Senanda.

By yiyikim99

57.6K 4.8K 780

s i n o p s i s : Setelah mengalami kajadian traumatis yang merubah drastis kehidupannya, membuatnya mengangg... More

senanda || p r o l o g
senanda || enggak seburuk itu, kan?
senanda || komik haikyu!!
senanda || takut katanya
senanda || awalnya kepo
senanda || target incaran
senanda || tukang kacang
senanda || info mading
senanda || bocah tantrum
senanda || serba serbi
senanda || d-day
senanda || menginap
senanda || bekal yang sama
senanda || hobi yang terhubung
senanda || bettersweet cakery
senanda || pengalihan diri
senanda || jatuh sakit
senanda || status
senanda || the two of us
senanda || populer
senanda || vitamin pagi
senanda || namanya adalah
senanda || rumah sakit
senanda || menginap (lagi)
senanda || ai love you
senanda || bersama kesayangan
senanda || aiden's boyfie
senanda || move on
senanda || cowok green flag
senanda || mood swing
senanda || saran sesat adit
senanda || fase galau
senanda || edisi kangen pacar
senanda || sebuah pelukan
senanda || prioritas utama
senanda || pacaran dulu
senanda || continue? or, stop!
senanda || love birds
senanda || sepotong kisah
senanda || orang ketiga
senanda || bukan jodoh
senanda || pesan misterius
senanda || no response

senanda || se's big baby

1K 85 13
By yiyikim99

You know, when I'm with you
I'm so much happier
(Silver Tongues - Louis Tomlinson)

———

Senanda merasakan kepalanya diusap oleh seseorang. Rasanya nyaman sekali, tetapi tidak mampu membuat dirinya kembali terlelap. Itu karena hari sudah mulai siang. Sebab, ketika ia perlahan membuka mata, seketika itu juga ia mengeluhkan cahaya terang benderang yang terasa menusuk retina. Senanda langsung menyipitkan mata.

Seseorang yang tadi mengusap kepalanya menyodorkan segelas air yang berada di nakas. Senanda menerima dengan senang hati. "Makasih, Bun," ucapnya, lalu mengernyit. Rasanya selalu aneh dan asing saat ia berbicara, namun tidak ada suara yang tertangkap oleh indera pendengarannya. Membuatnya sedikit merasa takut. Anisa seperti paham akan hal tersebut karena setelahnya dia sendiri yang memasangkan alat bantu dengar itu pada kedua telinga Senanda.

"Ayo turun. Kamu belum sarapan, Kak," kata Anisa sembari beranjak dari tepi kasur.

Senanda mengusap wajah. Masih mengantuk. "Sekarang jam berapa, Bun?"

"Jam sepuluh kayaknya. Bunda tunggu di bawah, ya. Jangan lama-lama di kamar mandinya. Jangan sambil melamun juga sikat giginya."

Senanda cemberut. "Aku nggak begitu."

Anisa hanya tertawa, tanpa berkata apa-apa lagi, dia pun keluar dari kamar. Senanda melakukan peregangan ringan pada tubuhnya selama beberapa saat. Ia kemudian menatap sekitar kamar dan mengerjap. Rasanya seperti ada yang kurang, tapi apa?

Ah, itu! Senanda mengangguk mengerti. Ini jelas bukan hari weekend yang ditunggu-tunggu, namun Senanda masih berada di rumah dan baru terbangun di jam sepuluh pagi. Ia jelas lupa bahwa hari ini dirinya sengaja izin untuk tidak sekolah karena sakit. Mungkin Anisa sudah menelepon wali kelasnya untuk itu.

Senanda melangkah ke kamar mandi melakukan bebersih singkat. Perutnya sedikit keroncongan, omong-omong. Senanda itu tipe orang yang terbiasa sarapan. Jadi kalau pagi, perutnya sudah memberi kode, menyuruhnya makan.

"Bunda masak apa untuk sarapan?" tanya Senanda saat melewati ruang santai di mana sang bunda, Anisa, sedang menonton.

