Gratia Dei

By Amaranteya

2.4K 582 64

Jika Tuhan mau menunjukkan kebaikan-Nya dengan membiarkan Bii kehilangan waras, ia akan sangat bersyukur. Hid... More

Prolog
1. Cuma Kedok
2. Kebebasan
3. Rumah Kosong
4. Maha Pengampun
5. Prasangka
6. Tafakur
7. Darah Iblis
8. Berjodoh Tuhan
9. Terulang
10. Pukul 01.00
11. Minoritas dan Tertindas
12. Angka Tuhan
13. Wallahu A'lam
14. Di Negeri Kinanah
15. Inbihaaj
16. Sebuah Afirmasi
17. Semesta yang Bergembira
18. Sebuah Bahagia
19. Pulang
20. Untuk Selalu Bahagia
21. Nilai sebagai Perempuan
22. Bau Sampah
23. Mengutuk Tuhan
24. Hadiah
25. Amukan Nuha
26. Inbihaaj Kyoya Haidee
27. Keputusan
29. Keberanian dan Tangis
30. Gratia dei
Epilog

28. Mindset

47 13 0
By Amaranteya

Bii pernah berada titik percaya bahwa roda kehidupannya tak pernah berputar, stagnan di bawah. Berkutat dengan resah, gelisah, payah, dan pada akhirnya ingin menyerah. Ia tak pernah bermimpi akan berada pada titik ini, berani pun tidak. Yang tak pernah lupa ia syukuri, ia mampu tetap menengadahkan tangan untuk berdoa, sebuah bentuk penggantungan hidup serta percaya, bahwa Tuhan masih satu-satunya Dzat yang bisa ia andalkan, meski separah apa pun keadaan. Terdengar paradoks, tetapi bukankah hidup memang tentang berbagai macam paradoks?

Percaya lalu ragu, berani lalu cemas, menghamba lalu mengutuk tempat menghamba, mengimani takdir lalu khawatir bahwa rezeki punya akhir. Manusia memang makhluk yang serba kebingungan, mencari tenang, lalu sendirinya senang berkubang dalam pikir gamang. Mencari lengang, tetapi sibuk hingga lupa pulang. Manusia memang semembingungkan itu.

Rasanya mengucap syukur saja tak cukup untuk menggambarkan rasa terima kasih Bii atas kebaikan Tuhan yang telah memutar roda hidupnya sedramatis ini. Mempertemukannya dengan Hijir dan teman-temannya di Mesir, mengantarnya ke pesantren dan bertemu Nuha, dan terakhir … masih memberinya hadiah luar biasa dalam bentuk hati Hijir, meski Bii belum berani berharap sebanyak itu. Ia takut semua ini adalah bentuk istidraj Tuhan terhadapnya.

“Buat lo, Mbak.”

Sebuah buku tebal bersampul dominan hitam-oranye diberikan ke pangkuan Bii, sedang si tersangka dengan santai di kursi samping, langsung fokus pada layar komputer di hadapan.

Jemari perempuan iu langsung lincah menari di atas papan keyboard begitu berhasil mengakses aplikasi microsoft word.

“Kenapa kamu memberikan ini untuk saya, Nu?” tanyanya.

“Pengen, baca aja.” Nuha mengatakannya tanpa menoleh sedikit pun, masih fokus pada layar komputer. “Mbak Zaa ngasih itu waktu gue mulai mondok di sini. Tamat baca, sedikit banyak gue makin paham sama divine love, cinta platonik ke Tuhan. Bukan semata yang lo ibadah buat menggugurkan kewajiban. Ya, dibantu sama buku-buku yang sebelumnya gue baca, sih.”

Bii memandang lekat buku tersebut, lantas meletakkannya di atas meja komputer. Dibukanya buku berjudul The Secret of Divine Love itu, membacanya sekilas pada sembarang halaman yang terbuka. Tak mungkin ia bisa fokus membaca sedang suara papan tik Nuha terus menggema. Ia memutuskan menutup buku itu lagi.

“Terima kasih, Nu. Nanti saya baca.” Dari balik cadar, Bii tersenyum. Mendapati anggukan Nuha, Bii sedikit melongok ke layar komputer yang digunakan perempuan di sampingnya. “Kamu sering mendatangi perpustakaan ini?”

Sekali lagi Nuha mengangguk. “Tiap hari. Soalnya gue bisa akses internet di sini doang, sebebas-bebasnya. Asal nggak mangkir jadwal aja.”

“Kamu … buat apa? Maksud saya, kamu butuh internet buat akses apa? Medsos? Kelihatannya kamu bukan tipikal perempuan yang suka main medsos.”

