With You: A Faux Pas? [ NaruH...

By eminamiya_

60.9K 8.5K 922

Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang s... More

Memulai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16. Akhir Untuk Memulai
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
37
38
39
40
Extra Chapter

36

1.1K 187 28
By eminamiya_

Merupakan hal yang wajar bila para murid lain sudah melenggang pergi meninggalkan sekolah, dan Erika masih akan berada di lokasi yang sama untuk menanti kedatangan seseorang yang dengan rutin melakukan jemputan.

Erika merasa tak perlu menghubungi dan memberi kabar lebih jauh karena Eno sudah menghafal jadwal jam kepulangannya.

Maka, sembari bersabar menanti, Erika menyempatkan waktu membalas lambaikan tangan teman-teman yang sudah pergi lebih dulu, lantas melanjutkannya dengan memainkan ponsel yang sudah hampir kehabisan daya untuk mengisi kegiatan.

Saat kedua kaki telah berdiri tepat di hadapan kursi roda, wajah Erika terangkat guna membalas tatapan.

Tetapi, sesaat, wajah gadis kecil tersebut berubah menjadi tekukan tak menyangka. Bukan Eno yang hadir di sana, melainkan Sasame dengan wajah diamnya.

"Kak Sasame?"

Seulas senyuman kecil mengembang pada bibir si wanita dewasa. "Hai, Erika."

Erika coba memastikan kehadiran Eno di segala tempat, tapi belum mendapati eksistensi perempuan tua tersebut di mana pun.

"Apa yang Kak Sasame lakukan di sini?"

"Aku datang untuk menjemputmu."

"Menjemputku?" Erika semakin dibuat terkejut. Selama ini, belum ada orang lain yang menjemput dirinya di sekolah selain Eno dan sang Papa. "Tapi, Nenek Eno--"

Ucapan Erika belum mencapai usai, tetapi Sasame menyambar segera.

"Aku sudah mendapat izin dari Papamu."

"Sungguh?"

Dengan tenang, anggukan terjadi. Namun, melihat raut tidak yakin di wajah Erika, Sasame meringis pelan dalam hati.

"Kenapa? Erika tidak suka jika aku yang datang?"

Erika menggeleng cepat. "Tidak. Aku suka. Aku hanya tidak menyangka Kak Sasame akan datang."

"Jadi, Erika tidak keberatan bila ikut denganku, 'kan?"

Meski berkata tidak masalah dengan kehadiran Sasame, namun, masih terlihat jelas sebuah kebimbangan dari diri Erika.

Lalu, Sasame memilih untuk berlutut. Sengaja mensejajarkan tinggi agar mereka dapat saling melihat dengan lebih jelas.

"Sebenarnya, aku sedang sedih. Aku butuh teman untuk bicara, makanya ..." Sentuhan lembut Sasame lakukan pada jemari kecil. "... aku datang menjemput dan memintamu untuk menemaniku."

"Tapi, Papa ..."

Dalam satu kali tolakan lemah, Sasame menghela napas. Kenapa Erika terlihat sangat terbeban hanya untuk sekadar menyanggupi keinginannya? Dia tak terlihat seperti ini ketika bersama Hinata.

Pegangan tangan Sasame sedikit mengerat. Erika sempat dibuat terkejut saat jemarinya menerima remasan kuat.

"Tak apa, Erika. Sudah kukatakan, bukan? Aku sudah mendapat izin dari Naruto. Kau tidak perlu khawatir."

Bibir Erika menekuk kecil. Rasa ragu masih menguasai sangat besar. Tetapi, melihat bagaimana Sasame begitu berharap, pun kini sedang memandang dengan sedih, Erika tidak tega menolak.

"Sebentar saja. Kau mau 'kan bersamaku?"

Pelan, Erika mengangguk. "Baiklah, Kak Sasame."

.

.

.

Hari masih terbilang cukup awal, dan dikarenakan tak ada pekerjaan begitu berarti yang mengharuskan untuk lembur, Naruto memutuskan kembali sesuai jam kerja yang menjadi jadwal seharusnya.

Ada beberapa panggilan dari Eno beberapa saat lalu dan tak sempat ditanggapi. Ini membuat Naruto sedikit waspada karena tidak biasanya wanita tua tersebut melakukan panggilan berkali-kali, kecuali sedang terjadi hal yang buruk.

"Ada apa? Terjadi sesuatu?"

Eno belum mengucapkan sepatah-kata, dan Naruto telah menerjang sesegera mungkin setiba di rumah.

