With You: A Faux Pas? [ NaruH...

By eminamiya_

56.9K 8.3K 905

Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang s... More

Memulai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16. Akhir Untuk Memulai
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
40
Extra Chapter

39

1.1K 167 28
By eminamiya_

Mereka sudah berada dalam kendaraan sejak sepuluh menit lalu. Saling berdampingan mengisi sunyi, yang walau sudah begitu banyak detik berlalu, belum pula diselingi sepatah-kata guna memulai.

Jalanan sepi dengan lintasan yang minim dilewati kendaraan lain, sengaja diambil agar pembicaraan keduanya dapat berjalan tenang serta tidak terganggu oleh hal di luar sana.

Naruto sudah mempersiapkan diri untuk berkata banyak sekali, tetapi sampai kini, ia malah terlihat tidak berguna karena tak bisa mengeluarkan suara.

Tiadanya reaksi tertentu yang diberi oleh raga di sebelahnya, ialah alasan utama mengapa bibirnya menjadi beku tak berbicara.

Naruto-lah yang sudah meminta kesempatan, tetapi, ketika ruang itu terbuka, dirinya terkesan menyia-nyiakan. Naruto yakin, Hinata pasti mulai jengah dengan kebisuan ini.

"Jadi, kau tidak mengikuti bibimu?"

"Hm. Hanya bibi Natsu yang pergi, karena berhubungan tugas paman Kou di luar kota sudah selesai."

Hening beberapa saat.

Resah itu ada. Malu tentu masih membekas cukup lekat. Tetapi, semua tidak akan selesai bila Naruto terus tak berkutik lebih jauh.

"Hinata," maka, penuh tekad, ia memberanikan diri.

"Aku memang manusia tidak tahu diri karena sudah membawamu dalam situasi yang sulit. Aku mengenalkanmu pada kesakitan, dan melanggar janjiku untuk tidak akan pernah membuatmu merasakan penderitaan. Kau pantas marah padaku."

Hinata tidak berlontar. Meski mulut sedang sengaja untuk dikunci, telinganya mampu menangkap semua yang Naruto katakan dengan jelas. Seperti apa yang Naruto minta, Hinata sedang mencoba memberinya kesempatan. Waktu untuk melepas semua apa yang ia rasakan.

"Saat hubungan kita benar-benar berakhir, aku berusaha terlihat baik-baik saja di depanmu. Aku mencoba menatapmu meski sebenarnya itu adalah hal yang begitu sulit kulakukan, karena berpikir, setelahnya aku tidak tidak akan bisa menatapmu lagi."

"..."

"Aku rusak, Hinata. Aku mencoba menjalani hidup ini sambil berusaha untuk melupakanmu. Tapi, semakin aku mencoba, semakin aku sadar bila duniaku hanya berporos padamu."

"..."

"Aku banyak bekerja dan belajar. Berusaha fokus dengan tujuan utama melanjutkan mimpi lain yang ingin kuraih, sesuatu yang sempat tertunda. Tapi, ..."

"Mimpi apa? Mimpiku adalah dirimu. Tak ada hal lain yang kuinginkan lagi--selain sosok cantik ini."

"... aku tidak memiliki apa pun. Semua mimpi itu hanya alasanku untuk mencari kesibukan dan lari dari kenyataan."

"..."

"Aku melewati hari-hari yang sulit tanpamu."

Bibir Hinata menekuk dalam. Meski helaian rambut panjang sedang menjadi kelambu agar tidak menampakkannya, tetapi, Hinata tahu jika Naruto menyadari kekelaman yang kini ia rasakan.

"Aku sudah melakukan banyak kesalahan. Suran berkata aku tidak peka karena menyetujui begitu saja perpisahan kita dan membuatmu terpukul semakin jauh. Seharusnya, aku bisa lebih memahami keadaanmu."

"..."

"Dulu, aku pernah berjanji tidak akan pernah membuatmu merasakan sakit dan derita. Tapi, saat kau berteriak untuk meluapkan kemarahan saat itu, aku sadar, ada ucapan yang sudah kulanggar." Naruto menarik napas panjang. Memaki mengapa dirinya saat naif ketiak dulu. "Aku melepasmu, dengan tujuan agar kau bisa terlepas dari derita yang tidak kau inginkan. Tapi, semua hanya alasanku agar bisa terhindar dari rasa takut karena sudah membuatmu tidak bahagia."

