cromulent | jaemren

Par adshilalala

17.4K 2.6K 482

NCT Dream adalah salah satu grup idola paling ideal untuk digemari. Definisi rangkuman dari segala hal baik y... Plus

0
chapter 1 - sekumpulan eritrosit
chapter 2 - milky way dan andromeda
chapter 3 - iblis terkutuk
chapter 4 - primrose
chapter 5 - sekte abal-abal
chapter 6 - anime
chapter 7 - mesin waktu doraemon
chapter 8 - renjun
chapter 9 - lubang cacing
chapter 10 - neraka
chapter 11 - roh jahat
chapter 12 - peran utama
chapter 13 - hierarki
chapter 14 - predator dan mangsa
chapter 15 - timun mas dan raksasa
bukan update
chapter 16 - reinkarnasi
chapter 18 - selebrasi
chapter 19 - guciku
chapter 20 - bangunan tiga lantai
chapter 21 - drama
chapter 22 - efek negatif
chapter 23 - dunia baru
chapter 24 - normal
chapter 25 - perasaan konyol
chapter 26 - pengecualian
chapter 27 - koma dan titik
chapter 28 - nada ritual
chapter 29 - terlarang
chapter 30 - program kepala

chapter 17 - puncak acara

382 76 3
Par adshilalala

Sebenarnya aku kembali dari pingsan satu jam sebelum makanan terakhir yang Ahjumma berikan. Tanpa menganalisis status keamanan sekitar, kusambar dua potong pakaian yang teronggok di sofa, separuh lari memburu pintu.

Sejauh ini aku paham jika musuhku bukan sesuatu yang sepele. Maka dari itu, aku tidak menyelinap pergi walau ada kesempatan dengan persentase keberhasilan yang cukup besar. Rumah sedang lengang.

Tidak.

Aku memiliki misi– dan mungkin sedikit memuaskan ego; memberi pembalasan.

Menilai dari cara lelaki itu yang lihai dengan belati, aku urung meraih pisau di dapur. Dari senjata yang dimainkan, kemungkinan dia pandai dalam pertarungan jarak dekat, sementara aku adalah kebalikannya.

Usai menyisir beberapa ruangan, aku teryakinkan dengan asumsiku sebab tak ada senjata api di tempat ini. Posisiku tidak diuntungkan sekarang.

Penelusuranku sampai di taman belakang dan mayoritas tanaman di sana memberiku tugas baru. Satu senyum mengantarku pada bunga yang cukup cantik namun perlu diwaspadai. Menggunakan sarung tangan, aku memetik sambil riang memikirkan rencana yang mengalir deras di kepalaku.

Wolfsbane.

Apa boleh buat. Sepertinya aku harus menggali kemahiranku mengekstrak tumbuhan beracun jadi sesuatu yang sukar dideteksi. Kalian harus bersiap karena cerita selanjutnya akan menyenangkan!

Memeriksa pintu-pintu terakhir, aku menemukan apa yang kucari. Sudah pasti, tumbuhan sebanyak itu akan rumit kalau melibatkan pihak luar. Harus disediakan laboratorium di bangunan ini untuk menanganinya sendiri.

Aku berdecak, pertama kali mengagumi lelaki itu yang rupanya memiliki seluruh senjata yang cocok dengan tipenya di rumah ini.

Tak butuh lama, aku kembali ke kamar tahananku dan berakting seolah-olah baru bangun.

"Bisakah kamu ganti air putih itu dengan yang lain? Aku sedang ingin minum jus."

"Baik, Nyonya. Akan saya buatkan."

Kurang lebih sepuluh menit, Ahjumma kembali dengan apa yang kuminta.

"Saya buatkan anda jus jambu, Nyonya."

"Iya. Terima kasih. Kamu bisa pergi."

Tidak harus ada perintah kedua, wanita itu undur diri selepas berkata, "Saya sudah menyampaikan pesan anda kepada Tuan, beliau mengatakan akan segera pulang dan memenuhi keinginan anda."

Aku hanya berdengung membalasnya.

Pintu tertutup rapat, aku menyingkap selimut dan mencampur cairan bening hasil kerjaku ke dalam gelas.

Selagi menunggu lawan main dalam menyukseskan rencana ini tiba, aku menggenggam erat senjataku yang lain di bawah bantal.

Ah! Adrenalinku terpacu, bersorak tidak sabar ingin segera sampai di puncak acara!

