Best Scandal

By desiariaa

4.8K 450 44

Ada sepuluh siswa pilihan yang menjadi panutan siswa-siswa lain sekaligus menjadi andalan para guru di SMA Tr... More

Scandal - 1
Scandal - 2
Scandal - 3
Scandal - 4
Scandal - 5
Scandal - 6
Scandal - 7
Scandal - 8
Scandal - 9
Scandal - 10
Scandal - 11
Scandal - 12
Scandal - 13
Scandal - 14
Scandal - 15
Scandal - 16
Scandal - 17
Scandal - 18
Scandal - 19
Scandal - 20
Scandal - 21
Scandal - 22
Scandal - 23
Scandal - 24
Scandal - 25
Scandal - 26
Scandal - 27
Scandal - 28
Scandal - 29
Scandal - 30
Scandal - 31
Scandal - 32
Scandal - 33
Scandal - 34
Scandal - 35
Scandal - 36
Scandal - 37
Scandal - 38
Untitled Part 39
Scandal - 40
Scandal - 41
Scandal - 42
Scandal - 43
Scandal - 44
Scandal - 45
Scandal - 47
Scandal - 48
Scandal - 49
Scandal - 50
Scandal - 51
Scandal - 52
Scandal - 53
Scandal - 54
Scandal - 55
Scandal - 56
Scandal - 57
Scandal - 58
Scandal - 59
Scandal - 60
Scandal - 61
Scandal - 62
Scandal - 63
Scandal - 64
Scandal - 65
Scandal - 66
Scandal - 67
Scandal - 68
Scandal - 69
Scandal - 70

Scandal - 46

42 6 0
By desiariaa

Senyum Denver merekah begitu cewek yang ia tunggu akhirnya tiba. Cewek itu jika tidak menggunakan seragam sekolah terlihat jauh lebih cantik. Apalagi dengan hotpants yang ia pakai. Menimbulkan kesan cute dan seksi dalam waktu yang bersamaan.

"Mau ngomongin apa?" tanya Ribi begitu duduk di seberang Denver. Di sebuah coffee shop tengah kota yang cukup ramai di hari Kamis malam ini. Tempat yang Ribi pilih ketika Denver mengajaknya untuk bertemu karena ada hal penting yang harus ia sampaikan.

"You're so cute, Bi."

"Dari dulu kan?"

Tawa Denver segera pecah. Gadis ini memang paling tidak bisa untuk ia puji. Tidak mempan! "Lo bawa mobil sendiri? Atau lo dianter supir?" tanyanya kemudian.

Ribi mendecak. "Udah deh. Buruan kenapa sih? Nggak usah banyak tanya kayak wartawan."

"Biar lamaan dikit, Bi." Kata Denver tanpa menutup-nutupi tujuannya yang sengaja berbasa-basi.

Ribi hanya mendengus. Lalu ia melirik segelas minuman dingin di hadapannya. "Ini minum gue?" tunjuknya.

"Ya, buat lo. Minum gih, mumpung es-nya belum cair."

"Nggak lo kasih racun kan?"

"Daripada ngasih lo racun, mending ngasih lo jampi-jampi biar bucin ke gue."

Ribi kembali mendengus. Lalu ia pun mengambil minuman dingin itu dan meminumnya.

"Bi," cowok itu memanggil.

"Hm?" sambil mengembalikan gelas ke meja, Ribi menggumam.

"Gue bakal ngasih tau ke semua orang tentang siapa sebenernya River."

Kening Ribi seketika mengerut. Sepertinya Denver sudah mulai serius menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan kepadanya.

"Lo nggak lupa kan, tujuan gue ke Tribe untuk apa?"

"Ver—"

"BI!" tanpa sadar suara Denver meninggi. Sontak Ribi kaget. Bahkan ia sendiri yang membentak Ribi juga ikut kaget. "Sori..." ucapnya kemudian dengan pelan dan segera menyesali bentakannya.

Ribi hanya diam. Tak mengatakan apa-apa.

"Ini bukan cuma tentang River. Tapi ini juga tentang Enzo."

Nafas Ribi seketika tertahan. Tangannya tanpa terasa juga sudah terkepal di atas pahanya.

**

Ribi terus tenggelam dalam pikirannya selama ia berada di dalam mobil, sepulang dari pertemuannya dengan Denver. Kepalanya terkulai, menempel di kaca samping. Matanya terus tertuju pada pemandangan samping. Yang ramai dan bising oleh kendaraan yang padat merayap.

Enzo. Nama yang sudah tidak pernah Ribi dengar sampai tadi Denver menyebutnya. Nama itu dulu seringkali terngiang di kepala Ribi. Bahkan ketika ia di SMP, nama itu selalu hadir bersama nama-nama lain seperti Denver dan... River.

