Arranged//H.S.

hendalladdict

1.8K 311 101

Tidak ada seorangpun yang rela sepenuhnya saat kisah cintanya harus diatur oleh orang lain. Namun hukum itu n... Еще

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
24
25
26
27
28

20

85 10 0
hendalladdict

Abel sudah menghabiskan hampir 3 gelas sampanye. Sejauh ini ia merasa baik-baik saja dan tubuhnya menjadi lebih rileks. Yang awalnya sungkan, kini Abel terus memperlihatkan senyuman ramah pada kolega-kolega Harry yang lain.

Gadis itu memperkenalkan namanya secara sopan dan membiarkan Harry memberitau orang-orang kalau dia adalah keponakan, bukan istri.

Kini, Abel dan Harry baru selesai berbincang dengan salah satu rekan bisnis Harry. Orang itu sudah pergi dan mereka tinggal berdua lagi.

"Saya mau ke toilet. Kamu jangan kemana-mana."

"Oke!" Abel menyengir sambil mengangkat gelas sampanye yang isinya hampir habis.

Harry pergi, Abel pun menyibukkan dirinya dengan menatap ke seluruh ruangan, memerhatikan pakaian orang-orang dan menyadari kalau dialah yang paling mencolok.

Tubuh Abel bergerak ringan mengikuti alunan musik klasik, membuatnya larut dalam acara pernikahan ini.

Pengaruh sampanye membuatnya lupa kalau ia sedang sakit hati.

Walau begitu, Abel masih sepenuhnya sadar. Ia tidak akan melakukan hal gila seperti gadis mabuk pada umumnya. Abel hanya tipsy.

Saat sedang asik menikmati alunan musik, seseorang pria menghampirinya, bahkan mencium punggung tangan Abel.

Pria itu mengenakan jas yang senada dengan tuan pesta tadi dan bros bunga di saku jasnya.

"Hai, Isabelle?" Tanyanya.

Abel sedikit heran, namun ia melukiskan senyuman untuk terlihat sopan.

Abel mengangguk, "Ya, saya sendiri. Anda siapa?"

"Seth."

"Oh, Seth, iya-iya saya inget."

Benar kata Ibu Seth, pria ini terlihat sebaya dengan Abel dan wajahnya tidak kalah tampan dari Harry. Alisnya tebal, senyum manisnya menimbulkan lesung pipi pula.

"By the way, ngomongnya santai aja, ya, kata Mami gue kita seumuran kok."

Akhirnya gue bisa lepas karakter!

"Okay! Ehm.. lo ada perlu apa?"

"Gue cuma penasaran sama cewek yang diceritain Papi Mami gue. Begitu mereka nunjuk ke arah lo dan lo lagi sendirian, jadi gue samperin deh."

Abel mengangguk paham, "Iya, Paman gue lagi ke toilet."

Detik selanjutnya, suasana bising dari obrolan para tamu, berubah senyap. Rupanya pasangan pengantin dan tamu-tamu lainnya mulai berkumpul di lantai dansa, sementara ada beberapa orang menonton.

Pun Seth menawarkan tangannya di depan Abel, bermaksud ingin mengajaknya berdansa juga.

"Gu-gue gak bisa dansa." Abel menolak halus.

"Lo pikir gue bisa? Come on, buat seru-seruan aja."

Sekian detik berlalu, akhirnya Abel menyambut tangan Seth. Lelaki itu langsung menyampirkan tangan Abel ke bahunya, sementara ia memegang kedua sisi pinggang ramping milik Abel.

Semakin ke tengah mereka beralun, semakin nyaman tubuh Abel berada di dekat Seth. Kini kedua tangannya tersampir lembut di kedua bahu Seth dan mereka saling melempar senyuman manis.

"Semoga gak ada yang marah kalau liat kita begini." Bisik Seth.

Sayangnya, Abel berharap ada yang marah atau bahkan cemburu akan pemandangan ini.

Abel terkekeh pelan. Ia tidak tau berdansa akan seru seperti ini. Abel melewatkan masa prom di sekolah karena pernikahannya dengan Harry yang tiba-tiba. Syukurlah ada Seth yang membuatnya mengalami dansa dan juga menyukai dansa.

Mereka terus beralun seiring lantunan musik, saling bertukar candaan, dan tak jarang Seth memuji kecantikkan Abel.

Momen hangat yang Abel rasakan berubah dingin saat matanya bertemu dengan tatapan tajam Harry di tempatnya tadi. Rupanya Harry sudah kembali dan tidak ada yang tau berapa lama ia menyaksikan aksi mesra Abel dengan Seth.

Seketika Abel teringat akan perlakuan Harry yang menyakitkannya sepanjang hari ini. Pun Abel menganggap tatapan Harry adalah tantangan.