Seperti yang sudah kubagikan di lembar sebelumnya, semua berjalan lancar tanpa hambatan. Lelaki itu menggelepar dengan isi perut berhamburan dan nadi yang menonjol, lalu meregang nyawa di dekat kakiku– pikirku, namun ternyata aku terlalu cepat menyimpulkan karena saat berjongkok di depannya untuk menyaksikan detik-detik terakhir, aku terperanjat dan jatuh di atas pantatku. "Aish! Mengagetkan saja!"

Rupa-rupanya lelaki ini masih bisa bertahan. Kuakui dia cukup tangguh.

Dia megap-megap, melirikku dengan mata yang redup layu. Aku diam, membiarkan dia melakukan apapun. Hitung-hitung menunggu wasiat sebelum ia berpulang. Tangannya gemetar meraih betisku, berpegangan erat di situ.

"Kamu mau mengatakan pesan terakhir padaku?" Aku mencondongkan badan ke arahnya yang mana cuma sebentuk ledekan. Masuk ke pendengaranku napasnya yang memendek, lalu tiga kata dengan diucap terbata-bata.

"... Orang ... kamu ... kaki tangan ...."

Dahiku berlipat, semakin mendekat dan berusaha menangkap suaranya lebih jelas. Akan tetapi saat itu, ia keburu tutup usia. Aku melongo, telanjur penasaran dengan apa yang ia ucapkan. "Hei, jangan mati dulu! Hei! Hei!"

Kuguncang bahunya, mengerang. Berani-beraninya dia mati setelah membuatku tertarik!

Tapi, ya, sudahlah. Mari abaikan. Siapa tahu dia hanya ingin merusak fokusku. Masih tersisa hambatan yang belum kuatasi. Seharusnya sih ini perkara yang lebih mudah.

"Nyonya," terperangah wanita itu melihatku yang melenggang bebas di ruang tengah.

"Hai," sapaku.

Ada apa?

Mengapa Ahjumma mundur perlahan?

Oh, iya. Di matanya, kan, aku orang yang tidak waras.

"Ba–bagaimana Nyonya bisa lepas?"

Aku cengegesan sembari melintasi meja. "Tentu saja karena dia melepaskanku. Ternyata dia orang yang baik, ya?"

Wanita itu kian ketakutan dan memperlebar jarak dengan cepat. "Benarkah ... Tuan yang melepaskan anda?"

"Iya. Kalau kamu tidak percaya tanyakan saja sendiri. Dia sedang tidur di kamar. Tapi kamu harus pelan-pelan. Jangan sampai mengagetkan karena sepertinya dia sedang sangat lelah. Dia tidur nyenyak seperti mayat."

"... Nyonya tidak sedang berbohong, kan?" Ia terus mundur, menghindari pertemuan kami.

"Untuk apa aku berbohong? Periksalah kalau kamu tidak percaya." Menunjuk arah atas dengan dagu. "Tapi kali ini Tuanmu memilih tidur di lantai. Katanya dia lebih suka di sana. Biarkan saja, oke. Dia sedang beriap-siap sebelum selamanya tidur di tanah."

Ahjumma tercengang setelah sempat terdiam, ia baru selesai membedah perkataanku. Lantas membelalak dan tergesa menuru tangga.

Bukan menyelamatkan diri, malah ingin memeriksa majikannya. Dia bawahan yang sangat setia. Aku terkesan.

Dalam pengajaranku, Ahjumma berteriak-teriak seakan aku zombi yang siap melahap otaknya. Di antara kami berdua, tentu saja aku yang lebih unggul sehingga bukan hal sulit untuk menyejajarinya di ujung tangga.

Kami terlibat pergulatan sengit karena ternyata ia sanggup melakukan perlawanan tapi ugh, dia menjambak rambutku sampai aku agak oleng.

Dasar wanita! Tangannya selalu tertuju ke kepala! Menyaksikan sekian helai suraiku melayang dan jatuh mengenaskan sebagai korban, aku membeliak.

Tck. Aku keliru. Ternyata dia cukup sulit dilumpuhkan dan jadi bringas saat terpojok. Nah, seharusnya dia liat dirinya sekarang. Persis pasien rumah sakit jiwa. Menyusahkan.

Sial, aku terpeleset. Ia berada di atasku, terus menyasar kepala dan sesekali terbentur. Untuk sesaat, aku bingung dari mana ia mendapatkan tenaga sebesar ini sampai-sampai aku serasa berkelahi melawan berung madu.

