MAMPU✓

By sunHT06

29K 3.8K 5

[C O M P L E T E D | ft. Na Jaemin] ❝Bagaimana rasanya bertetangga dengan orang yang kita suka?❞ ©tata2022 More

Prolog
Cast
SATU : Aku Andira, Kamu Jondara dan Dia Anandra
DUA : Tragedi Hari Senin
TIGA : Mie Kuah dan Raket
EMPAT : Antara Anandra dan Renata
LIMA : Kalau Motor Bisa Ngomong
ENAM : Buta Map
TUJUH : Ugal-ugalan
DELAPAN : Ada Rindu yang Tersampaikan
SEMBILAN : Jatuh Cinta, Kematian dan Penyesalan
SEPULUH : Retak
SEBELAS : Andira Halangan
DUA BELAS : Dua Ajakan
TIGA BELAS : Cerita Dalam Hujan
EMPAT BELAS : Senja Melilit Nestapa
LIMA BELAS : Masih Pada Hari yang Sama
ENAM BELAS : Prayvesi Cigeum!
TUJUH BELAS : Jangan Salahkan Kejujuran
DELAPAN BELAS : Hujan Selalu Menang
SEMBILAN BELAS : Kita Sama
DUA PULUH : Terjebak Di Loteng
DUA PULUH SATU : Cosplay Spiderman
DUA PULUH DUA : Legenda Tanda Lahir
DUA PULUH TIGA : Pagi Cantik
DUA PULUH EMPAT : Berat Seperti Babi
DUA PULUH LIMA : Bukan Homo
DUA PULUH ENAM : Beli Empat Gratis Satu
DUA PULUH TUJUH : Sayang
DUA PULUH SEMBILAN : Pertama dan Terakhir
TIGA PULUH : Bohong
Epilog

DUA PULUH DELAPAN : Jangan Gaduh

505 103 0
By sunHT06

Tim mudah tidur
kalau lagi hujan.
—Andira

⋇⋆✦⋆⋇ 

Kabarnya, ruang tengah rumah kami menjadi pilihan yang membuat tubuh Anan, Jo dan Kak Novan tidur di sana. Saat aku mengecek dari lantai dua, kulihat mereka sangat berantakan. Mama menyangui mereka dengan dua selimut, satu yang cukup untuk satu orang, dan satunya lagi punya ukuran besar buat dua orang. 

Namun, kulihat bagian Jo dan Anan tidak dibagi secara adil. Alias Anan mungkin ketiduran di atas sofa, tidak seperti Jo dan Kak Novan yang berada di atas kasur kecil yang sudah dijejerkan dengan rapi di lantai. 

Aku geleng-geleng melihatnya, dia cuma pakai sarung punya Kak Novan. Jadi aku mengambil selimut yang ada di kamarku dan berniat menyelimuti tubuh laki-laki itu. 

Pelan-pelan aku mendekatinya, lalu mulai menutupi bagian tubuh yang terbaring miring. Aku kemudian berjongkok di depan wajahnya, orang yang paling tampan sampai kapan pun ini sekarang milikku, wajahnya adem sekali. Enak dipandang bahkan secara awet-awet. 

Sampai suatu ketika, matanya terbuka memandangiku. Hampir aku terjungkal ke belakang kalau tangannya tak segera meraih tanganku. 

"Kenapa?" tanyanya dengan suara yang berat dan berbisik. 

Aku menggeleng. "Ganteng," kataku. 

Dia tersenyum. "Tidur sini," ajaknya seraya menarik tanganku. 

"Heh!" Aku berdiri dan menarik tangan, dan entah karena tersandung apa, aku jatuh ke lantai. 

Dengan hempasan yang kuat, juga mampu membuatku kebingungan kenapa jadi sesakit ini. Tapi semua hilang begitu saja saat aku melihat sekeliling. 

Di ruang tamu, tapi tanpa Anan dan juga Jo. Tubuhku juga ditutupi selimut, bahkan tanda-tanda makan seblak juga tidak ada. Aku melihat Kak Novan menertawaiku sambil main ponsel. 

"Mimpi apa lu?" tanyanya. 

"Hah?" Aku bangkit dan duduk di sofa. "Anan sama Jo mana?" tanyaku. 

"Beli seblaklah, masa lupa," jawab Kak Novan. 

