Senanda.

By yiyikim99

57.6K 4.8K 780

s i n o p s i s : Setelah mengalami kajadian traumatis yang merubah drastis kehidupannya, membuatnya mengangg... More

senanda || p r o l o g
senanda || enggak seburuk itu, kan?
senanda || komik haikyu!!
senanda || takut katanya
senanda || awalnya kepo
senanda || target incaran
senanda || tukang kacang
senanda || info mading
senanda || bocah tantrum
senanda || serba serbi
senanda || d-day
senanda || menginap
senanda || bekal yang sama
senanda || hobi yang terhubung
senanda || bettersweet cakery
senanda || pengalihan diri
senanda || jatuh sakit
senanda || status
senanda || the two of us
senanda || populer
senanda || vitamin pagi
senanda || namanya adalah
senanda || rumah sakit
senanda || menginap (lagi)
senanda || ai love you
senanda || bersama kesayangan
senanda || aiden's boyfie
senanda || move on
senanda || cowok green flag
senanda || mood swing
senanda || saran sesat adit
senanda || fase galau
senanda || edisi kangen pacar
senanda || sebuah pelukan
senanda || se's big baby
senanda || prioritas utama
senanda || continue? or, stop!
senanda || love birds
senanda || sepotong kisah
senanda || orang ketiga
senanda || bukan jodoh
senanda || pesan misterius
senanda || no response

senanda || pacaran dulu

818 78 4
By yiyikim99

Every time I look into your eyes
I see it
You're all I need
(Get You - Daniel Caesar ft. Kali Uchis)

———

Senanda menatap pantulan wajahnya di kaca kamar mandi sejenak, kemudian beralih pada kedua tangan yang masih bergetar samar. Rasanya masih tidak menyangka kalau ia telah melewati masa yang membuatnya sangat kepikiran beberapa waktu lalu. Ia kira, sampai kapan pun dirinya tidak akan siap, tetapi syukurlah Senanda memberanikan diri untuk melakukan itu.

Ditepuknya kedua pipi agak keras, hingga menimbulkan warna merah samar, lalu mengembuskan napas. "Sekarang waktunya tidur, Se." Senanda bergumam pelan, berusaha menenangkan diri sepenuhnya dari sisa kegugupan tadi.

Setelah mencuci muka dan sikat gigi, Senanda keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar. Langkahnya menuju kasur, mengambil ponsel yang tergeletak di dekat bantal. Dan seperti yang sudah diduga, ada pesan masuk dari Aiden, yang bertanya apakah Senanda sudah sampai rumah dengan selamat sentosa. Ia pun segera membalasnya tanpa memberitahu mengenai kejadian tadi. Rencananya baru akan ia beritahu saat bertemu cowok itu di sekolah. Tidak yakin juga apakah Aiden sudah bersekolah besok, mengingat tadi keadaannya masih belum membaik sepenuhnya.

Selesai berbalas pesan dengan Aiden, Senanda langsung keluar menuju kamar Kaivan yang berseberang dengan kamarnya, sementara ponsel tadi ditinggal begitu saja di nakas.

"Kai, sudah mau tidur?" tanya Senanda ketika memasuki kamar adiknya dan mendapati lampu utama sudah mati. Tinggal lampu di samping kasur yang hidup dengan pencahayaan remang. Mereka berdua itu memang paling tidak bisa tidur saat lampu menyala begitu terang.

"Belum, Kak. Aku nungguin karena katanya tadi Kak Se mau tidur di kamar aku." Kaivan menyahuti. Dia saat ini duduk bersandarkan kepala kasur sembari memainkan ponsel, mengecek grup kelas yang heboh oleh beberapa orang, membahas tentang tugas yang akan dikumpulkan besok. Kaivan, sih, sudah selesai mengerjakannya. Jadi santai-santai saja menikmati waktu luang.

Senanda mendekati kasur, menyibak selimut dan mengambil posisi tiduran di bagian sisi kiri kasur, sebab untuk sisi kanan sendiri sudah di tempati duluan oleh adiknya.

Kaivan menoleh. "Bagaimana tadi, Kak?" tanyanya.

"Kak Ai disuruh datang ke rumah dan bicara langsung sama Ayah Bunda," jawab Senanda dengan gumaman. Kedua matanya sudah terpejam, hendak tidur. Meski jam baru menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Perasaannya saat ini tidak dapat dijelaskan. Inginnya saat terbangun di pagi hari nanti, suasana hati sudah kembali normal seperti biasa.

Kaivan bergumam mengerti. "Ngomong-ngomong, Bang Aiden sakit apa, Kak?"

