cromulent | jaemren

By adshilalala

17.5K 2.6K 483

NCT Dream adalah salah satu grup idola paling ideal untuk digemari. Definisi rangkuman dari segala hal baik y... More

0
chapter 1 - sekumpulan eritrosit
chapter 2 - milky way dan andromeda
chapter 3 - iblis terkutuk
chapter 4 - primrose
chapter 5 - sekte abal-abal
chapter 6 - anime
chapter 7 - mesin waktu doraemon
chapter 8 - renjun
chapter 9 - lubang cacing
chapter 10 - neraka
chapter 11 - roh jahat
chapter 13 - hierarki
chapter 14 - predator dan mangsa
chapter 15 - timun mas dan raksasa
bukan update
chapter 16 - reinkarnasi
chapter 17 - puncak acara
chapter 18 - selebrasi
chapter 19 - guciku
chapter 20 - bangunan tiga lantai
chapter 21 - drama
chapter 22 - efek negatif
chapter 23 - dunia baru
chapter 24 - normal
chapter 25 - perasaan konyol
chapter 26 - pengecualian
chapter 27 - koma dan titik
chapter 28 - nada ritual
chapter 29 - terlarang
chapter 30 - program kepala

chapter 12 - peran utama

602 101 61
By adshilalala

Rampung dengan jadwal yang padat merayap dari fajar sampai gelap, kelopak mataku dibuat melebar sedikit oleh pesan yang menyambar-nyambar ponsel ketika datanya dinyalakan. Tiga dari Wonwoo, delapan dari Ju-yeon, satu dari Jisung.

Terlebih dahulu aku membuka gelembung yang dikirim Wonwoo. Dia mengetik "Hai" sebagai salam pembuka– tak pernah absen dilakukan setiap menghubungiku –disusul stiker menggemaskan, lalu memilih pertanyaan apakah aku sibuk atau tidak sebagai pendahuluan, baru menjelaskan inti yang berupa satu ajakan.

Aku punya waktu luang tiga jam sebelum ke agensi. Bisakah aku menggunakannya untuk menemuimu?

Namun fokusku terjerat di serangkai kata yang menciptakan senyum dan tidak afdol rasanya kalau tidak dibaca berulang-ulang.

Aku merindukanmu.

Bateraiku yang tinggal duapuluh persen mendadak kelebihan kapasitas, membuat agak eror sampai aku berguling-guling di kasur. Kenyang kegirangan macam remaja puber kasmaran, aku berhenti, tengkurap sambil masih nyengir, lanjut membuka pesan lain yang belum ditengok. Kali ini dari Ju-yeon.

Meskipun kata pengantarnya cukup panjang–juga disertakan alasan kenapa dia jarang menghubungiku belakangan, pesan yang ia kirimkan kurang lebih isinya sama dengan Wonwoo. Dia mengajakku pergi, tapi dua kata terakhirnya yang berbunyi,

Aku merindukanmu.

membikin aku mengerjap karena bisa-bisanya dua orang itu seperti punya ikatan batin.

Aku mengedik kepala dan beralih ke ruang obrolan bersama Jisung. Dia paling singkat, padat dan memerintah.

Besok temani aku hyung, aku ada rencana mau membeli kemeja.

Belum satupun dari mereka mendapat balasan tatkala pintu diterobos dengan kumandang,

"Ayo ikut denganku."

Rasanya aku mau jadi amuba agar bisa membelah diri.

Karena gemingku Jaemin bertanya,
"Kamu sudah punya janji?"

Aku menggeleng lalu menganguk pelan, memantik heran sampai alisnya mengerut.

"Jadi?"

"Aku akan pergi denganmu."

"Kalau begitu siap-siap. Aku tunggu di bawah."

Biarlah tiga yang lain kutolak karena tidak mungkin aku menyia-nyiakan seorang Na Jaemin yang mengajak pergi berdua. Aku tidak pernah membayangkan kalau kami akhirnya akan berkencan. Haha, bolehkah kuanggap begitu?

Seperempat jam semangat memilah pakaian, menggunakan tipis riasan dilengkapi kacamata kesayangan, aku mematut diri di depan cermin. Decapku tak tertahan. Soal penampilan, aku memang paling keren.

