari Indonesian Apocalypse: Revenge of Fallen California sudah tidak seperti dulu lagi, semenjak virus itu menyebar, membunuh, dan menghidupk...
167K 16.4K 36
#5 dalam Science Fiction (25 januari 2018) #10 dalam Science Fiction (22 Juni 2017) #16 dalam Science Fiction (9 mei 2017) "Duarrrr!!!"ledakan bergum...
1.1K 305 51
Kamu rela menempuh kengerian untuk rasa senang yang tak pasti? Antologi cerpen ideal yang diselingi intermeso. Pembauran genre-genre disturbing-nya T...