"Demam, sama flu juga tapi nggak begitu parah. Besok kayaknya sudah baik-baik aja."

"Kok, bisa sakitnya sama kayak Kak Se? Ketularan Kakak jangan-jangan," ucap Kaivan sembari mengikuti Senanda untuk merebahkan diri. Di luar sana terdengar gemuruh beberapa kali, namun hujan belum juga turun.

"Ya ... ya, bisa saja, kan? Lagian musim nggak menentu begini, siapa saja bisa sakit." Senanda berkilah. Tidak ingin Kaivan tahu kalau Aiden memang ketularan olehnya.

Kaivan mengangguk sekilas. "Mungkin juga."

"Ayo sekarang kita mendingan tidur aja, Kai, biar besok fresh pas bangun."

"Iya, Kak." Kaivan kemudian menggeser bantalnya berdekatan dengan Senanda, begitupun dengan tubuh keduanya yang sudah berdempetan. "Biar nggak dingin, Kak. Kayaknya mau hujan juga," dia beralasan. Kaivan lalu memutar tubuh menghadap Senanda dan memeluk lengan saudara terkasihnya itu. Kebiasaannya saat mau tidur, yaitu harus memeluk sesuatu. Dulu ada bantal guling, tetapi entah alasan apa yang tidak seorang pun tahu, Kaivan memilih untuk tidak lagi memakai benda itu dan berganti dengan memeluki lengan Senanda tiap kali memilih tidur di kamarnya.

Senanda mendengus. Alasan, batinnya. Ia tahu betul kalau itu hanyalah alasan. Apakah Senanda memang se-peluk-able itu?

Tidak mau dipusingkan lagi dengan tingkah Kaivan, Senanda memilih untuk tidur agar esok hari cepat datang.

〰️

"Selamat kepada Senanda Marva. Nilai ulangan harian kamu menjadi satu-satunya yang sempurna di kelas ini." Bu Ema, guru Matematika di kelas Senanda menyerahkan lembar yang sudah dinilai. Tepuk tangan segera terdengar riuh, bersamaan dengan kalimat kagum yang menggema memenuhi seisi kelas.

"Terimak kasih, Bu." Senanda tersenyum simpul, mengangguk sopan sebelum menerima lembar hasil ulangan. Setelahnya, ia kembali menuju tempat duduk, bergantian dengan nama murid lainnya yang dipanggil untuk penyerahan hasil.

Begitu semua murid sudah mendapatkan hasil ulangan masing-masing, Bu Ema keluar dari kelas, menyilakan siswa untuk mengisi tenaga karena sudah memasuki waktu istirahat. Beberapa ada yang berbondong-bondong menuju kantin, beberapa ada yang makan bekal di kelas juga, dan beberapa lainnya mengerubungi meja Senanda untuk melihat lembar hasil miliknya.

"Sumpah! Lo pintar banget, Nan."

"Jawabannya mulus banget, coy. Nggak ada salah, nggak ada coretan."

"Kalau nggak salah ingat, waktu itu memang Senanda yang duluan mengumpulkan dan keluar kelas, kan?"

Bahu Senanda kemudian ditepuk akrab oleh seseorang. Tama adalah pelakunya. "Seperti yang diharapkan dari murid kesayangan, Nan. Perfect."

Senanda jadi malu juga kalau dipuji berlebihan begini. Padahal menurutnya yang lain pun juga nilainya tidak kalah bagus. Hanya satu atau dua orang mendapatkan nilai 88, yang merupakan nilai terendah di kelas ini. Selebihnya mencapai 90-an.

"Belajar barenglah kita kapan-kapan, Nan. Kayaknya bakal seru," ucap seseorang, yang Senanda kurang ingat betul namanya.

"Berisik, deh, kalian. Senanda itu maunya cuma belajar bareng gue," ujar Tama dengan pongah. Menyombongkan diri kalau tempo hari pernah diajari Senanda.

"Khilaf kali Senanda waktu itu, makanya mau ngajarin lo, Tam." yang lainnya membalas dengan sengit.

"Yakali." Tama berdecak, lalu mendorong teman-teman sekelasnya itu untuk menjauhi meja Senanda, karena sadar kalau Senanda tampak mulai tidak nyaman dan terganggu. "Mendingan kita kantin, deh. Nggak lihat apa kalau Senanda itu mau makan."

Senanda hanya tersenyum canggung. Tadi ia memang sudah mau membuka bekal saat teman sekelasnya itu datang mengerumuni. Rasanya seperti pelaku kriminal yang digrebek. Apalagi ia tidak mengenal satu pun nama dari mereka, kecuali Tama. Ia tidak menaruh minat pada hal itu sebelumnya.