Kursi samping pengemudi kutempati, sementara Jaemin berperan sebagai pemegang kendali pedal. Kami menggunakan mobil pribadinya, omong-omong. Senyumku merekah tipis, tak sabar dengan gagasan malam romantis yang telah berjubal di kepalaku.

Kala kendaraan telah diparkir dengan apik, aku dituntun ke sebuah kafe dan langsung tertuju pada satu meja. Lima langkah di belakang Jaemin, aku membeku seraya bertanya-tanya apakah ternyata aku terlalu percaya diri. Seketika raut bahagiaku dikarau masam. Dreamies ada di sini.

"Hyung, kemari." Jisung mempersilakanku mendarat di kursi sebelahnya. Aku masih belum bisa merespons dengan benar, masih terimbas kaget sebab apa yang kuhadapi tidak sesuai ekpektasi.

"Kamu mengajak dia?" Mark melirikku skeptis, pertanyaannya dirujuk pada Jaemin yang menjatuhkan diri di samping Chenle.

"Ya."

"Wae?"

"Karena dia juga bagian dari kita." Acuh tak acuh Jaemin menyahut.

"Kita mau merayakan ulang tahun Haechan. Kamu yakin dia tidak akan merusak suasana?"

Oh ....

Huh, apa yang kamu harapkan Ren. Jaemin mengajakmu kencan? Yang benar saja! Kamu bukan peran utamanya di sini.

*

Detik seperti menit, menit seolah jam dan jam sebanding hari. Untuk pertama kali aku merasakan periode paling panjang di hidupku.

Sejujurnya aku mulai berpikir kalau Mark benar. Keberadaanku hanya merusak suasana. Aku sadar betul akan ketidakmampuanku mengkondisikan pembawaan. Bak mengalami kemacetan mesin, aku tidak dapat mengatur ekspresiku ke mode biasa. Cemberutku terlalu gamblang dan keseringan melengos.

Ini sebatas acara makan biasa. Daging sapi ditemani soju, pada sebuah kedai yang sudah tersewa untuk kami semalaman. Tempat luas yang bisa menampung sampai dua rombongan karyawisata, sekarang hanya berisi kami. Namun tak usah risau, enam eksistensi sudah cukup guna memenuhi lengang.

Si pemilik hari sedang dikerubungi, bersama Jeno dan Jaemin di kanan-kiri.  Sedangkan aku bagai figuran yang perannya tak akan berpengaruh pada jalan cerita; duduk di ujung meja, kian terasa jauh dari letus tawa yang tersangkut di seluruh sudut. Juga di telingaku yang meredup.

Beginikah cara mereka merayakan kelahiran anggota?

Beginikah sensasi yang tak pernah kurasakan bertahun-tahun?

Aku ingin seperti ini.

Aku ingin diperlakukan begini.

Aku ingin di sini ....

Sebagai bintangnya.

Sebagai seseorang yang menerima cinta dan hadiah berharga.

Tapi situasi ini terlalu baru, sampai-sampai aku tidak sanggup bertahan lebih lama.

"Hyung, kamu melamun?" Jisung menegurku sembari mendekat.

Aku menggeleng, berkilah. "Tidak. Hanya ... sedikit terharu. Kukira aku tidak akan tahu bagiamana rasanya menjadi bagian dari kalian. Senang sekali Jaemin memperbolehkanku ikut." Meski Haechan dan Mark menolak secara terang-terangan.

Aku melipat bibir, tampak Jisung tidak percaya dengan omonganku.

Dia bangkit, mengambil daging sapi dari atas panggangan ke dalam mangkuk kecil dan membawanya ke hadapanku. "Makanlah, hyung. Sejak tadi kamu hanya diam."

Pucuk kepala bersurai cokelat kuusap sepenuh syukur. Jisung satu-satunya yang berdiri di sampingku tanpa pamrih dan keberadaannya cukup untuk menjadi alasan terbesar agar aku bertahan. "Gomawo."

Dengan mata kecilnya Jisung mengiringiku. Malangnya suapan pertama bertepatan dengan senyum Jaemin yang mekar, menatap Haechan dengan pandangan yang diam-diam kudambakan. Gerak mengunyahku berangsur pelan, dalam benak penasaran. Apakah memang tak ada kesempatan untukku?