"Begini, Tuan. Tadi saat pergi menjemput, saya tidak menemukan keberadaan Nona Erika di sekolah. Nomornya juga tidak bisa dihubungi."

Alis Naruto mulai menaut cukup dalam. "Tidak ada? Sudah memastikannya di seluruh sekolah?"

"Sudah, Tuan. Dan ada yang berkata, Nona Erika sempat menunggu di tempat biasa. Tapi, saat saya tiba, Nona sudah tidak ada di sana."

Naruto menjadi berpikir keras. Lagi-lagi, Erika melakukan hal yang tidak biasanya. Apa dia pergi secara diam-diam ke tempat Hinata? Naruto sudah meminta agar sang anak tidak mengulanginya.

"Apa Nona pergi ke tempat Guru Hinata lagi?"

Panjang, Naruto mengebuskan napas. Cukup ragu baginya untuk menyetujui pertanyaan yang diajukan, meski memang, ia pun berpikir yang sama. Terutama, Hinata ... entahlah, Naruto tidak mengerti apa yang ia rasakan saat membayangkan wanita tersebut.

"Apa perlu saya pergi mengeceknya, Tuan?"

Naruto menatap dalam diam, lalu menggeleng pelan. Eno sudah cukup rentan. Naruto tidak begitu tega untuk membuat wanita setua dia untuk keluar terlalu banyak.

"Tak perlu. Biar aku yang pergi."

.

.

.

Perhentian akhir kendaraan beroda empat menghantar sang empunya untuk saling berhadapan bersama sebuah bangunan yang menjadi tujuan dari kedatangan.

Tujuan Naruto kali ini hanyalah bertemu dengan orang-orang yang sudah dikenali. Beruntung, ketika baru saja menoleh pada satu sisi, seseorang sudah terlihat dan memanggil ia untuk menyapa.

"Naruto?"

Suran sedikit kesulitan dengan bawaan dalam pelukan. Alhasil, si pria memutuskan berjalan mendekat, sekaligus memberi bantuan guna meletakan barang tersebut ke tempat yang diinginkan.

Kali ini, mereka sedang berada di ruang pribadi Suran. Ada rasa heran yang sedikit Naruto rasakan tatkala tak menemukan apa yang diharapkan.

"Ada apa?" Menyadari gelagat sang pria, Suran sempat ikut memandang sekitar. "Kau memiliki keperluan lain?"

Dengan bergulirnya sang samudra untuk mempertemukan tatapan, Naruto membalas. "Apa Erika tidak ada di sini?"

Raut Suran telah berubah bingung. Seingatnya, ketika ia tiba beberapa saat lalu, tak ada kehadiran si gadis kecil di sana. "Entahlah. Aku juga belum begitu lama sampai karena ada urusan di luar. Tapi, sejak tadi aku tidak melihat Erika."

Ia menangkap perubahan pada garis wajah si lelaki. Naruto tampak terkejut.

"Sepertinya, Hinata juga belum kembali dari mengantar pesanan pakaian. Mungkin, Erika ikut dengannya."  Lalu, Suran mengeluarkan ponsel. "Aku akan menghubunginya."

Suran menunggu tanggapan. Tapi, hanya suara operator yang terdengar.

"Nomornya tidak aktif. Apa kau sudah menghubungi Erika?"

"Ya. Nomornya juga tidak bisa dihubungi."

Suran bergumam pelan. Tidak enak rasanya membuat seseorang hanya berdiri begitu saja. "Duduklah dulu, Naruto. Tunggu Hinata saja, mungkin dia sudah dalam perjalanan kemari."

Sejenak, perkataan Suran menghadirkan desir tak nyaman dalam hati. Tetapi, karena hanya ini yang bisa dilakukan, maka, Naruto menurut. Memang hanya pada Hinata-lah dugaan terbesarnya dapat menumpu.

Melihat Naruto yang seperti berpikir keras, Suran menghela napas panjang. Akan terasa canggung bila tak ada sesuatu yang mengisi kekosongan.

"Naruto, ..."

Gumam dihadirkan sebagai respon.

"Aku tidak tahu ini hal yang benar atau bagaimana, tapi, aku menceritakan mengenai hubunganmu bersama Erika kepada Hinata."

Seperti disiram dengan air dingin, Naruto tersentak begitu saja.

"Jadi, Hinata sudah tahu semuanya. Maaf jika aku salah. Tapi, Naruto--" Perkataan Suran terhenti.

Naruto menghela napas. Apa lagi yang mau dikatakan jika sudah begini?

