Senanda.

By yiyikim99

57.2K 4.8K 780

s i n o p s i s : Setelah mengalami kajadian traumatis yang merubah drastis kehidupannya, membuatnya mengangg... More

senanda || p r o l o g
senanda || enggak seburuk itu, kan?
senanda || komik haikyu!!
senanda || takut katanya
senanda || awalnya kepo
senanda || target incaran
senanda || tukang kacang
senanda || info mading
senanda || bocah tantrum
senanda || serba serbi
senanda || d-day
senanda || menginap
senanda || bekal yang sama
senanda || hobi yang terhubung
senanda || bettersweet cakery
senanda || pengalihan diri
senanda || jatuh sakit
senanda || status
senanda || the two of us
senanda || populer
senanda || vitamin pagi
senanda || namanya adalah
senanda || rumah sakit
senanda || menginap (lagi)
senanda || ai love you
senanda || bersama kesayangan
senanda || aiden's boyfie
senanda || move on
senanda || cowok green flag
senanda || mood swing
senanda || saran sesat adit
senanda || fase galau
senanda || edisi kangen pacar
senanda || sebuah pelukan
senanda || se's big baby
senanda || prioritas utama
senanda || pacaran dulu
senanda || love birds
senanda || sepotong kisah
senanda || orang ketiga
senanda || bukan jodoh
senanda || pesan misterius
senanda || no response

senanda || continue? or, stop!

845 90 17
By yiyikim99

What am I supposed to do without you?
(Gwen - Aislinn Davis)

———

Senanda meraih dan menyobek kemasan snack yang entah ke berapa sebagai camilan untuk teman nontonnya. Ia baru saja menemukan satu anime bagus. Tidak mau ketinggalan, Senanda langsung mengurung diri di dalam kamar semenjak pulang sekolah tadi.

"Kok, bisa aku baru tahu anime-nya sekarang. Bagus banget padahal, tapi sayang underrated."

Kalimat tersebut tergumamkan berkali-kali lewat mulut yang tidak berhenti mengunyah itu. Meski begitu, matanya sesekali melempar lirikan pada ponsel yang sengaja diletakkan di samping laptop. Jaga-jaga saja kalau semisal Aiden ada mengirim pesan atau menelepon.

Tapi, kenapa Kak Ai nggak ada chat aku, ya. Tumben. Begitulah pikir Senanda di sela kegiatan nontonnya. Alhasil ia jadi harus mengulang lagi ke durasi sebelumnya di mana ia melewatkan fokus.

"Kak Se."

Senanda tersentak kecil mendengar panggilan Kaivan. Terlebih melihat kepala adiknya menyebul dari sela pintu yang terbuka. "Eh, iya, Kai?"

"Aku bosan, nih. Jajan ke luar, yuk, Kak." Kaivan akhirnya memasuki kamar Senanda.

"Jajan apa?" Senanda tentu paling bersemangat kalau diajak membeli jajanan. Ia seketika teringat sesuatu. "Aku ada tempat makan sate baru yang enaaak banget, Kai."

Kaivan mengangguk. "Ya sudah, ayo."

"Aku ganti pakai sweater dulu." mengingat sudah memasuki malam hari, Senanda tentu tidak ingin mencari penyakit dengan hanya memakai pakaian tipis saat keluar rumah. Jadi setelah berganti pakaian, ia segera menyusul Kaivan di lantai bawah, terlihat sedang meminta uang kepada sang bunda.

"Hati-hati membawa motornya, Kai. Jangan pulang terlalu malam, ya," pesan bunda sembari mengusap kepala kedua anaknya.

Setelah mengantungi izin serta uang dari bunda, dua bersaudara ini lekas berangkat menuju tempat makan enak rekomendasi dari Senanda. Karena tempatnya tidak terlalu jauh, mereka hanya butuh kurang dari 20 menit untuk sampai.

"Ramai juga yang beli," celetuk Kaivan setelah mengamankan motor. Mereka berdua masuk ke tempat itu dengan Senanda yang bertugas memesankan, dan Kaivan mencari meja.

