Senanda.

By yiyikim99

57.6K 4.8K 780

s i n o p s i s : Setelah mengalami kajadian traumatis yang merubah drastis kehidupannya, membuatnya mengangg... More

senanda || p r o l o g
senanda || enggak seburuk itu, kan?
senanda || komik haikyu!!
senanda || takut katanya
senanda || awalnya kepo
senanda || target incaran
senanda || tukang kacang
senanda || info mading
senanda || bocah tantrum
senanda || serba serbi
senanda || d-day
senanda || menginap
senanda || bekal yang sama
senanda || hobi yang terhubung
senanda || bettersweet cakery
senanda || pengalihan diri
senanda || jatuh sakit
senanda || status
senanda || the two of us
senanda || populer
senanda || vitamin pagi
senanda || namanya adalah
senanda || menginap (lagi)
senanda || ai love you
senanda || bersama kesayangan
senanda || aiden's boyfie
senanda || move on
senanda || cowok green flag
senanda || mood swing
senanda || saran sesat adit
senanda || fase galau
senanda || edisi kangen pacar
senanda || sebuah pelukan
senanda || se's big baby
senanda || prioritas utama
senanda || pacaran dulu
senanda || continue? or, stop!
senanda || love birds
senanda || sepotong kisah
senanda || orang ketiga
senanda || bukan jodoh
senanda || pesan misterius
senanda || no response

senanda || rumah sakit

1.1K 98 24
By yiyikim99

Every look, every touch
Makes me wanna give you my heart
(Moonlight - Ariana Grande) 

———

Senanda tidak bisa langsung ke rumah sakit saat mendapatkan pesan mengejutkan dari bundanya perihal sang adik. Bunda melarang, katanya Kaivan sudah diberi penanganan. Tapi ia bersikeras ingin melihat sendiri kondisi adiknya, maka dari itu bunda mengalah dan memperbolehkannya untuk datang saat jam sekolah sudah berakhir.

Senanda menjadi orang pertama yang keluar dari kelas begitu guru menyudahi pembelajaran dan pergi menuju ruang guru. Ia berjalan cepat, nyaris berlari kalau saja ia tidak mengingatkan diri untuk berhati-hati agar tidak membuat masalah yang merugikan siapapun, terlebih untuk dirinya sendiri. Lorong kelas ramai oleh murid sekolahan yang juga ingin pulang. Senanda memilih berjalan di pinggir.

Sembari memelankan langkah, ponsel di saku Senanda keluarkan. Ia tidak mau merepotkan Adit untuk mengantarkan ke rumah sakit yang berlawanan arah dengan tempat tinggalnya. Karena itulah ia berpikir untuk menggunakan jasa ojek online saja. Dengan fokus yang tertuang pada layar ponsel jelas membuat Senanda sedikit lengah sehingga tidak menyadari sekitar, dan tanpa sengaja menyenggol lengan seseorang.

Senanda spontan berhenti dan menoleh cepat. "Maaf—eh?" raut panik tadi berganti lega. "Kak Ai."

Sosok itu, Aiden, yang tadi memang sengaja berdiri di luar gedung angkatan kelas 10 menunggu Senanda, pun tersenyum. "Buru-buru banget, Se."

"Aku harus segera ke rumah sakit." Senanda kembali menghidupkan layar ponselnya yang menggelap, namun Aiden malah merampas benda itu, membuatnya protes. "Kak!"

Aiden tidak menanggapi dan menarik Senanda ke tempat mobilnya terparkir. "Kalau punya pacar itu dimanfaatkan dong, Sayang. Masuk dulu, biar gue antar lo ke rumah sakit."

Senanda merasa tidak punya waktu untuk berpikir dua kali, jadi ia langsung masuk begitu Aiden membuka pintu mobil bagian kiri yang untuk penumpang. Ia memeluk tasnya dengan tangan gemetar dan napas agak tersendat karena rasa cemas dan panik yang mendera.

"Se," panggil Aiden. Cowok itu belum menyalakan mesin. Dia mengamati pacarnya yang duduk tegang di kursi samping. "Atur napas dulu coba, Se. Gue belum akan menjalankan mobilnya kalau lo nggak juga tenang."

Senanda menoleh, mendapati ekspresi serius di wajah Aiden membuatnya menelan ludah susah payah. Mau tidak mau, ia pun mengikuti instruksi dari Aiden untuk menarik napas dan mengeluarkan perlahan. Setelah merasa mendingan, barulah Aiden membawa mobilnya keluar dari area sekolah. Senanda juga sudah mengatakan nama rumah sakit yang akan mereka tuju.