Sungguh, Naruto sangat ingin menyentuh jemari dingin yang sedang menaut di atas pangkuan sang wanita. Sangat ingin mengatakan padanya betapa besar dirinya patah.

"Aku menyesal. Aku sangat menyesal." Naruto mengiba begitu menyayat. "Bisakah kau memberiku kesempatan?"

Hinata menggeleng pelan. Naruto ingin merapikan untaian panjang tersebut agar terselip di balik telinga, dan ia bisa menatap kembali wajah yang begitu ia rindukan.

"Kau membuatku melewati banyak neraka, Naruto."

Kini, giliran Naruto yang terdiam dan menunduk.

"Membuatku harus berjuang keras melawan diriku sendiri agar tetap waras setelah kehilangan banyak hal. Apa kau tahu, bagaimana siksanya aku?" Terisak. Hinata tidak bisa lagi menahan airmata yang dibendung. Kelemahannya adalah hal di masa lalu. Serta, bagaimana saat ini dirinya sedang meluapkan perasaan terhadap ia yang menjadi alasan masa lalu, Hinata seperti hancur.

"Jika kau merasa hidupmu rusak, aku mengalami yang jauh lebih parah."

Naruto mengangguk. Ia mengerti. Ia paham bila dirinya sudah membuat Hinata begitu berat.

Lalu, bersama berbagai pertimbangan yang sudah ia tetapkan, jemari panjang tersebut telah meraih tangan yang sedari tadi sangat ingin ia sentuh. Menggenggam begitu erat, hingga Hinata sempat dibuat tersentak begitu jelas. Ini adalah sentuhan hangat pertama yang mereka lakukan setelah lamanya tak saling menyentuh.

"Izinkan aku memperbaiki segalanya, Hinata."

Tetapi, Hinata tidak bergeming. Rembulan tengah menatap samudra di hadapannya begitu jauh. Ia menemukan kesungguhan, tetapi, keraguan Hinata masih tidak bisa ditambal.

Takut. Ia takut. Ketika berada di gereja bersama Erika, Hinata sudah berkata jika perasaan tersebut adalah yang paling unggul menguasai dirinya. Rasa takut yang membuat ia tidak berani menggapai kebahagian. Rasa takut yang membuat ia tak bisa melangkah. Rasa ... yang membuat ia tidak ingin mengalami hal yang sama.

Trauma. Hinata terlalu takut terjatuh untuk kedua kali.

"Aku tidak bisa, Naruto."

Remasan pada jemarinya semakin mengerat.

Tatapan Naruto berubah sendu. "Kenapa?"

Setetes airmata kembali jatuh. Mengalir untuk menetes pada pangkuan.

"Aku takut."

Sunyi. Jiwa keduanya bak terombang tak menentu. Genggaman Naruto belum terlepas, dan Hinata tak berniat mencoba melepas.

"Kau belum menjawab pertanyaanku sebelumnya." Hingga ketika Naruto kembali berkata, dan sunyi kembali pecah. "Bagaimana perasaanmu padaku?"

Netra Hinata bergetar.

Bagaimana perasaannya pada Naruto?

"Aku masih mencintaimu." Tetapi, Naruto sudah mengungkapkan lebih dulu.

Lebih banyak lagi, Hinata dibuat tenggelam.

"Tolong, beri aku kesempatan."

"..."

"Aku ingin bersamamu. Aku bersungguh-sungguh ingin memperbaiki semuanya. Izinkan aku."

Semakin banyak, tangis Hinata berubah kian terombak meski tak dengan suara keras. Ini sesuatu yang sulit.

Jika berbicara mengenai perasaan, apakah ada alasan lain mengapa rasa sakit bisa tetap bertahan begitu lama dalam dirinya?

Hinata memang masih memilikinya, itulah mengapa ia takut. Hinata masih memilikinya, itulah mengapa ia tidak ingin jatuh. Naruto adalah alasan dari semua alasan yang ia miliki. Apabila ia menerima, bagaimana jika perasaan ini akan membawa ia kembali pada kehancuran?

Namun, di sisi lain, Hinata juga tidak berdusta. Ia merindukan Naruto. Sangat merindukannya.

