Aisyah Aqilah || TERBIT

By nrasya_

2M 213K 76.4K

GUS ILHAM MY HUSBAND 2 Dijodohkan saat libur semester? Menikah dengan orang yang tidak kamu cintai, tidak men... More

bagian 01
bagian 02
bagian 03
bagian 04
bagian 05
bagian 06 : Arsyi ngambek
bagian 07 : kucing baru
bagian 08 : Rich Aunty
bagian 09 : Irt
bagian 10
bagian 11
bagian 12
bagian 13
bagian 14
bagian 15
bagian 16
bagian 17
bagian 18
bagian 19
bagian 20
bagian 21
bagian 22
bagian 23
bagian 24
bagian 25
bagian 26
bagian 27
bagian 28
bagian 29 [Bagai api dalam sekam]
bagian 30 : menenangkan diri
bagian 31
bagian 32
bagian 34
bagian 35
bagian 36
bagian 37
bagian 38
bagian 39
bagian 40
bagian 41
bagian 42
bagian 43
bagian 44
bagian 45
epilog
Ekstra part
Ekstra part bagian 2
VOTE COVER
harga novel Aisyah Aqilah
SPIN OFF AISYAH AQILAH

bagian 33

41.3K 4.7K 4.1K
By nrasya_

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Meminta maaf yang baik itu adalah mengubah diri kita menjadi lebih baik."

****

Happy reading semuanya, bantu tandai kalau masih ada typo


*****

Aisyah terbangun dari tidur, saat tenggorokan nya terasa begitu kering. Wanita itu, lalu menyalahkan lampu kamar. Kemudian turun kebawa mengambil air, kebetulan air minum di kamar sudah habis.

Setibanya di dapur, Aisyah langsung mengisi gelas agar segera kembali keatas, matanya sudah sangat berat, hanya untuk mengambil minum saja. Saat hendak naik ke atas, tiba-tiba telpon rumah berbunyi. Membuat Aisyah sedikit terkejut.

Sempat Aisyah tidak menghiraukan, tubuhnya hanya informasi segera ke kasur, namun rasa penasaran membuatnya terpaksa mendekat.

"Halo," Aisyah mengangkat telpon.

"Halo umi, bisa datang kerumah. Arsyi kejang-kejang..."

"Hah?!"

Tut!

"Halo, mas Ilham! Arsyi kenapa?" Tanya Aisyah seketika kantuknya lenyap mendengar kabar kurang mengenakan itu.

Aisyah mencoba untuk menelpon kembali, sayangnya ponsel sang suami sudah tidak aktif.

Perasaan Aisyah menjadi tidak karuan, keringat dingin menjalar keseluruh tubuhnya, Aisyah bingung harus apa sekarang. Arsyi, putrinya kejang-kejang. Sedangkan posisinya tidak berdekatan dengannya.

"Ya allah, gimana ini..."

Sementara di sisi lain, Gus Ilham membanting ponselnya, saat baterai nya sudah habis. Gus Ilham mengacak-acak rambutnya frustasi.

Ia lalu mengangkat tubuh Arsyi yang masih saja kejang-kejang. Menyelimuti tubuh anaknya itu dengan selimut. Kemudian Gus Ilham membangunkan Arsya.

"Arsya! Arsya!" Panggilnya.

"Huaamm!" Lenguh anak laki-laki itu terusik.

"Bangun nak, kita kerumah nenek!"

"Aca masih mau tidur..." rengek anak itu sambil mengecap matanya.

Gus Ilham terpaksa mengangkat tubuh Arsya, menggendong anak itu di belakang punggungnya. Setelahnya, Gus Ilham bergegas turun ke bawah menuju ndalem.

Tibanya Gus Ilham disana, ia langsung mengetuk pintu rumah. Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum, umi!"

"Umi!" Panggil Gus Ilham sangat keras.

Arsya sampai terganggu dengan suara abahnya itu, membuatnya terbangun. "Loh, kenapa Aca jadi melayang?" Gumam anak itu.

"Umi!"

"Waalaikumsalam, Ilham?" Umi Maryam terkejut melihat Gus Ilham berdiri sambil menggendong dua anaknya.

"Umi, Arsyi..."

"Astagfirullah, Arsyi!" Umi Maryam mengambil Arsyi dari gendongan Gus Ilham. Lalu, pria itu membawa Arsya masuk dan merebahkan tubuh anak itu diatas sofa.

"Di sini dulu ya, sayang."