Namun karena suatu yang tak terduga terjadi, Enzo memilik nasib yang berbeda darinya, dari Denver dan dari River. Enzo—

"Non," panggilan sang supir membuat Ribi tersadar.

"Mmm, iya, Pak?"

"Mau Bapak anter pulang kemana?"

"Ke rum—hotel aja, Pak." Ribi sempat ragu sebelum memutuskan untuk pulang ke hotel.

"Nggak ke rumah aja, Non? Rumah sepi loh, Non."

"Ada Bi Jum, Bi Nani. Ada juga sound system, karaoke. Harusnya nggak sepi, Pak." Canda Ribi.

"Yah, Non. Maksudnya sepi nggak ada Non Ribi." Ujar sang supir menepis candaan Ribi.

Ribi menghembuskan nafas dan kembali menatap pemandangan samping. "Ya gimana, Pak, papa juga nggak pernah pulang. Jadi buat apa Ribi pulang?"

Pak supir pun terdiam. Jika sudah begini, tidak ada lagi yang bisa ia katakan untuk Ribi.

"Pak, mampir ke minimarket depan dulu ya? Ribi pengen beli air mineral. Bapak mau nggak?"

Sampai di minimarket, Ribi segera turun. Akhir-akhir ini entah kenapa ia merasa lebih sering merasa haus. Bagus sih, hitung-hitung kebutuhan air putihnya jadi tercukupi. Setelah mengambil dua botol air mineral dan roti untuk sang supir, Ribi bergegas ke meja kasir untuk membayar. Untung saja tidak antri panjang, jadi cepat deh.

Semula Ribi mau langsung kembali ke mobilnya, namun langkahnya mendadak terhenti saat tanpa sengaja ia melihat seseorang yang ia kenal dengan baik tengah berjalan membelakanginya bersama dengan seorang gadis. Meski Ribi tidak melihat wajahnya, namun Ribi yakin kalau orang itu adalah...

Ya. Benar. River!

River bersama seorang gadis tak begitu jauh darinya. Tengah jalan berdua lalu masuk ke dalam mobil yang sama. Mobil River. Setelah tampak si gadis berbicara singkat, River segera menjalankan mobilnya lalu pergi dari tempat parkir minimarket itu. Tanpa pernah menyadari keberadaan Ribi.

Terkejut. Kaget. Syok. Dan terguncang Ribi melihatnya. River yang ia tau tidak dekat dengan gadis mana pun, ternyata tidak demikian ya? Kecewa? Ya. Sedih? Ya. Marah? Ya. Perasaan Ribi benar-benar kacau!

**

"Jadi kapan?"

Quina menghembuskan nafasnya pelan, kemudian menoleh ke arah River yang menyupir di sampingnya. "Sabar, Ver."

"Gue nggak bisa nunggu lebih lama." Kata River tetap fokus pada kemudinya.

"Ver, itu kan udah berlalu. Orang-orang juga udah lupa. Jadi buat apa sih?" Quina benar-benar tidak habis pikir, kenapa River amat sangat menginginkan itu.

"Bukan urusan lo."

Kali ini Quina menghembuskan nafasnya kasar sambil menyandarkan kepala ke sandaran. Ia memijit pelipisnya yang berdenyut sakit. "Nanti kalo dia udah ngasih, gue pasti ngasih tau lo."

"Thanks."

Quina lirik cowok di sebelahnya. "Bener-bener lo ya, mau gue deketin cuma karena itu?" Terbersit rasa kecewa dan sedih di raut wajahnya.

"Ya. Sori."

**

"Party?" Cassie terkejut. Pasalnya ia baru saja mendengar rencana BEST yang akan melakukan pesta dari mulut Kiel pagi ini.

Kiel mengangguk mantap.

"Party apa, Kak? Dalam rangka apa?"

Senyum Kiel terkembang, "Bukan party aneh-aneh kok. Paling mentok BBQ party."

Cassie mengangguk-angguk. "Kalian semua ikut?"

"Ya kan emang acara BEST. Jadi wajib ikut dong. Kenapa? Lo pengen ikut juga ya?" senyum usil Kiel kini menggantikan senyumnya yang tadi.

Salah! Tujuan Cassie hanya untuk memastikan apakah Gangga akan ikut atau tidak? Kok sampai hari ini Gangga tidak mengatakan apa-apa? Cassie pun menggeleng. "Saya tau, itu acara kalian. Jadi mana mungkin saya ikut, Kak."