"Lihat saja sendiri, Kak. Padahal kamu juga akan ke dapur juga." Anisa mengomel.

Setelah mengambil makanannya, Senanda duduk di sebelah Anisa. Bosan juga kalau berada sendiri di dapur. "Wali kelas aku sudah Bunda telepon?" tanya Senanda.

"Sudah, kok." Anisa menyahuti. Kemudian diperiksanya dahi Senanda. "Panasnya sudah enggak, flu gimana? Masih?"

Senanda menggeleng. "Sudah jauh lebih baik, Bun." memang sih, terbukti dengan rona wajah itu yang terlihat sudah tidak pucat kemarin lagi.

"Bagus, deh." Anisa mendesah lega sekali. Senanda memang mudah jatuh sakit. Untuk hal kecil seperti terkena gerimis saja, bisa membuatnya tumbang. Apalagi akhir-akhir ini sepertinya ada yang mengganggu pikiran anak sulungnya tersebut.

"Se, apa ada masalah atau sesuatu yang sedang dipikirkan? Kamu bisa cerita sama Bunda."

Senanda bungkam. Ia memilih untuk memenuhi mulutnya dengan makanan agar bisa berpikir sejenak.

"Bunda akan mendengarkan kalau kamu memang mau bercerita. Bunda nggak maksa, kok, harus cerita sekarang. Senyaman Se saja, ya." Anisa mengusap bahu Senanda dengan sayang, lalu kembali menatap layar TV di depan sana.

Senanda lanjut makan meski otaknya sibuk berpikir harus bagaimana bagusnya. Ia menghela napas gusar sembari menatap Anisa dari samping. "Aku lihat Gio lagi, Bun," gumamnya.

Anisa menoleh cepat. Tangannya memegangi bahu Senanda, meneliti keadaan anaknya dari atas sampai bawah. Kentara sekali khawatirnya. "Kamu nggak apa-apa, kan?"

"Aku baik-baik aja, kok, Bun." Senanda menelan ludah, sebelum melanjutkan, "Itu sudah lumayan lama. Saat pertandingan basket Adit waktu itu."

Anisa mengembuskan napas lega, namun tidak berlangsung lama karena setelahnya dia kembali siaga. "Dia masih ada di kota ini?"

"Bukan. Kayaknya dia dari sekolah di kota lain."

"Kalau kamu lihat dia lagi, langsung cepat-cepat pergi aja. Oke?" Anisa berucap cemas.

Senanda mengangguk pelan. Baru ia ceritakan itu saja Anisa sudah sangat khawatir. Apalagi jika menceritakan soal DM itu juga. Bisa-bisa ponselnya yang disita.

Berbicara mengenai ponsel, dari semalam ia sudah tidak memegang benda itu. Bukan, lebih tepatnya dari ia pulang sekolah. Mungkin benda itu masih di dalam tas saat ini dalam kondisi silent mode. Berharap Aiden tidak mengirimkan pesan apa pun, karena cowok itu pasti akan mengirimkan lebih banyak lagi dan bisa sampai meneleponnya puluhan kali jika Senanda tidak membalas dalam waktu dekat. Jangan sampai cowok itu dengan tiba-tiba datang ke rumahnya.

Ah, tapi tidak mungkin. Sekarang kan, masih jam sekolah.

Begitu pikirnya.

Tetapi bukannya berada di sekolah dan belajar seperti murid rajin lainnya, Aiden ternyata masih berada di apartemen. Cowok itu izin sekolah juga sama seperti dirinya. Dengan alasan yang sama pula.

Senanda mengetahuinya melalui pesan beruntun yang Aiden kirimkan. Terakhir, cowok itu hanya mengirimkan sebuah foto berisikan dirinya sendiri yang terbaring di atas kasur dengan tangan menutupi sebelah mata hingga dahi. Tatapan itu memelas sekali. Hidungnya juga tampak memerah samar.