Lara menyerang serupa mikroorganisme jahat yang mencemari hati, timbul luka dan mata bertabir bening. Aku menunduk, terkekeh sumbang. Rasanya seperti manusia paling menyedihkan; masih tidak dilirik biar segala telah dipasrahkan. Namun sialan sekali lagi-lagi batinku berbisik tentang cinta, satu hal yang tak bisa kupungkiri.

Harus apa aku agar dia mau melihatku?

"Aku pulang duluan, Ji," beritahuku kepada si Maknae yang sedang sibuk mengabadikan momen padat kebahagiaan di ujung meja lainnya.

"Eh? Hyung mau ke mana? Hyung?!"

Langkah dipacu, setengah lari aku abai kepada panggilan Jisung.

Di batas pematang jalan, sebisa mungkin aku menyamarkan diri dari banyak manusia yang masih beraktivitas. Terburu mengutak-atik ponsel demi menghubungi seseorang, aku menggigit bibir, mulai risau di panggilan ketiga yang belum jua bersambut.

"Halo."

"Masih ada satu jam. Apa aku punya kesempatan?"

*

Sedikit paksaan dariku mengharuskan Wonwoo tetap menjemput meski sedang bersama kawan-kawannya. Aku merasa sedikit tidak enak, namun tidak ada cara lain yang bisa ketemukan supaya tak berujung sendirian di dorm.

"Karena kamu tidak menjawab kupikir itu berarti penolakan."

Aku meringis, tak punya penjelasan yang wajar. "Maaf, hyung. Aku kelupaan karena kami sedang merayakan ulang tahun Haechan."

"Oh ya? Lalu kenapa kamu pergi denganku?" tanya dia selagi fokus akan jalanan yang cukup lengang.

"Sudah selesai, kok."

Dia bergumam. "Tapi kamu serius tidak apa-apa dengan temanku? Jika kamu tidak nyaman, kita bisa–"

"Aku tidak apa-apa, sungguh," balasku serius. Tidak masalah bergaul dengan manusia asing asalkan tidak harus pulang segera.

Pemberhentian kami telah diberitahukan oleh Wonwoo dengan lidah yang berbelit. Aku sempat bingung kenapa dia terkesan berputar-putar, nyatanya cuma karena sebuah tempat karaoke yang cukup ternama. Begitu turun, aku teringat sesuatu. "Bukankah tadi hyung bilang masih harus ke agensi?"

Dia menggaruk belakang kepala. "Tidak jadi."

"Makanya kalian pergi bersenang-senang?"

"Ya ... begitulah."

"Kupikir semua orang dewasa lebih suka membuang waktu di kelab."

"Benar, kan?!" sambut dia terlampau cepat. "Aku juga berpikir begitu!"

"Lalu kenapa jadi di sini?"

"Ini bukan ideku, tapi Joshua dan Dokyeom! Katanya untuk mengenang masa-masa miskin kami saat masih trainee!" Yang ini ia ucap pakai satu tarikan napas.

Ah, aku paham sekarang. Agaknya di sedikit ... malu? Mengetahuinya membuatku tergelitik. "Oke, hyung. Aku mengerti."

Tadi aku tidak sempat memprediksi akan adanya serangan gugup, namun tampaknya sudah kepalang untuk saat ini. Tanpa sadar aku mengerem langkah dan seolah semua tertulis di dahiku, Wonwoo langsung tahu. "Tidak apa-apa. Temanku baik, kok. Sejauh ini mereka belum pernah mengigit orang."

Hah?

Perkataannya justeru membuatku takut.

"Ayo, masuk."

"T–tapi hyung–"

Begitu didorong melewati pintu salah satu ruangan, gelisahku membesar sampai aku sendiri tertelan. Namun kemudian prasangkaku terpental begitu Jun menyongsong dan merangkul. Dia tersenyum, mengirimkan lega sekaligus menjadi penawar atas luka yang hampir meradang. Ketegangan di bahu luluh lantak, senyum mulai terbit. Mereka menerimaku. Tidak ada diskriminasi tak masuk akal. Tidak dianggap sebagai perusak. Tidak disingkirkan sebagai peran pembantu.

"Bagiamana kabarmu, huh? Setelah kenal dia kamu mulai berani mengabaikanku." Jun protes, menuding Wonwoo pakai dagu.

