YOU

By Inaka13

26K 1.6K 64

Tentang mu, tentang perasaanmu. Tentang apa yang kamu harapkan, tentang apa yang kamu impikan. Masa lalu mu... More

Prolog
First
Second
Third
Fourth
fifth
Sixth
Seventh
Eigth
Nineth
Tenth
Twelve
Thirtheenth
fourteenth
Fifteenth
Sixteenth
Seventeenth
Eighteenth
Nineteenth
Twentieth

Eleventh

862 70 0
By Inaka13

Anya sedang duduk di teras rumah saat motor Gerald berhenti di depan rumahnya. Anya berdiri, melangkah menuju pagar rumahnya dan membuka pintu selebar bahu.

Gerald tersenyum, membuat seulas senyuman malu Anya terbit. "Hai" Sapa Anya singkat. Gerald memutar motornya lalu menunjuk bangku penumpang, "Lo bisa naik kan?" Tanyanya pada Anya.

"Ini bukan yang pertama kalinya gue naik motor lo" Sahut Anya lalu tersenyum lagi.

Anya memegang bahu Gerald dengan satu tangannya, lalu melompat naik ke motor Gerald dengan satu tarikan nafas.

Begitu motor Gerald meninggalkan kompleks perumahan Anya, ia bertanya "kemarin lo tidur jam berapa?"

Anya berfikir sejenak, "Sekitar jam dua belas malam. Kenapa?"

Gerald membelokkan stir motornya ke kanan, "Enggak sih. Cuma pengen tau aja"

"Oh" Sahut Anya ringan. Selang beberapa menit, Anya kembali bersuara, "Besok lo ada waktu?"

Gerald menoleh ke samping,ia baru akan menjawab namun Anya segera menginterupsi, "Tapi kalau lo emang gak ada waktu, gue gak kenapa kok"

Gerald terkekeh, ia memasuki parkir sekolah dan memarkir motornya di salah satu ruang kosong yang tersisa. "Jam berapa?" Tanya Gerald seraya melepas helmnya.

"Jam..sebelas?"

Gerald mengerutkan dahinya, berfikir. "Jam Sebelas malam?"

"Bukaaan" Ucap Anya,meninju bahu Gerald pelan lalu menaruh helmnya di atas motor. "Jam sebelas siang"

Mereka berjalan bersisian menjauhi parkiran sekolah, "Jam sebelas itu masih pagi, Anya" Koreksi Gerald.

Anya menggeleng, "Pokoknya siang"

"Pagi, Anya. Kalau di luar negri jam sebelas itu di anggap masih pagi." Ucap Gerald bersikeras. Mereka memasuki kelas tanpa memperhatikan sekitar mereka yang saat ini sedang menatap Gerald dan Anya bergantian.

"Gue gak mau tau pokoknya jam sebelas itu udah siang. Matahari udah tinggi jam segitu." Ucap Anya tak mau kalah. Ia menaruh tasnya di atas meja dan melipat kedua tangannya di depan dada.

Gerald tertawa kecil. Ia duduk di atas mejanya, kali ini posisi mereka berhadapan dengan pinggul Anya bersandar pada sisi meja. "Yaudah. Terserah lo aja." Gerald mengacak pelan puncak kepala Anya, membuat sebagian populasi kelas menatap keduanya dengan mata membesar.

"Jadi?" Tanya Anya sambil memperhatikan Gerald yang kali ini sudah memunggunginya seraya menaruh tasnya di atas meja.

Kepala Gerald menoleh menatap Anya tanpa membalikkan tubuhnya, tersenyum lalu tangannya membentuk huruf 'O' menggunakan ibu jari serta telunjuknya.

Anya mematung di tempat, tersenyum memperhatikan Gerald yang saat ini sudah bergelut dengan buku di atas mejanya, hingga bel tanda pelajaran akan segera di mulai membuyarkan lamunan Anya.

***

"Gue pengen cepet-cepet pulang ke rumah, Rald. Gue gak betah disini."

Gerald yang sedang duduk di sofa yang berhadapan dengan ranjang Sheila, menaikkan tatapannya. "Sabar Sha. Besok lo udah bisa pulang." Ucap Gerald, tersenyum tipis lalu kembali memperhatikan ponsel di genggamannya.

Sheila memiringkan tubuhnya, memandangi Gerald dengan bibir mengerucut. "Iya sih, tapi gue pengen pulangnya pagi,bukannya jam dua sore . Gue gak betah selama itu di sini."

Gerald memutar bola matanya lalu menghela nafas, "Jam dua siang, Sheila. Kenapa sih semua cewe yang gue temuin hari ini selalu keliru tentang waktu?"

"Oh iya, jam dua siang." Ucap Sheila, mengangguk. "Tapi.. siapa yang salah nyebutin waktu selain gue?"

Gerald tersenyum, mengangkat ponselnya lalu menggoyangkannya pelan. "Anya"

Sejenak, Sheila terdiam. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja Gerald katakan hingga ia mengerjap dan rasa sesak langsung melingkupi dadanya. "Oh" Ia tersenyum sekilas pada Gerald lalu membalikkan tubunya, kali ini memunggungi Gerald.

Terjadi hening yang cukup lama hingga Sheila kembali bertanya dengan nada ragu, "Lo mutusin ikut ke London bareng gue, kan?"

Sheila menanti jawaban Gerald dengan cemas. Dalam hati, ia merapalkan doa apa saja supaya kali ini Gerald menjawab "Iya" atau apapun yang berbau persetujuan.