Ia baru terpukul mundur setelah aku melayangkan tendangan pada perutnya. Di sinilah fungsi senjata terakhirku dan sebelum ia mampu bangkit, sebuah suntikan sudah tertancap di lehernya. Ini sisa racun yang kumiliki dengan dosis lebih besar dan dimasukkan langsung ke aliran darah. Sudah kubilang, aku akan membalas dan alih-alih dalangnya, wanita ini justeru yang paling membuatku jengkel.

Dia rubuh dan ya, sebab masih dendam, aku menggesernya hingga dengan sendirinya ia menggelinding sampai lantai bawah.

Aku bangkit, berkeliling mencari di mana pakaian dan barang-barangku disimpan.

Selesai menghapus jejak, di perempatan jalan aku menghubungi Manajer. Dalam tiga kali percobaan, seruannya menerobos telingaku dengan sangat ramah. "YA TUHAN HUANG RENJUN! KE MANA SAJA KAMU, HAH?! KAMU HILANG TANPA KABAR DAN ...."

Bla, bla, bla. Aku membebaskannya mengomel sebelum menukas, "Hyung, kamu bisa lanjut nanti setelah kita bertatap muka. Untuk sekarang tolong lacak posisiku dan jemput aku."

Tak hirau akan ia yang belum puas memaki, aku memutus sambungan. Pengang lama-lama mendengar suaranya.

*

Sekalian mengisi perut, aku menunggu di sebuah kedai pinggir jalan. Sudah lama aku tidak berada di tempat umum secara terang-terangan.

Tenang. Aku sudah memastikan kalau di desa ini mayoritas penduduknya lansia. Mereka tidak tahu wajah-wajah baru yang mengisi layar kaca, jadi sampai saat ini situasi masih kondudif– apa ini juga alasan Ahjumma tak mengenaliku?

"Aigoo, aigoo. Kamu sepertinya sangat suka makanan buatan nenek-nenek ini, ya?"

Seorang wanita tua menghampiri dan tampak tak memerlukan izinku untuk duduk di seberang meja. Ia pemilik tempat ini.

Aku tersenyum ramah. "Hum. Rasanya sangat autentik. Sudah lama aku tidak merasakan citarasa tradisional seperti ini. Makanan di kota sudah sangat berbeda."

Ia tertawa bahagia atas pujianku. "Kamu bisa saja menyenangkan hati orang tua. Omong-omong, kamu dari mana? Terakhir kali aku melihat anak muda berkeliaran di sini itu sudah lama. Makanya aku sedikit kaget melihatmu masuk ke kedaiku."

"Aku dari Seoul."

Jawabanku membuatnya terperanyak. "Seoul? Jauh sekali. Bagaimana orang Ibukota menemukan desa pesisir ini?"

"Sebenarnya ... aku memiliki sedikit masalah di pekerjaan dan itu membuat kepalaku pusing. Jadi aku pergi tanpa tujuan dan tak terasa sampai di sini."

Ia mengangguk-angguk. "Pantas wajahmu terlihat sangat lelah. Kalau begitu sebaiknya kamu melepas penat tanpa terlalu lama diganggu orang tua bawel sepertiku, hahaha. Nikmati waktumu selama di sini, aku akan kembali ke dapur." Baru tiga langkah menjauh, dia berbalik. "Pergilah ke pantai di daerah utara. Di sana pemandangannya sangat cantik."

Kepalaku terangguk sekali dengan dibubuhi tarikan senyum. "Baiklah. Terima kasih sudah memberitahu."

Sebentar berselang, gemerincing lonceng di pintu kembali terdengar dan pelakunya menyongsong keberadaanku. Tak ingin perjanjian tentang "melanjutkan omelan" terselenggara sekarang, aku menyerobot. "Akan kujelaskan di mobil, hyung."

Ia menganga akan perilakuku tapi tak banyak bicara. Tetap mengekor meski lagi-lagi telah dibuat menggerutu soal aku yang seenak jidat memintanya mengurusi transaksi.

"Tidak peduli harus mengorbankan sepanjang perjalanan, aku ingin kamu menjelaskan semuanya dengan detail! Arasseo?!"

Aku menggumam sekilas dan keluar lebih dulu.

