Bots

By AAlkadri

41.2K 3K 187

Dunia Barat menjelang Abad 22. Sebuah Android telah menyerang beberapa manusia, melukai dan membunuh mereka... More

Rights Explanation
Prolog
Chapter I
Chapter II
Chapter III
Chapter IV
Chapter V
Chapter VI
Chapter VII
Chapter IX
Chapter X
Chapter XI
Chapter XII
Chapter XIII
Chapter XIV
Chapter XV
Chapter XVI
Chapter XVII
Chapter XVIII
Chapter XIX
Chapter XX
Chapter XXI
Chapter XXII
Chapter XXIII
Chapter XXIV
Chapter XXV
Chapter XXVI
Chapter XXVII
Chapter XXVIII
Chapter XXIX
Chapter XXX
Chapter XXXI
Chapter XXXII
Chapter XXXIII
Chapter XXXIV
Chapter XXXV
Chapter XXXVI
Chapter XXXVII
Chapter XXXVIII
Ucapan Terima Kasih

Chapter VIII

988 81 4
By AAlkadri

Sepanjang koridor yang menuju kantin, seluruh lampu menyala. Kantin ternyata sudah berisi beberapa orang, Andri mengenali Bu Rosidah dan Dr. Amri yang duduk di meja di tengah ruangan. Ada dua orang anak kelas sembilan yang duduk di dekat konter, sedang membaca dari Tablet mereka. Beberapa penjaga sekolah juga ada, termasuk Rho, yang menatapnya tajam begitu mereka masuk. Andri mencoba mengabaikannya seperti biasa.

“Diki!”

Mereka berdua menoleh. Duduk di salah satu meja adalah dua orang murid kelas mereka, yaitu Novi dan seorang cowok yang namanya tidak Andri ingat. Novi melambai pada Diki. Diki melambai balik padanya, lalu mengajak Andri menuju meja tersebut.

“Novi,” sapa Diki. “Dewa.”

“Yup,” jawab Dewa, meninju lengan Diki. “Kalian juga dibangunkan robot?”

“Tidak. Si Andri dibangunkan weker yang salah setel,” kata Diki.

“Ouch. Itu menyebalkan,” keluh Dewa.

“Memang,” jawab Andri.

Menatapnya, Dewa nyengir lebar, lalu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Andri. Dia berkata, “Aku Dewa, kita sekelas sejak seminggu lalu. Namamu Andri ‘kan? Kita belum berkenalan, tapi aku sudah mencaritahu mengenaimu.”

“Benarkah?” tanya Andri, mengangkat kedua alisnya. “Kenapa kamu –”

“Karena kita jarang kedatangan murid dari pulau lain,” jawab Dewa, masih nyengir, menyenggol Novi. “Dia sudah cerita mengenai kamu juga.”

“Ya, tentang bagaimana dia tidak tahu banyak mengenai konflik di Padang, padahal dia tinggal di sana sebelumnya,” jawab Novi.

“Uh-huh,” gumam Andri, mengangguk.

“Harusnya kamu bisa lebih penasaran, lebih mencaritahu tentang hal-hal yang berkaitan dengan tempatmu tinggal, ‘kan? Banyak kok sumber buat nyaritahu,” kata Novi, menyeruput minumannya dan menatap Andri.

Andri mengangguk singkat, menatap Novi balik. Mereka berpandangan, dan suasana tidak enak melingkupi meja.

“Anda ingin memesan sesuatu?” tanya sebuah robot pelayan, menghampiri meja mereka dan memecah keheningan.

“Ah, ya,” jawab Diki, lega. “Jus jeruk dan daging panggang. Kau mau pesan sesuatu, Dri?”

“Teh panas,” jawabnya. Robot tersebut mengangguk, lalu berjalan kembali ke konter.

“Jadi.” Dewa berkata, menarik kursinya ke meja, mendekat ke Diki dan Andri, “Kalian baca berita pagi ini? Tentang penangkapan Android di Bandung?”

“Yap,” jawab Andri dan Diki bersamaan.

Mereka menoleh, berpandangan terhadap satu sama lain. Diki melanjutkan, “Aku membacanya di PDA-ku pagi ini.”

“Aku menontonnya di TV di bundaran kota,” jawab Andri.

Dewa mengangguk-angguk bersemangat. “Aku dan Novi baru menontonnya beberapa menit lalu di tablet kami. Ini.” Dia mengangkat Tabletnya, menunjukkan pada Andri dan Diki berita yang sedang ditampilkan di feed akunnya. Ada banyak sekali artikel, video, tulisan, dan foto-foto serta wawancara mengenai penangkapan tersebut. “Aku sudah mengunduh semuanya beberapa detik setelah berita tersebut muncul.”

“Benarkah? Kok tidak memberitahuku?” tanya Diki, menarik kursinya mendekat.

“Kamu tidak bertanya,” jawab Dewa dengan tegas. Dia menoleh pada Andri, nyengir lagi, dan berkata, “Kami bertiga, bisa dibilang, senang memburu berita-berita terbaru dari belahan-belahan dunia mana pun. Kami menyimpannya dalam tablet untuk kemudian dibaca-baca lagi dan didiskusikan.”