Tapi, ...

"Aku ... tidak bisa."

Leher Naruto seperti tercekik. Erat sekali hingga napas seperti tak bisa berembus.

"Aku tidak bisa untuk saat ini, tapi, ..." Mata basah Hinata menatap lembut. "... aku akan memberimu kesempatan. Yakinkan aku jika kau bisa menghapus ketakutanku. Yakinkan aku jika kau memang bisa memperbaiki segalanya."

Naruto terbelalak.

"Yakinkan aku jika aku bisa mempercayaimu. Bahwa kita ... masih pantas untuk memulai kembali."

.

.

.

Lalu, berbulan lamanya terlewati bagi usaha Naruto untuk membuktikan bila dirinya pantas atas semua keinginan Hinata. Berbagai pendekatan ia lakukan. Berusaha semaksimal mungkin menyakini Hinata bahwa mereka dapat memulai semua dari awal.

Naruto tidak ingin terkesan begitu tergesah dan memaksa. Selama pendekatan terjadi, ia membiarkan semua mengalir sealami mungkin. Mencoba memahami jikalau Hinata membutuhkan waktu untuk membangun kembali semua perasaan yang dulu sudah dikecewakan.

Sebelum mengajak bertemu, kerapnya, akan selalu ada permintaan izin yang mengawali. Jika Hinata berkenan, maka Naruto akan menemui. Begitupun sebaliknya. Apabila sang wanita sedang enggan, Naruto akan mengangguk untuk mundur sejenak -- meski mungkin, setiap harinya, Naruto selalu ingin melihat Hinata.

Proses ini terbilang cukup menyiksa. Naruto harus ekstra sabar menghadapi dirinya sendiri yang terkadang hampir hilang kendali karena terpacu perasaan.

Tetapi, sekali lagi, Naruto coba mengerti. Tidak ingin membuat Hinata menjadi risih -- yang malah berakibat fatal.

Sama seperti ketika hari ini Naruto menawarkan diri untuk menjemput Hinata dari tempat kerja. Sudah bukan dua tiga kali tahap ini dilakukan, pun sama seperti sebelum-sebelumnya, Naruto patut mendapat izin terlebih dahulu, baru setelah itu bertindak.

Untungnya, malam ini Hinata sedang memberi kelonggaran. Senyuman Naruto mengembang lebar. Rasanya, mereka seperti sepasang remaja yang kembali sedang mencoba menjalin hubungan.

Maka, tanpa membuang waktu sama sekali, setelah memastikan penampilannya layak untuk dipandang mata, segeralah ia menuju tempat tujuan.

Saat itu, Hinata sudah berada di depan bangunan. Sedang berbincang bersama Suran, sembari -- biarlah Naruto sedikit besar kepala untuk menyebut ini, namun, ia ingin berpikir bila Hinata sedang menunggunya.

Tatkala kehadirannya terdeteksi, dua pasang mata segera menyambut. Suran yang lebih dulu memberi sapaan. Bagaimana segala pendekatan yang sedang Naruto perjuangkan, semua sudah diketahui olehnya.

"Datang menjemput Hinata?"

Anggukan pelan Naruto menjadi jawaban. "Begitulah."

Masih dengan senyuman yang terlampir, Suran akan memberi mereka waktu. "Baik. Kembalilah, Hinata. Sampai jumpa besok."

Tanpa begitu banyak mengeluarkan perkataan, Hinata hanya membalas dengan senyuman singkat. Ketika pandangannya diputar untuk membalas tatapan sang pria, Hinata mengulum bibir sejenak. "Aku sudah siap."

"Hum," Naruto bergumam, lalu melirik pada Suran untuk memberi pamit. "Kami pergi."

"Hati-hati di jalan."

Berbarengan, mereka menuju mobil yang terparkir. Mengisi perjalanan dengan pembahasan ringan satu sama lain. Jika selama ini yang selalu menemani adalah kecanggungan, kini, semua menjadi terasa lebih leluasa.

Hinata sudah semakin dapat menerima kehadiran Naruto, jauh dari yang lalu-lalu.

Kendaraan berhenti tepat di depan sebuah kediaman beberapa saat setelahnya. Seusai mengucap terima kasih, Hinata bermaksud segera pergi. Sudah banyak hal yang mereka bicarakan selama perjalanan, dan bagi Hinata, itu sudah cukup untuk hari ini.