"Sudahlah. Apa yang sudah keluar dan terdengar, tidak akan bisa ditarik kembali."

Suran menjadi tidak enak. "Sekali lagi, maaf, Naruto. Aku hanya merasa Hinata juga perlu tahu. Dia sangat terkejut mendengarnya. Lagi pula, kenapa kau menyembunyikan darinya? Ini--"

Senyuman Naruto terlampir miris. "Aku tidak mungkin mengatakan apa yang tidak ingin dia dengar."

Suasana canggung yang Suran tidak inginkan -- akhirnya terjadi. Sejak tadi, ia berusaha agar menepis keadaan tersebut, tetapi, ucapannya sendiri yang menghantar hal ini melingkupi mereka.

Diam-diam, Suran melirik pada pria di depan sana. Ada gumpalan penasaran lain yang membuat ia merasa sangat terpacu ingin bertanya.

"Hinata juga bercerita mengenai alasan perpisahan kalian."

"..."

"Kenapa saat itu kau menyetujuinya?"

Segala tayangan lama hadir kembali merobak ingatan. Fokus Naruto pecah dan membiarkan leburan kenangan dulu menyekat dada.

Kenapa dia melakukannya? Kenapa dia setuju?

"Karena dia menginginkannya."

Apa yang Naruto katakan serupa dengan yang terucap oleh Hinata. Namun, Suran ingin tahu lebih dalam.

"Lalu, bagaimana perasaanmu?"

Biru Naruto seperti mengambang sesaat.

Bagaimana perasaannya?

"Kau hanya membuatku menderita!"

"Aku membencimu, Naruto! Baik, mari bercerai! Dan setelah itu, aku berharap tak akan pernah bertemu denganmu lagi seumur hidupku!"

"Aku tidak bisa menolaknya. Dia berkata jika aku hanya membuatnya menderita. Aku ... tidak tahu harus apa."

Hanya singkat, tapi, suara kekehan ringan Suran cukup jelas di telinga.

Naruto tidak mengerti, apa yang lucu dari ucapannya.

"Hinata memang bercerita bila meminta berpisah karena kau tidak ada di sisinya saat dia mengalami hal terburuk. Tapi, ..." Suran menggeleng pelan. "...aku tidak tahu jika kau bisa setidak peka ini."

Tidak ada balasan yang bisa Naruto berikan.

"Seharusnya, kau bisa memahami keadaan Hinata lebih baik lagi. Saat itu, dia sedang dalam masa terpuruk. Kau harus mengendalikan dirimu dan bukan malah ikut terbawa suasana lalu menurut begitu saja semua perkataannya."

"..."

"Aku tahu, ucapan yang dilontarkan dengan emosi terkadang akan sangat di luar batas, tapi setidaknya, maaf jika aku termasuk menyalahkanmu, namun, sebagai pihak yang sadar sudah melakukan kesalahan, kau jangan mengumpannya dengan hal yang membuat dia semakin menganggap jika kehadiranmu tidak bisa diandalkan."

Rahang Naruto mengetat sejenak.

"Kurasa, dulunya, Hinata mungkin tidak berniat sungguh-sungguh ingin berpisah. Dia hanya meluapkan segala kekecewaaan, dan semakin menjadi parah karena kau tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaannya."

Secara lambat, kelereng mata Naruto melebar. Terjangan hebat menghantam kesadaraan. Ucapan 'Hinata mungkin tidak berniat sungguh-sungguh ingin berpisah', seperti menancap begitu kuat pada inti logika.

Naruto serupa orang konyol dengan pikiran yang campur-aduk.

Detik berikut, pintu ruangan terbuka.

Hinata ada di sana. Sedang memandang terkejut dengan kehadiran Naruto. Yang terjadi, ia hanya mematung di tempat berdiri.

Kecanggungan terasa jelas antara dua pribadi tersebut. Lantas, Suran memilih berdehem kuat seakan ingin mengurangi tekanan yang terjadi.

Naruto dihempas kembali pada kenyataan. Menyadari kehadiran Hinata yang datang seorang diri, membuat pria tersebut mengernyit seketika.

"Kau tidak bersama Erika?"

Demikian, Hinata menaut alis heran. "Aku tidak bersamanya. Ada apa?"

Naruto terkejut. Dugaannya salah mengenai keberadaan sang anak. Hari sudah semakin senja, perasaan buruk telah memenuhinya secara penuh.

Sangat cepat, tangan Naruto meraih ponsel. Eno adalah orang pertama yang dihubungi, namun, masih serupa, Erika belum ada di rumah.