"Enggak, Shei. Gue gak bisa ninggalin rumah orang tua kandung gue. Karena cuma itu yang gue punya."

Untuk yang kedua kalinya selama satu jam, dada Sheila terasa sesak. Bulir air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, namun Sheila mencoba menghalaunya dengan cara menggigit bibirnya agar Gerald tak curiga. "Ohh" Sahutnya lagi.

"Lo besok libur kan, Rald? Lo bisa nginep disini malam ini?"

"Maaf Shei." Jeda sejenak, "Gue ada janji besok pagi, jadi gue harus siap-siap lebih awal. Tapi sebelum jam dua siang gue pasti udah ada disini buat jemput lo."

Sheila mengangguk. Di hapusnya air mata yang keluar dengan ibu jarinya. Ia merasakan Gerald mendekat ke ranjangnya, sesaat setelah itu ia merasakan ranjangnya bergerak pelan. "Kapan rencananya lo pulang ke London?"

Sheila mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Setelah gue dengar pengumuman kelulusan lo. Jadi, lo harus belajar yang rajin, jangan sampai karena lo gak lulus gue jadi batal pergi dan gak ketemu Ayah di London." Ucap Sheila seraya membalikkan tubuhnya lalu menatap Gerald.

Gerald tersenyum, mengacak pelan puncak kepala Sheila gemas, "Iya cerewet."

"Dan lo jangan lupa, besok jemput gue tepat jam dua siang" Ucap Sheila dengan menekankan kata 'tepat'.

Gerald mengangguk, "Oke, adik kecil"

***

Gerald sudah berada di depan rumah Anya sejak setengah jam lalu. Ia tidak tahu kenapa ia terlalu bersemangat menjemput Anya hari ini. Hanya saja, ia ingin bersama gadis itu setiap harinya.

"Hal, Gerald." Sapa Anya begitu ia keluar dari pagar rumah. Gerald menegakkan tubuhnya.

"Baju hitam, celana hitam, sandal hitam. Lo mau kemana sebenarnya?" Tanya Gerald, menunjuk pakaian yang di kenakan Anya.

Anya terkekeh, lalu naik ke motor Gerald. "Maaf karena gak ngasi tau lo kemarin. Gue minta tolong anterin gue ngunjungin ibu.. di pemakaman."

Gerald mematung. Tangan dan kakinya lemas sehingga ia harus mendongkrak motornya.

"Lo kenapa, Ge?. Gu-gue minta maaf"

Gerald mengusap wajahnya gusar. Sekelebat bayangan Gerald kecil kembali berputar di otaknya. Bagaimana kejadian itu terjadi dalam hitungan detik.

Andai.. andai saja ia tidak nekat mengambil benda itu.

Andai saja bibi tidak datang saat ia memegang benda itu.

Andai dan andai.

Anya turun dari motor, membuat Gerald tersadar dan berdehem. "Lo kenapa turun, Nya?"

"Lo sakit?. Pusing?. mending--"

"Enggak. Gue gak kenapa. Naik gih." Gerald menunjuk jok belakangnya dengan dagu. Sementara Anya terdiam sejenak sebelum mengangguk ragu. "O-oke"

Di sepanjang jalan, setelah membeli satu buket rangkaian bunga di pinggir jalan, Gerald dan Anya terdiam. Hanya suara deru motor Gerald yang memenuhi gendang telinga mereka, bersama suara klakson kendaraan yang saling bersahutan. Sampai akhirnya Gerald angkat bicara. "Ibu lo meninggal karena apa?" Tanya Gerald kaku lalu menelan ludahnya.

Anya mendekatkan tubuhnya, "Gue gak pernah tau apa alasannya. Keluarga Ibu seolah nyembunyiin semuanya. Yang gue tau, ibu gue meninggal karena kecelakaan. Itu kejadiannya udah lama. Sekitar tujuh tahun yang lalu, mungkin?"

Gerald mengangguk canggung, "Gue turut berduka cita."

"Em.. Makasi, Rald."

Begitu mereka sampai di tempat tujuan, Gerald memarkirkan motornya di luar sementara Anya memasuki pemakaman lebih dulu.

"Nya, jalannya pelan-pelan." Seru Gerald saat Anya hampir terjerembab karena tersandung batu. Anya tersenyum, lalu kembali melangkah menuju makam ibunya.

Anya berjongkok di salah satu sisi tempat di mana ibunya beristirahat untuk selamanya. "Hai, bu. Apa kabar?" Tanya Anya sambil tersenyum getir.

Gerald memilih berdiri di belakang punggung Anya. Ia takut tangisnya akan tumpah dan Anya melihat semuanya.

Gerald sering kemari. Bahkan terlampau sering ke makam pengasuhnya hanya untuk meminta maaf dan menangis. Gerald yakin bibinya sangat membenci Gerald, sehingga Gerald berfikir untuk menjauhi Anya agar Bibi tidak bertambah benci padanya.

'Tapi sekarang? apa yang gue lakukan?' Tanyanya dalam hati seraya tersenyum masam.

Ia menatap punggung Anya sendu, hingga Anya berbalik dan melihat Gerald lalu tersenyum. "Bu, kenalin, ini Gerald. Dia teman aku. Aku.. aku suka sama Gerald"

***

Continue Reading

You'll Also Like

639K 43K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
477K 18.4K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
3.5M 170K 63
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
724K 34.7K 40
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...