Tapi, tidak bagi Naruto.

Sebelum sang wanita menjauhkan diri, ia sudah lebih dulu memberi genggaman pada jemari di sana. Menautnya dengan lemah, lalu sedikit menarik agar Hinata dapat kembali duduk di tempat semula.

Raut bertanya Hinata dibalas tatapan dalam oleh sang pria.

Ini sudah berjalan cukup lama bagi Naruto. Hubungan mereka sudah terjalin semakin baik dari waktu ke waktu, meski memang belum ada status berarti yang menjadi pengikat. Maka dari itu, bersama harapan yang timbul, Naruto ingin mencoba kembali.

"Hinata, bagaimana dengan sekarang?"

Begitu cepatnya makna ucapan Naruto tersampaikan, Hinata mulai diselimuti kekalutan. Memang semua sudah terasa kian membaik dan memungkinkan, namun, masih terbesit rasa ragu dalam hatinya.

"Bisakah kau memberi jawaban?"

Hinata teringat akan ungkapan serupa yang dulu pernah Naruto sampaikan. Di mana saat itu, Hinata masih begitu merasa tidak yakin meskipun sudah begitu memadai bagi mereka untuk bersama.
Alasan utamanya adalah Rin, dan kini, yang membuat ia kembali merasakan keraguan itu adalah Kushina.

"Aku tidak yakin jika ibumu akan menerima hal ini." Hinata tidak siap akan respon yang akan diberikan.

Tanpa adanya resah di pancaran mata sang pria, kedua tangan Hinata ia bawa ke dalam tautan hangat. Untuk semua yang sudah ibunya lakukan, tentu Naruto paham apa yang menjadi kerusuhan perasaan Hinata.

"Semuanya akan baik-baik saja."

Kalimat yang sama kembali terdengar. Setiap kali menghadapi ungkapan demikian, terlebih dari Naruto, Hinata selalu ciut. Dulu juga seperti itu, tapi, yang terjadi adalah sebaliknya.

"Kita akan menghadapi ini bersama. Aku tidak akan meninggalkanmu. Percayalah padaku."

Percaya ...

Mungkinkah?

Bak torehan pelangi membentang menghiasi angkasa, senyuman Hinata hadir begitu lemah.

.

.

.

Sekali lagi, Nick berhasil membuat Kushina menghela napas begitu panjang. Kebiasaannya yang kerap menyimpan barang secara sembarang, hingga saat ini masih sering membuat wanita tersebut tidak habis pikir. Sudah berkali-kali Kushina memberi teguran, tetapi, bak menasehati seorang balita, pria tersebut sangat sulit diberi tahu. Entah bahasa apa lagi yang harus Kushina lontarkan agar bisa dimengerti.

"Aku akan membuang semua ini jika mendapatinya lagi di meja."

Nick yang baru saja selesai membersihkan diri, harus mengangguk patuh bila tidak ingin menerima senprotan lebih banyak.

"Baiklah, maafkan aku."

Kushina menghela napas lelah setelah menyimpan teratur tumpukan buku bacaan ke rak yang seharusnya. Saat itu, bel di pintu depan menggema. Ada seseorang yang berkunjung. Ia tahu, Nick pasti sedang mencoba melarikan diri dari masalah dengan segera berlalu menuju depan.

Ada perbincangan singkat yang terjadi, hingga Kushina sempat merasa penasaran -- siapa kiranya seseorang yang sedang bersama Nick.

Waktu berikut, Naruto hadir dan berjalan masuk menuju ruangan tengah. Kushina sempat ingin bertanya apa yang sempat mereka bicarakan hingga terdengar begitu serius, tapi, ketika perawakan lain menghadirkan diri, Kushina menelan kembali setiap kata.

Naruto sedang bersama Hinata.

Kushina merasa cukup terkejut.

Pandangan dua wanita tersebut bertemu. Ada gelagat resah yang sangat tampak dari diri Hinata saat ini. Kushina menyadari hal tersebut.

Kushina memang sudah mendengar cerita dari Erika bila Naruto menjadi sering bersama Hinata belakangan ini. Jadi, sekarang mereka ingin menunjukkannya secara jelas?

