cromulent | jaemren

By adshilalala

15.7K 2.4K 457

NCT Dream adalah salah satu grup idola paling ideal untuk digemari. Definisi rangkuman dari segala hal baik y... More

0
chapter 1 - sekumpulan eritrosit
chapter 2 - milky way dan andromeda
chapter 3 - iblis terkutuk
chapter 4 - primrose
chapter 5 - sekte abal-abal
chapter 6 - anime
chapter 7 - mesin waktu doraemon
chapter 8 - renjun
chapter 9 - lubang cacing
chapter 10 - neraka
chapter 11 - roh jahat
chapter 12 - peran utama
chapter 13 - hierarki
chapter 14 - predator dan mangsa
chapter 15 - timun mas dan raksasa
bukan update
chapter 16 - reinkarnasi
chapter 17 - puncak acara
chapter 18 - selebrasi
chapter 19 - guciku
chapter 20 - bangunan tiga lantai
chapter 21 - drama
chapter 23 - dunia baru
chapter 24 - normal
chapter 25 - perasaan konyol
chapter 26 - pengecualian
chapter 27 - koma dan titik
chapter 28 - nada ritual
chapter 29 - terlarang

chapter 22 - efek negatif

362 66 16
By adshilalala

Bibirku yang basah baru selesai diseka bertepatan datangnya Jeno yang membawa derap terburu. Dari wastafel, aku bergeser untuk melihat apa yang terjadi.

"Kamu masak apa?"

"Telur kukus dan sup, tapi rasanya tidak enak. Terlalu banyak garam juga," jawabku, lemas memikirkan menu sarapan yang gagal total. "Kalian makan roti dan selai saja, ya? Aku malas membuat ulang."

Entah telat untuk apa tapi tampaknya Jeno sudah sangat terdesak. Dia meraih sebatang sendok dan mencicip sup langsung dari panci, mengernyit.

Kan sudah bilang kalau–

"Rasanya baik-baik saja. Apa maksudmu mengatakannya tidak enak?"

Aku ikut-ikutan mengernyit, skeptis akan pernyataanya. "Benarkah?"

Jeno mendengus keki dan memutar bola mata, tapi tak membalas. Dia mengambil mangkuk dan mengisinya dengan hasil racikanku yang mendapat label "buruk" dari indra pengecap. Lantas mengeyamnya dengan lahap di meja makan. Hingga setengah isi piring Jeno habis, aku masih sangsi.

Satu persatu member mulai berdatangan– minus Jaemin yang sejak dua hari lalu sudah pindah ke hunian pribadi –dan karena perutku mengirim pertanda tidak mau menerima makanan itu, aku memutuskan naik ke lantai atas. Biar nanti saja aku membuat mi instan setelah semua selesai.

Niatku adalah membereskan kamar dan mengisi tempat yang kosong seperginya Jaemin, namun aku malah berbelok ke balkon sebab pintunya terbuka. Begitu hinggap di ambangnya, niatku berubah lagi jadi ingin sejenak menikmati suasana pagi yang cerah.

Aku berdiri di belakang jeruji pembatas dengan pikiran melayang-layang dan terantuk di ingatan soal Jaemin yang tetap tak bicara sampai akhir. Ia seperti sengaja menjebakku guna berjibaku dalam gundah. Kalau-kalau setelah ini aku bisa bebas darinya, atau tidak sama sekali. Aku resah, namun jelas dia yang angkat kaki dari dorm sangat membantu. Aku tak perlu terus memalingkan muka.

Aku benci melihatnya.

Namun tak serta merta beban pikiranku berkurang, karena justeru digantikan dengan yang baru.

Sempat terkecoh di awal namun akhirnya aku sadar pemandangan di seberang jalan sana bukan kebetulan belaka. Aku belum bisa memastikan tapi kemungkinan si detektif yang memantauku. Baik di agensi atau di manapun keberadaanku, mobil dan plat yang sama tak pernah mangkir. Pula aku tahu, lelaki usia tigapuluhan itu berangkat dengan izin dari pihak perusahaan. Tcih. Mereka benar-benar menjadikanku buronan yang tinggal menunggu waktu untuk digelandang.

Usai menutup rapat pintu balkon, aku balik turun ke lantai bawah. Dari meja makan mataku menembus ruang tengah tanpa sekat dan terpana dengan kecepatan mereka menyantap. Ditinggal sebentar, piring kotor menumpuk di bak cuci dan tahu-tahu saja Haechan bersama Chenle sedang menggulir layar ponsel, Jisung dengan seember es krim, Mark serta Jeno berkutat merakit lego– tidakkah mereka sudah terlalu dewasa untuk bermain itu?

