With You: A Faux Pas? [ NaruH...

Oleh eminamiya_

56.9K 8.3K 905

Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang s... Lebih Banyak

Memulai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16. Akhir Untuk Memulai
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
35
36
37
38
39
40
Extra Chapter

34

980 188 21
Oleh eminamiya_

Satu hal yang paling mendominasi saat ini -- ialah irama jantung yang menyatakan detakan melebihi pompaan wajar beberapa saat lalu.

Kehadiran Naruto di dalam rumahnya, berhasil memaku pijkan Hinata -- pun membuat raganya seolah tak mampu berkutik meski sekejap.

Sang Bibi yang duduk saling berhadapan bersama si pria, ikut menimbulkan pertanyaan di dalam kepala; apakah Natsu memang sengaja mengizinkan Naruto masuk sehingga kini ia dapat duduk manis di sana?

"Hinata ..."

Suara itu berasal dari Natsu. Perempuan paru baya tersebut sedang memandang bersama raut tak yakin dan cemas. Mungkin menyadari bila tindakannya yang membawa si pria untuk masuk -- merupakan sesuatu yang sedikit keliru.

Seseorang yang sedang berada di balik punggung Hinta ikut maju selangkah dan membuat mereka dapat berdiri sejajar. Pria tersebut memandang heran atas kehadiran sosok asing di seberang sana.

"Siapa?"

"..."

Natsu bangkit dari tempat duduk. Ia pandangi Naruto yang tetap setia dalam posisi duduk dan tak menghasilkan gerak-gerik tertentu.

"Hinata, Naruto datang untuk bertemu denganmu."

Hinata tidak melakukan respon apa pun. Melainkan, sosok di sampingnya yang telah menampilkan raut terkejut tipis.

Pandangannya bertemu bersama Natsu. Entah kode apa yang sedang dilakukan, tetapi pria tersebut seolah memahami.

Ia tepuk pundak Hinata untuk sejenak. "Aku akan menunggu di dalam." Lalu, berjalan ke ruangan lain, bersama Natsu yang mengekor -- setelah memberi anggukan singkat kepada Hinata.

Tersisa mereka berdua. Hinata masih setia diam dalam tumpuan kaki. Naruto tidak kalah termenung. Mendadak saja, kecanggungan menjadi terasa kian pekat.

Tatkala Hinata mendongak, didapatinya tubuh tinggi tersebut sedang berjalan mendekat. Hinata tidak pernah siap untuk bertemu kembali setelah semua yang telah ia terima belum lama ini.

"Kenapa?"

Naruto meringis kecil dalam hati.

Pastinya, ini akan terkesan lancang dan keluar jalur, namun, selain tujuan untuk meminta maaf, kini ada hal lain yang ikut hadir dalam pikirannya.

Bolehkah ia mengakui? Naruto ingin tahu siapa lelaki yang datang bersama Hinata.

"Aku ingin--"

"Kita bicara di tempat lain."

Memotong cepat dan tanpa menunggu, Hinata sudah berbalik dan mengeluarkan diri.

Naruto menghembuskan napas sangat dalam.

Sebuah lokasi di sekitaran perumahan dijadikan tempat saling berhadapan. Di sini, Hinata dapat meminimalisir adanya kebocoran kalimat yang bisa sampai ke telinga orang lain.

"Untuk apa datang?"

"Aku tidak tahu apakah kau mengharapkan hal ini atau tidak, tapi, aku ingin menyampaikan jika Erika sudah keluar dari rumah sakit."

"Syukurlah. Aku lega mendengarnya."

"Erika berharap bisa bertemu denganmu."

"Dia bisa datang kapanpun."

Mereka terdiam cukup lama.

Jika sedari tadi Hinata terus membuang muka, maka, mata Naruto memaku diri pada wajah cantik di hadapannya. Setiap kedipan, setiap helaan napas, semua terekam secara baik.

Naruto ... merasa putus asa.

"Aku juga datang untuk meminta maaf atas semua ucapan Ibuku. Aku tahu, dia pasti sudah sangat menyakitimu."

Pelan sekali, Hinata mengigit bibir bawah. "Tak perlu."

"Hinata--"

Hinata mengumpulkan segala keberanian. Kini, ia pandangi wajah di hadapannya tanpa keraguan.

"Seharusnya, kau juga sudah memahami ini, Naruto. Kau tak perlu datang menemuiku lagi."

