Aku dibuat terdiam beberapa saat. Tak mmpu membalas kata-kata Nia yang terdengar seperti bencana di telingaku.
Yang bisa kulakukan sekarang cuma mematung sembari memasang wajah bodoh.
"Hei, Sena! Kenapa kau diam? Apa jangan-jangan kau senang mendengarnya?"
"B-Bodoh! Mana mungkinlah!!"
Langsung kulontarkan protes keras pada gadis berdada besar ini. Itu adalah hal paling bodoh yang pernah kudengar selama aku hidup di dunia.
Mana mungkin Bella menyukaiku.
Yang selalu ia lakukan adalah menendang, memukul, membanting, dan mem-"finish him" tubuhku sampai mau mati rasanya.
Jadi rasanya itu cukup gila mendengar bahwa Bella menyukaiku.
"Kau sudah lama kenal dia, kan? Harusnya kau tahu kalau Bella tak pandai mengungkapkan isi hati yang sebenarnya."
Kalau soal ini memang benar seperti perkataanya. Selama ini Bella selalu bersikap kasar untuk menyembunyikan perasaannya.
Contohnya saja saat ia ingin membelikanku hadiah, mengajariku belajar, atau membuatkan sarapan.
Pada awalnya yang ia lakukan adalah marah-marah atau menghajarku. Tapi di balik semua itu, ada niat tulus yang selalu ia berikan padaku.
Benarkah dia menyukaiku?
Anggap saja itu benar. Kalau begitu, artinya itu adalah jawaban yang menghubungkan semua sikap aneh yang ia tunjukan padaku. Dimulai saat ia terkadang bersemu saat aku menggodanya, saat ia gugup kalau berdekatan denganku, atau bahkan ketika dia mencium pipiku.
Dan entah mengapa saat memikirkan itu semua, jantungku menjadi berpacu dengan cepat seperti ingin meloncat keluar dari rongga dadaku.
"Wah, mukamu memerah!"
"A-Apa sih yang kau bicarakan!?"
Aku menaikan nada suara dengan sedikit kesal, berharap Nia menarik kembali kata-katanya.
"Aku sekarang mau pulang dulu...."
Kutarik badanku menjauhi Nia. Sebenarnya aku masih ingin di sini dan mengobrol dengannya lagi. Tapi sepertinya Nia takkan mau merubah topik memalukan ini.
Karena itulah pergi adalah pilihan terbaik yang kupunya sekarang.
"Sudah, ya!? Terima kasih untuk segalanya. Dan sampaikan salamku pada kakakmu!"
"Sepertinya kau buru-buru sekali!"
"Iya, soalnya kalau kelamaan nanti Bella akan marah lagi."
"..."
"..."
CELAKAAAAAA!!!!!!!
Aku benar-benar bodoh. Bisa-bisanya aku ceroboh mengucapkan nama Bella sebagai alasanku pulang.
Sial, lagi-lagi begini!
Saat ini Nia tengah menatapku dengan pandangan tanda tanya. Dengan memiringkan kepalanya sedikit, gadis itu seakan meminta penjelasan detail dariku.
Kendati demikian, aku masih membisu seribu bahasa. Mulutku serasa membeku. Keringat dingin mulai mengucur dari tubuhku.
Andai saja bisa, aku ingin kembali ke lima detik sebelumnya, dan membungkam diriku di waktu itu.
Tapi itu mustahil.
Waktu terus berjalan, sementara Nia masih mengurungku dengan rasa penasarannya.
"Apa hubungannya dengan Bella?"
"I-Itu karena kau...! Terus-terusan bicara tentang Bella. Padahal sebenarnya aku ingin bilang orang tuaku."
"Tapi bukankah itu artinya yang ada di kepalamu sekarang adalah Bella?"
"...!?"
"Aku benar, kan?"
"S-Selamat tinggal...!"
Seusai melambaikan tangan pada Nia, aku pun segera pergi meninggalkan rumahnya.
Untunglah di waktu yang sempit aku mash bisa memikirkan alasan yang cukup logis. Rasanya pasti ada saja waktu saat rahasiaku bisa terungkap kapan saja.
Entah berapa lama aku bisa menyembunyikan ini dari semua orang.
***
Dalam perjalanan pulang, tak pernah sedetik pun aku tak memikirkan Bella. Karena omong kosong yang Nia katakan, aku jadi ribet sendiri.