"Kenapa?" Tanya Abi Syakir baru datang menyusul.

"Tolong jaga Arsya, abah. Ilham mau ke rumah sakit sama umi dulu."

"Arsyi kenapa?"

"Nanti Ilham kasi tau." Setelah mengatakan itu, Gus bergegas pergi membawa Arsyi ke rumah sakit. Tidak menghiraukan penampilannya yang hanya mengenakan sarung dan sehelai baju kaos putih.

"Abah! Napa pergi?!" Teriak Arsya menangis, saat mendengar suara mobil abahnya yang sudah melesat jauh.

"Nanti kita nyusul ya. Arsya mending bobo dulu."

"Tapi abah nda pergi lama seperti umi kan?" Tanya anak itu dengan polosnya.

Abi Syakir tertegun, kemudian mengangguk ragu "Iya, abah kamu cuma sebentar kok."

****

Pagi harinya, kediaman Wirgantara menjadi heboh takkala suara bunda Lisa memenuhi seisi rumah.

"Kenapa?" Tanya Papa Adhes menghampiri istrinya.

"Kamu liat Aisyah?"

"Enggak. Memangnya dia pergi mana?"

"Ya aku nggak mungkin tanya ke kamu kalau aku tau. Kebiasaan banget nih, orang Indonesia." Decak bunda Lisa.

"Coba cari baik-baik. Siapa tau ada di kamar abangnya."

"Kamar Bintang aja ke kunci. Nggak ada orangnya."

"Bi Ina! Kang Maman!"

"Siap bos!" Sahut keduanya datang ke hadapan Papa Adhes.

"Kalian berdua, ada liat Aisyah?"

Terlihat Kang Maman dan Bi Ina saling senggol- menyenggol lengan, saat bosnya mengajukan pertanyaan itu.

Flashback

"Bi Ina..." bisik Aisyah tepat di samping telinga wanita paruh baya yang masih tertidur pulas.

"Bi...!"

"Astaghfirullahaladzim! Non Aisyah!"

Aisyah menyegir lebar. Membantu bi Ina untuk bangun dari tidurnya.

"Kenapa non, butuh sesuatu?"

Aisyah menggeleng. "Aku mau mau minta tolong."

Minta tolong apa non, kalau bisa bantu bi Ina bantu deh."

Tiba-tiba wajah Aisyah berubah menjadi murung. "Anak aku lagi sakit bi," ucapnya.

"Ya Allah. Innalillahi! Anak yang mana?"

"Arsyi, bi. Barusan mas Ilham telpon, kalau Arsyi kejang-kejang. Aku mau pulang ke sana sekarang."

"Sekarang? Jam berapa ini non?" Tanya bi Ina mengalihkan pandangannya kearah jam. "Ya Allah, jam tiga pagi."

"Aku boleh pinjam uang bibi nggak?"

"Ya bolehkah non. Cuman...masa sepagi ini perginya, apalagi non Aisyah lagi ini begini. Nggak baik jalan keluar rumah sepagi ini."

"Aku minta tolong banget bi, Aku nggak bisa tunda lagi. Mumpung bunda sama papa masih tidur. Tolong ya bi..."

Flashback oof .

"Kalian berdua liat nggak, kenapa jadi sali senggol?" Tanya Papa Adhes memecahkan keheningan.

"An-anu tuan, non Aisyah..."

"Aisyah kemana?" Tanya Bunda Lisa.

"Kamu aja yang ngomong," bisik Bi Ina tidak berani menjawab.

"Kemana buk?"

"Non Aisyah...pergi dari rumah tuan, nyonya."

"Hah? Dari kapan?"

"Dari jam tiga pagi." Kata Bi Ina menunduk takut.

"Jam tiga pagi?! Mau kemana dia?"

Baik bi Ina dan kang Maman, sama-sama meneguk habis air liurnya. Mereka takut kedua majikannya ini marah, karena mereka berdua membiarkan Aisyah pergi dari rumah.

"Kata non Aisyah, anaknya sakit nyonya. Jadi di harus ke pulang."

"Siapa yang bilang, kalau anaknya sakit?"

"Kata non Aisyah, suaminya sempat menelpon."

Papa Adhes menatap Bunda Lisa. "Kamu kasi Aisyah ponsel?"

Lisa menggeleng cepat. "Enggak."

"Terus, dari mana dia di telpon."

"Mungkin telpon rumah tuan," ucap kang Maman.