Abel menarik Seth lebih dekat hingga tubuh mereka saling bersentuhan tanpa jarak sedikitpun. Seth juga ikut menyusul dengan memberi husapan di punggung Abel.

Keduanya kini berada dalam posisi saling berpelukkan, hanya saja mereka masih saling tatap.

"Gimana? Seru 'kan?" Tanya Seth.

Abel hanya mengangguk, kemudian mengistirahatkan kepalanya di dada Seth sambil memejamkan mata. Tangannya juga menghusap leher Seth, sampai ke belakang kepala.

"Kalau kapan-kapan gue ajak jalan, lo mau?" Seth berbisik, seraya mengistirahatkan pipinya di atas kepala Abel.

"Boleh."

Seth tersenyum puas. Tidak sia-sia ia menuruti saran Maminya untuk berkenalan dengan Abel. Siapa tau klop.

Tanpa diminta, Abel merogoh pena yang kelihatan di saku Seth dan membuka tutupnya dengan cara digigit. Gadis itu kemudian menuliskan nomor teleponnya di tangan Seth dengan cepat.

Seth tertawa kecil, "Thanks."

"Ekhm!"

Suara lantang yang familiar itu membuat Abel dan Seth berhenti berinteraksi. Mereka sama-sama menoleh ke sumber suara yang tak lain dan tak bukan adalah Harry sendiri.

Wajahnya sulit diartikan, tapi Abel yakin Harry tidak sedang dalam mood yang baik.

"Terima kasih sudah temenin Isa, Seth. Sekarang kita harus pulang." Ujar Harry.

"Oh, iya gak masalah."

Tepat setelah Seth membalas, Harry menarik pinggang Abel hingga gadis itu berpindah sangat dekat dengannya. Walau demikian, Abel tetap mengunci pandangannya pada Seth untuk lebih memancing Harry.

"Ayo, Isa." Harry berbisik, sambil mengeratkan pegangannya di pinggang Abel.

"Sebentar." Abel meloloskan diri dari tangan Harry untuk memeluk Seth dengan erat. "Bye, Seth."

"Bye, Isa. Sampai ketemu lagi."

Rahang Harry mengeras begitu mendengar Seth menggunakan nama Isa untuk Abel. Nama panggilan yang Harry ciptakan, yang seharusnya tidak digunakan oleh orang lain selain dirinya.

Sementara Abel tersenyum puas dengan apa yang Seth lakukan.

Akhirnya Abel ditarik lebih keras oleh Harry, menerobos kerumunan tamu-tamu yang masih berdansa dan menikmati pesta.

Sejujurnya Abel takut dengan reaksi Harry yang akan datang, namun Abel rasa Harry pantas dibalas. Siapa suruh memperkenalkan Abel sebagai keponakkan?

Kalau orang-orang tau bahwa Abel ini adalah istri Harry, maka sudah pasti Abel dan Seth tidak bertemu. 

Sembari berjalan cepat dengan merangkul Abel, Harry memberikan senyum salam kepada siapapun yang menyapanya. Namun tangannya yang sedikit mencengkram pinggang Abel, sangat berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya.

Akhirnya mereka berdua tiba di parkiran dan di sanalah Abel bisa meloloskan diri dengan menghentakkan tangan Harry. 

"Lo kenapa sih?! Gak bisa pelan-pelan?" Sentak Abel. 

"Masuk ke mobil. Kita bicara di rumah." Paksa Harry. 

Dengan memutar bola matanya, Abel pun masuk ke dalam mobil dan tak lupa ia menutup pintu dengan cukup keras. Ia memasang sabuk pengaman, mengetahui Harry pasti akan mengemudi dengan emosinya. 

Sepanjang perjalanan, Abel hanya melihat ke luar jendela dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. Ia terlihat marah, namun matanya juga berlinang air mata seolah dia sedih. 

Detak jantung Abel sudah tidak karuan karena perasaannya yang dimainkan Harry, ditambah lagi mobil yang ia tumpangi ini menyelip truk-truk besar di jalan raya. Namun, Abel tidak memperlihatkan ketakutannya karena ia tidak ingin dipandang lebih rendah atau lemah lagi oleh Harry. 

Hingga tiba saatnya mereka sampai di rumah, Abel tidak berpikir dua kali untuk langsung turun dari mobil dan masuk ke rumah. Ia melepas sepatu haknya dan melempar benda itu ke sembarang arah. 

Langkahnya cepat menuju kamar, diikuti Harry yang tak kalah kesalnya. Kedua orang itu diliputi emosi dan amarah, dan itu bukan pertanda bagus. 

"Saya gak suka penampilan kamu malam ini." 