Aku bisa saja mengabaikan hal itu seakan tak pernah terjadi. Tapi tak peduli berapa kali aku berusaha melupakannya, bayangan Bella selalu masuk ke dalam pikiranku.
Sampai akhirnya tiba di depan rumahku. Bayangan Bella tak pernah bisa pudar.
Aku langsung menuju ruang tamu untuk merebahkan tubuhku di sofa.
Dan saat itulah sumber masalah dari semua ini muncul.
"Kok kau telat, sih? Apa jangan-jangan kau memaksa Nia untuk melakukan hal yang macam-macam!!?"
"Nggak mungkin... di sana juga ada kakaknya. Berhentilah memikirkan hal yang aneh-aneh."
"Kau juga memaksa kakaknya?"
"Ya enggak lah, bodoh!! Jangan membuatku tambah pusing."
"Lalu, mungkin kau—"
"Kau mengganggu!!! Pergi sana...!"
Terpaksa aku mengusirnya dengan cara yang kasar. Karena aku tak mau dia menambah beban pikiranku.
Tapi dengan kata-kata kasarku tadi sepertinya dia takkan menggangguku lagi.
Beberapa saat berlalu setelah kupejamkan mataku. Terdengar bunyi sesuatu dari permukaan meja di sebelahku.
Kupalingkan pandanganku. Dan melihat secangkir teh yang masih mengepulkan uap-uap panas seperti cerobong kereta api zaman dahulu.
Mataku berhenti pada satu titik. Tatapannya terkesan dingin, tapi dari sisi lain kau bisa melihat pandangan lemah lembut yang terpancar dari bola mata oranyenya.
"Untukmu... cepatlah minum!"
"I-Iya...."
Aku membangkitkan tubuhku. Pandanganku secara bergantian menatap wajah Bella dan cangkir teh. Lalu meniup-niup sebelum menyesap teh hangat itu.
"Hh... kurang manis."
"Akan kutambahkan gula."
Sebenarnya aku hanya bergumam pada diriku sendiri. Tapi tampaknya aku lupa mengecilkan volumeku sehingga Bella bisa mendengarnya.
Gadis oranye itu pun segera bangkit dan menuju dapur. Walau aku berusaha menghentikan karena tidak ingin merepotkannya, tapi percuma.
Bella tetap melangkah ke dapur untuk mengambil gula.
"Bagaimana...?"
"Ini lebih baik."
"Syukurlah kalau begitu."
Setelah itu kami tak saling bertukar kata lagi. Keheningan tercipta di antara kami berdua. Duduk berdampingan di atas sofa, tanpa memandang satu sama lain.
Kalau kulihat dari sudut pandang yang berbeda dari biasanya, saat ini Bella tampak seperti orang yang pengertian.
Andai saja ia mau membuang semua sikap kasarnya. Mungkin aku akan senang menerimanya sebagai istriku.
Tapi itu takkan pernah terjadi.
"Terima kasih."
"Baguslah. Kalau sudah selesai tolong sekalian dicuci dengan piring-piring kotor, ya?"
Tuh kan, apa kataku tadi.
Menyerahkan tugas istri kepadaku. Apa hal itu memang pantas dilakukan?
Yah, meskipun aku menolak dia akan tetap memaksaku sampai mau. Jadi aku tak punya pilihan lain selain menerimanya.
"Iya, iya...."
***
Malam semakin larut. Sudah sejak satu jam hujan mulai turun dan tak menunjukan akan berhenti. Lewat jendela yang kusingkap tirainya, kulihat tetesan air turun dengan lebat dari gumpalan awan yang sama gelapnya dengan langit.
Bahkan kilatan petir terkadang terlihat disertai bunyi guntur yang mampu menggetarkan kaca.
"Bisa kau tutup tirainya? Aku sedikit takut petir...."
"Oh, baik."
Selepas menutup kembali tirainya, aku segera mendekati Bella yang tengah terbaring di atas tempat tidur.
Ini sudah jam 11 malam. Kalau kami tak segera tidur, kami pasti akan bangun telat untuk sekolah besok.
Aku terduduk di kasur bersebrangan dengan Bella berbaring. Walau setiap malam kami selalu tidur bersama, tetap saja aku masih merasa gugup.
Biar bagaimana pun, kami masihlah berstatus pelajar yang bahkan baru saja masuk sekolah tinggi.
Memikirkan tentang tidur satu ranjang bersama seorang gadis, tentu saja mustahil bagiku untuk tak berfantasi yang aneh-aneh.