"Aku tahu tempat ini dari Kak Ai tahu, Kai. Pas waktu kamu masuk rumah sakit, kan, aku dititip ke Kak Ai. Jadi aku dibawa ke sini, deh," cerita Senanda. Mengingat Aiden, ia jadi terpikirkan lagi apakah cowok ini jadi menemui orangtuanya malam ini. Tapi kenapa tidak ada kabar sama sekali. Tidak jadi, kah? Apa mungkin kekasihnya itu butuh waktu sedikit lagi untuk mempersiapkan mental? Senanda, sih, tidak masalah.

"Dia tahu Kak Se suka jajan." Kaivan terkekeh. Tidak lama setelahnya, pesanan mereka pun datang, beserta teh hangat. Tidak perlu diragukan lagi sebenarnya. Selera Kaivan dengan Senanda itu persis sama. Jadi ketika Senanda bilang enak pada suatu makanan, maka itu sudah pasti enak dan sesuai di lidah Kaivan. Seperti kali ini. Ketika pertama mencobanya, dia langsung suka. "Beneran enak, Kak."

Senanda tersenyum senang. Ia memesan seperti halnya bagaimana Aiden memesankan, yaitu dengan mencampur dua kuah yang tersedia.

"Kak Se," panggil Kaivan tiba-tiba. "Kenapa mau sama Bang Aiden?"

Senanda terdiam sejenak. "Nggak tahu juga. Aku susah mau menjelaskannya bagaimana."

"Kalau sekiranya Ayah sama Bunda nggak setuju, dan meminta kalian putus—"

"Ya, jangaaan. Kai, mah, jangan begitu ngomongnya." Senanda menatap cemberut pada Kaivan dengan alis menukik kesal. Ia merasa semakin gelisah saja mendengar ucapan pengandaian adiknya itu.

Tidak mau kakaknya marah, Kaivan segera berucap. "Oke, oke. Maaf ya, Kak." namun, Kaivan tidak merasa menyesal sama sekali. Ekspresi Senanda sangat menghibur soalnya. Terlebih, dari situ dia menyadari seberapa besar suka Senanda pada Aiden hingga tidak ingin berpisah.

Senanda mendengus. Mood miliknya anjlok seketika. Sudahlah tidak ada kabar dari Aiden, ditambah dengan ucapan Kaivan, mau pulang saja rasanya dan mengurung diri di kamar sembari melanjutkan kegiatan menontonnya yang tertunda tadi.

Senanda kembali memakan satenya dengan membuat mulutnya penuh hingga pipinya menggembung, sementara Kaivan terlihat mendapatkan pesan, disusul sebuah panggilan telepon setelahnya.

"Kak, aku angkat sebentar, ya," ucap Kaivan sebelum beranjak keluar.

Alis Senanda terangkat sebelah, bingung. Kenapa pula Kaivan harus keluar sana hanya untuk mengangkat telepon. Sepenting itu, kah? Apa mungkin dari pacarnya, jangan-jangan? Senyum jahil Senanda muncul. Ah, Kaivan ternyata sudah besar. Jadi ketika Kaivan kembali, ia menusuk pipi adiknya sambil berkata, "Siapa, sih, yang menelepon? Pacar Kai, ya?"

"Bukan, kok," balas Kaivan dengan tenang, seolah memang begitulah adanya. "Aku udah mutusin buat nggak mau pacaran dulu sebelum tamat SMA. Aku nggak mau nilaiku terganggu untuk masuk universitas bagus."

Wah! Luar biasa sekali ambisinya.

"Aku nggak sabar, deh, mau satu sekolah sama Kai. Nanti pas aku kelas tiga, kamu kelas satu berarti, kan?" Senanda menyeruput tes hangatnya hingga sisa seperempat gelas.

Kaivan menoleh, lalu mengangguk. "Aku juga nggak sabar. Pokoknya kalau kita udah satu sekolah nanti, Kak Se harus sama aku terus pulang-perginya."