... dan juga sebaris kalimat di bawah foto tersebut yang berbunyi; Se, kayaknya gue tertular elo, deh. Tidak lupa dengan satu emotikon sedih.

Astaga!

〰️

Pandu berdecih sesaat setelah memeriksa dahi Aiden. Tubuhnya dihempaskan pada sofa. "Gue kira lo sakit yang hampir sekarat begitu loh, Den. Tapi ternyata cuma demam ringan begini aja? Sia-sia rasa khawatir gue ini, mah." dia mencak-mencak.

"Si goblok!" hardik Inggrid setelahnya sambil memukul pundak Pandu dengan beringas. "Jangan terbiasa doa yang jelek buat temen sendiri, deh, Ndu. Harusnya bersyukur karena cuma demam. Kalau dia sakitnya hampir sekarat kayak sakit kanker stadium akhir, nangis darah lo."

Mungkin saat pembagian akhlak, Pandu mangkir. Maklumi saja.

Restu hanya tertawa. Dia malas ikut campur kebisingan tidak berfaedah itu. Tontonan di TV depannya lebih menarik, lebih menghibur.

"Ya, maaf." Pandu mencicit. Ciut juga. Hanya Inggrid yang mampu meladeni dan mengalahkan mulut besar Pandu.

Aiden sendiri melengos malas. Tampangnya seolah menyatakan kalau ia m-u-a-k sekali. "Pulang dah, kalian semua. Makin sakit gue yang ada kalau kalian datang ke sini."

"Apaan, dah, ngusir." Pandu beranjak, dan menghilang di balik dapur. Tidak tahu diri sekali memang.

Aiden menghela napas lagi. Padahal saat ini ia sedang menunggu kedatangan Senanda, tetapi malah tiga curut yang sayangnya adalah sohibnya sendiri yang malah memunculkan diri. Senanda hanya mengatakan akan ke apartemennya nanti. Nanti, yang entah jam berapa. Aiden seperti orang bodoh yang menunggu tanpa pasti.

Pandu kemudian kembali dari dapur dan berkata sembari menyedot sesuatu. "Gue ambil satu, ya, Den, susuk kotak yang ada di kulkas."

Lirikan sinis langsung saja Aiden layangkan pada Pandu. "Udah dibilang jangan ambil yang itu, Bego! Masih ada minuman soda lainnya, kenapa malah ambil yang itu, sih." ia berdecak.

"Nggak pake bego berapa, Bang?"

"Satu juta!" ketus Aiden. Ikutan bodohnya Pandu karena malah meladeni. "Kalian kapan pulang, deh. Gue mau istirahat ini. Pusing gue."

"Lo kok bisa-bisanya sakit?" tanya Restu, yang kemudian mendapatkan tatapan dari Aiden yang seakan berkata; waras lo?

"Ya, karena gue manusia, anjir."

Ya, bener, sih. "Jutek amat lo." Restu tertawa. Lama-lama mirip juga dengan pasien rumah sakit jiwa yang keseringan tertawa. "Ngusir mulu dari tadi. Ada orang yang lo tunggu, ya? Senanda?"

Aiden membuang wajah, tidak mau mengakui kalau tebakan temannya itu seratus persen benar. "Apaan, dah." kemudian ia menyibukkan diri dengan ponsel. Mengecek apakah ada pesan terbaru dari kekasihnya. Nihil. Ke mana Senanda ini. Tidak tahu apa kalau Aiden sedang sakit dan membutuhkan kasih sayang? Duh.

Inggrid melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan sejenak. Ternyata sudah jam 4 sore. Dia harus segera pulang dan membantu tantenya menyiapkan bahan untuk memasak makan malam nanti. Dia pun berdiri dari sofa sambil menjinjing tasnya. "Yuk, deh, pulang. Biarin Aiden istirahat. Kalau kalian di sini terus, bisa-bisa sampai malam belum bakal pulang juga," ajaknya.