Aku bahkan pernah tergoda untuk mengintip pakaian dalamnya waktu tidur. Dan tentu saja hal itu membutuhkan pengorbanan besar.
Meskipun dia gadis yang kubenci. Biarpun tubuhnya seperti anak kecil. Dan walaupun ukuran dadanya sangat jauh dari ukuran idamanku.
Bella tetaplah seorang wanita.
Tentu saja hal itu membuat hatiku tak karuan setiap malam.
Aku mulai berbaring menutupi tubuhku dengan selimut. Dan seperti inilah posisi kami tidur, saling membelakangi dan tertidur di kedua sisi kasur yang berlawanan.
Meskipun selimut yang menyelubungi tubuhku cukup tebal, tapi tak mampu menghalau hawa dingin malam ini. Suasana kamar kami bagaikan hotel es saat musim dingin di Antartika.
Kendati demikian, aku berusaha untuk memejamkan mataku.
Sampai saat itu terjadi.
Dengan penggungku, aku bisa merasakan sumber kehangatan baru. Tak perlu menengokan kepala, aku bisa tahu apa yang ada di belakangku.
Dari balik selimut, Bella dengan sengaja mendekatiku dan menyentuhkan punggungnya dengan milikku.
"Bella...!? A-Apa yang kau lakukan? Kau sehar—"
"Dingin, ya?"
"Eh...!?"
"Ini dingin, ya?"
Bella kembali mengulangi perkataanya.
"Iya, kau benar."
"Tak apa-apa kah kalau kita terus begini?"
"Yah, k-kurasa tak apa-apa...."
Sebelumnya memang benar aku merasa kedinginan, walau sudah memakai selimut. Tapi dengan punggung kami yang saling bersentuhan, sekarang aku bisa merasakan sedikit kehangatan yang menjalar ke tubuhku.
Kami kembali terkunci dalam keheningan, hanya suara rintikan hujan yang terdengar sejauh ini. Aku tak bisa melihat wajahnya, jadi aku tak bisa menebak apakah dia hanya sekedar iseng untuk menjahiliku saja.
Tapi kalau seandainya tidak, bukankah itu artinya membenarkan perkataan Nia?"
...!?
Bella mempunyai perasaan padaku. Itu adalah hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.
Kalau saja itu benar, apa yang harus kulakukan? Tidak. Mungkin akan lebih tepat sikap apa yang harus kutunjukan padanya.
Apakah aku masih akan menganggapnya sebagai gadis iblis yang menjadi musuh abadiku. Atau malah sebaliknya dan menerima perasaanya?
Untuk lebih pastinya, aku harus tahu apa yang ia rasakan padaku. Tapi aku takkan bertanya langsung seperti 'Apa kau menyukaiku?' atau semacamnya.
Kalau aku bertanya seperti itu, sudah pasti dia akan mengelak.
Aku pun segera berbalik dan menghadap Bella.
"Hei...!"
"Anu...."
Tapi siapa sangka kalau Bella akan berbalik dalam waktu bersamaan. Meski dalam gelap, aku bisa melihat jelas wajah cantiknya memandangku dengan mata seperti matahari senja.
Dalam secepat kilat kami pun kembali berbalik dan saling membelakangi.
"Kau saja dulu."
"Ladies first. Apa yang ingin kau katakan, Bella?"
"Itu... ini, ambillah!"
Dari belakang kurasakan tangannya dijulurkan ke arahku. Atau lebih tepatnya dia ingin menunjukan padaku benda yang ia genggam di tangannya.
Sebuah kotak kecil terbungkus pita. Tanpa berbalik aku mengambil kotak itu dari genggamannya.
"Apa ini?"
"Hadiah untukmu. Selamat ulang tahun, Sena!"
"Tunggu, bukankah waktu itu kau sudah memberiku?"
Aku cukup terkaget dengan ini. Karena sebelumnya dia pernah membelikanku hadiah saat berbelanja di mall sebelum kami bertengkar hebat.
"Yang ini beda. Ini s-spesial...."
"Boleh kubuka?"
"Tentu saja."
Dengan hati-hati kubuka pita dan plastik yang membungkusnya. Kaget dan bingung bercampur satu dalam kepalaku.
Yang ada di dalamnya adalah sebuah kalung.
Aksesoris seperti ini memang identik dengan perhiasan wanita. Tapi dengan besi berbentuk seperti perisai dan dua pedang yang saling bersilangan, membuat benda ini tampak maskulin.