Andri mengangguk. Dia tahu tipe orang seperti itu, karena ayahnya sendiri juga termasuk di dalamnya. Setiap pagi, ayahnya selalu memburu berita-berita mengenai saham, menyimpannya, kemudian membaca-bacanya lagi dan mengangkatnya sebagai topik pembicaraan makan malam. Agak menyebalkan, kadang, namun seringkali seru.

Menyentuh layar tablet milik Dewa, Andri memilih satu artikel resmi dari Media Negara, media yang sama yang memiliki hak siar untuk Breaking News di televisi. Sebuah video, sama persis dengan yang dia tonton tadi pagi di TV bundaran, diputar. Pria-pria yang sama, Android yang diborgol, dan rombongan orang berjas hitam yang sama. Artikel di bawahnya lebih panjang, namun isinya juga kurang lebih sama.

“Penangkapan kedua dalam bulan ini, ya?” tanya Diki.

“Yap. Sepertinya memang isu itu benar,” jawab Dewa.

Andri mendongak, menatap Dewa. “Isu apa?”

Dewa memandangnya balik, ekspresi cerahnya meredup. Dia bertukar pandang dengan Diki, namun Novi-lah yang menjawab.

“Ada berita, beberapa bulan lalu, mengenai pecahnya Perang Sipil di Dunia Barat.”

Perang sipil?” Andri bertanya, kaget.

“Di Dunia Barat,” kata Dewa dengan dramatis.

“Tidak ada perang apa pun di Dunia Barat sejak berakhirnya PD III,” kata Diki. “Beritanya sedikit, sumbernya tertutup. Sepertinya terjadi kontrol besar-besaran terhadap media. Mungkin net juga disensor, karena tak ada satu pun informasi yang menyebutkan mengenai terjadinya hal tersebut.”

“Tapi,” sambung Novi, “Informasi akan selalu bisa didapatkan asal mencari di tempat yang tepat.”

Andri menatapnya. “Maksudmu?”

“Yah, kami, dan mungkin beberapa orang lainnya, berhasil memperoleh berita-berita dari suatu sumber,” kata Novi, dan Diki serta Dewa mengangguk. “Kami berhasil memperoleh berita yang menyebutkan bahwa perang tersebut terjadi karena adanya revolusi yang dilakukan, tak lain tak bukan, oleh para Android.

Kali ini, Andri mengangkat kedua alisnya. Dia menatap Novi, kemudian Dewa, kemudian Diki. Mereka semua menatapnya balik, menunggu reaksinya.

“Tak mungkin,” gumam Andri.

“Kenapa tak mungkin?” tanya Novi.

“Karena para Android tak mungkin melukai manusia. Mereka memiliki logika-logika, hukum-hukum dasar yang harus mereka patuhi, sama seperti para robot. Dan dalam hukum-hukum dasar mereka, salah satu aturan yang sangat jelas ‘Robot tidak boleh melukai manusia’. Jadi –”

“Ah, tapi hukum, sama seperti aturan lainnya, dibuat untuk dilanggar, ‘kan,” kata Novi.

“Tidak untuk yang ini,” kata Andri tegas. “Android, pada dasarnya, sama dengan robot. Mereka diprogramuntuk bergerak, untuk bertindak, berdasarkan aturan-aturan dan logika tertentu yang telah diterapkan pada mereka. Mereka diprogram secara spesifikuntuk mematuhi hukum-hukum dasar yang telah diberikan pada mereka. Tidak mungkin mereka dapat melanggar perintah tersebut.”

“Sebenarnya hal tersebut juga sudah diperdebatkan di forum-forum net. Kesimpulan yang dapat ditarik dari debat tersebut adalah jika kita mau membicarakan hakikat, kita harus mengetahui cara berpikir mereka. Nah, tak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana cara mereka berpikir. Asumsi bahwa mereka, mungkin, dalam satu tahap atau fase, telah menemukan cara untuk melanggar hukum-hukum dasar sangat masuk akal.“

“Asumsi. Semua berita itu hanya asumsi, ‘kan? Isu-isu belaka? Kau mendengar isu kecil, kemudian kau berasumsi, mulai menyebarkan berita palsu –”

“Oh, kau menuduhku menyebarkan berita palsu?”

“Silakan pesanannya.”

Mereka semua berjengit kaget, menoleh kepada robot pelayan yang berada di samping meja mereka. Dia meletakkan pesanan Diki dan Andri di depan mereka masing-masing. Kemudian, membungkuk sekali, dia berjalan pergi.

Dengan ketegangan di antara mereka terpecahkan, Andri dan Novi mengalihkan pandangan tajam mereka dari satu sama lain kepada gelas minuman mereka. Mereka meneguknya beberapa kali. Andri merasakan teh panas tersebut mengaliri kerongkongannya dengan menyakitkan, namun dia tak peduli. Dia masih bisa merasakan urat nadinya yang menegang.