"Sebenernya gue pengen lo ikut sih. Biar gue ada partner. Tapi ntar yang lain iri. Ya maklum, cuma gue yang punya pacar."

Nyeri! Karena nyatanya Cassie juga menjalin hubungan dengan Gangga.

"Oh, lupa! Nggak cuma gue, deng. Tapi Kak Seven juga!"

Mata Cassie pun melotot, "Eh? Kak Sev—"

Kiel langsung membungkam mulut Cassie dengan telapak tangannya. "Jangan kenceng-kenceng. Ini masih fresh."

Cassie mengangguk patuh. Jujur ia penasaran siapa cewek beruntung yang bisa menjadi pacar seorang Seven?

"Kak Seven pacaran sama Anjani."

**

Di hari itu juga, Cassie segera meminta konfirmasi pada Anjani. Bukannya bagaimana, Cassie hanya ingin memastikan kebenaran berita baik itu secara langsung kepada yang bersangkutan.

"Lo ngomong apa sih?" Anjani membuang muka. Menyembunyikan wajahnya yang memerah dari Cassie.

"Eh?" Cassie jadi bingung lantaran respon Anjani malah begitu.

"Gue nggak pacaran sama Kak Seven." Lanjut Anjani dengan suara kecil.

"EH?" Cassie refleks berdiri dan menjerit. Buru-buru ia tutup mulutnya sebelum ada yang menoleh dan memperhatikan dirinya dan Anjani. Ia pun kembali duduk merapat pada Anjani, "Tapi Kak Kiel bilang kalo Kak Seven pacaran sama lo."

Anjani menggeleng.

"Berarti Kak Kiel bohong ya?"

Dengan gestur yang tidak nyaman, Anjani menatap Cassie. "Kak Seven cuma bilang yang kalo gue tangkep isinya... Dia suka sama gue."

Senyum cerah Cassie segera terlihat. "Jadi Kak Kiel nggak bohong dong!"

Anjani tetap menggeleng. "Kak Seven cuma bilang gitu. Nggak ada Kak Seven ngajakin jadian, pacaran atau... apa pun. Nggak ada."

Senyum Cassie mendadak redup. "Jadi?"

"Ya itu tadi, gue sama Kak Seven nggak pacaran. Kita nggak jadian."

"Tapi lo suka sama Kak Seven nggak?"

Pertanyaan Cassie membuat wajah merah Anjani kian merah. Saking merahnya, sampai sudah seperti tomat.

**

Kegiatan BEST hari ini berakhir lebih cepat dari biasanya. Dikarenakan pekerjaan mereka memang sudah selesai, ditambah besok pagi menjelang siang, mereka akan pergi bersama-sama ke puncak. Tempat mereka akan melakukan party sesuai kesepakatan bersama.

"Ga, gue ikut pulang lo ya?" Ribi segera mendekati Gangga sebelum cowok itu keluar dari campbest.

"Supir lo mana? Akhir-akhir ini kan lo dijemput supir mulu?" satu alis Gangga terangkat.

Ribi menggeleng. "Lagi nggak bisa jemput. Makanya gue ikut ya?"

"Sama dia aja." Gangga mengedikkan dagu ke arah River.

Dengan cepat Ribi menggeleng setelah tau siapa yang Gangga maksud. "Sama lo aja."

Gangga pun menatap mata River yang tengah menatapnya. Seperti sedang memberi kode, apakah tidak apa-apa jika Ribi bersamanya? Satu anggukan kecil dari River akhirnya membuat Gangga meloloskan permintaan Ribi.

"Ga, Bi, kalian mau langsung pulang?" Kiel segera menghampiri Gangga dan Ribi yang sudah sampai ambang pintu.

"Iya." Gangga menjawab.

"Gue ada 4 tiket pameran seni 3D. Yuk, Bi. Gabung. Itung-itung kita kayak double date. Gue sama Cassie. Lo sama Gangga."

"Gue—"

"Boleh!" Ribi langsung mengiyakan tanpa memikirkan pendapat Gangga. Maupun perasaan River yang terang-terang melihat dan mendengarnya.

**

Suasana super duper tidak mengenakkan dan awkward! Khususnya bagi Cassie. Karena selain harus berhadapan langsung dengan Kiel dan Gangga, juga karena keberadaan Ribi yang di sini posisinya menemani Gangga. Terlebih tau sendiri bagaimana sikap Ribi kan?

Cewek itu tak segan untuk merangkul Gangga, memeluk lengan Gangga, bahkan memukul lengan Gangga. Pokoknya kontak fisik semacam itu lah. Sedangkan Cassie yang notabene pacar—gelap—saja tidak seberani itu!