"Aku hanya ingin memastikan jika kau baik-baik saja."

"Untuk apa?"

Naruto seketika bungkam.

"Untuk apa memastikan aku baik-baik saja?"

"..."

Arah pandangan Hinata berputar sesaat. Pada salah satu bagian dinding untuk memastikan tidak ada kehadiran yang menyadari pembicaraan mereka.

"Sebaiknya, kau kembali."

"..."

"Dan pastikan untuk tidak menemuiku lagi. Jangan menimbulkan sesuatu yang bisa membuat orang lain menaruh curiga."

"Aku mengkhawatirkanmu."

Bibir Hinata tertekan kuat. Bila boleh mengakui, matanya terasa panas saat ini.

"Aku mulai bosan memintamu untuk tidak bersikap berlebihan."

"..."

"Sudah cukup, Naruto." Hinata memejamkan mata. "Pergilah. Aku sudah lelah."

Naruto masih bergeming.

"Hinata, boleh aku bertanya hal lain?"

Tak ada kata. Naruto tidak peduli bila Hinata tak mengizinkan.

"Siapa pria tadi?"

Jika waktu memang dapat terhenti, maka itu adalah ketika sang lautan sedang mencoba menenggelamkan rembulan. Mata Naruto seolah memaku Hinata begitu hebat, sampai rasanya, ingin Hinata memaki diri sendiri karena sempat hanyut terbawa gelombang.

"Kenapa harus kujelaskan?"

Entah ini adalah pernyataan yang memang harus diberi jawaban, namun, Naruto tak sanggup melakukan.

"Aku tidak pernah mencoba mencari tahu dengan siapa kau bersama selama ini, lalu, kenapa aku harus menjelaskannya padamu?" Wajah Erika dan Sasame hadir begitu saja. Rangkuman singkat bila Naruto memang semakin tidak berhak untuk mencari tahu banyak hal.

Sesudahnya, Ia benar pergi. Tak ingin menoleh barangkali untuk tahu -- apakah Naruto akan tetap berada di sana dalam waktu lebih lama, atau mungkin ikut berlalu meninggalkan tempat.

Ketika tiba pada salah satu ruangan, Natsu menyambut dengan wajah ingin tahu.

Hinata tak menanggapi dan lebih memilih tetap melanjutkan perjalanan menuju kamar. Natsu mengekori untuk ikut duduk di sisi ranjang.

"Hinata--"

"Seharusnya, Bibi tidak membiarkan dia masuk."

"Bibi sudah terlanjur membuka pintu. Tidak tega mengusirnya."

Hinata tidak lagi membalas.

"Apa yang terjadi?"

Ia ingin menjawab, pun di satu sisi juga merasa tak mau sang Bibi merasa khawatir.

"Katakan, Hinata. Naruto bilang ada masalah yang terjadi baru-baru ini."

Hanya saja, Hinata tidak mampu untuk memendam sendiri.

"Semua kesalahanku karena terlalu nekat."

Natsu tidak mengerti. "Maksudnya?"

"Beberapa hari lalu, Ibunya mengatakan sesuatu yang menyadarkan betapa bodoh hal yang sudah kulakukan selama ini."

"Kau bertemu Ibunya juga?" Natsu cukup terkejut.

Alhasil, Hinata mencoba menceritakan semuanya. Awal kisah tak seimbang ini terjadi, segala masalah yang tercipta, dan putusan akhir ketika Hinata meminta agar Naruto tidak akan pernah lagi menemuinya.

Lembut sekali, Natsu mengelus pundak ringkih di sana. "Bibi tahu ini sulit, tapi tidakkah kau berpikir untuk memberi Naruto kesempatan walau sedikit saja?"

Natsu teringat kembali segalanya, beberapa hal di masa lalu. Hinata mengambil keputusan secara spontan tanpa pertimbangan panjang, dan Natsu tak ingin di usia dewasa ini -- ia kembali mengulangi hal yang sama.

"Bibi tidak memintamu untuk melupakan semuanya, tapi, ... jika dia mencoba memberi penjelasan, cobalah untuk mendengarkan. Tak harus menerima, tapi setidaknya, kau tahu apa alasan atas tindakannya."

Hinata tidak tahu. Jangankan untuk memahami keadaan, dirinya sendiri pun -- Hinata tidak mengerti.