Akhirnya mereka pergi, Senanda membatin sembari menghela napas keras. Dimasukkan lembar hasil tadi ke dalam tas dengan hati-hati, lalu mulai membuka kotak bekal.

"Oy, Nan."

Senanda menoleh, mendapati Adit muncul memasuki kelas. Senanda segera mengambil satu bekal lagi dari dalam laci dan meletakkannya di atas meja. Tadi pagi ia sudah mengatakan pada Adit kalau bunda melebihkan bekal untuk temannya itu juga.

"Thank youuu, Bunda Anisa." Adit berseru senang saat membuka bekalnya. Ada nasi beserta lauk kesukaannya, yaitu ayam kecap dengan tahu yang dipotong dadu.

Mendengar itu tentu saja membuat hati Senanda bahagia. Mengetahui temannya itu menyukai masakan bunda selalu terasa menyenangkan. Ia berdeham. "Bimo mana, Dit? Rasanya sudah lama aku nggak lihat dia."

"Sibuk. Tadi juga diajak pergi sama anak klub fotografi. Kayaknya ada projek atau apalah itu," jawab Adit setelah menelan makanannya.

Senanda mengangguk paham. Ia tidak bertanya lagi, dan fokus makan.

"Bagaimana kabar doi lo? Pas lo izin kemarin, gue nggak lihat dia sama sekali di kantin. Cuma ada teman-temannya doang."

"Sakit, Dit. Sekarang juga masih izin."

Tadi Senanda dihubungi oleh Aiden, bahwasanya cowok itu mengambil izin sehari lagi untuk pemulihan. Senanda juga diminta untuk datang ke apartemen. Kangen, katanya. Ingin dibuatkan makanan oleh Senanda lagi. Ia mengira, itu juga kesempatan bagus untuk membicarakannya dengan Aiden, perihal permintaan orangtuanya.

"Hari ini kami ada latihan basket. Mungkin bakal sama pelatih aja. Lo nanti mau gue antar pulang duluan apa nunggu?" tanya Adit.

"Aku pulang duluan aja, Dit. Nggak perlu diantar, soalnya nanti aku mau ke tempat Kak Ai dulu sebelum pulang." Senanda menyahuti, lalu lanjut menyendokkan makanan hingga mulutnya penuh.

"Cieee. Pacaran dulu, ya, lo? Gue bilangin Bunda." Adit memutar jari telunjuknya di depan wajah Senanda dengan ekspresi menggoda.

Senanda menepisnya dengan kesal. "Bilang aja sana! Mereka udah tahu juga."

"Oke, kalau git—" seperti baru terkoneksi, Adit melotot pada Senanda. "HAH?! Mereka itu ... orangtua lo? Gila lo, Nan?"

Senanda cemberut dikatai gila. Padahal cepat atau lambat, ia akan mengatakan dengan jujur juga. Senanda akan merasa bersalah kalau menyimpan rahasia lebih lama lagi dari keluarganya. "Aku nggak gila," katanya sembari mengalihkan pandangan. "Mereka berhak untuk tahu," lanjutnya dengan suara pelan.

Adit memajukan tubuh, memastikan tidak ada yang akan menguping. "Serius, Nan? Terus bagaimana tanggapan mereka?"

Senanda bingung sendiri menjelaskannya. "Entahlah. Mereka nggak kayak menentang, tapi juga nggak menerima." ia gelisah lagi. "Kak Ai bahkan disuruh Ayah ke rumah."

"Buat apa? Mau diinterogasi cowok lo?"

Senanda mengangkat bahu. Suasana sarapan pagi tadi cukup normal meski sang ayah, Ardinan, tidak begitu banyak mengajaknya berbicara saat perjalanan menuju sekolah. Hanya bertanya kapan Aiden akan ke rumah, yang dijawabnya kalau saat ini cowok itu sedang tidak sehat. Ditutup dengan usapan di kepala dari sang ayah saat Senanda hendak turun dari mobil.

Senanda menghela napas dengan ekspresi wajah lesu. Hari ini rasanya ia tidak begitu bersemangat menjalani kegiatan. Perasaan gelisah menghantui sepanjang hari. Ia kemudian menopang kepala, lalu menatap Adit dengan tatapan tidak bersemangat. "Ngomong-ngomong, kamu sendiri bagaimana dengan senior kita yang anak cheer  itu, Dit?"