*

Sebagaimana caraku yang masih bisa membuat Manajer dongkol, sedikit lucu mendengar pernyataan kalau aku sekonyong-konyong terlelap dan mengalami demam begitu masuk ke dalam mobil. Terlebih ada keterangan tambahan kalau aku tak dapat dibangunkan, mesti dibopong untuk terbaring di kasur dua hari penuh.

"Kami semua mengkhawatirkanmu hyung. Terakhir kali kamu tampak pucat, lalu hilang tanpa kabar selama seminggu dan pulang dalam keadaan sakit." Jisung cemberut di sebelahku. Anak ini sejak tadi tak sudi berpaling, seakan aku bakal menyublim kalau coba-coba ditinggalkan.

Aku meringis, tidak tahu cara menjelaskan yang paling aman tanpa membuatnya ternganga. Bisa-bisa dia pingsan kalau mendengar hyung-nya yang dikenal lemah tak berdaya ini telah merenggut dua jiwa. "Apa kata Manajer?"

Jisung berdesis ngeri melihat luka lecet dan memar yang mengelilingi setengah tanganku. "Katanya polisi sedang menyelidiki. Mereka membutuh kesaksianmu."

Aku menggigit bibir. Tak seperti plan di awal, saat ini aku tidak boleh terlalu banyak menjelaskan apa yang kutahu soal lelaki itu. "Kuharap hal ini tidak terendus media agar semua tidak tambah ruwet."

"Hum. Manajer hyung bilang kalau perusahaan tidak ingin apa yang terjadi sekarang bocor ke publik."

Baguslah kalau begitu.

Jisung mengimbuh. "Kupikir kelakuan sasaeng yang suka menerobos sudah paling menakutkan, ternyata mereka bisa sampai menculik juga. Orang-orang kenapa bisa segila itu hanya karena seorang idola? Tidak tahu saja semasa kecil kita juga pernah mengupil dan mencoba rasanya. Kita manusia biasa, kan, hyung? Bukan titisan dewa. Kenapa mereka seterobsesi itu?"

"Aku pun bingung," balasku, sembari dengan syahdu mencubit gemas pipinya yang menggembung. Jisung dan keluhannya yang terkulum dimulut terdengar sangat lucu, asal kalian tahu. "Seperti mereka akan tahan saja menghadapiku yang sangat heboh jika menemukan jerawat di wajahku."

Jisung tertawa, membiarkan ceria mewarnai airmukanya. "Iya. Aku saja yang sudah sering mengalaminya masih selalu kesal kalau pagiku dirusuh perkara jerawat."

Aku melongo tak percaya dengan konteks bercanda. "Hoooo. Jadi sekarang kamu mengaku jika kamu suka kesal tiap aku sudah begitu?"

Jisung malah pamer gigi dan mengacungkan dua jari. "Hehe."

Satu delikan melayang sebelum aku terilhami untuk menggodanya. "Ada apa dengan matamu? Jangan bilang kamu menangis karena aku tak ada?"

Tak seperti bayanganku, dia justeru mengangguk, tindakan yang membuatku terenyuh. "Aku sangat cemas. Manajer hyung bilang sulit sekali mencari jejak. Apalagi berikutnya hyung berhari-hari tidak ada kejelasan. Bagaimana mungkin aku tidak sedih?"

Pembawaanku yang semula jahil berubah melembut. Kuusak puncak kepalanya sayang. "Terima kasih karena sudah mencemaskanku. Itu membuatku merasa lebih baik."

Jisung mengangguk. Masih bebal melirik-lirik lebamku dan semakin ia melakukannya, kerut di wajah serta desisnya makin menjadi. "Bagaimana ada orang yang tega melakukan hal seperti ini padamu," gumamanya, tak butuh jawaban.

Kuraih tangannya dan kuremas dengan keyakinan. "Sekarang aku sudah di sini. Aku baik-baik saja. Lagipula kalau ada apa-apa, kamu pasti akan menolong hyung, kan?"

Surai legam Jisung turut bergerak seiring empunya manggut-manggut serius. "Tentu. Yang lain juga pasti membantu."

Praktis keningku berlipat, nyengir skeptis. "Kamu berniat menghibur atau meledekku?"

"Aku serius, hyung. Kamu tidak tahu saja kalau mereka juga berusaha keras mencarimu. Mereka mengkhawatirkanmu. Bahkan Chenle sampai meminta bantuan orang tuanya."

Tak sanggup aku menahan gelak yang ingin menggelegar. Bagaimana tidak, Jisung baru saja mengatakan omong kosong paling konyol tahun ini.