Papa Adhes menghela nafas berat. "Telpon Bintang. Suruh susul Aisyah kesana. Suruh Bintang bawa pulang Aisyah." Titah Papa Adhes pada Bunda Lisa.

****

Di depan ruangan perawatan, Gus Ilham mengacak rambutnya frustasi. Keadaannya benar-benar kacau total. Rambut acak-acakan. Baju basah akibar keringat dingin, selain itu, ia hanya mengenakan satu sandal di kakinya saja, Saking paniknya.

Sementara itu, umi Maryam terpaksa harus pulang duluan, untuk mengambil semua perlengkapan Gus Ilham dan cucunya.

"Mas Ilham!"

Gus Ilham terangkat. Nada itu? suara itu? lama sudah ia tidak mendengarnya, setelah kejadian tiga bulan yang lalu. Dimana Aisyah pergi di bawa oleh orang tuanya.

"Mas Ilham!"

"Aisyah..." Gus Ilham mengalihkan pandangannya, menatap sosok Aisyah yang sangat khawatir.

"Mas Ilham." Aisyah langsung mendekap tubuh suaminya dengan sangat erat. Begitu pun sebaliknya.

"Aisyah...Arsyi ada di dalam. Aku takut dia kenapa-kenapa." Ucap Gus Ilham terdengar sangat panik.

Sambil memeluk, Aisyah juga mengusap punggung suaminya yang bergetar hebat. "Nggak apa-apa, Arsyi pasti baik-baik aja." Ucapnya menenangkan.

Mereka berdua saling berpelukan sampai, tangisan gus Ilham itu berubah menjadi tangis piluh. Saat dimana Gus Ilham baru sadar, akan perut istrinya yang semakin membesar. Tiga bulan tak bertemu tentu saja membuatnya kaget dengan perkembangan perut Aisyah.

"Aisyah...maaf, saya gagal lagi."

Aisyah mengangguk. "Kita ini manusia, memang tempatnya khilaf."

"Maafin abah ya," kata Gus Ilham mencium perut Aisyah.

"UMI!" suara teriakan itu mengintrupsi dari arah koridor. Dan suara itu adalah suara dari Arsya, datang bersama kakek dan neneknya.

"Umi!" Arsya langsung mendekap tubuh Aisyah yang masih berdiri sambil memeluk suaminya.

"Umi dari mana aja?" Tanya anak itu.

Aisyah tertawa, rindu sekali rasanya mendengar suara permata hatinya ini. "Lepas dulu mas,"

"Nggak!" Tolak Gus Ilham pelan.

"Ih abah! Lepas dulu, Aca juga mau pelik umi!" Kesal anak itu. "Nenek, kakek. Liat abah, nda mau mengalah sama anak kecil. Padahal abah sendiri yang selalu bilang. Kalau orang besar itu, harus selalu mengalah."

"Yaudah, biarin dulu abah mu, peluk umi kamu." Ucap umi Maryam turut bahagia melihat Aisyah datang kembali.

"Tapi Aca juga pengen..."

"Nanti malam baru kamu. Pokoknya jangan kasi abah kamu kalau malam, biarin aja hari ini dia peluk umi kamu sepuasnya." Ucap Abi Syakir.

Gus Ilham langsung melepas pelukannya. Langsung saja Arsya melompat, agar di gendong sang umi. Hal itu tentu saja membuat semua orang panik, panik karena Arsya membentur perut Aisyah yang sudah membesar.

"Astaghfirullah, pelan-pelan atuh Ca. Kasian ini adek mu," tegur abi Syakir.

"Adek? Di sini ada adek?"

"Ada." Kata Gus Ilham.

"Ada, ada!? Sana, cuci muka!" Sarkas abi Syakir.

"Temenin." Rengek Gus Ilham dengan pelan, sambil menarik pelan ujung jilbab sang istri.

"Nggak usah." Ujar Umi Maryam menarik Aisyah agar tidak jadi ikut suaminya. "Sudah besar kan, kenapa harus di temenin?"

Gus Ilham menghela nafas panjang. "Aku pergi sebentar." Ucapnya pada Aisyah dan dibalas anggukan pelan.

Setelah Gus Ilham pergi, umi Maryam ikut memeluk Aisyah. "Apa kabar?"

"Alhamdulillah, baik umi. Umi sama abi apa kabar?"

"Baik Alhamdulillah. Kamu ke sini sama siapa?"

Aisyah memaparkan bibirnya. Tidak mungkin baginya, berucap jujur bahwa ia kabur dari rumah.