Senanda berpikir. "Kalau Kak Ai mau ajak aku pulang bareng?"

"Harus izin dulu sama aku." Kaivan tersenyum sombong. Sejak dulu dia memang selalu ingin sekali satu sekolah dengan Senanda, mengingat SD pun telah sama. Namun, sebelum hal itu terwujud, kejadian itu lebih dulu terjadi hingga Senanda tidak mau lagi pergi ke sekolah. Takut, katanya. "Pokoknya aku nggak akan membiarkan siapa pun menjahati Kak Se kedepannya. Aku bakal jagain Kakak sebisa aku."

Senanda tentunya merasa senang memiliki adik yang amat sayang padanya. Padahal seharusnya seorang kakaklah menjaga si adik, bukan sebaliknya. Tetapi, Senanda malah bahagia mendapatkan perlakuan seperti itu. Jadi, ditepuknya puncak kepala Kaivan dengan penuh sayang dan bangga. "Setelah ini kita langsung pulang, kan?"

Kaivan menggeleng. "Kita cari jajan lagi sampai Bunda telepon."

〰️

Ardinan menutup buku bacaannya, kemudian diletakkan di atas meja kerja, dekat cangkir kopi yang masih mengepulkan asap putih tipis. Ia beralih menyeruput pelan kopi buatan Anisa. Sejak tadi, fokusnya buyar terus. Pikirannya berkelana pada malam di mana Senanda mengungkapkan hubungan tidak biasa yang terjalin antara dirinya dengan seorang senior bernama Aiden Malik.

Ardinan tentu tidak asing lagi dengan nama itu. Ia mengenal anak muda itu. Mereka sudah saling bertukar obrolan juga saat pertama kali Aiden berkunjung ke rumah sesudah mengantarkan Senanda. Dari situ, ia punya first impression yang baik dan positif terhadap Aiden.

Aiden memiliki tutur kata dan perilaku yang sopan. Caranya berbicara mampu menyedot perhatian orang-orang untuk mendengarkan. Begitu atraktif. Mempunyai fisik yang menawan, hingga rasanya tidak akan ada satu pun perempuan yang akan menolak. Serta, berasal dari keluarga yang tidak biasa. Ardinan jelas tahu bentul jenis perusahaan apa yang dikelola dan dijalankan oleh orangtua Aiden. Perusahaan turun-temurun yang sampai sekarang masih sangat sejahtera.

Jadi, kenapa orang sehebat Aiden, dengan latar belakang keluarga yang hebat pula, memilih Senanda untuk dijadikan pasangan?

Ardinan tidak meremehkan anaknya. Senanda menarik dengan caranya sendiri. Hanya saja, tidak banyak orang yang memahami bagian menarik dari diri Senanda itu. Anak sulungnya ini bahkan tidak punya lebih dari dua teman, padahal anak lelaki normalnya punya banyak sekali teman. Tetapi, Senanda tidak. Anak satu ini begitu pemilih dan sangat hati-hati dalam berteman. Terlebih setelah kejadian yang menimpa di masa lalu yang meninggalkan trauma mendalam. Senanda semakin pendiam, tidak tertarik memulai obrolan dengan orang asing. Tidak pandai berbasa-basi.

Kebanyakan orang hanya akan terkesima dan kagum dengan otaknya. Pintar sekali. Sampai orangtua lainnya pun menginginkan anaknya sehebat Senanda dalam hal belajar. Itu poin plusnya. Poin minusnya, Senanda itu amat payah dalam bersosialisasi dengan sesama manusia, dan tipe yang suka overthinking.

Kesimpulannya, sebagian besar orang akan menganggap Senanda begitu membosankan.

Ardinan jadi bertanya-tanya sendiri bagian dari diri Senanda yang mana dilihat oleh Aiden, hingga membuatnya tertarik dan memilih seorang Senanda.