"Lho? Bukannya sudah?"

Kak Novan memandangi sebentar, lalu dia tertawa lagi. "Sampai kebawa mimpi ya  saking pengennya makan seblak?" tanya. 

Aku menggeleng. "Enggak, enggak! Kita sudah makan, 'kan? Terus Kak Novan sama  ...."

"AHAHAHAHHA!" Kurang ajar, dia semakin menertawaiku. Hampir aku mau melemparinya pakai gelas yang ada di atas meja, gelas yang kurasa masih hangat dan baru kuminum seperempat saja. 

Sebentar, apa benar aku tertidur? 

Kak Novan masih betah menertawaiku, artinya hal itu memanglah benar. Kecuali saat Mama datang dari kamarnya sambil memegang ponsel, bahkan dia sudah pakai jaket. "Antar Mama ke rumah sakit, Bang!" katanya.

"Lah? Kenapa?" Kak Novan langsung berdiri, agak trauma dengar sebutan gedung itu.

"Kenapa, Ma?" Aku juga, tapi jauh lebih penasaran hingga berdiri di depan Mama yang sudah siap untuk bepergian.

"Tante Yohana dan Tante Ratna nelpon tadi," jawab Mama.

"Kenapa?" Sekarang Kak Novan berdiri di sebelahku.

"Jo dan Anan kecelakaan." Mama menjawab dan menyaksikan bagaimana dua anaknya kompak mematung.

Tapi hanya sebentar untukku. "Enggak mungkin, ini Anan baru aja balas ...." Seluruh tubuhku menegang ketika melihat isi layar ponsel, padahal sudah dengan yakin mau kuperlihatkan pada Mama, namun hasilnya justru sebuah pesan centang satu yang tak berbalas. "Tadi ada yang balas," cicitku.

"Jaga rumah ya ...."

"Enggak!" Aku menyela dan melempar ponsel ke lantai. "Adek mau ikut," katanya.

"Hujan, Andira." Mama terlihat sebal dengan tingkahku. "Kamu sama siapa ...."

"Adek bisa sendiri." Aku bergegas ke luar, mencomot helm dan memasangnya, lalu menyelimuti diri dengan jas hujan. Secepat dan seteratur aliran air terjun, aku akan tetap jatuh dan tak berhenti. "Ayo!" Mungkin Kak Novan ingin membiusku detik ini juga, sedangkan Mama hanya pasrah dengan keras kepala yang kumiliki.

***

Sisi kemanusiaanku mungkin tak separah drama korea yang akan berangkat tanpa atribut ketika mendengar seseorang kecelakaan. Aku juga hampir melakukan itu, namun ingat kalau saja sampai sembronoan pasti akan dikurung dalam rumah dan mati-matian menahan rasa khawatir yang terus menyakitiku bahkan sampai ke tempat ini. 

Sesuatu tak waras yang pernah kukomentari tentang drama korea adalah bagaimana seorang tokoh bisa kehilangan akal dan menerobos hujan tanpa helm dan juga jas hujan, lalu dia akan masuk ke rumah sakit dan mendatangi tokoh yang dikhawatirkanya. Jika akau melakukan hal serupa, yang ada bakal diusir pihak rumah sakit. Gembel mana yang tampil basah kuyup dan membuat lantai licin dengan tetesannya?

Kak Novan masih begitu lumrah untuk mengendalikan otak sebagai manusia normal. Kelakuannya laksana Shinchan hilang begitu saja malam ini, tapi aku tak punya waktu untuk melakukan pujian dengan isi pikiran berkecamuk tanpa kendali.

Jadi hal tergila yang masih bisa kutangani adalah hampir masuk dengan setelan jas hujan masih terpasang di badan. Bahkan bisa menjadi seorang Andiri yang natural ketika Kak Novan menahanku dan mengingatkan : "Helm, Dek. Sama jas hujannya!"

"Mama udah masuk, Adek enggak mau ditinggal!"

"Itu Mama masih ngobrol lho!" Kak Novan menahanku.

"Cepet!" Dan tanpa berpikir untuk membantunya sedikit saja, aku justru loncat-loncat kecil seperti orang kebelet buang air.

"Jangan ngegaduh banget." Dialah yang melepas atribut di tubuhku secara satu-satu, sedangkan aku melihat Mama mengobrol dengan perawat rumah sakit yang masih melakukan komunikasi untuk berbagi informasi.