"Kamu-"

"Keluarga pasien?" Tanya Suster keluar dari ruangan Arsyi.

Semuanya mendekat ke arah suster itu. Suster tersebut menatap satu persatu mereka semua.

"Ibu siapa nya?" Tanya Suster itu pada Aisyah.

"Saya ibu dari pasien."

Suster tersebut tersenyum simpul. "Syukurlah, bu. Pasien terus menerus memanggil nama ibunya. Seperti nya obat bukan dari dokter. Tapi ibunya." Kata Suster itu. "Kalau begitu mari ikut saya buk. Yang lain tolong menunggu diluar dulu ya."

Aisyah menurunkan Arsya dari gendongannya. "Arsya di sini dulu, oke? Umi mau ketemu Arsyi dulu ya."

"Siap umi. Asal ndak pergi jauh-jauh."

Aisyah tersenyum dan mengangguk pelan, wanita itu mengusap kepala anaknya sebelum beranjak masuk.

Tibanya di dalam sana, Aisyah terdiam melihat putrinya. Tubuhnya terlihat kurus dan tidak terawat. "Arsyi..."

"Silahkan bu, dari semalam pasien terus meracau nama ibunya. Dari semalam juga panasnya belum turun," ujar suster tersebut.

Aisyah melangkah mendekat, ke arah brenker Arsyi. Seakan paham, suster tersebut pun pergi meninggalkan ruangan. Memberikan waktu untuk anak dan ibu.

"Assalamualaikum, anak sholehah nya umi." Ucap Aisyah membangunkan Arsyi.

"Umi Aicah ya?" Tanya gadis itu masih saja tetap memejamkan matanya.

"Iya, ini umi. Coba anak cantik buka matanya."

Arsyi langsung melek. Pupil matanya langsung membesar saat melihat uminya, ada dihadapannya.

"Umi!" Anak itu langsung bangkit dan mendekap erat tubuh Aisyah. "Aci kangen..."

"Ya Allah. Umi juga kangen." Kata Aisyah membalas pelukan anaknya. "Ya Allah. badan Arsyi panas banget."

"Mau cama umi aja." Ujar anak itu saat dua orang wanita asing masuk ke dalam kamarnya rawatnya. Dokter dan seorang suster.

"Halo anak cantik, Dokter periksa dulu ya?" Ujar Dokter perempuan itu.

Arsyi semakin dalam memeluk erat tubuh Aisyah. "Aci takut..."

"Nggak usah takut, ibu Dokter cuma mau periksa kok."

"Tapi jangan di cuntik ya, doktel!"

"Siap!" Kata dokter itu mulai memeriksa Arsyi yang disuruh berbaring.

"Ini apa?" Tanya Arsyi penasaran dengen benda yang di tempel pada ketiak nya.

"Ini namanya termometer." Jawab suster tersebut.

"Kalau ini apa, kaka?" Tunjuknya pada tetoskop.

"Ini namanya tetoskop, cantik."

"Totokop?" Gumam anak itu.

"Tetoskop."

"Totokop!"

Baik dokter, suster dan Aisyah hanya mampu tersenyum paksa. Mengajar anak kecil pengucapan medis memang susah.

"Hari ini adek Arsyi, tinggal dulu ya. Besok kalau demamnya sudah turun baru boleh pulang." Ucap dokter tersebut.

"Adek? Aci kan, cudah jadi kakak, iyakan umi? Itu adek Aci ada dalam pelut umi!" Celetuk anak itu.

"Iya, Arsyi jangan banyak ngomong ih, nggak sopan tau sama dokter dan suster nya."

"Iya, afwan," ucap Arsyi.

Dokter tersebut tersenyum simpul. Mengusap kepala Arsyi. "Waktu dibawa ke rumah sakit lemah banget. Sekarang jadi strong ya, karena ada uminya."

"Iya Ustadzah, Aci kangen umi!"

"Ustadzah?" Baik suster dan dokter itu mengernyit bingung.

"Iya, Ustadzah. Di lumah Aci, cemua di panggil Ustadzah."

Sedangkan Aisyah meringis pelan. Anaknya ini, memang labil. Tidak bisa membedakan, mana yang profesinya menjadi dokter mana yang menjadi Ustadzah. Semua ia sama kan, dengan lingkungan rumahnya.

"Yaudah Arsyi boleh tutup mata dulu?"

"Kenapa diculuh tutup mata dokter?

"Tutup mata aja cantik. Boleh?"

"Yaudah." Anak itu menurut dan menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.