Tetapi, bagaimanapun itu, informasi yang dilontarkan langsung dari mulut Senanda masihlah mengejutkannya. Ardinan belum membuat keputusan apakah membiarkan anaknya melanjutkan hubungan, atau sebaliknya. Semua tergantung bagaimana jawaban Aiden. Kalau hanya terkesan main-main dan tidak melihat keseriusan dari sikap dan ucapannya, Ardinan akan langsung memisahkan kedua orang itu. Ia tipe yang tegas untuk kebahagiaan anaknya.

"Ini pertama kalinya Se punya keinginan," celetuk Anisa malam itu, saat Senanda sudah kembali ke kamar.

Ardinan dalam diam membenarkan. Senanda jarang menginginkan sesuatu. Biasanya hanya menurut saja, tanpa protes. Saat diberikan pilihan juga, Senanda selalu berkata, "menurut Ayah sama Bunda bagaimana?", seolah pendapatnya sendiri tidak penting dan takut membuat siapa pun kecewa. Hal itulah agaknya yang membuat Ardinan mempertimbangkan betul keinginan Senanda.

"Coba kita kasih mereka kesempatan, Mas. Kalau kedepannya Se kelihatan bahagia dengan hubungannya ... itu malah bagus, kan? Aiden juga kayaknya orang yang bertanggung jawab. Entah kenapa aku yakin Se diperlakukan dengan baik oleh Aiden." Anisa melanjutkan sembari mengusap bahu sang suami.

Semua orangtua di dunia ini menginginkan anaknya bahagia, bersama siapa pun itu.

"Tapi, seandainya kita menerima, bagaimana dengan keluarga Aiden?" tanya Ardinan malam itu. Satu dari banyak kekhawatiran yang muncul di benaknya. Anisa pun hanya dapat terdiam. "Hubungan seperti mereka itu nggak mudah, Nisa. Banyak tantangannya."

Anisa mengangguk. "Aku tahu. Aku yakin Senanda juga paham dengan konsekuensi yang mungkin terjadi sebelum memulai hubungan dengan Aiden."

"Jadi kamu mau memberi mereka kesempatan?"

"Iya, Mas. Aku mau lihat sendiri sejauh apa mereka bertahan," ucap Anisa dengan yakin.

Namun, satu yang Ardinan tahu, anak sulung mereka, Senanda Marva, tidaklah sekuat itu menghadapi badai. Pernah terjatuh sekali, bukan berarti menjadikan anak itu tahan banting yang akan mampu bangun saat jatuh untuk yang kedua kalinya. Tidak ada jaminan.

Begitulah percakapan mereka selesai malam itu. Ardinan mungkin akan bertanya banyak sekali hal kepada Aiden. Mengenai kekhawatirannya sebagai seorang ayah. Selebihnya tergantung Aiden. Apakah anak muda itu berhasil meyakinkan Ardinan dengan memberikan lampu hijau—izin, atau malah sebaliknya—berpisah.

Suara pintu ruang kerja yang dibuka perlahan sukses menyadarkan Ardinan dari lamunan. Anisa tidak masuk dan hanya berdiri bersandar pada kusen pintu. "Aiden datang, Mas."

Ardinan mengangguk, lalu beranjak keluar dari ruangannya bersama Anisa menuju ruang keluarga. "Se mana?"

"Pas banget. Belum lama tadi Se pergi ke luar buat jajan sama Kai. Nanti aku suruh pulang kalau kalian sudah selesai bicaranya." Anisa mengerlingkan mata.

〰️

Senanda mengelus perutnya. Ia baru turun dari motor saat kendaraan itu sudah sampai di garasi saja. "Aku kekenyangan," keluhnya. Kalau kenyang begini, kantuk pun secepat kilat akan datang menghampiri. Senanda sampai mengerjapkan matanya mengusir kantuk.

"Pasti perut Kak Se gembul," celetuk Kaivan iseng, berakhir dengan perutnya yang seketika itu juga mendapatkan satu pukulan penuh kasih sayang dari Senanda. Dia sontak mengaduh. "Aku aduin Bunda nanti," rintihnya sembari setengah membungkuk.