〰️

Senanda turun dari jok motor begitu sudah sampai di depan gedung apartemen yang Aiden tempati. Ia pun menatap si pengantar dengan dahi berkerut. "Makasih, Adit. Padahal sudah dibilang aku bisa sendiri pakai ojek online ke sininya."

Adit melengos. Ditatapnya kemudian gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya itu. Menilik dari tingginya, mungkin ada hampir mencapai 20 lantai. "Bagus amat apartemen pacar lo. Karena anak holang kaya kali, ya," celetuknya. Dalam hati terkagum-kagum. Belum pernah dia memasuki gedung sebuah apartemen sebelumnya. Hanya sekadar lewat. Jadi norak sedikit seharusnya tidak apa-apa dong.

"Kamu latihannya di mulai jam berapa, Dit?" tanya Senanda.

Barulah Adit akhirnya benar-benar menatap Senanda. Sedari tadi salah fokus dengan bangunan kinclong di hadapannya yang memanjakan mata. Dia bergumam sebentar seraya melirik jam di pergelangan tangan. "Sebentar lagi, sih. Lo nanti mau pulang jam berapa? Kalau bersamaan dengan selesainya gue latihan, bareng aja."

Senanda mengangguk. "Nanti aku kabari jadi atau enggaknya."

"Sip. Gue cabut dulu. Have fuuuun." Adit mencolek dagu Senanda dengan jahilnya.

Senanda mencak-mencak. Baru mau mengomeli, Adit sudah menarik gas motornya duluan, menjauhi Senanda sambil tertawa. "Apanya yang have fun. Menjenguk orang sakit dikira mau party apa, ya. Nyebelin emang."

Lalu, ponsel di saku Senanda berdering. Aiden menelepon. "Iya, Kak Ai .... Aku sudah sampai, kok. Ini sudah di lift .... Iya, iya." begitu sambungan telepon terputus, barulah ia membawa langkah ke dalam gedung.

Ketika sudah sampai di lantai 15, lift pun terbuka. Ia segera keluar. Tidak jauh dari posisinya, Aiden ternyata sudah menunggu di depan pintu unit apartemennya. Bersadar sembari memainkan ponsel. Begitu lift berdenting dan membuka tadi, dapat dilihatnya cowok itu langsung mengangkat wajah dan tersenyum cerah melihat Senanda memunculkan diri.

"Sayang ...." Aiden merentangkan tangan, meminta Senanda untuk memeluknya.

"Kenapa Kak Ai malah menunggu di luar?" tanya Senanda bingung. Meski begitu, ia tetap membawa diri masuk ke dalam pelukan kekasihnya yang hangat.

Aiden memajukan bibirnya. "Habisnya lo lama banget. Gue lumutan nunggunya."

Senanda merenggangkan pelukan, lalu menengadah. "Ayo masuk. Kak Ai mau dibuatkan apa memangnya?"

Selagi bergumam memikirkan, Aiden tidak menolak diseret Senanda masuk ke dalam unit. "Lo bisanya masak apa aja?"

"Nggak banyak, sih. Masak mie, capcai, sama yang kemarin aja." Senanda melepaskan sepatunya dan mengikuti Aiden ke dapur.

"Ya sudah. Capcai aja, Se. Enak tuh, makannya pakai nasi hangat. Kebetulan nasinya baru mateng," ucap Aiden memutuskan sambil mengeluarkan sayur yang akan dimasak.

Senanda mendekati Aiden. Mengambil plastik berisi baso siap jadi. "Pakai baso juga, ya?"

"Oke, Sayang."

Setelahnya mereka membagi tugas. Senanda kebagian membersihkan bahan, dan Aiden memotongnya. Memasaknya pun Aiden kebagian tugas mengaduk, sementara Senanda memasukkan bumbu.

Senanda menyenggol lengan Aiden. "Cobain dikit, Kak. Cek rasa. Sudah pas apa belum."

Aiden pun mengambil sendok. Bukannya untuk dicoba sendiri, dia malah menyodorkannya ke hadapan Senanda. Ditiupnya dulu beberapa kali. Senanda seperti tidak diberi kesempatan menolak, jadi mau tidak mau, dimakannya brokoli dan baso yang diambil Aiden.

"Oke?" Aiden memiringkan kepala.

Senanda pun mengode dengan jarinya, membentuk sebuah simbol. "Oke." ia tertawa kecil. Merasa lucu dengan obrolan yang baru saja mereka lakukan.

Aiden memindahkan masakan tersebut ke dalam sebuah piring. Sementara satu piring kecil lainnya yang sudah duluan berada di meja makan berisi beberapa nuget yang digorengkan Aiden di awal tadi. Setelah mengambil nasi masing-masing, mereka pun duduk bersampingan.