"Ada apa sebenarnya?" Melihat pancaran panik di wajah sang pria, Hinata mencoba memastikan.

"Tadi, Naruto mengira Erika ada bersamamu," Suran memberi penjelasan singkat.

"Erika tidak ada di sekolah saat akan dijemput, dan nomornya tidak bisa dihubungi." Menyambung perkataan tersebut, Naruto menghela napas panjang saat panggilan yang baru dilakukan pada Erika tetap tidak mendapat respon.

Hinata ikut gelisah. "Apa?"

Namun, tanpa menanggapi, Naruto kembali menghubungi kontak lain, kali ini adalah sang ibu.

Tetapi, tentu saja hasil yang sama ditemui; Erika tidak ada.

Naruto semakin tak menentu. Otaknya berputar begitu cepat mencari hal paling masuk akal. Selain di sini, Erika akan pergi ke mana?

Mendadak saja, sang samudra seperti berkilat.

Satu kontak lain kembali coba dihubungi.

.

.

.

Mereka saling berdampingan dengan pandangan yang mengarah pada satu tujuan; pada hamparan lembayung yang semakin menggelap termakan oleh waktu.

Di sana, tepat di hadapan mereka, terbentang jurang cukup terjal yang hanya dibatasi oleh beton setinggi lutut orang dewasa -- menyerupai pagar penghalang. Ada banyak bebatuan di bawah, serta jejeran pepohonan yang membatasi area pandang. Namun, hal tersebut tak menghalangi indahnya pemandangan kota dari tempat mereka berada. Kelap-kelip cahaya lampu yang mulai tampak, sudah serupa taburan bintang di atas langit.

Angin hangat bertiup lembut. Helaian rambut Erika yang terurai, sedikit melambai ketika kepala menoleh pada sosok lain di dekatnya; seseorang yang sedari tadi hanya diam dan menatap kosong.

Saat akan bertanya apa maksud kedatangan mereka ke tempat itu, Erika menghentikan niat tatkala dering panggilan sedang terjadi pada ponsel Sasame.

"Ya?"

"Erika bersamamu?"

Pandangan Sasame tidak berubah sedikit pun. Tetap tertuju pada lukisan alam yang sama. "Ya."

"Kenapa kau membawanya tanpa memberitahuku?!"

Naruto. Intonasi suaranya sedikit meninggi. Sasame tahu, sang pria pasti sedang marah.

"Maaf, aku hanya ingin dia menemaniku, ..." Lirikan tersebut berpindah pada mata kecil di dekatnya. "...sebentar saja."

Ada beberapa hal yang Naruto utarakan dalam meluapkan emosi, meski pula tetap berusaha untuk ditahan agar tak membuat wanita yang menjadi penyebab masalah hari ini tidak merasa tersinggung sangat hebat.

Naruto masih terlalu memikirkan perasaan orang lain.

"Di mana kalian?"

"Bukit Nagare." Sasame memejamkan mata. Ia memilih tak berbohong. Namun, setelah berkata, tanpa menanti tanggapan, panggilan telah dimatikan secara sepihak. Sasame hanya ingin menyelesaikan semua dengan cepat tanpa begitu banyak drama.

"Apa itu Papa?"

"Ya. Kurasa, dia akan datang untuk menjemput kita."

Kesunyian menangkap keadaan. Mereka hanya terdiam begitu saja untuk waktu yang lumayan lama.

Ketika hembusan angin terbang kesekian kali, Sasame menatap pada Erika.

"Erika,"

"Ya, Kak Sasame?"

"Bagaimana perasaanmu padaku? Apa kau senang jika bersamaku?"

Manik bulat Erika memperhatikan begitu saksama. Ada yang terasa sedikit berbeda dari wanita di sebelahnya.

"Aku senang bisa bersama Kak Sasame. Aku senang bisa saling mengenal." Senyuman Erika terbentang ceria. "Kak Sasame adalah orang yang baik."

Teduh, Sasame membalas senyuman. "Terima kasih. Lalu menurutmu, aku ini apa?"

"Ya?"

"Bagi Erika, aku ini apa? Apakah aku memiliki arti tersendiri untukmu?"

Erika coba mencerna. Anak seusia dirinya belum begitu memahami hubungan dan perasaan apa saja yang ada di dunia. Jika ada ikatan, hanya ada dua hal yang ia ketahui; baik dan buruk. Apabila tidak mengakibatkan sesuatu yang negatif, artinya, itu adalah hubungan yang baik. Jadi, selama bersama Sasame, Erika memang tidak pernah merasakan konteks tidak berkenan.