Oke. Terserah. Karena yang sekarang melintas di kepalaku terlalu menarik perhatian.

Tentang ucapan Jisung soal Mark tempo hari yang seolah memang sudah seharusnya bersambung ke potongan memoriku di rumah si sasaeng. Lebih spesifik, pasal ucapannya di penghujung usia.

Orang, kamu dan kaki tangan.

Apa maksudnya?

Apa ternyata selama ini di sekitarku ada mata-mata si ilmuwan gila?

Kalau benar, dia pasti bekerja sangat rapi sampai-sampai aku tak menyadarinya.

Lalu pertanyaannya, siapa?

Mataku hinggap secara bergilir di wajah Dreamies, bolak-balik sampai pusing sendiri. Pun semakin memaksa ingat, semakin aku buta dalam menerjemahkan gerak mulut laki-laki itu. Aku mengembus napas. Terima kasih kepada Jisung yang telah berjaya membuatku curiga kepada semua orang.

Tandas dengan sarapan yang malah jadi kolaborasi semangkuk sereal dengan sebutir apel, sambil lewat aku memelototi Jisung yang di mulutnya tersangkut sendok. Dia memandangku dengan sorot seakan-akan bertanya, "Apa salahku?"

Lantas sesudahnya tak ada lagi yang bisa kuceritakan karena seharian habis dengan menata ulang kamar, lalu sore harinya berangkat untuk menjadi DJ tamu di salah satu radio. Tiga jam berikutnya selepas menjadikan malatang dan burger sebagai makan malam, di perjalanan pulang melakukan siaran langsung demi mengabulkan desakan Manajaer untuk menyapa fans, aku menjublek di tiga langkah setelah masuk karena menemukan dorm terlalu hening.

Ponsel dikeluarkan jaket dan aku langsung menghubungi satu nomor. Empat kali bunyi tut panjang, Jisung menerima panggilanku. "Jisung-a, kamu di mana? Kenapa tidak ada siapa-siapa? Kalian ada agenda dadakan, kah?"

Jisung membalas rentetan pertanyaanku dengan nada menyesal. "Maaf, hyung. Aku lupa mengabarimu kalau kami semua berkunjung ke apartemen Jaemin hyung."

Oh. "Ya sudah kalau begitu."

"Hyung bisa menyusul kalau mau. Tahu alamatnya tidak? Kalau tidak, nanti kukirimkan. Tidak terlalu jauh kok, dari dorm."

"Tidak. Tidak usah. Aku mau istirahat saja."

"Baiklah kalau begitu. Sebentar lagi kami kembali."

Aku bergumam. Hampir memberi titik pada percakapan sebelum ingat sesuatu. "Oh, ya, Ji. Aku ingin menitip sesuatu, boleh?"

"Tentu."

"Tolong belikan aku tiramisu di toko langganan kita."

"Baiklah. Nanti kubelikan."

Usai berkata terima kasih, sambungan diakhiri. Aku membuka laci kabinet dapur, menarik keluar teh hijau dan menyeduhnya di cangkir dengan air yang telah kujerang karena dispenser sedang rusak.

Memboyong hasil racikan ke balkon, kedatanganku berbarengan dengan mobil yang mengawasi seharian pergi. Apa dia menyerah sekarang?

Tentu tidak sebab aku hanya terlalu cepat mengambil kesimpulan. Mobil berwarna hitam itu digantikan mobil berwarna silver semenit kemudian dan berhenti di bawah tiang lampu jalan. Ya ampun. Mereka hanya membuang-buang waktu.

Aku ambil duduk di kursi santai, bertatapan dengan gelap gulita. Malam ini langit bersih dari gemerlap sekecil apa pun. Teh kuseruput sekali dan segera meringis. Sepat. Kuraih bungkus kecil permen lemon dari saku untuk memperbaiki situasi mulut. Sembari mengemut bongkah kecil dengan rasa asam itu, seseorang kuhubungi via ponsel. Kali ini butuh sedikit kesabaran agar panggilan disahuti.

"Halo, hyung. Kamu sedang sibuk?"

"Sedikit. Kenapa? Tumben sekali kamu menelponku lebih dulu."

"Tidak. Hanya saja aku ingin bertanya apa kamu punya waktu? Mungkin ... minggu malam? Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Ju-yeon menggumam sesaat. "Sepertinya tidak bisa, Ren. Aku salah satu staf yang terlibat dengan proyek comeback Red Velvet November nanti. Kami sedang di tahap perampungan. Jadi sepertinya aku harus bekerja akhir pekan nanti. Aku sudah memberitahumu tentang hal ini jauh-jauh hari. Kamu tidak ingat?"