"Kak Ai ..." Senanda memanggil ragu. Ia melirik Aiden yang sudah memulai suapan pertama.

"Kenapa, Se?"

Melihat Aiden yang makan dengan lahap, Senanda jadi mengurungkan niat. Nanti saja, pikirnya. Ia tidak ingin kalau Aiden tersedak tiba-tiba akibat terkejut.

"Kenapa, Sayang?" Aiden memberi Senanda atensi penuh kali ini.

Namun, Senanda hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala. "Nanti, deh."

Di sela kegiatan makan mereka, Senanda sempatkan diri mengecek suhu tubuh Aiden. Terasa normal. Mungkin cowok itu sudah baik-baik saja. Selesai makan pun, Aiden mencegah Senanda untuk mencuci piring. Senanda disuruh untuk duduk santai saja di sofa dan menonton TV.

"Tadi kayaknya ada yang mau diomongin, ya?" tanya Aiden begitu sudah duduk nyaman di samping Senanda, sambil memeluk manja cowok berstatus sebagai pacarnya itu.

Senanda mengangguk singkat. "Aku sudah bilang ke orangtuaku, Kak. Dan—"

"Eh?"

"—Ayah meminta Kakak untuk ke rumah secepatnya."

"Apa?!" Aiden terkejut. Pasalnya cowoknya ini tidak mengatakan apa-apa sebelumnya. Bilangnya hanya "belum siap", "kasih waktu dulu, ya", dan sebagainya. Tapi, siapa sangka.

Senanda mendekatkan diri pada Aiden, lalu melingkarkan kedua tangannya pada pinggang kekasih. "Malam tadi aku bilang sama mereka. Kakak keberatan nggak kalau mengobrol sebentar sama orangtua aku?" ia pun memiringkan wajah dan mengecupi perlahan rahang Aiden.

"Aku—eh, maksudnya gue ..." Aiden berdeham. Matanya mengerjap, berusaha mengembalikan fokus. "Gue siap kapan saja, Se. Nanti malam juga oke. Lebih cepat, lebih baik." dia mengangguk.

Senanda terkekeh. Iman Aiden memang selemah itu. Mudah goyah dengan sedikit godaan. "Besok malam aja, Kak."

"Oh, iya, oke. Besok malam aja." Aiden mengangguk menyetujui. Setelahnya, Aiden melepaskan pelukan Senanda dan mencengkram bahu itu. "Orangtua lo ramah, jadi gue kayaknya nggak bakalan kena semprot, kan? Cuma mengobrol biasa, kan? Apa gue perlu bawa sesuatu? Kesukaan orangtua lo sama Kaivan apa, sih? Apa gue harus pakai pakaian formal kayak—"

"Kak." Senanda memotong perkataan Aiden. Diarahkannya wajah cowok yang sedang dilanda kepanikan itu agar menatapnya. Kemudian diusapnya pelipis Aiden. "Nggak perlu bawa apa-apa, Kak. Cukup datang aja. Terus pakai pakaian normal dan ternyaman yang biasa Kak Ai pakai."

Aiden menatap Senanda lama. Melakukan kontak mata hingga beberapa detik terlewati begitu saja dalam hening yang anehnya terasa menyenangkan di tengah kepanikan melanda. Sesaat setelahnya, barulah dia tersenyum sembari mengangguk pelan. "Oke, Sayang."

Senanda balas mengangguk senang. Diraihnya kedua sisi wajah Aiden, meninggalkan kecupan di pipi kanan dan kiri bergantian, serta berhenti agak lama di bibir, saling menempel saja satu sama lain sebelum mengecupnya beberapa kali.  Senanda kemudian menjauhkan wajah, lalu tersenyum dengan manisnya. Senyuman langka yang mampu meluluhkan Aiden dan menjatuhkannya sejatuh-jatuhnya.

〰️

n o t e : tandai typo, ya. jangan lupa tinggalkan kesannya dan pencet bintang di pojok kiri bawah.

😼: pacaran lagiiiii, pacaran muluuuu, pacaran teruuuus. 🙈🙈
270224

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
128K 12.6K 20
"iih muka lo jelek banget, niat gak sih hidup?!" "biarin! Emang gue jelek ngerugiin lo? Gak kan?! Dasar alay!" balasku dan langsung berlalu pergi men...
897K 132K 50
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
7.2K 390 33
Radeva yang baru saja lulus memutuskan untuk berlibur dengan teman temannya ke negeri yang identik dengan warna merah dan ciri khas lambang naga namu...