Untuk kesekian kalinya Senanda mengecek kembali ponselnya. Ia tadi sempat berkomunikasi singkat dengan sang bunda, bertanya mengenai kondisi terbaru Kaivan. Hanya saja belum ada balasan dari bunda sama sekali, membuatnya kembali diserang rasa cemas yang berlebihan, yang kemudian menimbulkan perasaan takut. Senanda amat menyayangi adiknya. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Kaivan.

Ia sampai tidak menyadari mobil yang dikendarai Aiden sudah berhenti di tempat parkir rumah sakit. Sedari tadi hanya menatap kosong ke bawah, entah pada apa.

"Se, astaga."

Mendengar suara Aiden serta rengkuhan di sisi wajahnya lah yang akhirnya menyadarkan Senanda dari lamunan. Jempol Aiden bergerak perlahan di pipinya, seperti menghapus sesuatu, hingga kemudian ia menyadari matanya yang basah. Ia menatap Aiden nanar. "Kak ..." panggilnya pelan dengan suara bergetar.

"Ada apa? Siapa yang masuk rumah sakit sampai bikin kamu menangis kayak begini, hm?" Aiden membawa Senanda ke dalam pelukan. Menenangkan melalui usapan di kepala dan punggung.

Suara isakan pelan milik Senanda mulai terdengar. "T-tadi Bunda chat aku, bilang kalau Kaivan kondisi tubuhnya drop sehabis OSN. Terus gurunya bawa ke rumah sakit. A-ku mau pergi tadi siang, tapi Bunda nggak izinkan," ucap Senanda dengan napas yang semakin tersendat.

Aiden menghela napas. "Oke. Gue yakin Kaivan pasti baik-baik aja, makanya Bunda nggak bolehin pergi tadi siang." ia terdiam sejenak. "Mau lihat Kai, kan?"

Senanda mengangguk cepat. Ia melepaskan diri dari Aiden dan mengusap wajah yang basah oleh air mata.

Aiden bergerak cepat mengambil tisu di kursi belakang mobil, memberikannya pada Senanda. "Setelah tenang, baru kita masuk. Kalau sampai Bunda apalagi Kaivan lihat lo begini, yang ada mereka malah balik khawatir, kan?"

Senanda mengangguk lagi, tangannya sibuk mengeringkan wajah dan membersihkan hidung dengan tisu yang diberikan Aiden. Beberapa menit di mobil tanpa berbicara apa-apa, hanya ada usapan dari Aiden pada tangan, kepala dan bahu, membuatnya merasa lebih baik.

"Kaivan akan baik-baik aja, kan?" tanya Senanda pelan.

Aiden membawa wajah Senanda untuk dapat menatapnya. Dia mengangguk. "Dia mungkin kelelahan akibat belajar tanpa memperhatikan kondisi tubuh. Secepatnya akan sembuh, kok." Aiden mengecupi kedua pipi Senanda, gemas. Pipi dan hidung pacarnya memerah akibat menangis tadi.

"Begitu, ya," gumam Senanda. Masih dengan suara pelan, ia lanjut berkata, "Aku boleh minta peluk lagi? Sebentar aja."

Aiden tertawa. "Lama juga nggak masalah, kok."

Senanda langsung melingkarkan lengannya di bahu Aiden, menenggelamkan wajahnya di sana. Menghirup wangi tubuh Aiden yang tercampur dengan parfum membuatnya kembali rileks. Padahal sudah sore, tapi cowok yang berstatus sebagai pacarnya ini masih wangi dan ganteng. "Kakak wanginya enak."

Aiden meninggalkan ciuman pada bahu Senanda yang tertutupi seragam. "Iya, dong, biar lo betah meluk gue lama-lama."

Setelah rasanya cukup, Senanda merenggangkan sedikit pelukannya. Dengan kilat ia mengecup sekali bibir Aiden, lalu kembali duduk ke posisi semula.

Aiden menahan senyum. "Apa ini?" dia memajukan tubuh, mendekati Senanda yang mengalihkan wajah ke arah jendela.

"Sebagai ucapan terima kasih dari aku." tangan Senanda bergerak untuk membuka pintu mobil, yang kemudian ditahan Aiden. Ia pasrah saja karena tepat setelah itu, Aiden membalas dengan menciumi seluruh permukaan wajahnya. Senanda hanya bisa memejamkan mata. Apalagi Aiden modus sekali dengan berkali-kali meninggalkan kecupan di bibir. Kesempatan.