Setelah perbincangan singkat terjadi, Natsu berjalan keluar. Ia biarkan Hinata untuk memiliki waktu pribadi guna menenangkan diri.

Di ruangan lain, sudah ada seseorang yang seolah menunggu dan menuntut jawaban atas apa yang terjadi.

"Jadi, itu Naruto?"

Kepala Natsu mengangguk. "Sebaiknya, jangan mengganggu Hinata dulu. Biarkan dia sendiri dan jangan bertanya apa-apa." Mata Natsu memicing mengancam. "Meski lama tinggal di luar negeri, aku tahu sifatmu tidak berubah, Toneri."

Satu desisan terjadi. Pria yang adalah anak dari kakak kandung Natsu -- mendesah pelan. "Aku mengerti, Bibi. Aku tidak akan menggodanya. Aku masih tahu batasan untuk menyesuaikan dengan masalahnya."

.

.

.

Beberapa Waktu Kemudian

Naruto sedang duduk sendirian pada bagian teras belakang ketika menyadari kehadiran sang Ibu yang juga ikut hadir di sana.

Meski sedang duduk saling berdampingan, belum ada satu kata pun yang meluncur guna memecah keheningan yang terus terjadi.

"Bagaimana keadaan Erika?" Dimulai dengan mengangkat topik mengenai Erika, upaya tersebut berhasil menarik perhatian Naruto berupa lirikan melalui sudut mata.

"Baik. Erika berkata, Ibu menjadi perhatian padanya. Kenapa?"

Kushina menutup mulut.

"Selama ini, Ibu selalu memperlihatkan sikap tak acuh dan tak menganggap kehadirannya. Tapi, kenapa mendadak saja menunjukkan sesuatu yang berbeda?"

"Apa itu terdengar salah?"

Tidak. Bagi Naruto, ini bukanlah sesuatu yang salah. Malah, ia bersyukur jika memang Kushina sudah semakin lapang dada menerima kehadiran Erika di hidup Naruto, serta menunjukkannya secara transparan.

Mungkin, sang Ibu selalu terlihat begitu menyisikan keberadaan Erika, namun Naruto tahu, bila orang yang telah melahirkannya -- selalu bergerak dalam diam guna memastikan semua baik-baik saja. Kushina selalu memantau keadaan Erika melalui Eno.

Inilah yang sering membuat Naruto menjadi tidak paham dengan jalan pikiran sang Ibu.

Kushina memang tidak pernah mengutarakan hal ini secara langsung kepada Naruto, tetapi, Eno yang membongkar semua. Dan hal itu sudah berjalan sangat lama, namun Naruto memilih diam dan membiarkan sang ibu bergerak dengan caranya sendiri.

Hanya saja, jika terus demikian, segala niat baik tersebut tetap akan pudar terhapus oleh sesuatu yang lebih tampak.

"Tak salah. Hanya terasa sedikit berbeda."

Kushina memilih tak menggubris agar Naruto dapat berhenti untuk membahas sesuatu yang tak ingin ia bahas.

"Kenapa Ibu datang?"

"Ini mengenai Sasame."

Ekspresi Naruto mulai menunjukkan lelah. Lagi dan lagi.

"Harusnya, kau berterimakasih pada mereka. Berkat Tuan Fuma, kau masih mendapat kesempatan untuk menitih karir di tempat yang bagus. Mereka menerimamu dengan baik. Ini adalah keberuntungan yang bagus sekali, tapi kau selalu saja membuang kesempatan itu."

"Jika mereka membawaku bergabung di perusahaan karena menginginkan sesuatu, aku lebih baik berhenti."

Kushina tampak terkejut. "Apa maksudmu?"

"Harus berapa kali kukatakan bila aku tidak bisa bersama Sasame?"

Lekat sekali, Naruto menatap mata sang ibu.

"Aku tahu Sasame adalah perempuan yang baik. Tapi, aku tetap tidak bisa."

"..."

"Aku merasa kasihan, itulah mengapa selalu mengizinkannya untuk berada di dekatku dan membiarkan dia hadir di keluarga kita. Tapi sungguh, Ibu, hanya itu. Tidak lebih. Aku tidak bisa membawa Sasame pada sesuatu yang menyangkut perasaan."

"..."

"Tolong, berhentilah terus memaksaku untuk menerimanya." Setelah itu, Naruto berlalu pergi.

