بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Diantara kunci kebahagiaan bersama pasangan adalah saling memaafkan, mengevaluasi kesalahan dan Menerima kekurangan pasangan. Jangan lupa mengingat dan mensyukuri atas kebaikannya." ILHAM SYAKIR VERNANDO.
***
Rumah tangga itu ibarat kapal ditengah samudra. Terkadang tenang menghayutkan, namun ada kalanya hombak datang menerpa. Begitulah kehidupan.
Belajar dari masa suram, membuat Aisyah sadar, bahwa dengan rasa sabar ia bisa melewati semua ini, bukankah dulunya ia pernah berada di posisi ini. Lantas mengapa harus takut menghadapi lagi.
Aisyah juga mengingat satu ajaran suaminya, ada satu nasehat emas dari abu Darda pada istrinya. "Jika aku marah (berusahalah) buat aku tenang. Dan jika kamu marah maka aku akan berusaha membuatmu ridho. Karena jika tidak demikian, maka begitu cepat kita akan bercerai."
Dua hari didiami oleh sang suami, tidak membuat tekat Aisyah berhenti membujuk Gus Ilham agar mau memaafkannya. Demi ridho dan keselarasan rumahnya.
Hari ini Aisyah memulai rencananya, diawali menitipkan anak-anaknya di ndalem. Setelah itu Aisyah pulang kerumahnya. Sesampainya didalam sana, Aisyah melihat suaminya turun kebawa, sudah rapi memakai pakai kerjanya.
"Pagi mas," sapa Aisyah.
"Hm." Balas Gus Ilham seadanya masih menampilkan wajah datarnya.
"Sudah sarapan? Aisyah masak, makanan kesukaan kamu loh."
"Nggak dulu." Jawabnya, membuat senyum Aisyah luntur. "Minggir, saya mau lewat."
Aisyah bergeser, membiarkan suaminya membuka pintu. Namun saat Gus Ilham memutar kenop, pintu tak bisa terbuka.
Gus Ilham berbalik. "Mana kunci—nya."
Gus Ilham ternganga, Aisyah tersenyum penuh kemenangan, saat kunci pintu masuk ke dalam bajunya, melalui lubang baju di leher.
Gus Ilham mendengu. Andai saja tidak marah pada Aisyah, tentu saja sangat mudah mengambil kunci itu sambil modus tipis-tipis.
"Jangan main-main deh, saya lagi buru-buru."
"Kita selesaikan masalah rumah tangga dulu, baru kamu pergi kerja, biar beban kita sama-sama berkurang," ucap Aisyah.
"Saya sibuk."
"Penting mana, Aisyah atau pekerjaan kamu?" Gus Ilham kalah talak, susah memang mengelak ucapan istrinya jika sudah disuruh memilih.
"Mas..." Aisyah mendekat, lalu menggenggam kedua tangan suaminya. "Maafin Aisyah ya?"
"Ya?" Aisyah terus memohon, sampai kedua tangan suaminya dicium.
"Saya marah Aisyah." Ucap Gus Ilham, sesak didadanya, saat menahan semua unek-unek yang ingin sekali keluar.
"Maafin Aisyah."
"Kenapa pergi tanpa izin?" Tanya gus Ilham mengulurkan pertanyaan yang terus berada di otaknya.
"Memangnya kalau Aisyah izin, mas Ilham mau ngizinin Aisyah?"
Gus Ilham menatap wajah Aisyah sepenuhnya. "Tapi setidaknya izin Aisyah, apa harus pergi begitu saja, kamu tinggalin anak-anak didalam kamar, parahnya lagi sampai kamu kunci mereka berdua, gimana kalau terjadi sesuatu sama mereka?"
"Masalah anak-anak, Aisyah minta maaf, Aisyah memang mengaku salah. Tapi Aisyah pergi nggak izin, karena Aisyah tau, kamu nggak bakalan ngizinin Aisyah!"
"Aisyah bosan mas, harus dirumah terus."
"Coba deh kamu di posisi saya, Gimana kalau saya pergi, tanpa izin kamu sampai larut malam? Nggak ada kabar, nggak angkat telpon? Tinggalin anak-anak dikamar yang terkunci!"
"Di perjalanan, kamu berharap pulang kerja, dapat sambutan hangat dari istri, setidaknya bisa menghilangkan rasa cape kamu. Tapi Tibanya di rumah harapannya pupus, dia malah pergi, di telpon nggak diangkat. Di kirimin pesan nggak dibalas? Siapa yang tidak kesal Aisyah?!"