"Kak Sasame adalah ..." Namun, Erika bingung untuk mendefinisikan Sasame.

"Kenapa? Sulitkah?"

"Aku tidak mengerti, Kak Sasame. Yang aku tahu, Kak Sasame adalah orang yang baik."

Polos dan naif. Terlalu apa adanya dan cukup menohok. Sasame tak tahan untuk meringis pelan.

"Lalu, apa menurutmu, aku cocok dengan Papamu?"

Sepersekon waktu, Erika telah mengangkat alis.

"Jika aku orang baik, bukankah aku layak bersama Papamu? Aku sudah mendampinginya begitu lama. Erika tahu itu, 'kan?"

Tundukan kepala terjadi. Erika mulai merasa tidak nyaman. "Tapi, Papa berkata tidak akan menikahi Kak Sasame."

Sasame tertegun.

"Kak Sasame adalah adik Papa."

Bahkan, Naruto berkata sejauh ini pada anaknya. Sebegitu tidak pantaskah ia?

Dirinya tidak memiliki arti lebih di mata Naruto dan Erika.

"Kak Sasame?"

Kala panggilan terdengar, Sasame mengangkat wajah. Namun, bukan tertuju kepada si gadis kecil, melainkan diputar untuk menatap kedatangan pribadi yang berjalan mendekat di ujung sana.

Sasame sudah dapat menebak jika Naruto pasti akan datang, tapi, yang membuat tangannya terkepal erat -- adalah kehadiran Hinata yang ikut serta.

Untuk apa dia datang?

Langkah Naruto terhenti sudah. Matanya menatap tegas kepada Sasame yang bangkit berdiri setelah sebelumnya hanya duduk menghabiskan waktu di tempat yang kerap dijadikan lokasi sepasang kekasih untuk berkencan.

"Sudah pernah kukatakan untuk tidak membawa Erika tanpa izin dariku. Apa maksudmu melakukan ini?!"

Gigitan pelan -- Sasame lakukan pada belahan bibir. Kemarahan Naruto terasa begitu pekat meski tak diselingi dengan ujaran keras dan terlampau kasar.

"Aku hanya ingin bersamanya."

"Kau membuatku sangat cemas. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?"

Sasame meringis. Ketika Erika pergi bersama Hinata, lagaknya, Naruto tidak menunjukkan emosi serupa. Bahkan, sampai ketika jelas-jelas Erika masuk rumah sakit karenanya, Naruto tidak bertindak mempermalukan dia seperti ini.

Menarik panjang udara melalui hidung, balasan hanya diungkap bak bisikan. "Maaf. Aku salah."

Kekesalah Naruto mulai merosot perlahan. Ia menghela napas panjang dan melirik pada Erika yang baik-baik saja.

"Erika, kita pulang." Tanpa mengulur, Naruto telah membawa Erika pergi agar dapat masuk ke dalam mobil.

Di tempat yang sama, Hinata masih menatap Sasame tanpa kata. Cukup dalam ia menyorot, sampai ketika berniat untuk ikut pergi dan meninggalkan lokasi. Lagi pula, Hinata tidak merasa ada hal begitu berarti yang harus dibicarakan bersama Sasame, meski memang, Hinata mengakui, pertemuan ini membuat ia mengingat segala sikap yang Sasame lakukan.

Namun, prioritas Hinata sekarang adalah melihat keadaan Erika. Jadi, karena harapan sudah terkabul, ia akan pergi.

Tetapi, sebuah panggilan menghentikan.

"Apa maksudmu datang bersama Naruto ke sini?"

Hinata memutar diri. Kembali saling berhadapan satu sama lain. Tampak jelas 'tidak senang' di wajah seseorang di depan sana.

"Aku datang untuk memastikan keadaan Erika."

"Omong kosong. Kau melakukannya karena ingin bersama Naruto." Sasame berjalan mendekat. Mengambil bagian pada jarak beberapa jengkal.

"Aku tidak peduli dengan pendapatmu, tapi, aku mengatakan yang sebenarnya. Aku menghawatirkan Erika karena mendengar kabar bila dia hilang dan tak bisa dihubungi."

"Hilang? Kurang ajar. Kau bicara seolah aku menculiknya."

Hinata memilih diam. Tak ingin menanggapi terlalu jauh. Mencoba tidak peduli dan akan kembali melangkah pergi.

Tetapi, Sasame masih terus mematik.

"Kau seorang perusak. Seharusnya, ikut saja bersama anakmu yang sudah mati."