Tubuhku jadi punya kekuatan ekstra setelah tidak pakai jas hujan dan helm, kutinggalkan Kak Novan dan mengiringi langkah Mama yang jalannya sama laju seperti menjadi pawang ayam kalau ada sesama jantan berkelahi. "Di mana?" tanyaku.

"IGD," jawab Mama.

"Apa kata dokternya tadi, Ma?"

"Udah, enggak usah banyak bicara. Mereka enggak bakal kenapa-kenapa."

Kuharap itu benar.

Semakin dekat kami dengan ruangan itu, terasa semakin sakit sesuatu di dalam dadaku sana. Bahkan ketika berhasil melewati pintunya yang besar, aku dan Mama seketika lemas melihat Jo terbaring dengan perban yang melilit-lilit di badan.

Ada yang didesain memanjang dari bahu ke jari-jari tangan, letaknya di bagian sebelah kanan. Lalu ada juga beberapa luka yang masih basah di area wajah —bagian kanan juga —hingga darah lembab yang menghiasi pipinya begitu cemerlang di saat malam begini.

Sang empunya tampak sadar secara sempurna untuk menyambut kami, tatapan mata Jo terlihat sangat segar untuk seukuran jam tidur manusia pada pukul sebelas malam. Juga yang paling luar ia tatapi adalah diriku.

"Aduh, Nak Jondara. Kenapa bisa jatuh ini kamu? Ya Allah." Mama mengelus puncak kepalanya dengan lembut, sedangkan aku hanya bisa menangis untuk menyadari kecelakaan kedua yang bisa saja menewaskan Jo kapan pun.

"Enggak apa-apa, Tante. Cuma keseleo dan luka kecil." Jo menunjukkan ekspresi wajah terbaik yang menurutnya bisa dibaca sebagai manusia tak kesakitan, padahal di mataku dia mirip Tom si kucing yang terjepit pintu.

"Untung aja Allah Subhanahu Wata'ala masih melindungi kamu, Nak. Alhamdulillah." Mama terdengar begitu tulus mengucapkannya, sampai-sampai beliau lupa kalau Jo itu agamanya Kristen.

Aku tergemap sebentar menatap sang empunya di seberang, sampai tersadar untuk menghapus buliran air yang keluar begitu deras, dan Mama masih saja tidak merangsang kode bermakna dari tatapanku. Mungkin Jo yang tahu, soalnya dia membalas genggaman tanganku.

"Jangan naik motor lagi, lu nebeng gue aja udah," kataku.

Jo mungkin mau tertawa, tapi dia hanya mengekspresikannya lewat genggaman tangan kami yang saling bertaut begitu kuat. Meski ada beberapa goresan luka di bagian tangan kirinya ini, dia membuktikan kalau yang sudah terjadi tidaklah separah itu. "Anan mana?" Kemudian dia membuat pertanyaan yang membuatku membelalak.

"Lah iya!" Aku menoleh kanan kiri. "Anan mana?" Kemudian aku teringat satu orang lagi, dan Mama juga baru menyadarinya.

"Permisi, atas nama Nak Anandra bagaimana ya, Mba?" Mama pun tanya pada perawat yang baru datang ke dekat kami, sepertinya mau memberi hasil laporan kondisi Jo kepada Mama.

Kami bertiga kompak menunggu, berbarengan saat raga Kak Novan baru bergabung dengan kami semua.

"Di ICU, Bu." Saat mendengarnya, aku lari lebih dulu dan melepas tangan Jondara yang sebelumnya masih terasa erat digenggamanku.

tbc;

Continue Reading

You'll Also Like

578K 22.5K 35
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
15.8K 5.3K 50
Tentang Moza yang ingin melepaskan diri dari scandal rumit, namun malah terjebak dalam dunia penuh luka milik gadis bernama Kara. ___________________...
1.4K 910 33
Alesta Lestari, seorang gadis yang hidupnya selalu kesepian dan penuh luka, ia selalu dirundung oleh sekelompok gadis populer di sekolah Geng Queen...
384 166 9
Senja yang di jodoh kan dengan abyzar di masa sma, ini adalah cerita perjodohan. Senja sangat lah benci dengan abyzar namun takdir menyatukan mereka...