"Terus gimana dengan Aisyah, dua puluh empat jam di rumah. Ngerjain pekerjaan rumah. Mencuci, memasak, jagain anak-anak? Kamu pikir enak dirumah terus, mau izin keluar sebentar aja, kamu ngelarang? Diatur sana sini, capek mas!"
"Oh, jadi kamu mau bebas dari semua tanggung jawab kamu?" Tanya Gus Ilham.
Aisyah tergelak. "Bu-bukan gitu, mas..."
"Udahlah. Capek aku ngomong sama kamu. Dari dulu memang nggak pernah berubah kan, mau aku apain juga, kalau memang dari kamunya yang nggak mau berubah, bisa apa aku."
"Mas! Dengar Aisyah dulu!"
Gus Ilham tidak menghiraukan ucapan Aisyah. Ia menarik tubuh Aisyah, melepas rasleting bajunya dan mengambil kunci rumah. Setelah pintu terbuka, Gus beranjak keluar tanpa pamit pada Aisyah.
Aisyah menghela nafas berat, pun ikut keluar. "Hati-hati dijalan. Awas aja ngeliat cewek lain!"
"Tanpa kamu bilang pun, saya nggak akan berani melirik perempuan lain, nggak kayak kamu. Sudah dilarang masih dilanggar." Setelah mengatakan itu Gus Ilham benar-benar pergi dan menghilang dihadapan Aisyah.
Lagi lagi Aisyah menghela nafas panjang. Wanita itu mengusap dadanya, berusaha tegar menghadapi sikap acu tak acu suaminya.
"Gak, gak, gak! Ini aman, ini nggak menyakitkan kok." Monolog Aisyah berusaha menghibur dirinya dari gejola dari dalam dirinya.
"Sabar Aisyah. Kamu kuat kok, i am strong women." Aisyah mengembangkan senyum nya, ia harus kuat, walaupun matanya tidak bisa berbohong.
****
Saat Gus Ilham hendak menuju tempat kendaraannya, kedua anaknya menghampiri.
"Abah!" Sapa Arsya dan Arsyi berada di teras ndalem.
Sebelum menghadap Arsya dan Arsyi, Gus Ilham menghapus air matanya. Entahlah mengapa setelah berdebat dengan Aisyah membuatnya sedikit emosional.
"Eh, Sayang."
"Abah napa nangis?" Tanya Arsyi menatap kelopak mata abahnya yang sedikit basah.
Gus Ilham memejamkan matanya sambil tertawa pelan. "Ini, abah kelilipan." Alibinya.
"Kasian abah," ucap Arsya memeluk tubuh tubuh gus Ilham.
"Kalian pulang ke rumah ya, umi habis masak makanan enak. Pokoknya kalian harus habisin, oke?"
"Oke abah!" Seru Arsyi. "Ayo Aca!"
Arsya menggeleng. "Aca mau ikut abah ke pesantren."
"Abah ada rapat nak, lain kali aja ya, abah ajak ke pesantren. Sama Arsyi juga sekalian."
"Benelan ya, abah. Aci nda sabal cekolah, pacti celuh, iya kan Aca?"
"Iya, Aca pengen cepat besar deh."
Gus Ilham hanya tertawa. "Jangan cepat-cepat besarnya, abah masih mau kalian kecil."
"Kecil cepelti cemut?"
Gus Ilham Kembali tertawa. "Nggak sekecil itu juga sayang." Ujarnya. "Yasudah pulang sana. Umi Aisyah sudah tungguin."
"Dadah! Abah!"
"Dah sayang, abah berangkat dulu ya, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam!"
****
Siang harinya, Arsyi baru pulang kerumah. "Umi!" Panggil Arsyi.
Aisyah keluar setelah dari dapur. "Eh, kok tangannya hitam gitu sih?" Tanyanya saat melihat tubuh Arsyi yang kotor.
"Aci ada cacing!"
"Aaaa!" Aisyah melompat naik keatas kursi. "Buang Arsyi!"
"Nda boleh dibuang umi, Ini cacing!"
"Buang nggak? Atau umi Panggil om Iksan."
"Kata kakak Cakina, abinya lagi pelgi."
"Arsya, kesini cepat!" Teriak Aisyah menggema.
"IYA UMI!" Arsya lari terpogoh-pogoh menghampiri uminya.
"Suruh Arsyi buang cacingnya?" Titah Aisyah.
Arsyi terdiam, mengerjap polos sambil menatap sang kembaran. "Aca juga takut cacing umi."