Lalu suster mengambil alih, ia kemudian menggosok kapas pada tangan Arsyi, setelah itu, suster tersebut pun menusukkan jarum suntik ditangan Arsyi, membuat sang empu menangis keras.

"Huaah! Cakit!"

"Yeay! Sudah. Besok bisa pulang!" Kata Suster tersebut berusaha menenangkan. Namun Arsyi terus saja menangis. Membuat Aisyah harus ambil alih.

"Sini umi tiup, biar berhenti sakit."

Dengan mata yang masih saja berair, Arsyi bangun, langsung menenggelamkan wajahnya didalam dekapan uminya.

Setelah dokter dan suster keluar, tangisan Arsyi pun mulai mereda, anak itu bahkan mulai larut ke alam mimpinya. Sedangkan abi Syakir, umi Maryam dan Arsya pun, sudah diperbolehkan masuk.

"Aca lapar umi," ucap Arsya berada di samping Aisyah.

Aisyah mengusap surai anaknya, kemudian membaringkan tubuh Arsyi diatas kasur. Lalu ia bangkit menuntun Arsya.

"Umi, abi. Aisyah mau keluar sebentar, cari makan sama Arsya. Aisyah titip Arsyi ya?"

Abi Syakir mengangguk. "Hati-hati."

"Sekalian mau pesan sesuatu juga?" Tawar Aisyah.

"Nggak usah nak," ucap umi Maryam.

Aisyah mengangguk, setelah mengucap salam. Ia dan Arsya pun berjalan keluar menuju kantin rumah sakit.

Tak lama kemudian datang lah, Gus Ilham yang sudah tampak segar. Rambutnya basah, sehabis sholat dan mandi. Untunglah ada baju ganti untuknya, yang abi Syakir bawa. Sehingga ia bisa lebih fress.

"Aisyah mana?" Tanya Gus Ilham.

"Aisyah?"

"Iya, bukannya Aisyah sudah datang?"

"Ah, ngehayal aja kamu!" Sarkas abi Syakir.

"Beneran abi, tadi Aisyah ada kok." Ujar Gus Ilham, tampak bingung dan bimbang Sebenarnya tadi itu cuma khayalan nya atau benar-benar nyata, Aisyah kembali padanya.

"Arsya mana?" Tanya Gus Ilham lagi. Saat satu anaknya tidak ada di dalam ruangan.

"Assalamualaikum." Salam Aisyah.

"Waalaikumsalam."

Gus Ilham segera menghampiri istrinya yang berada di ambang pintu bersama Arsya. "Aisyah?"

"Mas?" Aisyah mengernyit bingung saat suaminya menatap dirinya begitu dalam.

"Kamu beneran Aisyah, kan?" Tanya Gus Ilham memegang bahu Aisyah.

Aisyah tersenyum simpul. "Iya, mas."

"Masa sih, aku nggak percaya, coba ikut aku, biar bisa buktikan ini bukan halusinasi."

"Eh, abah! Mau bawa umi kemana?" Pekik anak itu.

"Arsya! Arsya! Sini sama nenek aja."

*****

Gus Ilham menuntun Aisyah sampai ke atas Rooftop rumah sakit. Kedua pasutri ini, langsung menghirup udara segar, dan diam sejenak sebelum gus Ilham Membuka suara.

"Kamu tau Aisyah?"

"Nggak tau!" Sahut Aisyah.

"Bagus, nanti aku kasi tau."

"Apa?"

"Mari duduk dulu." Ucap Gus Ilham lagi, kembali menuntun Aisyah duduk di atas sebuah kursi panjang.

"Kamu tau kalau laki-laki cemburu itu bisa sangat egois?"

"Tau! Contohnya orang yang ada di samping aku. Iyakan?"

"Iya, tapi jauh sebelum aku, masih ada yang lebih parah."

"Siapa?"

"Simak baik-baik ya," ucap gus Ilham mencubit pelan hidung Aisyah. "Pertama Rasulullah yang cemburu pada Thalhah bin Ubadillah, karena ingin menikahi Aisyah Sepeninggalan Rasulullah."

"Lalu ada sa'ad Ubadah yang akan memukul dengan pedang bila da yang berduaan dengan istrinya."

"Az zubair Bin Awwam bil ah, yang cemburu pada laki-laki yang berbicara dan bercanda pada istrinya. Dan kamu tau, tipe seperti Zubair ini banyak didapat pada sifat laki-laki zaman sekarang."