Beberapa detik kemudian, setelah mereka meletakkan kembali minuman mereka di atas meja, Dewa mengambil alih. Dia berkata cepat, “Oke. Oke, berita-berita mengenai revolusi Android tersebut belum jelas kebenarannya. Oleh karena itu kami sebut itu sebagai isu. Berita tersebut bukan berita palsu, tapi juga bukan berita yang kredibel. Oke? Damai?”

Andri menatap Novi, yang menatapnya balik. Novi menenggak habis minumnya, dan menjulurkannya ke samping. Robot pelayan mengambil gelas tersebut tanpa bersuara, lalu pergi lagi. Andri mengangguk pelan, mengiyakan perkataan Dewa.

“Kita butuh lebih banyak informasi. Benarkah Android sanggup melukai manusia? Andri di sini berkata itu tidak mungkin. Yah, aku yakin kita semua tadinya juga berkata kalau itu tidak mungkin. Tapi, lihat berita hari ini,” Diki menunjuk ke tablet Dewa, “dan ke berita penangkapan yang terjadi dua minggu lalu.

“Media Nasional, yang kredibilitasnya bisa dianggap paling ‘kredibel’,” Diki mengangkat kedua tangannya, menekukkan jari telunjuknya untuk menekankan tanda kutipnya, “menyebutkan bahwa kedua Android ditangkap karena tindak kekerasan yang dilaporkan oleh warga. Kamu juga mendengarnya, ‘kan, Andri?”

“Ya, tapi laporan seperti itu selalu ada. Dan semuanya tidak terbukti, ‘kan? Ada orang yang mengadukan Android yang menjadi tetangganya karena dia paranoid terhadap robot, ada orang yang mengadu dianiaya Android untuk menutupi tindak kekerasan yang dilakukan suaminya, ada yang bahkan mengaku diperkosa. Namun tak ada yang terbukti. Tidak ada tuduhan kriminal yang terbukti dilakukan oleh para Android, apalagi tindak kekerasan. Para Android selalu dibebaskan kembali, bersih atas segala tuduhan, karena mereka memang tak pernah melakukan hal-hal seperti itu,” kata Andri cepat.

“Namun, lain halnya dengan Android yang ditangkap dua minggu lalu. Dia tidak dibebaskan, dan berita mengenainya sudah berhenti,” kata Diki. “Berita terakhir mengenainya adalah dia dibawa ke kantor polisi negara. Setelah itu, tak ada berita lagi.”

“Yang membuat kami kembali berpikir terjadinya kontrol media. Pemerintah tak mau warga takut. Apa kata warga biasa kalau mereka sampai tahu bahwa para Android, dan bahkan mungkin para robot, dapat berbalik melawan mereka? Ini sesuai dengan asumsi kami, dan mau tak mau kami juga berpikir kalau asumsi kami ada benarnya,” kata Novi, memberikan penekanan pada ‘asumsi’ dan ‘benar’. “Dan kalau asumsi tersebut ada benarnya, berarti berita palsuyang barusan juga semakin besar kemungkinannya menjadi berita kredibel, ‘kan?”

“Tapi – tapi bagaimana dengan hukum-hukum dasar? Bagaimana mungkin mereka bisa melanggarnya? Kalau itu belum terpecahkan, asumsi kalian tidak bisa dianggap benar! Iya ‘kan?” Andri memandang Diki, yang menunduk memandang tabletnya, dan ke Dewa, yang tampak salah tingkah, menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah.

Terakhir, dia menoleh ke Novi, yang menyunggingkan senyum kemenangan.

Andri menggeleng frustasi. Dia mengangkat gelasnya, menghabiskan tehnya dalam satu teguk. Sebuah robot pelayan mengambil gelasnya, dan beberapa saat kemudian, dia bangkit berdiri.

“Andri?” panggil Diki. Dia tidak menjawabnya, dia hanya terus berjalan keluar dari kantin menuju lift. Dia ingin berada di satu tempat yang bebas dari gangguan, terutama dari mereka bertiga.

Continue Reading

You'll Also Like

20.7K 5.3K 42
[Buku Kedua dari Seri Putra Penyihir] Setelah berhasil selamat dari Pulau Amui, Peter pergi mengikuti Ronald untuk belajar sihir. Namun, setelah beb...
167K 16.4K 36
#5 dalam Science Fiction (25 januari 2018) #10 dalam Science Fiction (22 Juni 2017) #16 dalam Science Fiction (9 mei 2017) "Duarrrr!!!"ledakan bergum...
25.7K 4.5K 30
A HARRY POTTER FANFICTION [Fantasy-Adventure-Minor Romance] Brianna harus menelan kenyataan pahit ketika mengetahui kalau dunia penyihir seperti di n...
3.4K 277 7
MENGANDUNG KONTEN DEWASA 21+ Enter at your own risk. Agensi telah memilih manusia-manusia paling dipandang hina dina untuk dilatih menjadi agen-agen...