"Aku membelinya lewat internet. Katanya itu jimat untuk melindungi si pemakai."
"Huh, bodoh...! Sepertinya kau kena tipu."
"Eh?"
"Benda seperti ini cuma aksesoris biasa. Di Tanah Abang ini bahkan dijual lebih murah dari kantong plastik. Dan lagi, hari gini masih percaya sama hal begituan? Membuatku tertawa saja."
Aku tak tahu apa yang Bella lakukan sekarang. Tapi dari suara yang ditimbulkan tadi, bisa kutebak dia bangkit karena terkaget.
Yah, itu adalah reaksi yang wajar saat seseorang sadar kalau kena tipu.
Tapi kenapa Bella bisa sampai tertipu? Kukira dia orang yang cerdas.
Tapi tunggu dulu....
Dia bilang ini jimat untuk melindungi si pemakai.
Meski itu bohong, bukankah berarti saat Bella membelinya ia berharap untuk keselamatanku?
Ya ampun! Semakin waktu berjalan, dugaan Nia semakin mendekati kebenaran.
"Kalau kau tidak mau, kembalikan! Akan kuganti dengan yang lain."
"Tidak perlu. Akan kusimpan ini. Terima kasih."
Mendengar perkataanku Bella kembali berbaring di ujung kasur.
"Sekarang giliranmu. Apa yang ingin kukatakan."
"..."
"Ada apa?"
"Bella... sebenarnya, apa yang kau pikirkan tentangku?"
"H-Hahh...!? Apa maksudmu bertanya itu secara tiba-tiba?"
"Aku cuma ingin tanya apa pendapatmu tentangku."
Tak ada respon. Cukup lama Bella terdiam sampai akhirnya ia mau bersuara.
"Kau itu orang yang bodoh, menyebalkan, dan terlebih lagi... kau itu mesum!"
Aku menghela napas.
"Kurasa aku tak bisa menyangkal itu. Pantas saja kau terlihat senang saat menghajarku. Sepertinya kau melihatku seperti seekor kecoak yang harus dimusnahkan."
"Bukan karena itu, kok."
"Lalu?"
"..."
Lagi-lagi Bella terdiam. Apa mengatakan pendapat tentangku sangat sulit baginya?
"Aku memang sering memukulmu dan marah-marah padamu. Tapi sebenarnya, aku sangat senang bisa bercanda dan berbicara denganmu."
"..."
"T-Tapi jangan salah sangka dulu, ya!? Bukan berarti aku suka padamu. Hanya saja, aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Karena kau tahu? Andai saja saja ayah meninggalkanku sendirian, hidupku pasti berantakan. Memang aku punya banyak keahlian yang bisa membuat orang lain kagum, tapi bukan berarti aku sempurna. Aku orangnya mudah kesepian."
"Dengan kata lain, kau menganggapku sebagai orang yang bisa menghilangkan rasa kesepianmu?"
"Begitulah...."
"Apa itu jujur dari dalam hatimu?"
"I-Iya...."
Akhirnya, dia mengatakannya. Sepertinya dugaanku salah. Dia cuma menganggapku seperti itu.
Kalau begitu, artinya dia sama sekali tak memiliki perasaan apa pun padaku. Daripada suka pada lawan jenis, mungkin perasaanya lebih ke suka pada teman.
Aku tersenyum. Kemudian tertawa kecil.
"Fu fu...."
"Apa kau menertawakankku, Sena!!?"
"Ya, karena ini pertama kalinya aku melihatmu jujur. Andaikan saja kau selalu seperti ini, sepertinya aku mulai akan menyukaimu."
"Guh...!?"
Di detik berikutnya, aku tersadar kalau tubuhku sudah terjatuh ke atas lantai. Tendangannya cukup kencang hingga bisa membuatku terlempar jauh dari atas kasur.
"Apa sih yang kau lakukan, bodoh!?"
"Kau duluan. Apa maksudmu mengatakan hal seperti itu, hah...!?"
"Maksudku suka sebagai teman, bukan hal yang lain."
"Aah, bodoh amat! Untuk malam ini kau tidur di lantai...!!!"
"Eh, kenapa?"
"Aku tidak mau kau meraba-raba tubuhku lagi saat sedang tidur."
*PUGH!
Kepalaku langsung membentur tembok begitu bantal yang ia lemparkan melesat secepat kilat.
Dasar... cewek kupretttt...!!!
)!8s
*Finish Him = Salah satu jurus di game mortal kom