Nuha menghentikan kegiatannya, menoleh dan menatap Bii. “Gue kerja, lo belum tahu, Mbak?”

“Kerja?” Bii lebih memfokuskan pandangan ke layar komputer, membaca sederet kalimat di sana. “Kamu ….”

Content writer. Dari sebelum mondok, ini kerjaan gue buat bertahan hidup. Meskipun sekarang biaya gue di sini ditanggung sama Om Hisyam, ayahnya Mbak Zaa sama Laith, tetep aja gue butuh duit buat nunjang kebutuhan gue yang lain. Nggak tahu diri namanya kalau gue gantungin hidup sepenuhnya sama mereka.”

Mata Bii sukses membulat mengetahui fakta yang satu itu. “Mereka yang membiayai kamu?”

Nuha tersenyum lebar, lalu mengangguk sebelum kembali sibuk mengetik. “Salah satu alasan kenapa gue merasa terikat sama mereka. Tapi itu nggak jadi beban sama sekali buat gue, Mbak. Justru buat gue ngerasa bener-bener punya keluarga.”

Hening, hanya ada suara papan tik yang memenuhi ruangan penuh buku juga komputer yang berjajar di sepanjang tepi dinding. Kebetulan, siang ini hanya ada mereka berdua di sana. Setelah menjalankan hukuman hari terakhirnya, Nuha memilih mendekam di sana, menyelesaikan deadline kerjaan yang ia dapat kemarin. Tentu selama ini Nuha masih menjalankan rutinitas yang satu itu, seperti katanya, ia tak mungkin lebih jauh menggantungkan hidup pada keluarga Laith.

“Keluarga,” lirih Bii, yang masih dapat didengar Nuha dengan jelas. “Punya keluarga yang hangat, bagaimana rasanya ya, Nu? Setidaknya, saya yakin keluarga Mbak Jauza adalah keluarga yang harmonis.”

Setelah menyimpan ikon save, Nuha memutar kursi agar bisa melihat Bii leluasa. Perempuan itu menerawang sejenak sebelum menjawab, “Bisa dibilang, iya, keluarga mereka emang harmonis, cukup sempet buat gue iri juga, sih. Terlepas dari itu, Mbak, karena gue nggak mau berandai-andai hal yang nggak mungkin, buat gue, saat gue menemukan tempat yang nyaman buat pulang, entah ke siapa atau di mana, gue bakal tetep ngerasa kalau itu keluarga gue. Semua itu cuma tentang mindset.”

Bii menunduk dalam, tertohok oleh apa yang baru saja didengar. Nuha jelas lebih muda daripada dirinya, tetapi perempuan itu bisa lebih bijaksana menyikapi banyak hal. Ia … malu.

“Nu, kamu tahu, saya merasa beruntung bertemu dengan kamu. Saya belajar banyak dari kamu.”

Senyum lebar tersungging di bibir Nuha. Ia ingat salah satu kalimat yang pernah diucapkan Hisyam padanya saat ia berusaha menolak tawaran dikuliahkan dulu. “Manusia adalah jalan rezeki bagi manusia yang lain, Nuha”. Tentu ia sadar betul bahwa ada banyak bentuk dari yang namanya rezeki, ia percaya itu.

“Oh iya Nu, masalah Mas Dani … Mas Hijir tidak tahu, kan?” Pandangan Bii berubah khawatir, sungguh, sejak Hijir pulang, itu yang sangat ia takutkan. Ia takut jika Hijir tahu, situasi akan kacau, meskipun sudah berakhir damai.

“Mustahil Mas Hijir nggak tahu, Mbak. Ustadz Hikam itu sohibnya dia. Udah cerita pasti, apalagi sempet lihat gue dita’zir. Lagian, lo tenang aja kali, Mas Hijir bukan remaja tanggung yang apa-apa pakai otot kalau ngerasa teritori atau orang-orang di sekelilingnya diganggu. Dia bukan gue yang gampang emosi ngadepin manusia macam Dani-Dani itu.” Diingatkan perkara Dani, Nuha jadi kesal sendiri. Rasanya masih sangat gondok. Mau bagaimana lagi, ia sadar bahwa memang harus ada manusia macam Dani sebagai pelengkap dunia.

“Lo mau nunggu gue kelar di sini apa balik ke kamar dulu? Gue masih harus ngirim kerjaan yang tadi sama ngecek email yang lain,” tanya Nuha.

“Saya kembali ke kamar saja, persiapan jamaah Zuhur.”

Nuha mengangguk. “Boleh sekalian minta tolong, nggak?”

“Tentu.”

“Pertama, please stop pake saya-saya, formal banget, Mbak. Aku-kamu aja, oke?”