Tapi tak sampai lima menit, Chenle datang dan mematahkan tawaku yang masih melantun tepat di tenggorokan. Panganan yang ia bawa di atas nampan mengatakan jika aku salah.

Jisung mundur dari posisinya yang segera diambil Chenle. Barang bawaannya ditaruh di dekat paha dan tanpa suara dia mengangsurkan satu sendok penuh padaku. Sama sekali tak mengantisipasi, aku lumayan kaget. Sejenak bertukar pandangan dengannya, ragu-ragu membuka mulut.

Selama sesi ini berlangsung, Chenle hanya memasukkan makanan ke mulutku. Dia bertingkah ogah-ogahan dan membagi perhatian pada ponsel. Mau tak mau aku membenak, sebenarnya dia ini ikhlas tidak, sih?

Tetapi ketika mengoleskan salep luka pada tanganku dengan seksama, aku pikir Chenle memang sedang dalam mode tulus, meski belum diketahui apa motovasinya.

Lalu gerakan Chenle yang perlahan dan penuh kehati-hatian itu bak memiliki pengaruh magis padaku. Rambut cokelat terangnya menarikku ke memori usang yang semula kukira telah hilang. Panggilku, "Chenle-ya."

"Hm."

"Aku minta maaf."

Chenle berhenti, tapi berlanjut kembali. "Untuk?"

"Aku senang berada sedekat ini denganmu. Biasanya juga begitu. Tapi kali ini aku agak sedih karena teringat sesuatu."

Chenle masih belum mau bertemu mata denganku, walau ada percakapan yang menjembatani. "Apa?"

Tanya itu tidak langsung kutimpali dan Chenle penasaran akan hening yang menginterupsi, sehingga ia akhirnya menyerah. Balas melihatku. "Dulu aku pernah merusak hadiah ulang tahun dari Mamamu. Kamu sangat marah saat itu, sedangkan aku tidak meminta maaf dengan benar."

Sunyi kembali hadir, sedikit lebih panjang ketika iris Chenle bergulir acak. "Itu sudah lewat lama sekali. Kamu tidak perlu membahasnya lagi."

"Tapi karena itu kamu kesal sampai sekarang," sahutku, lebih seperti menukas.

"Aku sudah tidak kesal soal itu," sangkal Chenle.

"Lalu kenapa kamu membenciku?"

Atas pertanyaan ini, Chenle kehilangan kata-kata. Aku tak berniat menyerang namun narasi bergulir ke arah sana dengan sendirinya. Semula aku murni cuma ingin meminta maaf. Kini sudah kepalang, sekalian saja aku mintai konfirmasi.

Kukira dia akan pergi demi lepas dari atmosfer canggung yang sangat tebal di antara kami, namun suara kecil yang keluar darinya seketika menepis. "Aku tidak bisa bilang kenapa karena itu alasan yang konyol, tapi aku minta maaf karena sudah bersikap menyebalkan dan kekanakan selama ini."

...

Ya Tuhan, apa ini?

Seorang Tuan Muda Chenle mau merendahkan diri dan meminta maaf?

Dia tidak sedang bercanda, bukan?

Jujur aku kicep dibuatnya. "... Saat aku tidak ada, tidakkah kepalamu terbentur sesuatu?"

Detik ini juga wajah Chenle langsung tertekuk, membereskan peralatan dan membawanya pergi sambil diiringi kerjap kaget dariku. Sesampainya di pintu, ia tak lantas melintas, melainkan terdiam di ambangnya. Aku nyaris bertanya, tetapi sebelum itu ia lebih dulu bicara dengan volume suara yang sama seperti sebelumnya. "Terima kasih karena kamu tetap memperhatikanku dan tidak mengabaikan amanat dari Mama. Maaf untuk semuanya, hyung."

Wow. Aku terharu.

***

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

23.9K 2.2K 9
"Kalau rumah saya pergi saya harus pulang kemana lagi?"
187K 8.2K 43
(Perfect cover by @alphagraphic) Giandra Claretta, gadis pintar dengan wajah cantik. Dipertemukan dengan Atha, laki-laki yang menurut Giandra sangat...
989K 59.9K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
Dear Om Par Nev Nov

Roman d'amour

621K 62.5K 38
Felicia 20 tahun, gadis ceria yang patah hati karena pacar yang mencampakkannya. Pernikahan papanya membawa jalan kedekatanya dengan Reiga Pratama, l...