"Yooo!" Arsyi menyondongkan cacing itu dihadapan wajah Arsya membuat anak laki-laki itu berlari ketakutan keluar rumah.
"Eh, Arsya Arsyi! Jangan keluar!" Pekik Aisyah. Masalahnya, Arsya hanya memakai popok, sedangkan Arsyi, badannya sudah penuh lumpur.
Aisyah turun dari kursi, segera mengejar anak-anak nakalnya itu, sampai ke lapangan pesantren. Tanpa Aisyah sadari banyak santri menatap dirinya saat tidak memakai cadar.
"Loh, siang bolong gini, kok, ada bidadari lari di ditengah lapangan?" Ucap salah seorang santri putra.
"Arsya!"
"Aaaa! Jangan kaci ke Aca!" Pekiknya itu sambil terus berlari. Di belakangnya ada Arsyi terus mengejar sambil membawa cacing tanah.
"Arsyi, stop!" Teriak Aisyah nyaring.
"Hahaha!"
Teriakan dari ketiga orang itu, tentu saja menjadi pusat perhatian para santri dan Orang-orang lainnya yang berada di sekitar sana.
"Astaghfirullah!" Ustadz Abraham langsung membalikkan badannya setelah melihat Aisyah tanpa cadar.
"Kenapa?" Tanya Gus Adam, kebetulan pria itu berkunjung di pesantren Hidayatullah.
"Ning Aisyah, nggak pakai cadar," ucap ustadz Abraham.
Gus Adam membelalak matanya. "Mana? Yang mana ning Aisyah?"
"Ish! Situ balik badan juga, jangan sampai liat. Awas loh, dibuat amnesia sama Gus Ilham."
"Masyaallah, mirip Arsya sama Arsyi ya?" Monolog Gus Adam sambil menggeleng takjub melihat Aisyah.
"Astagfirullah, Gus never try! Mending cari aman aja."
Dari kejauhan, hendak menghampiri kedua teman nya, Gus Ilham melihat Adam dan Abraham sedang heboh. Sampai Gus Ilham melihat arah pusat perhatian. Dimana ada Aisyah yang sedang kejar-kejaran dengan anak-anaknya. Yang lebih bahaya nya lagi, Aisyah tidak memakai cadar.
"TUTUP MATA KALIAN SEMUA!" Intupsi itu membuat semua orang langsung menunduk.
Gus Ilham segera berlari, menuju tengah lapangan. Mula-mulanya, ia menangkap Arsyi kemudian Arsya datang menghampiri.t
"Kenapa lari-lari?"
"Abah!"
"Mas Ilham." Aisyah melangkah seribu sampai kehadapan suaminya.
Gus Ilham menurunkan Arsya dan Arsyi dari gendongannya. Lalu mengambil sorbannya dan menutup seluruh kepala Aisyah.
"Kenapa nggak pakai cadar?"
"Astagfirullah! Aisyah lupa!"
"Ch, malas saya sama kamu, suka banget ngelanggar."
"Maafin."
"Orang-orang jadi liat wajah cantik kamu." gumam Gus Ilham kesal.
"Mas cemburu?"
"Pake nanya lagi?" Gus Ilham menarik tangan Aisyah agar segera pergi dari sana.
Gus Ilham berhenti melangkah. Menoleh kebelakang, melihat Arsya dan Arsyi masih saja bermain di tengah lapangan.
Gus Ilham memetik jari. "Ayo pulang."
"Siap Abah!" Kedua anak itu pun mengikuti langkah kedua orangtuanya.
*****
Pada malam harinya, Gus Ilham terpaksa kembali tidur di kamarnya bersama Aisyah. Setelah Arsya protes, kalau abahnya tidur disini kasur akan terasa begitu sempit, belum lagi Arsyi kalau tidur banyak gerak.
Saat gus Ilham memutar kenop pintu, ia mendengar Aisyah sedang mengaji. Hati gus Ilham langsung tenang. Mendengar lantunan merdu Aisyah.
"Masyaallah, istriku. Coba aja nggak marahan, habis pipi mu aku gigit-gigit."
"Shadaqallahul adzim!"
Gus Ilham masuk setelah Aisyah mengucap tashdiq. Ia berjalan sampai di bibir kasur. Tentu saja membuat Aisyah senang. Penantian setelah tidak tidur dua malam bersama sang suami.
"Alhamdulillah, mas. Kamu mau tidur lagi dikamar!" Seru Aisyah menghampiri Gus Ilham. Ia langsung memeluk erat tubuh suaminya itu.
Cup!
