[✓] From 5317 Miles

By Elfpath

70.3K 10.9K 996

Sebuah cerita sederhana antara Choi Seungcheol--seorang editor buku di perusahaan penerbit di Seoul, dengan Y... More

Prologue
Munich
Seoul
oktoberfest
Business Trip
First Meeting
Pretzel and Beer
Cold Pizza and Brandy
Kissing The Tipsy
Zweisamkeit
Like, Realizing Things
Ich liebe dich
Ich werde Sie vermissen
Home
Satan Temptation
A Wine of Advice
An Alley in Berlin
You Were Beautiful
Can't Lose What You Never Had
Lies
Won't You Say It
Standing Still
Umbrella
Last Chance
Answer
Epilogue
1/4 : Bonus Chapter
2/4 : Bonus Chapter
3/4 : Bonus Chapter

4/4

718 81 5
By Elfpath

Choi Seungcheol terbangun dari lelapnya tidur dengan menyadari tempat di sebelahnya telah berubah dingin. Bantal dan guling yang selalu berantakan telah tersusun rapih, begitu juga dengan ponsel yang menghilang dari nakas. Tidak terdengar suara apapun dari rumah dua lantai yang mereka tempati selama bertahun-tahun membuat laki-laki itu gelisah, lalu memilih untuk berdiri dan menyusuri setiap ruangan.

Satu demi satu dia buka perlahan, dari kamar mandi pribadi mereka hingga ke ruang kerja miliknya dan dia kemudian berlari secepat mungkin kembali ke dalam kamar. Dia buka pintu lemari pakaian lebar-lebar, mengamati setiap benda yang ada di sana dan sekali lagi setelah bertahun-tahun, Yoon Jeonghan meninggalkan dirinya.

Menghela napas panjang adalah satu-satunya yang dapat dilakukan, ketika dia mendapati suaminya telah pergi dari rumah dengan setumpuk pakaian dan koper menghilang dari dalam lemari. Dia pikir Jeonghan telah berubah setelah bertahun-tahun, namun lelaki itu tetap saja sama.

Yoon Jeonghan adalah ahli dalam permainan kabur dari masalah. Menghindari diri setelah mendengar kenyataan yang seharusnya diketahui.

Seungcheol seharusnya tahu itu dan menutup mulut tololnya untuk tidak mengutarakan seluruh unek-unek yang bersarang selama bertahun-tahun. Apa susahnya untuk menutup mulut dan mengikuti dunia sandiwara sang Yoon Jeonghan?

Seharusnya Seungcheol menyadari ketika Jeonghan mengatakan bahwa dia tidak akan terluka karena ucapan adalah sebuah kebohongan. Laki-laki itu pembohong ulung.

Seharusnya Seungcheol sadar bahwa Jeonghan yang egois adalah manusia paling munafik yang pernah diciptakan.

Kini akibat kebodohan dirinya sendiri, dia mendapati Yoon Jeonghan sudah tidak berada di rumah mereka. Sialan. Beribu sialan. Dia benar-benar membenci Jeonghan, dia membenci laki-laki yang pergi begitu saja dari dalam hidupnya seakan tidak menghargai perasaan yang masih berakar kuat di dalam hati.

Namun, tenggelam di dalam kesedihan yang mendera dan kekesalan yang membesar bukanlah bagian dari dirinya—itu Jeonghan. Choi Seungcheol adalah orang yang rasional, dia dapat berpikir lebih logis daripada sang suami, maka dengan cepat laki-laki itu mengambil ponsel pintarnya sendiri dan mengecek surel. Senyum merekah di bibir yang rindu mengecup sang suami ketika melihat sebuah pesan elektronik pembelian tiket pesawat atas nama Jeonghan.

Jerman, Berlin.

Begitulah tulisan sebuah tujuan yang menggelitik hatinya. Untuk sekian kalinya dalam sejarah kabur, laki-laki itu selalu memilih negara tempat mereka bertemu seakan dia ingin ditemukan dan diselamatkan berkali-kali.

Konyol.

Dia benar-benar menikahi lelaki konyol yang selalu kabur.