Gerak tubuh Hinata yang sudah berbalik, menjadi terhenti. Matanya terbelalak, lantas kembali berputar dan--

Plak!

Gema singkat mengudara.

Ini ... pertama kali dalam seumur hidup, Hinata melayangkan tangan di wajah seseorang.

Sasame terpaku. Pipinya panas.

"Aku mencoba sabar. Selama berhadapan denganmu, aku mencoba sadar diri karena berpikir jika kau memiliki alasan untuk marah padaku. Tapi sekarang, aku tidak bisa."

Wajah Sasame yang semula terlempar ke sisi lain, kembali diarahkan untuk membalas tatapan.

"Kau boleh berkata apa pun tentangku, tapi, berhenti membawa-bawa anakku dalam kekesalanmu."

Mata Hinata sedikit berkaca. Pun, Sasame serupa karena menahan perasaan.

Demikian, Naruto berjalan mendekat. Tujuannya adalah untuk menghampiri Hinata yang belum mengekor ke mobil, tetapi, tak menyangka akan dihidangkan oleh adegan perbincangan dan diakhiri sebuah tamparan pada wajah Sasame.

Ia akan berkata, namun, Hinata sudah memutar diri untuk pergi.

Naruto berniat mengejar, namun, lengannya dicegat.

"Jangan pergi."

Kalimat singkat tersebut membuat Naruto menoleh. Ucapan Sasame ikut terdengar oleh telinganya. Naruto marah, sangat geram atas kelancangan Sasame dalam berkata.

"Aku tidak paham mengapa kau bisa seketerlaluan ini dalam berbicara."

"..." Sasame tidak bersuara.

"Lepaskan."

Namun, jemari tersebut enggan menyanggupi.

"Kenapa, Naruto?" Satu, dua, airmata Sasame kembali jatuh. "Apa Hinata masih begitu penting bagimu?"

"..."

"Apa dia masih begitu berarti?"

Dalam pergerakan kecil, Sasame merasakan Naruto menghadap padanya. Kala mendongak, samudra sedang menatap dengan berbagai kata yang tak terucap. Sendu dan dalam.

"Sasame, ..."

Sungguh, Sasame suka, sangat suka ketika Naruto menyebut namanya.

Tapi, mengapa akhir-akhir ini selalu menyakitkan?

"... tolong, jangan terus seperti ini. Kita bukanlah sesuatu yang benar. Jangan melakukan sesuatu yang kau sadari akan menjadi sia-sia."

Bibir Sasame bergetar sedih. "Aku hanya memilikimu. Aku tidak ingin kau pergi."

Lembut sekali, sebuah genggaman terjadi pada salah satu pundak Sasame. Naruto paham kesepian seperti apa yang sudah Sasame alami selama ini.

"Suatu saat nanti, aku yakin kau akan bertemu dengan seseorang yang tepat. Seseorang yang akan menerima dan memberimu segala kenyamanan yang kau cari." Tangan Naruto bergerak untuk mengelus. "Aku tetap menyayangimu. Kau tidak akan kehilangan apa pun. Percayalah. Jadi, ..." Perlahan, lingkar jemari pada pergelangannya berhasil Naruto lepaskan. "...kumohon, Sasame."

Setelah itu, dia pergi. Naruto berlalu dan membiarkan Sasame untuk kembali menangis sangat dalam.

Naruto berbohong. Belum sedetik ia berkata bila Sasame tidak akan kehilangan apa pun, namun kini, Sasame sudah merasa sendiri. Dia merasakan kembali segala kesepian yang dulu sangat menyiksa.

Sakit sekali.

.

.

.

Ada sedikit usaha yang harus Naruto lakukan ketika memaksa Hinata untuk dapat masuk kembali ke dalam mobil. Wanita tersebut jelas menjadi marah akibat segala yang sudah Sasame utarakan, bahkan, selama dalam perjalanan, tak ada sebaris kalimat yang keluar dari mulutnya.

Keadaan ini sudah membuat Naruto mengembuskan napas begitu dalam berkali-kali sejak awal memasuki kendaraan.

Paham. Tentu. Naruto mewajarkan respon yang Hinata lakukan sebagai tanggapan atas perlakukan Sasame, karena ia ikut memahami bagaimana rasa tersinggungnya.

Hanya saja, dengan terus diamnya ia hingga saat ini, tak ayal, menghadirkan gejolak rasa bersalah dalam diri Naruto. Seandainya bukan karena dirinya, mungkin Sasame tidak akan berkata terlalu jauh dan membuat Hinata tersakiti.