"Ibu, bisa kita bicara sebentar?"

Masih dengan raut yang diusahakan setenang mungkin, sebuah anggukan Kushina diberikan.

Herannya, ketika akan memulai pembicaraan, Naruto hanya memberi sepatah-kata singkat untuk pembukaan, sebelum beranjak pergi bersama Nick. Seolah dengan sengaja ingin memberi ruang bagi dua perempuan tersebut dapat bertukar ucap atas beberapa hal.

Apa yang mau diharapkan? Sapaan ramah? Tentu saja hanya ada keheningan yang terjadi. Hinata sedang bergumul dengan banyak sekali pemikiran, serta, Kushina terlihat belum bermaksud untuk berbicara.

Tetapi, bila terus dalam situasi seperti ini, tidak akan ada kemajuan yang terjadi.

"Maaf, aku datang tanpa pemberitahuan lebih dulu."

Pandangan Kushina yang sedari tadi sengaja diposisikan ke arah lain, kini telah dibawa untuk memandangi wajah tertunduk di seberang meja.

Hinata masih belum memiliki sesuatu yang membuat ia bisa menatap balik mata itu.

"Ada apa?" Singkat dan datar, Kushina membalas.

Hinata merasa kian cemas. Ia teringat atas alasan kedatangan dirinya bersama Naruto saat ini. Ada kesepakatan yang tak ubah telah mereka lakukan. Tetapi, ketika sudah dihadapkan secara langsung, Hinata menjadi sangat gelisah -- dalam hati.

"Sebenarnya, aku dan Naruto--"

"Sudah bersama lagi?"

Hinata menjadi bungkam seketika. Memang ini yang hendak ia bahas.

"Setelah semua yang kau lakukan, setelah semua yang sudah kau sia-siakan, kenapa kau masih ingin bersamanya?"

Hinata belum mampu menjawab. Semua yang selalu Kushina katakan merupakan sebuah kebenaran yang tak bisa ditampik. Hinata sadar diri, bukan hanya Naruto, tetapi, dirinya juga telah menghancurkan banyak hal.

"Kenapa? Kenapa kau melakukan ini?" Kushina menyorot penuh tuntutan. "Kau menganggap remeh Naruto dan diriku?"

Bersama tangis yang butuh kerja keras untuk ditahan, Hinata menggeleng. Ia tahu dirinya ikut andil dalam berbuat kesalahan, tetapi, tak ada maksud untuk meremehkan mereka.

"Aku tahu, aku sudah sangat bersalah." Wajah Hinata terangkat, membalas tatapan di sana meski dengan hati yang begitu tersayat. "Aku sudah memberi begitu banyak kekecewaan di masa lalu."

"..."

"Aku bodoh, aku egois dan keras kepala. Aku tidak berpikir panjang dalam bertindak dan dengan mudah termakan emosi. Aku menutup mata atas segala kesempatan yang diberi, dan membiarkan perasaan yang sedang kacau mengendalikan diriku."

Kushina memalingkan mata ketika Hinata sedang meluapkan segala isi hati.

"Aku juga sudah mencoba meyakinkan diriku jika tidak seharusnya aku berada di dekat Naruto lagi." Kini, Hinata mulai terisak pelan. "Aku mencoba menutup apa pun yang berkaitan dengannya. Berusaha tidak menanggapi dan menolak sesuatu yang mengganggu perasaanku," Sejenak, Hinata terjeda. Begitu berat, ia memupuk keyakinan untuk melanjutkan. "Tapi, ... aku tidak bisa. Aku belum bisa terlepas seutuhnya dari Naruto."

"..."

"Aku masih memiliki perasaan padanya. Aku masih mencintainya."

Jemari Kushina di atas pangkun mulai menaut satu sama lain. Ia terkejut ketika mendadak saja Hinata mendekat dan berlutut di hadapannya.

"Maafkan semua kebodohanku. Maafkan semua sifat egois dan segala kekecewaan yang kuberikan."

Hinata tahu jika ia sedang melakukan hal nekat lainnya. Namun, biarkan ia meraih jemari itu dan menyalurkan segala sesal yang dimiliki.

Kesekian kali, Kushina dibuat terkejut. Wajahnya telah diputar dengan cepat, dan dihadapkan dengan wajah mendongak Hinata yang basah oleh airmata.