"Bukan begitu hyung," Aku meremas pahanya memperingatkan. Walau benar, tapi tak perlu dibeberkan di depan oknum yang bersangkutan!

"Bukan begitu bagiamana?"

Aduh!

Aku bergeser menuju Wonwoo dan Jun mendecih geli. Dua orang ini kemudian berkomunikasi lewat telepati. Hebat. Lalu Jun bergabung dengan yang lain, berhenti mendesakku.

"Hyung tidak ikut bergabung?"

"Aniya. Aku bukan orang aneh seperti mereka."

Mulutnya bilang begitu, tapi dia seperti tidak tahan ingin turut serta.

"Tidak apa-apa, hyung. Pergilah."

Wonwoo menatapku dan keributan teman-temannya bergantian. "Kamu ingin aku bergabung dengan mereka?"

"Hum."

"Baiklah."

Tapi ...

"Aku akan menemanimu di sini saja."

tidak jadi begitu lihat salah seorang temannya bergelagat ingin mendekat.

Tawaku lepas kendali. "Kamu lucu sekali, hyung."

Dia tidak merespons secara vokal, tetapi merah di telinga dan bilahnya yang tersungging kecil sangat menggoda untuk dicium–eh. Bercanda.

Waktu bergulir cepat dan sejauh ini aku duduk menonton sambil menikmati segelas bir, secara mandiri menghitung jumlah kepala termasuk lelaki di samping. Sepuluh.

"Tiga lagi tidak ikut," sahut Wonwoo.

Aku mengangguk, bermodal penasaran berusaha membelah bising. "Apa mereka memang seenerjik ini?"

"Iya," bisiknya di telingaku, meringis. "Kuharap kamu tidak illfeel dengan mereka."

Aku menggeleng. Malahan sejak tadi terbahak dengan kelakuan mereka yang esentrik. Maksudku, seluruh dunia hanya perlu menyaksikan tingkah hiperaktif para lelaki ini untuk menaikkan suasana hati atau mengocok perut sampai kram. "Sama sekali tidak, hyung. Malah aku berterimakasih karena kamu mau membawaku ke sini."

Dia tersenyum, seperti biasa dengan ketampanan yang di atas rata-rata. "Syukurlah kalau begitu. Jangan sedih lagi, ya."

Aku tercekat, bagaimana bisa dia tahu?

"Jelas terlihat sejak awal aku melihatku yang berdiri canggung di trotoar. Aku tidak tahu apa yang membuatmu sedih, tapi kuharap aku bisa melihat senyummu lebih banyak setelah ini."

Tak perlu disuruh dua kali, aku menarik kedua tepi bibir. "Segini cukup?"

Dia tergelak, sedikit namun aku pastikan jika suaranya beresonansi di dadaku. Betapa beruntung orang yang bisa melihat pemandangan ini setiap hari.

Dehaman yang sangat disengaja menyelinap, datang dari ... ugh, siapa ya? Aku belum bisa mengenali mereka satu-satu. Pokoknya dia yang warna kulitnya satu level lebih gelap di bawah kami. Merapat di sebelahku. "Nah. Begini dong. Uri gongjunim sangat cantik kalau tersenyum."

Astaga. Tolong jangan dengarkan dia. Sejak pertama melihatku, dia mendeklarasikan diriku sebagai "gongjunim", menyeru lewat mikrofon. Aku tidak risi, cuma agak malu. "Ha–ha, terima kasih hyung."

Dia mengerling. "Apa aku membuatmu senang?"

"Tentu hyung. Kamu orang yang sangat menyenangkan."

Hidung bangirnya berkerut dengan senyum jahil yang masih terpatri. "Kalau begitu lain kali aku akan membuatmu lebih senang. Jadi apa boleh aku–"

"Sebaiknya aku mengantarmu pulang. Kita hanya janji pergi selama satu jam, ini sudah lebih dari itu." Wonwoo menukas gesit.

Aku melirik arloji, mengetahui waktu yang telah larut. "Iya, hyung."

Lekas aku berpamitan. Seperti saat datang, mereka mengantarku dengan baik. Berpesan untuk hati-hati di jalan.

Pulang ditempuh dengan waktu yang lumayan singkat. Selain karena lalu lintas yang lancar, jaraknya tak terlalu jauh. Begitu laju dihentikan dan aku akan pamit, Wonwoo terlebih dahulu bicara. "Sudah sampai, gongjunim."