"Aku meminta maaf untuk semua yang telah Sasame katakan padamu. Dia sudah berlebihan."

Cukup samar, Naruto menangkap adanya dengusan.

"Maaf? Kenapa harus kau yang meminta maaf?"

Kelereng langit sang pria berputar untuk menatap. Ia dapati rembulan yang sedang menyorot dengan dingin.

"Apa kau memiliki hubungan tertentu dengannya hingga merasa ikut bertanggung jawab atas semua yang dia lakukan?"

Decitan ban mobil mengikis lantai bumi. Kendaraan tersebut berhenti dengan sedikit sentakan pada pinggir jalanan -- tepat di depan tempat tujuan; rumah Hinata.

Sejenak meremas setir mobil, Naruto membalas, "Aku tidak memiliki hubungan khusus dengannya. Aku hanya tidak ingin kau berlarut di dalamnya."

Hinata bergumam serupa bisikan. "Segampang itu."

Benar. Segampang itu. Sejak dulu, Naruto selalu menganggap enteng perasaan dan rasa sakitnya.

Kendaraan Naruto telah menibakan diri selama beberapa detik di sana, tapi entah mengapa, Hinata masih belum mengeluarkan diri. Ada sesuatu yang seperti terus membisik kecil di telinga.

Sejenak melirik pada spion depan guna memastikan bahwa Erika sudah tertidur lelap, tanpa menghadap langsung, Hinata memutar pembahasan. "Aku sudah mendengar semuanya, tentang kenyataanmu."

Naruto sedikit menahan napas. Meski Suran sudah menjelaskan, tetapi, rasanya tetap menyentak ketika Hinata mulai membahas secara langsung. Naruto tidak menduga sang mantan akan menjadikan ini sebagai topik.

"Kenapa ... kau tidak mengatakannya?"

Menatap jalanan kosong di depan sana dengan tatapan lurus, Naruto pasrah. "Kau tidak pernah memberiku kesempatan."

"..."

"Kau selalu mengingatkanku tentang batasan, dan itu membuatku menjadi tidak yakin untuk berkata."

"..."

"Kau membuatku takut."

"Apa maksudmu?"

Kini, Naruto kembali menatap. Tak terduga, Hinata membalasnya.

"Aku takut membuatmu tahu tentang seperti apa hidupku, dan kau akan semakin memandang buruk tentangku setelahnya."

Naruto tidak berbohong saat berkata takut akan segalanya. Mata itu berbicara jelas tanpa harus melalui ungkapan kalimat.

Tetapi, Hinata menolak meresapi terlalu jauh, pun memantapkan untuk berpaling kesekian kali.

"Kau mungkin ceroboh untuk beberapa hal, tapi, semua bukan kesalahanmu."

Seperti diterjang pukulan bertubi, Naruto terpaku. Ia tak melihat wajah Hinata saat ini, apakah ucapan tersebut hanya hiburan semata atau memang sebuah kesungguhan dari hati. Namun, cukup dengan membiarkan indra pendengaran menjaring segala nada yang terumbar, tangan Naruto telah bergerak dalam genggaman setir.

"Tak perlu merasa takut." Hinata terdiam sesaat. Ingatan mengenai kebersamaan dengan Erika, pun segala ungkapan ketika di kafe lalu, seketika saja hadir kembali. "Dan sepertinya, Erika juga sudah mengetahui sesuatu."

Naruto tertegun.

"Erika memang tidak mengungkapkan secara langsung, tapi kurasa, ia telah menahan ini cukup lama." Tautan jemari saling menekan di atas pangkuan. "Namun tampaknya, Erika tidak mempermasalahkan sama sekali. Dia bahagia bersamamu, dan itu membuktikan bila keputusanmu adalah hal yang benar. Hidupnya berarti karenamu, dan itu sudah lebih dari cukup."

Naruto gamang. Seluruh perasaannya masih didominasi oleh terkejut akibat dugaan mengenai Erika yang telah mengetahui kenyataan, dan kini, Naruto meringis dalam hati kala ucapan Suran beberapa saat lalu -- ikut datang menampar kewarasan.

"Kurasa, dulunya, Hinata mungkin tidak berniat sungguh-sungguh ingin berpisah. Dia hanya meluapkan segala kekecewaaan, dan semakin menjadi parah karena kau tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaannya."

Pantasnya, Naruto sadar diri. Hanya saja, ia terlampau tak tahan.

"Hinata, bagaimana perasaanmu padaku?"