Dengan sigap Seungcheol langsung mengambil paspor dari dalam laci dan dompet, dia tidak butuh apa-apa lagi untuk saat ini saat dirinya harus menarik kembali sang suami ke dalam hangatnya rumah dan pelukannya. Dia membeli penerbangan ke Jerman yang waktu keberangkatannya sedekat mungkin, tidak peduli jika harus merogoh kocek yang dalam. Untuk seorang Yoon Jeonghan dia rela melakukan apapun, termasuk menentang permintaan sang ibu yang mendorong mereka hingga terjadi keributan ini.

Yoon Jeonghan terduduk mematung di salah satu sofa yang terletak di dalam lounge milik maskapai yang dinaikinya. Mata bulatnya memandang lapangan bandar udara yang terdapat jajaran pesawat parkir, diantaranya ada yang bergerak dan Jeonghan tidak peduli dengan itu semua.

Dia tidak memperdulikan keriuhan di dalam lounge yang dipenuhi oleh orang-orang yang sama seperti dirinya terjebak layover berjam-jam hingga penerbangan berikutnya tiba. Dia sudah lupa kekesalan kepada diri sendiri yang salah memilih penerbangan dengan 20 jam layover di negara yang tidak disukainya.

Jeonghan tidak pernah menyukai Belanda, tidak seperti dia menyukai Jerman yang dingin. Negara itu selalu menjadi rumah kedua yang memberikan kehangatan di dalam hidup carut-marut yang dibuat oleh dirinya sendiri. Seungcheol juga tidak menyukai Belanda.

Ah. Seungcheol.

Teringat sang suami yang dia tinggalkan seorang diri di negara asal membuat Jeonghan menutup mata dengan kedua telapak tangan. Tidak seperti dirinya sangat masih muda dahulu, Yoon Jeonghan yang sekarang menyesali keputusan impulsifnya kabur dari rumah dan membuatnya merindukan sang suami.

Dia merindukan Seungcheol yang semalam masih mencium dan memeluknya sebelum tidur. Dia merindukan laki-laki yang mengatakan kata-kata yang menyakitkan di depan konselor pernikahan mereka. Meskipun, di dalam lubuk hatinya yang jauh Jeonghan sadar bahwa laki-laki itu tidak sepenuhnya salah dan berbicara jujur tentang buruknya sikap Jeonghan adalah hak dia, tetapi Jeonghan tetaplah Jeonghan.

Menghembuskan napas berkali-kali, merasakan kejenuhan karena sudah berjam-jam duduk di tempat yang sama, namun tidak memiliki keinginan untuk keluar dari bandara dan menjelajah sekitar.

Dia adalah Yoon Jeonghan, orang yang menyukai tenggelam dalam pikiran buruk daripada mencari ketenangan. Jauh berbeda dengan Seungcheol, mungkin karena itu mereka bersama.

Dia mengakui bahwa Seungcheol adalah jangkar untuk dirinya, yang hidup bagai kapal di tengah laut yang tidak memiliki tujuan pasti, dan Jeonghan mencintai laki-laki itu.

"Jeonghan,"

Suara yang sudah tidak dia dengar selama hampir 24 jam kembali menyapa gendang telinganya, membuat lelaki yang bekerja sebagai desainer interior menolehkan kepala terlalu cepat ke arah belakang. Menatap sosok laki-laki yang sudah menikah dengan dirinya selama bertahun, laki-laki yang berdiri dengan wajah lelah dan kantung mata yang bertumpuk.

Sekejap kericuhan yang ada di dalam kepala menghilang, berubah menjadi kerinduan yang menggebu dan perasaan bersalah yang perlahan menyeruak ke permukaan.

Oh, Seungcheol.

Seungcheol, Seungcheol, Seungcheolku yang malang.

Yoon Jeonghan langsung berdiri dan menghampiri suami yang masih berdiri dengan keraguan yang terlihat jelas. Dia menjulurkan tangan merengkuh wajah suaminya, kemudian melingkarkan tangan ke leher dan memeluk lelaki yang perlahan-lahan membalas pelukannya.