Aku melipat bibir, merutuk. "Iya. Aku lupa. Mian."

"Gwenchana. Kamu tidak perlu minta maaf. Seharusnya di sini aku yang melakukannya. Kalau begitu bagaimana jika kukabari lagi setelah pekerjaanku selesai? Kita bisa bicara setelah itu."

"Huum. Bailkah."

Tak ada pilihan selain sabar menunggu.

*

Belakangan aku mengetahui diriku tidak suka sesuatu yang rumit. Luar biasa malas rasanya untuk mendebat member. Sedangkan sebelumnya aku bersedia adu urat demi menangkis argumen mereka. Terlebih, aku mulai tak peduli dengan keadaan dorm. Perpaduan yang agak mustahil untuk tipe perfeksionis sepertiku. Tetapi semenjak pertikaian terakhir dengan Jaemin, aku sering tidak mood terhadap (nyaris) semua hal. Tatkala pekerjaan selesai, aku lebih suka bersembunyi di balik pintu kamarku– yang kalau sedang senggang, dapat kulakukan sepanjang waktu. Beruntung tak mencetuskan protes dan dibiarkan saja.

Sebenarnya sikapku mendatangkan banyak efek negatif. Contohnya Jisung yang jadi tidak punya korban untuk direcoki dan dampaknya Chenle selalu diajak bertengkar, dorm berantakan atau isi kulkas yang tidak terawasi sehingga satu-dua bahan makanan habis atau telanjur busuk atau Dreamies jadi langganan memesan makanan cepat saji.

Sisi positifnya hanya aku jadi sering merenung. Termasuk sesuatu yang jadi motif terlibatnya aku dengan permainan Jaemin.

Sudah sejauh ini, mungkin kalian masih bertanya-tanya apa yang Jaemin miliki sampai aku sebegitu takut dan rela menggunakan tubuh sendiri sebagai agunan.

Karena dia punya banyak rekaman saat aku bugil?

Tidak.

Asal kalian tahu, aku dapat dengan mudah menangani perkara ini. Ingat, aku bisa membunuh dua orang sekaligus.

Apalagi setelah dipikir-pikir, ternyata di sini aku saja yang terlalu dibutakan cinta hingga tumpul otak. Bagiamana bisa aku tidak kepikiran satu hal yang sangat sederhana?

Bahkan jika Jaemin memiliki puluhan dokumentasi tiap kami berhubungan badan, dia tak akan berani melakukan hal ceroboh. Termasuk memublikasikan beberapa menit rekaman yang berisi aku sedang telanjang. Karena jika itu terjadi– meski secara anonim, tetap bukan cuma aku yang hancur, Nct Dream pun akan menanggung konsekuensi. Tak menutup kemungkinan imbas merembet ke semua unit. Karena kalau aku bersalah, akan ada banyak orang yang menjadikan member lain korban pelampiasan meski tidak relevan. Boleh jadi kami semua ditinggalkan penggemar dan menghilang instant dari publik.

"Kamu tidak ingin menanyakan sesuatu kepadaku?"

Andai aku sama, apa ceritanya tak akan serumit ini?

"Hm?"

Andai aku layak bagai kebanyakan laki-laki, apa hidupku tak akan sepelik ini?

"Kamu berharap aku bertanya apa padamu?" Jaemin memutar balik pertanyaanku dengan pertanyaannya.

Tatkala itu, sudah ketiga kalinya aku ditiduri oleh Jaemin. Aku menoleh ke arah keberadaannya. Hanya sebentar karena ternyata dia sedang berpakaian. Pipiku memerah, masih belum terbiasa.

Demi mencari distraksi, jari-jariku perlahan menyentuh guci di meja dan mengelusnya perlahan seolah nyawaku tergantung di sana. Dengan telah membersihkan diri dan berpiyama baru, tatapanku kosong ke arah benda itu. Aku mengguncang kepala, mengumpulkan pikiranku yang sempat melanglang buana. "Semacam ... kenapa aku begini?" Aku kembali mengambil jenak dan ketika itu Jaemin menghampiri, berdiri bersedekap sembari menyandar ke pinggiran meja. Tiga sekon ia melirik sesuatu yang jadi kesibukanku.

"Kupikir itu tidak terlalu penting dan ... yeah, aku tidak tahu harus bertanya dengan kata-kata seperti apa agar tak menyinggungmu."

Eoh? Ke mana perginya dia yang apatis dan tak peduli apakah tindakan dan perkataannya memengaruhi orang lain? Aku berdecih. "Seorang Na Jaemin bisa terdengar seperti orang baik yang sangat perhatian? Woah, aku terkesan."