Senanda tidak menghiraukan dan malah memasuki rumah. Sebelum itu, tubuhnya terhenti sejenak untuk berbalik menatap halaman rumah karena merasa seperti baru saja melihat sesuatu yang sangat tidak asing. Matanya melebar. Benar saja. Ada motor Aiden di sana terparkir dengan indahnya.

Sejak kapan?

Lalu, bagai orang yang dikabari rumahnya mengalami perampokan, Senanda bergegas masuk. Pandangannya menelusuri setiap bagian ruangan di rumahnya, sebelum suara samar beberapa orang terdengar dari ruang keluarga. Langkah kaki Senanda membawanya ke sana, dan mendapati Ardinan, Anisa, serta Aiden yang tampak mengobrol.

"Kak Ai!" Senanda berseru, melangkah menghampiri Aiden. Meneliti cowok itu dari kepala sampai kaki. "Kakak baru datang?"

"Sudah sejak tadi, Kak. Kita juga sudah selesai mengobrol seriusnya." bunda bahkan memberi tanda kutip melalui jarinya di bagian mengobrol serius.

"Kok?" Senanda mengalihkan pandangan dari orangtuanya ke Aiden. "Kak?"

"Sudah malam, Se. Aiden-nya juga sudah mau pulang. Tolong antarkan sampai depan, ya." kali ini sang ayah, Ardinan, yang berbicara.

Bahu Senanda luruh. Ia menatap Aiden yang malah tersenyum menenangkan. Tanpa banyak kata, ia membawa kekasihnya berlalu setelah cowok itu berpamitan. "Orangtua aku bilang apa saja, Kak?"

"Bilang banyak hal, Se." sesampai di dekat motor, Aiden menghadapkan tubuhnya pada Senanda. "Sampai jumpa besok, Sayang." tidak lupa dengan elusan di pipi. "Maaf, ya, karena gue nggak mengabari kalau mau ke rumah."

Senanda menelan ludah. "Jadi ... bagaimana, Kak?"

"Apanya?"

"Kita."

Aiden tampak berpikir, lalu berkata dengan hati-hati. "Kalau gue kasih tahunya lewat chat, nggak apa-apa?"

Senanda merasakan matanya memanas, tetapi ia tetap mengangguk. Jauh dari dalam lubuk hatinya, ia tidak ingin mereka berpisah. Ia merasa tidak siap sama sekali untuk itu. Bahkan setelah motor Aiden telah menghilang dari pandangan, Senanda tetap berdiri di sana. Cukup lama. Hingga sebuah bunyi dentingan yang berasal dari ponsel menyadarkannya.

Senanda merogoh saku celana. Ada satu pesan datang dari Aiden, berisikan kalimat yang mampu membuatnya terpaku dengan tangisan yang perlahan menyeruak.

〰️

n o t e : tandai typo, ya. jangan lupa tinggalkan kesannya dan pencet bintang di pojok kiri bawah.

😼: YES or NO?! mau yes, tapi hawanya negatif, men-temen. pertanda ditolak camer nggak sih, ini? huhuhu ‘︿’
290224

Continue Reading

You'll Also Like

346K 36.8K 30
Aristo itu pemuda gila. Terus ngejar-ngejar kakak gue selama hampir genap tiga bulan. Dan tidak berfaedah. Kakak gue nggak akan pernah ngelirik dia...
6.3K 357 33
Radeva yang baru saja lulus memutuskan untuk berlibur dengan teman temannya ke negeri yang identik dengan warna merah dan ciri khas lambang naga namu...
142K 16 1
gak gue kasih deskripsi biar pada penasaran sama ceritanya Ini cerita hasil imajinasi saya okey... WARNING ❗❗ Ini cerita bl! jangan sampe salah lapak...
109K 12K 58
Bagaimana caraku meyakinkannya..?? Apakah tak apa jika aku egois...?? Bagaimana bisa aku mencintainya...?? Apakah cintaku jatuh di tempat yg salah..??