Kushina memejamkan mata begitu erat. Ia sudah menduga Naruto akan tetap tegas terhadap penolakan.

.

.

.

Hinata ... menjadi tak begitu bersemangat belakangan ini. Suran menyadari semenjak perempuan itu kembali menampakkan diri untuk melaksanakan aktivitas keseharian.

"Kemarin, Naruto datang ke sini dan mencarimu. Apa kau bertemu dengannya?"

"Ya. Dia datang ke rumah. Tapi, aku tidak ingin bicara terlalu banyak." Dengan kata terakhir, Hinata menundukkan diri.

"Kau tidak mengusirnya, 'kan?"

Tidak ada tanggapan. Suran menelan ludah cukup berat. Karena sedang membahas mengenai Naruto, Ia teringat kembali tentang segala kisah yang telah didengarkan.

"Hinata, ada yang ingin kukatakan padamu. Dan kurasa, kau akan terkejut mendengarnya."

"Mengenai apa?"

"Begini, ini--"

Pintu yang terbuka -- menghentikan kegiatan Suran dalam bercerita. Ada seorang pegawai yang datang. Tatkala Suran hendak bertanya apa yang terjadi, Sasame sudah lebih dulu menampakkan diri.

Suran dan Hinata tertegun secara bersama.

"Hinata, ada yang mencari--" belum selesai wanita tersebut bicara, tubuhnya sudah lebih dulu bergeser kala Sasame menerjang masuk meski tak begitu kasar.

Alis Hinata menekuk sudah. Suran ikut memandang tak mengerti.

Suran memulai lebih awal. "Ada apa?"

Sejak tadi, pandangan Sasame sudah tertuju kepada Hinata. Meski Suran sedang bertanya, ia enggan untuk menoleh ke arah lain.

"Aku ingin bicara denganmu." Bukan menanggapi pertanyaan Suran, Sasame lebih menjelaskan alasan kedatangannya.

Ketegangan ini ikut merambat melingkupi Suran. Dari cara Sasame memandang, ia seolah menangkap arti tertentu dari kemunculannya. Apalagi, Suran ingat, perempuan ini juga ikut andil menuduh Hinata hari lalu.

"Kau bisa ikut denganku?"

Tetapi, Suran menyambar cepat. "Bicarakan di sini."

Kali ini, barulah Sasame menoleh.

"Jika kau ingin bicara pada Hinata, lakukan di sini. Sebagai atasannya, aku tidak mengizinkan dia untuk keluar sebelum jam kerja selesai."

Sasame mendengus kecil. "Baiklah. Kita bicara di sini." Bibirnya menekuk resah ketika memandang wajah Hinata.

"Ini bukan lagi sebuah bentuk permintaan atau permohonan, tapi, aku ingin kau berhenti untuk benar-benar menampakkan diri di depan Naruto lagi." Semua kalimat tersebut terlepas cepat dan tegas dari mulut Sasame.

Suran sudah menaut alis tidak senang. "Apa maksudmu? Memangnya, kau ada hubungan apa hingga dengan berani memberi perintah?"

Sasame terdiam seketika.

"Aku mencintai Naruto," namun, dengan begitu lantang, tanpa ragu mengungkapkan perasaan.

Suran sedikit tertegun. Ia lirik Hinata yang tak menyatakan pergerakan sedikit pun. Suran tak bisa melihat langsung bagaimana ekspresi Hinata saat ini.

"Sangat mencintainya. Naruto adalah segalanya untukku. Dan aku rela melakukan apa pun demi bisa bersamanya."

Gila.

Seingat Suran, perempuan ini bukanlah siapa-siapa dan tak memiliki hubungan apa-apa dengan Naruto.

"'Melakukan segalanya demi bersama Naruto', tidakkah itu berlebihan? Kau terkesan seperti orang yang sangat terobsesi. Apa ini juga alasan kau meminta Ayahmu untuk memasukkan Naruto ke perusahaan kalian, lalu mengharap imbalan dengan dapat berhubungan?"

Mata Sasame terbelalak dalam sedetik. Ia menyoroti Suran dengan begitu tak suka dan terganggu.

"Sembarangan sekali kau bicara!"

Hinata -- terlebih Suran, merasa tersentak ketika suara Sasame sedikit meninggi.