Tanpa bisa mengendalikan, Hinata sudah memandang tidak percaya. "Apa maksudmu membahas hal ini?"

Naruto hanya diam.

Hinata tidak siap -- atau tepatnya membuat dirinya seakan takkan pernah siap untuk ini.

"Lebih baik, kau kembali. Erika harus segera beristirahat."

Hinata sudah mengeluarkan diri dari mobil. Sudah akan berlalu pergi untuk -- lagi dan lagi -- meninggalkan begitu saja.

Tetapi, Naruto tidak sesabar itu untuk terus dapat bertahan dalam keadaan demikian. Ia ikut keluar, meski tak mencoba mengejar dan menahan. Namun, ...

"Aku tidak bisa melupakanmu!"

Langkah Hinata terhenti secara mandiri. Kepala tersebut menoleh dengan segera.

Kedua tangan Naruto terkepal erat sekali. Andai bisa mengakui, ia malu, sangat malu karena kembali bersikap kurang ajar dengan berkata seperti ini setelah semua derita yang ia beri.

Sekelebat bayang seorang pria yang bersama Hinata -- ikut memperburuk keadaan. Faktanya, Naruto mengaku kalah.

"Meski aku berkata akan menghentikan segalanya, tapi ternyata, ... aku tidak mampu."

Hinata masih terdiam. Begitu terkejut dengan apa yang Naruto sampaikan.

"Perasaanku tidak berubah, Hinata."





Bersambung ...



Bagi kalian yang doyan nonton, kali ini, saya mau ngasih rekomendasi versi drama atau seri Korea.

Omong-omong, kalian tahu aktor Song Joong-Ki, enggak? Meskipun saya bukan penggemarnya, tapi, ada salah satu drama dia yang sangat saya sukai.

Belum begitu lama ini, ada seri yang viral. Kalo enggak salah, judulnya Vicenzo, 'kan?

Tapi, saya bukan mau rekomendasiin itu, karena secara pribadi, saya enggak begitu berminat dengan drama tersebut. Cuma supaya kalian tahu siapa orang yang saya maksud. Tapi, dari segi kualitas, tentu Vincenzo juga sangat luar biasa, nyatanya banyak banget yang suka. Hanya mungkin, selera orang aja suka beda-beda :')

Jadi, saya memilih untuk merekomendasikan drama dia yang lain!

Sejak dulu, meskipun suka nonton, saya belum pernah menyelesaikan sebuah drama hingga tamat -- satu pun. Biasanya suka stuck di pertengahan atau malah udah berhenti di episode-episode awal.

Tapi, untuk drama ini agak beda. Saya doyan.

Judulnya, ARTHDAL CHRONICLES. (Selera saya kadang emang suka lain-lain, maap ya. ╥﹏╥).

Untuk episode-episode awal, mungkin bakal terasa ngebosenin karena belum nunjukin konflik yang gimana-gimana. Apalagi, karakter di dalamnya banyak banget, dan ngebahas tentang ras, klan, serta suku. Jadi bakal rada puyeng dan capek ngehafalnya 😂

Tapi, serius deh, ini seru banget (Menurut saya). Drama pertama yang saya tonton sampai selesai, bahkan nunggu season 2-nya. Banyak hal yang bikin saya suka tercengang-cengang nonton ini.

Tapi, catatan: ini bukan drama uwu-uwu 😂 kalopun ada yang manis, scene-nya tipis-tipis doang. Sama kayak momen NaruHina di awal-awal sebelum The Last. Dikit doang, tapi bikin gemas-gemas manja. Dan ceritanya sendiri lebih fokus ke hal lain.

Oleh karena itu, saya enggak menjamin kalian juga bakal suka, ya. Karena sekali lagi, saya hanya sekadar merekomendasikan, dan selera orang-orang tidak bisa disamaratakan.

Continue Reading

You'll Also Like

23.8K 941 70
Cerita ini bukan tentang perjodohan. Bukan juga tentang nikah muda karena sebuah insiden. Tapi ini tentang cerita anak SMA yang berani mengutarakan c...
558K 62.2K 64
[ COMPLETED ] ✔ Bagaimana jika dongeng dan dunia nyata itu berbeda? Jika di dalam dongeng Alice lah yang mengejar Tuan Kelinci, tapi di dunia nyata T...
57.7K 5.1K 46
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
297K 32.6K 74
"Tahun ini ayah tidak akan mengirim satu anak khusus untuk mengajariku kan? Aku ingatkan mulai sekarang, itu tak akan berhasil," © Mashashi Kishimoto