Untungnya Pandu dan Restu menurut saja. Dalam hati membenarkan perkataan Inggrid. Maka dari itu Aiden ikut beranjak, berniat mengantarkan ketiga temannya sampai ke depan pintu unit apartemennya. Kalau perlu sampai lift yang mereka naiki untuk turun ke lantai bawah. Biasanya, mah, kalau pulang, ya, pulang saja. Tetapi, berhubung ia sedang senang karena ketiga temannya ini mau pulang, maka ia yang berjalan duluan, berniat membukakan pintu unitnya untuk mereka. Selamat jalan—eh!

Saat membuka pintu, Aiden malah mendapati kekasihnya, Senanda Marva, yang berdiri dengan tangan menggantung seperti hendak memasukkan kode pintu. Tatapannya dan Senanda bertemu. "Se?" Aiden meringsek maju untuk memeluk tubuh itu. "Gue tunggu dari tadi padahal," rengeknya, mengabaikan tiga pasang mata yang menatap muak. Dunia serasa milik berdua.

"Oh? Hai, Se."

Aiden menolehkan kepalanya cepat pada Inggrid. "Jangan panggil Se, Ing. Panggil Nanda aja," koreksinya.

Inggrid mendengus samar. Posesif sekali manusia bucin satu ini. "Orang sakit rewel amat. Perbanyak sabar, ya, Nanda."

Senanda hanya tersenyum canggung. Pasalnya dia tidak terlalu mengenal akrab teman-teman Aiden. Hanya beberapa kali pernah makan bersama di meja kantin sekolah. Itu pun karena mengikuti Adit.

"Dokter pribadi gue udah datang. Kalian pulang sana. Ganggu aja. Mana nggak ada bawa apa-apa lagi," gerutu Aiden, masih enggan untuk melepaskan Senanda meski sebentar. Padahal kan, dirinya sedang ingin makan buah. Tanpa menghiraukan ketiga temannya, ia segera membawa Senanda masuk ke dalam unit apartemen setelah mengambil alih bawaan cowok itu untuk meringankan.

"Teman-teman Kakak tadi sudah mau pulang?" tanya Senanda sembari membuka barang bawaannya di atas meja makan dan memindahkan ke dalam sebuah mangkuk. Itu adalah Sop ayam. Ada juga buah yang sudah dipotong dadu. Aiden menatap berbinar dengan apa yang dibawa kekasihnya.

Senanda memang sengaja membawakannya untuk Aiden karena kebetulan bunda masak banyak. Saat dia minta izin pergi menemui Aiden dan mengatakan kalau cowok ini sedang sakit, bunda malah menyiapkan makanan untuk dibawa Senanda pergi. Beruntung, sakit Senanda hampir sepenuhnya sembuh. Tidak lagi bersin atau panas di badan.

"Wah! Ada sop ayam dan buah juga. Makasih, Sayang." Aiden mencium pipi Senanda beberapa kali.

Senanda tersenyum kecil. "Kak Ai sudah makan?"

Setelah menjawab dengan anggukan, Aiden berkata, "Makan pagi aja tapi, Se."

Ada untungnya juga Senanda membawa makanan kalau begitu. Ditariknya satu kursi meja makan oleh Senanda, lalu mendudukkan Aiden di sana. Mangkuk yang sudah berisi sop ayam digeser hingga ke depan cowok itu. "Makan, Kak. Setelah itu minum obat."

Aiden sedang menjadi bayi besarnya Senanda ceritanya. Ia merasa senang sekali karena diperhatikan oleh sang kekasih. Terlintas di pikirannya untuk sakit lebih sering saja kalau dengan begitu ia bisa mendapatkan perhatian Senanda lebih banyak. Agaknya pikiran Aiden ikut sakit sehingga bisa berpikiran melantur begitu. Tangannya yang memegang sendok berisi kuah sop kemudian didaratkan pada mulut. Masih lumayan panas. Sepertinya baru matang sebelum dibawa Senanda tadi.