"Bagaimana bisa aku meminta, jika pria itu bahkan tidak pernah menganggapku?!" Netra Sasame sedikit berkaca. Ia tersinggung dengan perkataan perempuan di hadapannya. "Aku adalah seorang yatim piatu yang diangkat menjadi anak oleh sepasang suami-istri. Tapi, lelaki itu tak pernah menginginkanku. Dia tidak menganggapku sebagai salah satu dari mereka. Bahkan sampai sekarang, aku tidak dekat dengannya. Bagaimana bisa aku memanfaatkan dia untuk mengait Naruto?"

Kedua alis Sasame sedikit menurun. Perasaannya menjadi semakin kacau.

"Aku hanya memiliki seseorang yang kusebut 'Ibu'. Wanita yang sudah sangat berbaik hati menjadikanku seorang anak. Tapi, dia meninggal. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi. Hanya Naruto dan keluarganya yang menerimaku. Bersama Naruto, membuatku merasa seperti dekat dengan Ibuku. Aku tidak bisa lepas darinya."

Dengan mata memerah menahan tangis, Sasame menatap Hinata.

"Aku tahu, kau pasti mengerti bagaimana rasanya kehilangan. Kau pernah keguguran, 'kan?"

"!" Hinata tertegun.

Suran melotot. "Jaga bicaramu!" Ia paham jika ini adalah hal paling sensitif bagi sang sahabat.

Tapi, seolah tak peduli, Sasame tetap melanjutkan.

"Kau pasti paham bagaimana sakitnya jika kehilangan apa yang paling berharga dalam hidupmu."

Tak ada tanggapan yang Hinata berikan. Sasame akan menganggap jika semua perkataannya dapat masuk ke dalam kepala perempuan tersebut.

"Seharusnya, sejak awal kau tidak muncul lagi. Kau yang menginginkan perpisahan. Setidaknya, tahu malu."

"..."

"Jika ada hal berharga yang kau inginkan, kau boleh mengambilnya dariku. Tapi, aku tidak bisa membiarkan kau dekat dengan Naruto -- meski tak ada apa-apa di antara kalian."

"Aku--"

Ucapan Hinata terpotong. Sasame sedang memerankan seorang dominan dalam pembahasan, seolah, hanya dirinya yang harus didengarkan.

"Apa kau tahu bagaimana usaha yang sudah kulakukan? Ada banyak. Ada banyak sekali. Aku dengan ikhlas menerima dia apa adanya, meski tahu seperti apa masa lalunya, bahkan mau menyayangi Erika dengan tulus walau dia bukan anak kandung Naruto."

Tersentak. Wajah Hinata terangkat dengan raut tertegun.

"Setidaknya, karena sudah tidak memiliki hubungan, hargai usahaku untuk bisa bersamanya."

Setelah itu, Sasame pergi.

Hinata mematung pada posisi. Ketika satu tepukan dirasakan pada pundak, dengan gerakan patah-patah -- ia menoleh.

"Kau tidak apa-apa, Hinata? Perempuan itu terdengar sangat gila." Suran meringis ngeri. "Kenapa hanya diam saja? Seharusnya, balas ucapannya."

Hinata bergeming. Ada hal lain yang lebih menggoncang pikirannya dibanding segala keinginan Sasame.

"Suran, tadi ... kau ... mendengar apa yang dia ... katakan?"

Begitu cepat tersambung, Suran menghela napas. Ia mengangguk setelahnya.

"Kenapa dia berkata--"

"Erika bukan anak kandung Naruto?"

"..."

"Itu benar, Hinata. Erika bukan anak kandung Naruto. Dan ini yang tadi ingin kubicarakan denganmu."




Bersambung ...

Enggak kelar-kelar, wkwk.

Jika ada bagian yang menurut kalian kurang srek, enggak nyambung, atau hal lainnya, bisa diinfokan.

Vote, boleh?

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

11.1K 1.7K 14
Hay guyss... Cerita ini sekarang pindah akun yak heheh, sekarang diakun saya pubhlishnya... Karena ada sesuatu hal hehehe Okey... cerita ini saya up...
217K 20.2K 73
Freen G!P/Futa • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
244K 19.5K 94
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
27.3K 3.6K 23
[Wonjoy Area] It's nice to know you, Let's do it again! How we did in one night stand Boy, I wanna be more than a friend to you . . . . . . . . . Te...