Abel berbalik badan, menatap Harry tidak percaya. Tatapan kagum dan lembut yang tadi pagi Harry lihat, kini sudah tidak ada. 

"Apa maksud lo?" 

"Saya gak suka." Harry mengulang sambil melepas jasnya. "Penampilan kamu menarik banyak perhatian orang. Saya udah bilang ke Aubree buat pilihin gaun yang pantas untuk kamu, pasti kamu ngebantah 'kan?" 

Abel membanting tas tangannya di atas kasur, berjalan selangkah pada Harry dan mengangkat kepalanya seolah dia menantang.

"Kalau iya, kenapa?" 

"Saya gak suka sifat keras kepala kamu." 

Abel memicingkan mata, "Terus? Apa lagi yang lo gak suka, hm?"

"Cara kamu berinteraksi sama Seth." Jawab Harry, cepat. "Saya perintahin kamu buat jangan kemana-mana selagi saya ke toilet. Nyatanya kamu malah mesra-mesraan sama dia. Apa susahnya buat nurut--"

"Atas dasar apa gue harus nurut sama lo, Harry?"

Pertanyaan itu langsung membungkam Harry, membuatnya terdiam dan berpikir untuk mencari jawaban yang terbaik. Ini kali pertamanya Harry merasa terpojokkan di dalam pertengkaran. 

"Jawab." Timpal Abel.

"Karena saya suami kamu." 

Tepat setelah empat kata itu terucap, Harry melihat setetes air mata jatuh dari mata cantik Abel. Ekspresi marah di wajah gadis itu kini berganti menjadi pilu seolah Abel sangat tersakiti. 

"Yakin? Gak kehitung berapa kali lo kenalin gue sebagai keponakkan, Harry. Masih bisa lo bilang begitu?" Abel menghusap kasar air matanya.

Harry hendak memegang kedua lengan Abel, namun gadis itu lebih cepat untuk menghindar. 

"Kalau lo cuma anggep gue keponakkan, kejadian semalem gak seharusnya terjadi. Sekarang gue nyesel udah lakuin semua itu." Lanjut Abel, bermaksud pada adegan bercumbunya dengan Harry. 

Pengakuan menyesal Abel membuat Harry tersinggung, bahkan dadanya terasa sesak. 

"Jangan ngomong gitu, Isa." Nada Harry melemah.

"Kenapa? Lo bisa ngomong apapun yang lo mau, sedangkan gue gak bisa?" 

Abel membuang napas dengan kasar sembari kembali menghusap air mata di pipinya. Riasan wajahnya kini telah luntur dengan maskara yang mewarnai air mata. 

Gadis itu berjalan mundur hingga dirinya duduk di atas ranjang. Wajahnya ia topang di telapak tangan, selagi sikunya bertumpu di atas lutut. Saat itulah Abel mengeluarkan emosinya melalui tangisan. 

Ia sudah tidak tau apa yang harus ia ucapkan pada Harry. Ia juga tidak ingin berucap terlalu banyak dan berujung mengakui soal perasaanya. Ia tidak mau nanti Harry bersikap baik hanya karena ia kasihan dengan perasaan Abel terhadapnya. 

Melihat Abel yang pecah dalam tangisan, membuat Harry semakin merasa bersalah. Iapun berjongkok di depan Abel, menggenggam kedua lengannya dengan lembut. 

"Isa..." 

Abel menggeleng. "Lo kira gue suka sama penampilan gue, Harry? Gak sama sekali. Gue lakuin ini semua supaya lo gak malu bawa gue ke acara penting." 

Untuk kesekian kalinya malam ini, Harry tertampar dengan kata-kata Abel. Gadis itu berhasil membuatnya merasa seperti laki-laki paling tega di dunia. 

Soal penampilan Abel, Harry tentu sangat menyukainya. Ia hanya gelap mata dan tidak sengaja mengatakan kalau ia tidak suka. 

"Isa, saya minta maaf." 

"Keluar, Harry." Abel membuka wajahnya, memperlihatkan riasan yang semakin luntur. Ia berdiri, membuat Harry juga melakukan hal yang sama. 

"Keluar?"

"Gue mau sendiri malem ini. Lo yang keluar atau gue."

Harry menggeleng, "Gak. Saya gak mau tinggalin kamu sendiri dengan kalut--"

"Apa peduli lo?" Abel terkekeh. 

"Jelas saya peduli, Isa."

"Nggak. Lo gak peduli sama gue. Lo cuma kasihan dan gue gak butuh dikasihani. Keluar sekarang." 

***

Abel menahan rasa sakit di kepalanya sepanjang perjalanan balik dari makam. Pagi-pagi sekali ia mengunjungi makam orang tuanya dengan diantar supir. Ia ingin mencurahkan isi hatinya pada mereka dan puas menangis di samping makamnya. 