"Aisyah sayang banget sama mas Ilham!"
"Nggak nanya."
"Ya Allah, suami Aisyah masih marah. Mau di nyanyi ngga?"
Gus Ilham mengangkat sebelah alisnya. "Nyanyiin apa?"
"Lagu, biar kamu nggak marah," ucap Aisyah sambil mengusap surai suaminya.
"Jangan sentuh-sentuh!" Bentak Gus Ilham saat Aisyah mulai menggodanya.
"Maafin Aisyah ya..." Aisyah terus memohon.
Lalu Aisyah berdiri, memberikan ciuman di kedua pipi suaminya, terakhir pada bibir, cukup lama sampai akhirnya, Ilham yang menyudahi.
"Masih marah?" Ia melihat wajah suaminya masih belum berubah.
Aisyah meregangkan otot-ototnya, kemudian ia berlari-lari kecil seperti tingkah Arsya dan Arsyi, memutari tubuh suaminya seakan sedang tawaf, sambil terus berseru, "Maafin Aisyah!"
Hingga pada putaran yang kesepuluh, Gus Ilham tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak memaafkan Aisyah. Ia menarik tubuh istrinya dan langsung memeluk erat.
"Aku maafin." Kata Gus Ilham berbisik.
"Alhamdulillah!"
"Jangan diulangi lagi, aku mau kamu selalu izin ke aku saat mau pergi kemana pun. Jangan lupa juga anak-anak."
"Siap bos!" Kekeh Aisyah. Dalam hati ia berucap kalau nggak khilaf lagi tapi.
Gus Ilham kembali mencium Aisyah, keduanya benar-benar sangat menikmati ciuman tersebut.
Aisyah menghirup udara sebanyak-banyaknya setelah ciuman selesai. "Makasih mas Ilham. Udah maafin Aisyah."
Gus Ilham mengangguk. Menarik Aisyah agar duduk dipangkuannya. Lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Aisyah dan menyimpan kepalanya di bahu Aisyah.
"Tubuh kamu ajaib ya?"
Aisyah mengernyit bingung. "Ajaib dari mana?"
"Marahku jadi hilang setelah memeluk kamu."
Aisyah mendongak, ia tertawa memperlihatkan gigi kelincinya. "Mas Ilham tau nggak, dari kemarin Aisyah buntu cari cara biar kamu maafin Aisyah. Di cari di internet semua nggak ada yang berhasil."
"Tapi tiba-tiba, Aisyah jadi inget salah satu kisah sayyidah Siti Fatima Az-zahra bersama suaminya sayyidina Ali Bin Abi Thalib. Pada suatu hari Fatima membuat Ali suaminya kesal, menyadari kesalahannya, Fatima meminta maaf berulang kali."
"Ketika dilihat wajah suaminya tidak juga berubah, ia pun berlari-lari kecil seperti anak kecil mengelilingi Ali sambil meminta maaf. Fatima melakukannya, seperti tawaf sebanyak 70 kali meminta maaf. Melihat aksi istrinya yang menggemaskan, lembut lah hati Ali, ia tersenyum dan memaafkan istrinya itu."
"Dan sekarang, Aisyah semakin yakin, tidak ada panuturan yang lebih baik bagi seorang perempuan selain Sayyidah Fatimah az-Zahra."
Gus Ilham tersenyum bangga pada istrinya. "Dan sebaik-baiknya panutan bagi seorang pria adalah baginda Rasulullah."
"Diantara kunci kebahagiaan bersama pasangan adalah saling memaafkan, mengevaluasi kesalahan dan kekurangan pasangan. Jangan lupa mengingat dan mensyukuri atas kebaikannya."
"Kita berdua harus saling memegang kunci kebahagiaan itu Aisyah. Biar apa? Biar saat kunci yang satu rusak, masih ada kunci lain yang tersisa."
"Maknanya apa? Kalau salah satu dari kita nantinya berbuat salah. Setidaknya ada salah satu dari kita bisa memegang teguh kunci kebahagian itu."
"Aamiin Allahumma Aamiin."
"Oh ya, Aisyah. Chat kamu semalam itu beneran, kan?" Tanya Gus Ilham.
"Yang mana?"
"Kamu beneran pengen hamil lagi?"
*****
Mari ucapkan Alhamdulillah setelah membaca sampai habis part ini. Jangan lupa vote dan komen yang banyak.
3k vote 5k komen update.
Follow akun Instagram @wattpadasya
Belum masuk konflik utama
See you next part, Assalamualaikum 🩷
01 Juli 2023