"Sudah, dong," rengek Senanda. Ia mendorong wajah Aiden menjauh. "Aku tadi cuma sekali ciumnya."

Aiden terkekeh. Lengsung pipinya muncul membuat wajah itu terlihat semakin menarik untuk dipandang. "Lo nggak tahu sih, seberapa gemesnya gue sama lo, Seee." dia mengunyeli kedua pipi Senanda sembari tertawa kecil.

Setelah kegiatan lovey dovey di dalam mobil itu berakhir, dua anak manusia itu pun memasuki rumah sakit. Senanda juga sempat menelepon bunda untuk bertanya ruangan Kaivan.

Mendekati ruang rawat Kaivan yang hanya berjarak beberapa langkah, ia melihat pintu itu terbuka, dan bunda keluar dari sana.

"Bun!" Senanda memanggil seraya berlari kecil, meninggalkan Aiden. Ia langsung memeluk bunda.

"Padahal sudah dibilangin tidak perlu ke rumah sakit. Ngeyel. Kalau kamu ikutan sakit bagaimana? Rumah sakit ini banyak virusnya dari orang-orang yang berbagai macam penyakitkannya. Apalagi kamu mudah jatuh sakit juga, Kak." bunda mengomel, namun tangannya tidak berhenti mengusap punggung.

Senanda melepaskan pelukan dengan wajah cemberut. "Aku kan, khawatir."

"Bunda bisa mengabari kamu secara berkala."

Senanda menatap sosok adiknya yang terbaring dengan tangan tertusuk jarum infus dari luar kamar, melalui sepetak kaca transparan di pintu. "Jadi Kai kenapa?"

Bunda ikut berdiri di samping anak sulungnya. "Kamu tahu sendiri bagaimana dia belakangan ini susah diberitahu untuk istirahat. Pola makannya juga kacau, sering bolong dan sedikit pula. Adikmu itu juga kurang minum air. Dehidrasi, begitulah kata dokternya. Kelelahan juga. Maagnya kambuh padahal sudah lama enggak, kan? Terus badannya sudah panas juga dari sebelum lomba dimulai. Haduh."

"Sekarang bagaimana?"

"Panasnya masih, meski sudah agak berkurang. Sempat muntah juga. Lemas dia. Mungkin akan butuh beberapa hari sampai adikmu sembuh total."

Senanda mendesah gusar. Apa yang ia khawatirkan kejadian juga. Adiknya tumbang dan masuk rumah sakit, membuat keluarganya khawatir.

Suara helaan napas bunda terdengar berat, membuat Senanda menoleh. "Harusnya bunda lebih memperhatikan kalian baik-baik, kan? Rasanya bunda lalai sampai kecolongan begini."

"Enggak, kok. Bukan salah Bunda. Kaivan aja yang ngeyel." Senanda memeluk bahu bunda dari samping.

Bunda tersenyum tipis. "Mirip sama kamu, Kak, ngeyelnya."

"Mana ada!"

Bunda kemudian menatap Aiden. "Makasih banyak ya, Aiden, sudah mau mengantarkan Se ke sini. Pasti anaknya panik banget, kan?"

Aiden mengulas senyum simpul. "Sampai nangis juga tadi, Bun." dia menatap Senanda penuh arti.

"Iya, Kak?"

Senanda melirik Aiden dari ujung mata. Padahal tadi cowok itu sendiri yang bilang agar jangan membuat keluarganya khawatir jika sampai mengetahui dirinya menangis. Tapi apa ini?

"Ayah, Bun?"

"Baru nanti sore ke sini, setelah pulang kerja. Oh iya, Kak." bunda melepaskan pelukan Senanda, dan berdiri berhadapan dengan anaknya. "Kemungkinan beberapa hari ini, sampai Kaivan sembuh, ayah sama bunda akan tidur di rumah sakit. Dan bunda nggak mau kamu ikut menghabiskan banyak waktu di tempat penuh orang sakit begini. Kalau Adit bisa jadi tempat kamu menginap untuk beberapa hari kedepan, bunda pikir itu akan lebih baik."

Bahu Senanda jatuh dengan lesu. "Nggak boleh ikut tidur di sini juga?"

Bunda menggeleng tegas, seolah tidak ada yang bisa ditawar. "Bunda nggak bisa membiarkan kamu tidur di sini, dan bunda juga nggak bisa meninggalkan kamu sendirian di rumah. Bunda khawatir. Jadi mau bunda titipkan kamu sama Adit saja."

"Ya sudah. Aku hubungi Adit dulu." Senanda mendesah pasrah.