Usai berziarah, Abel meminta sang supir untuk mengantarnya ke rumah Nenek. Ia ingin menghindar dari Harry sebisa mungkin. Dirinya bahkan tidak melirik Harry yang tertidur di sofa saat melewati ruang tamu. 

Ponselnya sengaja dimatikan demi menolak panggilan dari Harry yang mungkin sedang mencarinya sekarang. 

Setelah tiba di depan rumah Nenek, Abel berterimakasih pada supirnya dan menyuruhnya untuk tidak menunggu, melainkan pergi melanjutkan tugasnya.

Abel mengetuk pintu rumah masa kecilnya itu dan tak lama, nampaklah Neneknya dengan senyum hangat untuk sang cucuk.

"Cucuk Nenek!!" Wanita tua itu kemudian menarik Abel ke dalam pelukan dan menciumi wajahnya dengan gemas. "Kamu masih ingat Nenek rupanya?"

Perasaan bersalah meliputi Abel atas sindiran itu. Ia baru sadar kalau dirinya hanya mengunjungi Nenek setiap perasaannya sedang kalut karena Harry. 

"Ya, masih lah. Abel kangen." Balasnya.

"Kamu sendiri ke sini? Harry mana?"

"Tadi Abel ziarah ke makam dulu. Harry masih tidur." 

Setidaknya ia tidak berbohong pada orang tua. 

"Oh, ayo masuk. Ganti baju dulu, gak bagus habis dari makam gak ganti baju." 

Abel mengangguk, mempersilahkan dirinya masuk ke dalam rumah yang ia rindukan. Rumah yang selalu memberi perasaan hangat di dalam dirinya.

"Abel laper, Nek. Ada masak apa?" 

"Kamu mau apa? Biar Nenek masakkin." 

Senyuman terukir di wajah Abel. Ia sangat senang dimanja oleh Neneknya seperti ini. 

"Apa aja, Nek, yang penting jangan lupa sambel ya."

"Iya-iya. Gih kamu ganti baju dulu. Nanti masak bareng Nenek."

Pun Abel berjalan ke kamarnya yang dulu, penuh dengan poster dan hiasan-hiasan ala remaja, sangat berbeda dengan kamarnya dan Harry yang penuh akan berbagai memori baik dan buruk.

Abel sengaja meninggalkan beberapa pakaiannya, berjaga-jaga kalau ia harus kabur ke rumah ini karena bertengkar dengan Harry. 

Sweater turtle neck dan celana pendek adalah hal pertama yang ia lihat sesaat setelah membuka pintu lemari. Ia mulai menanggalkan pakaian serba hitamnya, tak lupa memasukkan pakaian itu ke keranjang.

Setelah berganti pakaian, Abel beralih ke kamar mandi untuk membasuh wajah, tangan, dan kakinya. Ia enggan melihat dirinya di cermin karena ia tau wajahnya sedang tidak enak dipandang.

Kembali ke kamar tidur, Abel membuka laci nakasnya untuk mencari obat sakit kepala. Efek sampanye dan tidak makan malam membuat kepalanya seperti dihujam oleh benda tumpul.

"Ck! Mana sih?" Gumamnya, sambil terus mencari namun ia tidak menemukan.

Semakin sakit, Abel duduk di pinggir ranjang sambil memegangi kepalanya. Jarinya memijat di sekitar pelipis, merambat ke bagian belakang dan juga tengkuknya. Matanya terpejam, menahan sakit sekaligus merasakan pijatannya sendiri.

Samar-samar Abel mendengar pintu kamarnya terbuka dan ranjang di belakangnya sedikit bergoyang. 

"Kepala Abel sakit banget, Nek. Bisa tolong pijitin, gak?" Ujarnya. 

Tak lama setelah itu, Abel merasakan tangan hangat menyusupi leher sweaternya dan memijat  mulai dari bahunya, kemudian naik ke leher dan kepala. Pijatannya sangat enak, membuat Abel menghela napas beberapa kali.

Mata Abel yang awalnya terpejam, langsung terbuka lebar saat hidungnya menangkap aroma parfum yang jelas-jelas bukan milik Neneknya. Ia juga baru menyadari tangan yang memijatnya lebih besar dari tangan seorang wanita tua. 

Sontak Abel berdiri dan berbalik badan, mendapati Harry duduk berlutut di atas ranjang Abel. 



TBC

Hero as Seth

Продолжить чтение

Вам также понравится

494K 37K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
My Nerd Girl (DIJADIKAN SERIES) Aidahharisah

Подростковая литература

30.4M 1.7M 65
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...
461K 4.8K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
101K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...