"Kenapa kamu harus kabur, sih? Selalu kabur ketika kita sedang serius, Jeonghan," Lelaki itu berkata, dengan suara yang sangat lelah dan berat. "Bisa nggak sih kamu sehari aja untuk bersikap normal dan nggak melulu kabur? Kamu nggak cinta sama aku lagi atau gimana."

Jeonghan menggelengkan kepala kencang, berusaha mengatakan secara implisit bahwa dia masih mencintai Seungcheol dan kabur adalah bentuk sikap pengecut dirinya.

"Aku salah ya karena ngomong jujur ke kamu? Aku salah karena mengatakan bahwa aku terkadang kesal dengan sikap kamu yang selalu lari dari masalah, bahwa aku ingin sekali kamu berhenti egois dan belajar untuk dewasa?" Seungcheol berujar lagi, rentetan pertanyaan keluar dengan suara yang parau dan menyedihkan. "Aku udah berkali-kali mengalah sama kamu, aku udah bilang aku nggak akan ngikutin kemauan orang tuaku kalau kamu nggak mau. Aku kurang apa, sih?"

Semakin mendengar kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut sang lelaki, Jeonghan melepaskan pelukan, tidak mempedulikan Seungcheol yang menatapnya dengan mata membulat dan raut wajah terlihat bingung.

"Han?"

"A... aku... aku..." Jeonghan tergagap di tempat, suaranya menghilang, tubuhnya menjadi kaku dan isi kepalanya kembali dipenuhi oleh pikiran-pikiran buruk sempat menghilang. "Aku... aku..."

Melihat suaminya yang terlihat hampir memasuki episode panik, Seungcheol langsung merengkuh kembali lelakinya dan berulang-ulang mengusap tangan ke punggung yang bergetar karena dipenuhi oleh rasa gugup.

"Iya, iya. Aku nggak akan maksa, kamu nggak harus ngomong apapun. Aku paham, aku minta maaf. Jeonghan, baby." Seungcheol berbisik, menjatuhkan ciuman demi ciuman ke pucuk kepala suami yang kedua tangannya terkulai namun mengangguk pelan.

Kedua pasang lelaki yang kini duduk bersebelahan dengan tangan saling menggenggam erat di atas kasur di dalam hotel murah. Setiap ujung tubuh mereka saling bersentuhan dan Seungcheol yang selalu melihat ke arah Yoon Jeonghan seolah-oleh lelaki itu dapat menghilang begitu saja dari pandangan.

"Aku impulsif," Jeonghan membuka suara. Kedua mata bulatnya menatap karpet merah murahan yang terdapat noda. "Kamu tahu aku bagaimana orangnya, jangan marah. Aku kabur bukan karena nggak cinta dengan kamu, tetapi aku butuh waktu untuk berpikir. Ini cara aku untuk collecting myself."

Seungcheol mengangguk mendengarkan alasan egois tersebut. Dia ingin memberikan Jeonghan waktu untuk menjelaskan, meskipun sudah mengetahui arah ucapan lelakinya.

"Kalau aku bilang ke kamu, nanti kamu akan ingin ikut. Aku nggak mau itu. Bagaimana caranya aku punya waktu untuk berpikir ketika kamu ada di dekat aku? Ketika semua ini berasal dari—" Jeonghan terdiam, menghela napas panjang sebelum melanjutkan kembali. "Nevermind. I should've known better. I'm sorry, it was foolish of me. Bad habits never die, don't they?"

Namun, seperti yang sudah terjadi Choi Seungcheol masih tidak dapat menebak pola pikir suaminya. Setiap tebakan yang ada di dalam kepala kembali meleset, ketika dia berpikir Jeonghan akan memberi alasan demi alasan untuk mendukung kecerobohannya, kini lelaki itu meminta maaf dan mengakui bahwa dia bodoh.

"Terima kasih kamu udah minta maaf."

Jeonghan tertegun mendengar ucapan yang keluar dari mulut suaminya, dia menengok ke arah sang editor buku yang membalas tatapannya dengan sudut bibir terangkat. "Aku nggak pernah minta maaf, ya?"