"Kalau Bunda memperbolehkan, Se bisa menginap di apart Aiden, kok. Lagipula Aiden tinggal sendiri, dan kalau Se tidur di apart juga, Aiden jadi ada temannya."

Senanda yang tadinya baru akan menekan tombol telepon di layar, langsung terhenti. Begitupun dengan bunda yang menoleh. "Eh?" ia bolak balik menatap antara bunda dan Aiden.

"Itu boleh juga. Kalau Aiden nggak keberatan dan Se mau, bunda izinkan."

"Bagaimana, Se?"

Senanda berusaha mencerna apa yang terjadi saat ini. Semua terasa begitu cepat  saat Aiden dengan tiba-tiba menawarkan diri agar Senanda menginap di apartemen. Bunda juga tidak masalah nampaknya dengan hal itu.

Senanda kagok sendiri begitu tatapan dari bunda dan Aiden seolah meminta tanggapannya. "Aku, ya, terserah Bunda aja."

"Bunda oke aja kok, Kak." bunda tertawa. "Kalau begitu, sepulang dari sini langsung ke rumah ambil baju buat beberapa hari di apart Aiden ya, Se."

Senanda tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk, lalu bertukar pandang dengan Aiden yang tersenyum cerah.

〰️

Senanda memasukkan beberapa pakaian rumahan ke dalam ransel, serta seragam sekolah untuk besok. Selesai menata dengan rapi, ia  pun menarik resleting untuk menutup ransel. Sembari mengalungkan tali benda itu ke bahu, Senanda berjalan ke arah meja belajar. Tadi ia sudah lebih dahulu menyiapkan buku pelajaran. Sengaja tidak ikut dimasukkan bersama pakaian tadi karena pasti akan berat, jadi buku-buku itu ia peluki saja.

Dirasa tidak ada yang diperlukan lagi, Senanda turun ke lantai bawah, di mana Aiden berada sekarang ini. Ia kira pacarnya itu berada di ruang santai tadinya, ternyata berada di dapur.

"Ngapain, Kak?"

Aiden menyodorkan segelas air pada Senanda yang mendekat. "Minum dulu. Lo dari tadi belum ada minum air, kan?"

Senanda meneguk habis air putih yang hanya diisi setengah gelas itu, sebelum membawanya ke tempat cuci  piring.

"Itu tadi kita sama aja kayak ciuman secara nggak langsung loh, Se."

Senanda mendengus. "Memangnya posisi letak bibir kita di gelasnya sama?"

Sejenak, tidak ada jawaban dari Aiden terdengar. "Hmm, enggak deh, kayaknya."

Perilaku aneh Aiden kali ini berhasil bikin Senanda tidak habis pikir. Ciuman ya, ciuman saja namanya, kenapa ada kata tidak langsungnya juga coba.

"Padahal ini bukan pertama kalinya Kak Ai pacaran." Senanda mengeluarkan kotak sedang dari kulkas yang berisi buah semangka yang dipotong dadu. Ia bersandar pada pantry, sesekali menyuapi Aiden. Entah siapa yang akan mengingat buah ini ada di kulkas saat tidak ada seorang pun penghuni di rumah selama beberapa hari kedepan. "Sama mantan Kakak yang lain bertingkah aneh kayak begini juga, ya?" todongnya.

Bukannya menjawab, Aiden malah mengambil alih garpu di tangan Senanda, dan menggigit bagian ujung semangka, hingga setengah bagian lainnya dari potongan semangka itu masih berada di luar mulut. Setelahnya dia mendekat pada Senanda, mengikis jarak antara wajah keduanya sampai semangka dingin tersebut menyentuh permukaan bibir cowok itu. Sebelah tangannya tidak luput dari menyentuh bagian tengkuk Senanda.

Yang benar saja!

Senanda menelan ludah. Ia menatap Aiden dengan tatapan yang seolah menyiratkan; seriously?! Tapi, Aiden hanya menatap lurus padanya, menunggu. Mau tidak mau, Senanda membuka mulut dengan gerakan ragu, ikut menggigit semangka merah menggoda itu. Senanda dapat merasakan bibir miliknya dan Aiden saling bersentuhan. Ia kira Aiden akan melakukan hal aneh lainnya lagi. Namun, sampai ia memundurkan kepala, Aiden tidak melakukan apa-apa. Ternyata hanya sebatas memakan semangka dari mulut ke mulut. Perasaan bingung dan lega bercampur jadi satu.