Setelah puas menonton pameran seni 3D, mereka pun lanjut untuk mengisi perut. Restoran tempat mereka makan, dipilih berdasarkan pilihan sepihak Kiel. Ketika memilih menu, Kiel dan Ribi menjadi dua orang paling heboh. Sedangkan Gangga dan Cassie hanya diam dan pasrah-pasrah saja. Mau dipesankan apa pun, terserah.

"Gue nggak nyangka, awet juga lo jadi pacarnya Kiel. Kok bisa, Cas?" Ribi memulai obrolan dengan menjadikan Cassie sebagai topik pembicaraan.

Mata Cassie melebar. Tidak menyangka dirinya akan ditodong pertanyaan menohok seperti itu. "Itu..." suara Cassie mengambang. Dengan hati-hati ia menatap Gangga yang duduk diagonal dengannya.

"Bi, jangan mulai deh." Kiel menyela.

"Semua orang tau, siapa lo. Yang bahkan pacaran terlama lo sebelum sama Cassie itu nggak ada seminggu."

"Soalnya itu bukan sama Cassie."

"Trus kalo sama Cassie kenapa?"

"Ya jadi awet." Kiel merangkul Cassie sembari tersenyum lebar. Sengaja memanasi Ribi dan Gangga yang ia tau sebagai tuna asmara.

Wajah Cassie terlihat sekali tidak nyaman diperlakukan seperti ini. Tanpa ada Gangga saja ia risi, terlebih ini ada Gangga.

"Lo sih, Bi. Sosoan nolak gue. Nyesel sekarang?" ledek Kiel kemudian sembari melepas rangkulannya.

"Nope." Kedua bola mata Ribi berputar.

"Kenapa kalian berdua nggak jadian aja?" lanjut Kiel menjodohkan Ribi dan Gangga.

Seketika Cassie tersedak minumannya sendiri. Kiel, Gangga dan Ribi sama-sama kaget. Setelah tersedak, ia tidak berhenti terbatuk-batuk.

"Cas—"

"Minum," perkataan Kiel terpotong begitu saja karena perkataan dan tindakan Gangga yang dengan cepat menghampiri Cassie. Memberi gadis itu minum dan menepuk-nepuk punggungnya pelan.

Kiel dan Ribi yang melihatnya sontak terdiam.

"Udah mendingan?" tanya Gangga kembali menerima gelas yang Cassie kembalikan. Barusan, Gangga memberikan air mineralnya yang sudah sempat ia minum setengah pada Cassie. Lalu Cassie meminumnya menggunakan gelas yang sama.

Cassie mengangguk. "Makasih, Kak." Katanya sembari tersenyum.

"EHEM!" sengaja Kiel mengeraskan dehemannya agar Gangga dan Cassie segera menyadari keberadaannya. Lagipula, yang harusnya menolong Cassie itu ia sebagai pacar. Bukannya Gangga. Jadi wajar kan, kalau Kiel jengkel?

Detik itu juga, Cassie menyadari apa yang telah terjadi. Secara terang-terangan Gangga menunjukkan perhatiannya di depan Kiel—dan Ribi? Bukankah ini petaka?

"Kita pulang sekarang, Cas." Langsung Kiel tarik tangan Cassie tanpa memberikan kesempatan gadis itu untuk berbicara barang satu kata.

Hingga tersisalah hanya Gangga bersama dengan Ribi. Gangga kembali duduk di samping Ribi. Terdiam. Sementara Ribi terus memperhatikannya tanpa kedip.

"Yang tadi maksudnya apa, Ga?" tanya Ribi hati-hati.

Tanpa ada yang harus Gangga tutupi dari Ribi, dengan gamblang Gangga menjawab, "Gue pacaran sama Cassie di belakang Kiel."

Continue Reading

You'll Also Like

138K 6.6K 16
"Ini semua gara-gara lo ! Kalau aja lo nggak ngajak gue buat hadir keacara pernikahan masal sialan itu, kita nggak akan nikah tiba-tiba kayak gini !"...
28.4K 781 27
Faris dan Raisha bersahabat dari kecil, bahkan sejak mereka didalam kandungan ibu masing-masing. Gimana enggak? orang tua mereka juga bersahabat dan...
10M 882K 51
Katanya, Khaezar Haga Archello itu tidak pernah tertarik dengan wanita. Jadi, Jinaya merasa aman meskipun harus berada satu ruangan yang sama setiap...
12.1K 1.2K 32
"Virtual Feelings itu banyak bohongnya, dan banyak pura-pura nya. Endingnya itu, entah bakalan bertemu atau malah berakhir sebelum bertemu." Bagi Kam...