"Mau pakai nasi, Kak Ai?" Senanda meletakkan satu gelas di hadapan Aiden yang sibuk dengan makanannya. Senanda memang tidak begitu ahli mengurusi orang sakit. Dia hanya berusaha semampunya menyediakan apa pun kebutuhan yang Aiden perlukan.

"Boleh, Se. Tolong, ya, Sayang." Aiden memamerkan senyum manisnya hingga mata itu menyipit. Tetapi kemudian senyumnya surut digantikan wajah terkejut begitu merasakan rambutnya diusap Senanda. Wajah Aiden terasa hangat seketika. Ia dengan cepat mengalihkan wajah pada mangkuk berisi sop. Senanda itu tipe yang jarang menyentuh duluan. Seringnya ia yang meminta. Dan saat cowoknya ini melakukan sesuatu hal yang ia senangi tanpa disuruh, rasanya mendebarkan setengah mati sampai Aiden malu sendiri.

Senanda mungkin tidak menyadari perubahan raut wajah dan tingkah Aiden, karena setelah melakukan tindakan mengejutkan itu, Senanda malah sibuk mengambilkan Aiden nasi untuk kemudian diletakkan di sebuah piring ukuran sedang. "Makan yang banyak, Kak Ai. Cepat sembuh juga. Sebenarnya itu salah Kakak juga, sih, soalnya kemarin aku sudah kasih tahu kalau aku sedang sakit, tapi Kak Ai nggak mau dengar dan malah ci—"

Mulut Senanda dibungkam Aiden dengan telapak tangan, sementara wajahnya semakin terasa terbakar mendengar ucapan cowok itu yang membahas kejadian kemarin. "Udah, Se. Jangan dilanjutkan," ucapnya cepat. Malu sekali soalnya.

Sembari mengerutkan kening, tangan Senanda beralih memegang dahi Aiden memeriksa kondisi cowok itu. Tidak begitu panas, kok. Tapi kenapa wajah Aiden memerah seperti itu dalam waktu singkat, ya? Senanda jadi kebingungan sendiri. "Wajah Kakak merah banget. Makin parah, kah, demamnya?" tanya Senanda dengan cemas. Namun bukannya mendapatkan jawaban, Aiden malah memeluk erat pinggang Senanda, menyembunyikan wajahnya di sana.

Dahi Aiden ditempelkan pada perut Senanda yang terlapisi sweater rajut, menggeseknya beberapa kali. Cowoknya ini wangi sekali, seperti sehabis mandi. Wangi lembut yang membuat nyaman, membuatnya merasa sedikit tenang. Detak jantungnya yang tadi berdebar kuat, kini perlahan kembali normal, meski tidak sepenuhnya.

Perlahan, dengan suara seraknya, Aiden berkata, "Se ... lo diem dulu, ya. Jangan ngomong lagi. Kepala gue makin pusing."

Aduh ... Bayi besarnya Senanda manja sekali.

〰️

n o t e : tandai typo, ya. jangan lupa tinggalkan kesannya dan pencet bintang di pojok kiri bawah.

😼: gelo emang Aiden. Orang mah maunya sehat sentosa, eh, doi malah kepengen sakit biar diperhatiin ayangie. ◐.̃◐
230224

Continue Reading

You'll Also Like

279K 37.6K 23
[REVISI] "yakk...kau sangat menyebalkan ya!" teriakkan seorang namja tinggi yang kesal terhadap pemuda manis yang tengah mengambil barangnya Rival |...
2.2K 98 14
Suka tapi gengsi! khawatir tapi gengsi! Cemburu tapi gengsi! ketika perasaan di bungkus sempurna oleh kegengsian, begitu lah jadinya INI LAPAK BL YA...
128K 12.6K 20
"iih muka lo jelek banget, niat gak sih hidup?!" "biarin! Emang gue jelek ngerugiin lo? Gak kan?! Dasar alay!" balasku dan langsung berlalu pergi men...
1.8M 132K 50
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...