"Tidak pernah setulus ini, kamu itu... ya begitu," Seungcheol berujar pelan, mengusap punggung tangan lelaki yang kini menyandarkan kepala di pundak. "Kamu tahu diri kamu seperti apa dan aku sudah mengatakannya juga saat konseling waktu itu."

"Sepanjang penerbangan aku banyak berpikir tentang ucapan kamu, bagaimana kamu berpikir bahwa aku seperti tidak memperdulikan perasaan kamu. Kamu yang berpikir aku menjadikan pernikahan ini sebuah sandiwara dan kamu adalah boneka yang dapat aku buang kapan pun aku merasa bosan. Saat kamu mengatakan bahwa kamu seperti sendirian dalam hubungan ini," Jeonghan menghela napas kembali, meremas tangan sang suami dan mengecupnya. "You know I have baggage on me."

"Selama ini aku ada untuk kamu dan bersabar, mengalah karena aku tahu."

"Tapi aku nggak pernah berpikir seperti itu, aku nggak pernah mau membuat kamu berpikir seperti itu. Aku cinta kamu, tau kan?"

Seungcheol menghela napas, mengangguk. "Kamu harus berusaha lebih, jadi tim bareng aku di dalam hubungan ini. Aku nggak sendirian, kamu juga nggak sendirian lagi."

"I'm sorry."

"Aku nggak pernah memaksa kamu untuk apapun, aku bahkan sudah menolak permintaan keluargaku dan memohon kepada mereka untuk berhenti ikut campur dalam hubungan kita. We're in this together, kalau kamu nggak, aku juga nggak. Begitu juga sebaliknya."

Jeonghan melepaskan genggaman tangan mereka dan meraih tubuh sang suami untuk dipeluk erat, menyembunyikan kepala di antara ceruk leher dan pundak. "Aku nggak mau kalau nggak sama kamu."

"Aku juga."

"Maafin aku."

"It's okay."

"Itu nggak okay, aku jahat."

"Han,"

"Aku jahat, kan?"

Seungcheol tertawa pelan menyadari sikap kekanakan suaminya kembali. "Ya, jahat banget."

"I'm sorry."

Seungcheol mengusap punggung Jeonghan dengan pelan, memberikan pelukan erat di pinggang ramping yang merupakan bagian tubuh kesukaannya. "Let's just sleep, then we'll go out for dinner."

"Jangan tinggalin aku,"

"Justru harusnya aku yang bilang begitu ke kamu."

Jeonghan menatap sang suami yang masih menatapnya dengan sorot mata penuh cinta yang setiap hari selalu membuatnya bertanya-tanya bagaimana mungkin seseorang dapat mencintai orang lain seperti ini.

Dia tidak pernah membayangkan di dunia ini ada seseorang yang sudah ditakdirkan untuk mencintai dan mengasihi dirinya seperti Choi Seungcheol.

"Aku cinta kamu."

— — —

Halo semuanya!

Ini adalah part terakhir dari cerita "From 5317 Miles", maaf ya kalau cerita ini long over due tamatnya. Cerita ini mungkin udah basi, udah banyak yang lupa tapi semoga masih ada yang baca part terakhir ini.

Part terakhir ini adalah hasil commissioned dari @/Muyahuoi, terima kasih masih ingat dan sudah commissioned ini, aku sebenarnya lupa jadi aku benar-benar berterima kasih <3

Aku sudah tidak aktif lagi di wattpad dan sekarang lebih aktif membuat AU di twitter (@/junhuicy).

Terima kasih semua.

Wish you have a great day and always be healthy <3

"From 5317 Miles" pamit.

Continue Reading

You'll Also Like

60.8K 7.6K 27
This story is only available on " WATTPAD. COM" only. If you are reading this anywhere else, it is a plagiarized version that may contain malware/ile...
1.2M 246K 49
Rukma Asmarani bermimpi menemukan seorang lelaki yang baik, melahirkan anak, lalu jadi keluarga paling bahagia di dunia. Namun, seperti takdir yang e...
908K 75.5K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
9.5K 1.2K 10
why did you love me, when you decide to leave me?