Aku mendengus main-main. "Kumohon jangan ikut-ikutan, hyung."

Dia menulis senyum hangat di atas wajahnya, mengusak puncak kepalaku. "Arraseo. Sana masuk. Selamat malam, Renjun."

Aku manggut-manggut. "Selamat malam, hyung. Aku masuk dulu. Jangan ngebut, oke?"

"Siap laksanakan, gongjunim."

Mataku melotot memperingati, sedang dia melepas seuntai kurva manis sebagai penutup.

Dorm senyap tatkala aku mendorong pintu, masuk dengan langkah pelan. Tiba di kamar, tanpa melirik kemana-mana aku meletakkan barang bawaan dan berniat membasuh diri. Akan tetapi tepat ketika berbalik selepas mengambil pakaian di almari, aku dikagetkan dengan sosok Jaemin. Berhubung sedang malas bicara padanya, aku mendelik dan melenggang ke kamar mandi. Andai dia tak mencekalku dengan satu pertanyaan.

"Dari mana saja kamu?"

Ogah meladeni sebenarnya, tapi aku tahu kalau Jaemin akan terus merongrong. Kuempas tangan yang melingkar di pergelangan. "Menemui teman."

"Teman siapa?"

"Apa pedulimu?"

"Staf yang selalu cari perhatian itu?"

Ya Tuhan, aku benar-benar tak bisa menghadapi perangainya yang ini. Namun Jaemin adalah seorang pemaksa menjengkelkan.

"Aku sedang bertanya padamu," ujar dia kesal. "Kamu pergi begitu saja. Pamit pulang pada Jisung tapi ternyata tidak. Belum lagi kamu tidak bisa dihubungi."

"Aku tidak sempat mengecek ponsel."

"Semenyenangkan itu kegiatan kalian sampai tak sadar apapun?" Intonasi Jaemin seakan sedang menginterogasi. Aku selalu tidak nyaman jika dia sudah begini.

"Biarkan aku membersihkan diri dulu. Kita bicara nanti," pungkasku, gegas pergi ke kamar mandi, tak ingin memberinya celah untuk menghadang kembali.

Jaemin duduk di pinggir ranjang tatkala ritual malamku usai. Siapa sangka dia akan langsung menagih janjku.

"Kamu–"

"Aku pergi dengan Wonwoo hyung."

Kening Jaemin mengernyit. "Teman Jun hyung yang mengajakmu bicara waktu itu?"

"Iya," balasku sembari mengusak rambut menggunakan handuk.


Tiba-tiba saja dia mengajukan perintah yang sekeketika membuat emosiku naik ke ubun-ubun, muak. "Jangan terlalu dengat dengan laki-laki selain aku."

"Tidak mau."

"Renjun," peringatkan dia.

"Tidak mau."

"Yak, Huang Renjun!"

"Akan kulakukan," kataku, sekuat tenaga menahan diri agar tak bernada lantang. "Asal kamu bisa menjelaskan apa hakmu dalam mengatur hidupku."

Dia hilang kata-kata. Aku merotasikan mata dan berderap ke kasur, tak sabar ingin merebahkan diri dari hidup yang melelahkan. Tapi selanjutnya pejamku tetap terganggu.

"Bisakah kamu menuruti saja perkataanku tanpa banyak mendebat?"

Kepalaku seperti hampir meledak saat bangkit meninggalkan bantal dan alam mimpi yang sudah hampir membuai. "Sepertinya kamu salah sangka. Aku membiarkanmu melewati batas bukan berarti memberi akses untuk bebas ikut campur apalagi mengekang. Aku hanya ingin MEMBUNGKAMMU, paham?" tekanku padanya. "Jangan berpikir kalau kamu memilikiku hanya karena kamu tahu seluk beluk tubuhku."

Sudut bibir Jaemin terangkat sebelah, mendekat sampai nyaris tak tersisa jeda di antara kami. "Rupanya kamu masih bisa angkuh begini, ya?"

Tajam matanya membangkitkan kewaspadaan. Aku tidak dapat menebak apa yang ada di baliknya.

"Sepertinya kamu juga lupa kalau aku memiliki semua yang bisa menghancurkan karir bahkan hidupmu sampai tak bersisa."