Sarkasku dibalas kekehan oleh Jaemin. Ia mengacak puncak kepalaku, tapi tak bicara jadi aku yang menambahi. "Mungkin kalau kamu bertanya beberapa tahun lalu aku tak akan sudi bahkan untuk sekadar mendengarnya. Tapi tanyalah. Sekarang aku sudah lebih siap."

"Benarkah?"

"Ya," anggukku mantap.

"Kalau begitu ..." Jaemin menatapku tepat di netra, menjalin keseriusan. "Besok saja aku bertanya. Sekarang lebih baik kita tidur karena Manajer menyuruh bangun pagi-pagi sekali."

Tanpa aba-aba dia meraupku ke dalam gendongan koala dan membawaku ke atas kasur miliknya yang masih bersih. Aku tertawa kecil manakala ia menyembunyikanku di bawah selimut dan memeluk erat.  Aku menyembul, disambut Jaemin yang mengendus rambutku dan menepuk konstan bokongku seperti sedang menidurkan bayi.

Aku melingkari lehernya dengan lilitan tangan dan mendusal di dada bidang kesukaanku. Dalam posisi ini, aku bisa mendengar detak jantungnya yang konstan. Berbanding terbalik dengan milikku yang ribut sendiri. Kadang, fakta ini menggiring kesedihan meresap ke hatiku. Tetapi untuk sekarang, aku tak ingin memusingkan dan merusak suasana. Lebih memilih merapatkan diri sehingga tak ada sisi kosong yang bisa jadi antara. Bicara dengan wajah terbenam, suaraku agak terbungkam. "Sebenarnya ... aku tetap tidak akan siap kalau suatu saat ada yang mempertanyakannya."

Kurasakan telapak tangan besar Jaemin mengusap punggungku menggunakan gerakan halus yang efektif mendatangkan kantuk. Dengan separuh mata tertutup, aku memanggil, "Jaemin-a."

"Iya?"

"Terima kasih karena tidak bertanya."

Aku bersyukur karena apa yang kutakutkan tidak terjadi. Jaemin tidak menatapku aneh, tidak menghakimiku apalagi mendiskriminasiku meski perbedaan ini terlalu mencolok. Jaemin tidak merengut dan bertanya kenapa alih-alih penis, aku justeru memiliki vagina.

*

Sabtu, 20 Oktober

Hari ini Ibu bilang dia sedang hamil dan aku akan punya adik. Aku bahagia karena saat mengatakannya, Ibu tersenyum padaku. Itu sudah lama sekali.

Ibu, ternyata aku sangat rindu padamu.

Kulihat pertama kalinya ibu mengucap syukur. Ia amat senang karena akan memiliki anak perempuan impian. Seorang pengganti yang sehat ketimbang aku si idiot pengidap disleksia.

Tapi tidak lama setelah itu, Ibu menangis. Sangat kencang dan meraung-raung. Ayah berkata adik telah pergi, dia tidak mau ada di dunia. Keguguran katanya. Aku tak paham makna kata itu, tapi sepertinya bermaksud menjelaskan kalau adik sudah mati.

Tidak seperti kemarin-kemarin, Ibu kembali berteriak padaku. Dia mengutukku sebagai pembawa sial. Dia benci padaku dan memukulku. Katanya ini semua salahku.

Kenapa?

Aku tak melakukan apa-apa tapi Ibu sama sekali tak mau bicara padaku. Aku sedih, berlari ke gereja. Itu juga pertama kalinya. Aku bingung harus berdoa pada siapa. Tapi kata bu guru dulu, Tuhan itu ada dan jika memang benar, izinkan aku merapatkan tangan dan menutup mata.

Tolong kabulkan permintaanku yang putus asa.

Aku ingin Ibu mencintaiku, seperti yang selalu Ayah katakan.

Tolong buat Ibu suka padaku.

Tolong ....

Aku ingin jadi perempuan.

***







Hehe, kaget gak?






Continue Reading

You'll Also Like

44.2K 3.5K 78
Pengarang: Xizi Yixiao | 78 END Kelahiran kembali [Salinan 1]: Aktris Tong Yi memiliki seorang pria yang sangat dia cintai. Ketika karirnya cemerlan...
26.8K 2.8K 12
Just like rain, love doesn't choose the grass on which it falls. ~Adoption~ __________________♡♡__________________ Huang Renjun - [Sub]. Na Jaemin...
12.3K 1.9K 9
Langsung baca aja ya😁 ini book pertama untuk mengawali tahun 2024😁
41.5K 5.5K 22
dunia ini selalu bersikap adil sampai disebut dunia yang terlalu bajingan, karena dunia tetap memberi karma yang setimpal pada keturunan orang yang t...