"Maafkan aku, Ibu."

Ketika Hinata menunduk untuk menumpukan kepala pada genggaman yang sedang ia lakukan, Kushina telah ikut berkaca. Ini pertama kali dirinya mendengar Hinata memberi panggilan demikian seperti dulu -- sebelum perpisahan mereka terjadi.

Perasaan Kushina tergoncang. Matanya terpejam erat ketika beberapa bulir ikut mengalir pada pipi. Kushina tidak pernah bermaksud untuk membenci Hinata. Ia hanyalah seorang ibu yang dulunya begitu dipatahkan oleh masalah yang dihadirkan oleh sang anak. Hatinya hancur tatkala harapan terbesar yang ia miliki dibuat pupus oleh keadaan. Serta, saat ia mulai menerima, mereka kembali menciptakan kehancuran yang lain.

Sifat keras Kushina dilandasi oleh keinginannya untuk melindungi sesuatu yang berharga dalam hidupnya.

Tetapi, sebagaimanapun usaha itu bekerja, perasaan tidak bisa berbohong. Melihat Hinata yang begitu terperosok oleh penyesalan, menggetarkan hatinya.

Sejak dulu, Kushina hanya ingin semua berakhir baik. Ingin Naruto bisa bahagia dengan jalan yang benar.

Meski Hinata hadir dengan cara yang keliru dalam hidup sang anak, Kushina tidak pernah menuntut lebih setelah dihadapkan keputusan Naruto untuk bertanggung jawab. Ia membiarkan mereka membangun ikatan, dengan persyaratan paling utama; tidak boleh ada penyesalan di dalamnya.

"Beri aku kesempatan. Izinkan aku bersama Naruto kembali."

Bersama helaan napas panjang, Kushina memejamkan mata.

Ia memang sudah berjuang sebaik mungkin, namun, takdir selalu memiliki cara untuk membawa perasaan agar dapat pulang ke hati yang paling tepat.




Bersambung ...

Omong-omong gaes, aku mau ucapain terima kasih untuk kalian yang benar-benar mengikuti cerita ini sampai ke detail-detailnya. Tidak hanya fokus pada beberapa karakter semata, tapi juga ke semua karakter di dalamnya sehingga bisa memahami semua sifat mereka secara baik, tidak terkecuali.

Dan yang harus kalian pahami, meskipun karakter Kushina cukup keras di cerita ini, tapi sebenarnya dia enggak jahat sama sekali. Kushina hanya menggambarkan ibuk-ibuk pada umumnya yang merasa dikecewakan, dan punya alasan yang kuat untuk itu. Aku pun kalo jadi Kushina pasti bakal marah kalo di posisi dia.

Kalopun kalian sempat mendapati ucapan dia yang kejam, siapa sih orang di dunia ini yang enggak pernah khilaf ngomong jahat kalo pikiran udah kacau banget karena keadaan? Hinata juga sempat kayak gitu, 'kan?

Tapi, meski demikian, kalo kalian sadar, Kushina termasuk orang yang sangat lapang. Meskipun dikecewakan, dari awal dia tetap menerima Hinata. Dia memberi kesempatan, namun menjadi lebih kecewa lagi saat kesempatan yang dia kasih malah dihancurkan.

Jadi, aku harap kalian tidak menutup mata kalo Hinata juga pantas mengucapkan kata 'maaf' di sini. Karena meskipun dia menjadi pihak yang tersakiti, tidak menampik kalau dia juga sudah melakukan kesalahan.

Dan aku juga enggak mau bikin momen yang terlalu mendrama di bagian ini -- di mana dua karakter itu harus saling mengungkapkan penyesalan masing-masing sampe kayak gimana banget, trus diakhiri dengan pelukan manis di akhir adegan karena udah saling maaf-maafan. Cukup kalian tahu kalo Kushina udah lebih menerima keadaan. Itu aja :')))

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 157K 78
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...
73.3K 3.4K 7
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
63.4K 11.1K 40
"Ini lokerku!" "Tapi ini nomor lokerku!" "Minggir." "Tidak." "Minggir!" Uzumaki Naruto di libatkan pertengkaran menyebalkan dengan Hyuuga Hinata di r...
445K 34.7K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.