Tentu aku tidak pernah lupa sesuatu yang membuatku waswas tiap berhadapan dengannya. Aku harus selalu hati-hati agar ia tidak melakukan kegilaan yang bisa mengusik ketenanganku, meski itu berarti harus sedia untuk "dipergunakan" olehnya. Mataku memejam kuat dengan tangan mengepal. "Kelihatannya kamu sangat menikmati saat merendahkanku?"

"Tentu saja. Kamu pikir aku akan menyukaimu setelah yang kamu lakukan? Kamu pikir sikapku melunak karena mulai jatuh cinta? Tcih. Naif sekali. Aku melakukannya hitung-hitung sebagai rasa terima kasih karena kamu sudah mau menjadi jalangku. Ya, setidaknya aku masih punya belas kasihan padamu untuk tidak terus berbuat kasar sementara kamu sudah memberikan tubuhmu secara cuma-cuma."

Entah dia serius atau hanya terbawa emosi, namun hatiku tetap tercabik. Sungguh sakit sampai aku tak bisa merasakan sakit itu sendiri, kebas. "Terima kasih atas kemurahan hatimu, tapi kamu tidak usah repot-repot hanya karena seorang jalang sepertiku. Sejak awal aku yang menyerahkan martabatku di kakimu, jadi bersikaplah seperti Na Jaemin yang biasa. Kamu tidak berkewajiban memberi timbal balik. Dan aku akan tetap mempertahankan karir yang sudah setengah mati kuraih, kamu tidak perlu takut kehilangan jalang setelah ini. Pakai saja aku lalu tinggalkan setelah puas, maka sebagai gantinya kamu harus tetap diam." Mengingat masih ada yang mau kukatakan, aku menyambung. "Perasaanku adalah urusanku. Aku tidak akan memintamu bertanggungjawab. Kamu tidak perlu khawatir."

Lagipula sekarang rasa tahu diriku sudah kembali. Aku memang tidak akan bisa memilikinya. Dia terlampau tinggi untuk kuraih. Biar aku menjadi pungguk yang merindukan bulan sampai masanya usai.

Jaemin bersidekap dada, tak terkesan denganku yang perlahan hancur di depannya. "Baiklah kalau begitu, aku akan menggunakanmu sampai puas, kemudian membuangmu seperti sampah. Saat itu terjadi pastikan jangan  mengemis padaku dan bertingkah seolah aku menacampakanmu."

Kepalaku terasa berat seolah-olah ditimpa batu raksasa yang tidak tahu berasal dari mana. Kerepotan meski sekadar menelan saliva. "... Karena kesepakatan kita tidak mencakup perasaan, bisakah kamu berhenti mengaturku? Seperti katamu, kamu tidak akan pernah menyukaiku, jadi tidak ada alasan untukmu–"

"Tidak."

"Wae?" sahutku nyaring lantaran tak habis pikir.

"Aku hanya tidak mau satu pakai dengan orang lain, itu menjijikan. Kamu bisa memberikan dirimu padaku, tidak menutup kemungkinan kamu akan melakukannya pada orang lain."

"Apa di matamu aku serendah itu?!"

"Iya," timpal dia tanpa berpikir, lantas pergi meninggalkanku dengan bantingan pintu.

***

Aku mau minta maaf semisal kalian ada yang kurang srek dengan aku yang mengikutsertakan Wonwoo sebagai pemeran di sini. Aku nggak ada niat nge-ship kok. Cuma ya, lucu aja gitu ngehaluainnya haha. Selain karena belakangan aku kepincut sama dia sih.

Fyi, tadinya aku mau Joshua, tapi susah banget ngilangin citra dia di otakku. Aku butuh karakter yang ada kalem-kalemnya dikit, sementara Joshua kan anak spesial :)

Continue Reading

You'll Also Like

31.3K 3.1K 24
Kehidupan anak-anak rantau lintas negara yang hidup dan tinggal satu atap di dalam kosan yang sering di sebut kosin "kos internasional" atau "interna...
27K 2.9K 12
Just like rain, love doesn't choose the grass on which it falls. ~Adoption~ __________________♡♡__________________ Huang Renjun - [Sub]. Na Jaemin...
379K 39.3K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
965K 78.5K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...