Tidak berhenti sampai di situ saja. Hingga semangka di kotak habis, Aiden tetap memberikan Senanda buah itu melalui mulut. Cara memakan semangka yang aneh, membuatnya merasakan sensasi yang aneh pula memenuhi perutnya. Seperti ... ada segerombolan kupu-kupu yang berterbangan? Jantungnya pun juga ikut berdegup menyenangkan.

Ah, sudahlah. Hari sudah mulai malam. Mereka lumayan lama di rumah sakit, karena untuk beberapa hari kedepan tidak akan bertemu dengan Kaivan. Beruntung tadi adiknya sempat bangun sebelum ia pulang, dan mereka mengobrol selama setengah jam. Bertanya seputar OSN yang syukurnya berjalan lancar meski dengan tubuh tidak fit. Senanda juga tidak lupa untuk mengomeli adiknya yang membuat khawatir. Kaivan mengatakan kalau tidak enak badannya sudah dirasakan sejak dari rumah, tapi memilih diam saja. Hal itu membuat bunda jadi ikut mengomel. Ayah hanya tertawa bersama Aiden, merasa terhibur.

"Mau jajan dulu?"

Mobil yang dikendarai Aiden melaju di antara banyaknya kendaraan lainnya malam itu.

"Kakak masak nggak nanti?" tanya Senanda dengan mata sibuk menelisik satu persatu tempat makanan yang ditemui.

Aiden melirik sebentar pada Senanda, lalu tersenyum. Dengan hanya melihat sosok yang duduk di sebelahnya saja sudah mampu membuat bibirnya melengkungkan senyum. "Pasta suka?"

Senanda menoleh, lalu mengangguk lucu. "Suka."

"Apa sih, yang nggak lo suka?"

"Aku nggak suka alpukat."

Aiden agaknya tidak percaya. "Masa, sih?! Padahal enak, loh."

Senanda menunjukkan ekspresi tidak setuju. "Aku pernah dibeliin Adit jus alpukat. Aku cuma mampu minum dua teguk aja. Rasanya aneh. Aku nggak suka."

"Lain kali biar gue yang buatin. Mana tahu lo suka."

"Nope. Thanks," jawab Senanda langsung.

"Harus! Gue bakal bikin lo jatuh cinta juga sama alpukat."

"Coba aja," tantang Senanda dengan raut pongah. "Aku sekalinya cap nggak suka, sampai kapan pun nggak bakal suka."

Aiden tersenyum miring pada Senanda. "Berarti berlaku juga buat rasa suka? Sekalinya lo suka gue, selamanya akan sama?"

Senanda terdiam. Dahinya mengerut samar. "Apa, sih." lalu ia kembali melempar pandangan ke luar jendela mobil.

Bilangnya, apa sih, tapi bibirnya berkedut menahan senyum yang ingin merekah. Aiden tertawa, diacaknya rambut Senanda dengan perasaan sayang yang semakin hari rasanya semakin kian membesar tanpa sempat ia sadari. Saat sadar, ternyata sudah sebesar ini.

Di luar dugaan sebenarnya Aiden bisa sesayang ini dengan seseorang yang bukan dari keluarga, apalagi teman dekat. Padahal Senanda awalnya hanya orang asing yang seketika mampu menarik rasa penasarannya.

Kebetulan, kah? Atau, sesuatu yang biasa orang sebut dengan takdir?

〰️

n o t e : tandai typo, ya. jangan lupa tinggalkan kesannya dan pencet bintang di pojok kiri bawah.

😼: Aiden lu nyosor mulu elah. Untung anaknya terima-terima aja. >_<
Ibarat kucing oyen nih, udah punya pawang udah jinak ye kan. Wkwkwkwk
280124

Continue Reading

You'll Also Like

82K 6.8K 44
Rey, cowok yang bertampang preman tapi sangat jago dalam pekerjaan rumah tangga, misalnya memasak dan bersih-bersih. Keahliannya yang lain yakni b...
49.5K 3.6K 23
sᴛᴀʀᴛ [ 𝟸𝟹 ᴍᴀʀᴇᴛ 𝟸𝟶𝟸𝟹 ] ᴇɴᴅ [ - ]
111K 12.1K 58
Bagaimana caraku meyakinkannya..?? Apakah tak apa jika aku egois...?? Bagaimana bisa aku mencintainya...?? Apakah cintaku jatuh di tempat yg salah..??
128K 12.6K 20
"iih muka lo jelek banget, niat gak sih hidup?!" "biarin! Emang gue jelek ngerugiin lo? Gak kan?! Dasar alay!" balasku dan langsung berlalu pergi men...