Tawa kecil Bii lolos.

Nuha lantas melanjutkan, “Sip. Yang kedua, tolong sekalian bawain mukena sama Qur’an saku aku ke masjid, ya? Biar aku bisa langsung ke sana abis ini.”

“Iya, nanti aku bawakan. Kamu jangan sampai telat ke sana nanti.” Bii tersenyum hingga matanya menyipit.

“Siap, makasih sebelumnya, Mbak Bii. Gue ngebut nyelesaiin ini dulu.”

Bii mengangguk, lalu bangkit dan meninggalkan perpustakaan sambil menenteng buku pemberian Nuha.

-o0o-

Belum juga bubar sepenuhnya jamaah Zuhur siang ini, pesantren dibuat heboh karena kedatangan tiga orang didampingi dua polisi. Andai mereka yang berada di masjid tidak memiliki tanggungan setor hafalan, pasti mereka sudah menghambur untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Total lima orang itu berdiri tegak di depan rumah kiai setelah diantar oleh staff sekretariat ke sana. Akan lebih baik para polisi itu bertemu langsung dengan pengasuh pondok untuk menjelaskan duduk perkara hingga mereka bertandang ke sana.

Kiai yang baru saja sampai setelah mengimami salat, mempersilakan mereka masuk dan duduk, berbicara lebih nyaman.

“Jadi, ada apa kiranya bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian ini datang berkunjung ramai-ramai kemari?” tanya kiai. Tak ditemani sang istri, beliau ditemani putranya—Gus Maqil—di sana.

“Maaf jika kami tidak sopan, Pak Kiai. Kami hanya menjalankan tugas,” sahut salah seorang polisi.

“Kami mendapat laporan bahwa ada salah seorang dari pesantren ini telah melarikan dan menyembunyikan putri dari pelapor,” imbuh polisi lain, “terhitung sudah lima hari sejak putri pelapor tidak pulang ke rumah.”

“Siapa nama orang yang dimaksud, Pak? Agar kita bisa sama-sama mencari tahu kebenarannya.” Gus Maqil yang kali ini membalas.

“Hijir, lelaki itu berani-beraninya membawa pergi Inbihaaj, putri saya. Dengan perempuan tidak punya sopan santun itu, siapa namanya? Nuha, iya, namanya Nuha,” sambar salah seorang perempuan.

Gus Maqil dan kiai saling pandang, sama-sama menautkan alis.

“Kami mohon kerja samanya, Pak Kiai.” Seorang polisi berujar tegas.

Le, kamu panggil mereka bertiga kemari, ya?” Kiai bertitah, membuat Gus Maqil mengangguk.

“Saya permisi memanggil mereka dulu, Pak, Bu.”

Lima menit setelahnya, Gus Maqil kembali bersama Hijir dan Bii serta Nuha yang mengekor di belakang. Untung saja ketiganya tak sulit ditemukan, masih i’tikaf dalam masjid.

Wajah-wajah mereka bingung dipanggil di waktu yang tak biasa seperti ini. Namun, rasa penasaran mereka langsung terjawab begitu melihat siapa yang berkumpul di ruang tamu pak kiai.

“Ibu,” lirih Inbihaaj.

-To Be Continued-

Gratia Dei udah tamat di draf + epilognya juga. Seneng, deh. Bisa fokus lanjut ke yang lain. Aku lagi proses namatin Ebulisi saat ini, sebelum ke Ehipassiko, lalu mikir buat cerita baru.

Niatnya ini mau ku-up sampai tamat sekaligus hari ini, beda waktu aja. Ditunggu aja.

Wish you enjoy

Amaranteya

20th of July 2023

Continue Reading

You'll Also Like

125K 16.7K 42
[Selesai] "Nandar." "Apa?" "Aku mau jadi penghafal Alquran." "Itu akan sangat sulit." "Aku tahu. Makanya juz 30 saja." "Kenapa tiba-tiba?" "Ceritanya...
7.8K 2K 21
📌 FOLLOW SEBELUM MEMBACA #1 Kerinduan ~ 4 April 2023 Sequel cerita "Hijrah, Kok Gitu?" PASTIKAN SUDAH MEMBACA HKG (di akun @dakwahwtitersG_ofc) TERL...
66.5K 266 1
Kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya, membuat Gyo, sang lelaki dari desa meminta pertanggungjawaban Cinta. Namun, wanita pembunuh yang angkuh dan h...
14.5K 657 22
Namiraa adalah seorang designer pakaian. karirnya cukup mulus dengan banyaknya butik yang ingin bekerja sama dengannya. Dan dia memiliki kekasih bern...