"Tau kok."

"Terakhir paling random nih, ada Ali bin abi Thalib yang cemburu gara-gara siwak, hanya karena sudah menyentuh bibir Fatimah."

Aisyah tertawa, mendengar kisah terakhir itu. Tak bisa di pungkiri, laki-laki pada umumnya memang cemburuan hanya saja terkadang banyak yang berusaha biasa saja, dengan bersikap cuek.

Sedangkan Gus Ilham ikut tersenyum simpul saat melihat istrinya tertawa. Ia lalu mengeluarkan sehelai kain alias cadar dari saku bajunya. Kemudian menutupi wajah Aisyah.

"Dan kamu tau, aku juga cemburu pada siapapun yang sudah melihat wajah kamu. Kalau bisa aku akan menjadi sa'ad Ubadah," ujar Gus Ilham.

"Ih ngeri!"

Gus Ilham memeluk pinggang Aisyah, setelah memasang cadar itu pada wajah istrinya.

"Ch, malah makin cantik!" Dercaknya kagum.

Demi apapun, rasanya perut Aisyah dipenuhi banyak kupu-kupu. Aisyah memalingkan wajahnya kearah lain, asal tidak di lihat suaminya.

"Maaf ya," ucap Gus Ilham, membuat suasana keduanya menjadi kaku, yang tadinya biasa saja.

Aisyah menghela nafas panjang, melepas sejenak pelukan suaminya. Ia baru sadar sekarang, ternyata masalahnya dan suami belum selesai.

"Mas Ilham, Aisyah pernah dengar, sebaik-baiknya permintaan maaf adalah mengubah diri kita menjadi lebih baik. Mau ribuan kali bahkan jutaan kali kita minta maaf pun, kalau kita tidak mau merubah diri kita, ya percuma."

Gus Ilham bersimpuh di hadapan Aisyah. Ia menggenggam kedua tangannya. "Maaf Aisyah..." sesalnya.

"Mas... jangan bersimpuh dihadapan ku. Aku, kamu, kita berdua ini hanya manusia biasa. Tidak jauh dari namanya dosa. Dan tempat untuk kita meminta maaf itu, dihadapan Allah."

"Ayo bangun."

"Kamu mau maafin aku, kan?"

"Jauh dari sebelum kamu meminta maaf, dari lubuk hati aku yang paling dalam ini, sudah mau memaafkan kamu."

Mendengar itu, Gus Ilham langsung bangkit memeluk erat tubuh Aisyah. "Istri kecil ku, sekarang sudah dewasa ya?"

"Ish! Emangnya, selama ini Aisyah kecil?!"

Gus Ilham tertawa. "Aku suka, kalau ucapan kamu, disertai sebut nama. it's so adorable!"

Aisyah mencubit pinggang suaminya, membuat Gus Ilham meringis pelan. "Sakit tau. Nanti aku balas, mau hm?"

"Kamu berani?"

"Berani!" Kata Gus Ilham melangkah maju membuat Aisyah mundur.

"Mas... ingat tempat?!"

Cup!

"Satu kecupan di tempat ini, dan di tempat lain, bersiap," bisik nya setelah memberikan kecupan manis di bibir Aisyah.








*****

Mari ucapkan Alhamdulillah setelah membaca part ini sampai habis. Jangan lupa vote dan komen yang banyak.

Spamm next yang banyak donk 4k bisa update.

Bagaimana nih part hari ini, puas?

Oh ya, jangan lupa follow akun Instagram @wattpadasya

Spam Arsyi dan Arsya 》

See you next part, Assalamualaikum.

Kamis 24 Agustus 2023

Continue Reading

You'll Also Like

898 56 3
Siapa sangka, gadis remaja yang belum genap berusia dua puluh tahun menikah dengan seorang pengusaha muda sukses dan cukup terkenal. Aisyah Sabilla...
3M 151K 25
(Romance - Spiritual) Nayanika Adzkia Talita, seorang gadis yang suka sekali dengan dunia malam. Balapan motor, berkumpul dengan teman laki-laki, dan...
434 150 33
"Halah, lo jigong. gaya lo noh make up menor kayak ondel-ondel bulukan, ngaca lo minimal! banyak gaya bener jadi manusia" "Bulukan-bulukan gini gue s...
1.2M 86.4K 60
Seperti kata pepatah, berharap kepada manusia adalah patah hati paling disengaja. Hal itu pulalah yang dirasakan oleh Aisfa, mantan badgirl yang sed...