With You: A Faux Pas? [ NaruH...

By eminamiya_

56.9K 8.3K 905

Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang s... More

Memulai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16. Akhir Untuk Memulai
17
18
19
20
21
22
23
24
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Extra Chapter

25

963 166 21
By eminamiya_

Sangat memuaskan. Hanya tinggal beberapa jahitan lagi yang harus dia selesaikan, serta tambahan pernak-pernik untuk memperindah segalanya.

Tak sia-sia usaha Suran selama ini bila hasilnya akan sememukau yang terlihat. Dari semua karya yang pernah tangannya ciptakan, ini merupakan gaun paling sulit dan hebat yang ia kerjakan.

Yang harus dilakukan sekarang adalah melihat secara nyata bagaimana karyanya dipergunakan.

Hinata.

Suran membutuhkan Hinata sekarang, sebab, ukuran yang ia pakai dalam pembuatan gaun inu adalah ukuran tubuh Hinata.

Panjang umur! Baru saja memikirkannya, wanita tersebut telah menampakkan diri dari balik pintu.

Sejenak, Hinata dibuat terperangah seketika.

"Bagaimana, Hinata? Cantik, bukan? Sudah kubilang, aku akan membuat sesuatu yang sangat menakjubkan!"

"Ini hebat sekali, Suran. Kau benar-benar membuatnya dengan luar biasa."

"Benar, 'kan?!" Suran menyentuh sisi pinggang gaun buatannya dengan penuh cinta, lalu, memandang pada Hinata bersama binar senang. "Cobalah, Hinata."

Sontak, Hinata terkejut. Sedikit terseret saat Suran membawa tubuhnya agar kian merapat.

"Kenapa harus aku?"

"Karena aku membuatnya dengan ukuran tubuhmu. Aku ingin melihat kau memakainya." Suran tersenyum lembut. "Memang belum selesai sempurna, tapi, aku ingin menilai  lebih dulu bagaimana ketika gaun ini sudah terpakai."

"Aku tak yakin. Kenapa waktu itu harus memakai ukuran tubuhku? Kau tidak berniat menjualnya?"

"Tidak. Aku membuat ini sebagai ajang pelatihan diri."

"Seharusnya, sejak awal, kau buat dengan ukuran tubuhmu sendiri. Percuma kalau begini."

"Percuma bagaimana?"

"Karena ukuran tubuh kita tak sama. Kau tidak akan bisa memakainya."

"Kalau begitu, biar kau saja yang nanti akan memakainya."

Mendadak saja, Hinata terdiam. Lirikan matanya turun ke bawah bersama langkah mundur yang terurai beberapa jejak.

Suran menaut alis ketika aura Hinata terasa berubah dari sebelumnya.

"Hinata?"

Tak ada tanggapan. Hanya seulas senyum yang ditampilan untuk mengukir lengkungan tipis pada garis bibir secara miris.

"Cobalah, Hinata."

Hinata tetap tak begitu yakin. Tetapi, melihat besarnya keinginan Suran, membuatnya menjadi luluh dan menuruti -- meski dengan berat hati.

Ketika bagaimana ujung gaun menyentuh permukaan lantai dan membingkai dirinya dalam keanggunan yang tak terelak, Hinata hanya bisa membisu.

Mata rembulan memandang terpukau pada raga di depan sebuah cermin, yang menampilkan bagaimana dirinya yang kerap terbungkus pakaian sederhana nan biasa saja, kini, berputar tiga ratus enam puluh derajat sangat berbeda.

Indah sekali. Telah kesekian kali Suran menyerukan hal serupa sejak Hinata memutuskan memakai kain besar tersebut, pun sejak itu pula Hinata seakan hanyut dalam kehampaan.

Semua memang terlihat sangat luar biasa, tapi, ... apa gunanya?

"Kau sangat cantik, Hinata."

Komentar Suran hanya dibalas senyuman getir. Tak ingin berlama-lama, Hinata segera melepas kembali segalanya secepat dan sehati-hati yang dibisa.

"Aku akan menambahkan beberapa hal lagi agar semua terlihat semakin hebat." Suran mengambil duduk pada sofa dan memberi coretan baru pada desain yang telah dibuat.

Hinata ikut menuntun diri agar menjangkau sebuah sudut sebagai lokasi penempatan duduk.

Dering pada ponsel menarik perhatiannya ketika ia baru saja mendaratkan pinggul dengan nyaman. Nama Erika membuat alisnya mengernyit bersamaan. Geseran dilakukan untuk menerima panggilan video yang terjadi.

Suara pertama. Senyum Hinata langsung mengembang.

"Guru Hinata!"

Dilihat dari bagaimana situasi, lagaknya, Erika telah pulih dengan baik dari sakit.

"Bagaimana keadaanmu, Erika?"

"Aku sudah sehat, Guru Hinata. Sekarang, aku sudah bisa masuk sekolah lagi." Sedikit diturunkan, Erika mengarahkan kamera agar memperlihatkan tubuhnya yang dibalut seragam sekolah.

"Syukurlah. Aku sangat senang mendengarnya. Maaf karena aku telah membuatmu jatuh sakit."

Hinata melihat Erika yang menggeleng pelan. "Tidak. Semua bukan kesalahan Guru Hinata. Akunya saja yang terlalu gampang sakit."

Hinata tak tahu di mana letak kelucuan itu tersimpan, tetapi, melihat Erika tertawa jenaka, mau tak mau, Hinata hanya bisa tersenyum penuh penyesalan.

"Meski begitu, aku tetap ingin meminta maaf." Barulah tawa Hinata menjadi sungguh-sungguh setelah Erika memasang wajah cemberut. "Jadi, apa Bibi Eno yang mengantarmu ke sekolah?"

"Tidak. Papa yang mengantarku hari ini."

Getar senyum Hinata sempat berubah warna untuk sesaat. Tetapi, kembali dibuat sebaik mungkin agar tak kentara. Entahlah, bila menyangkut Naruto, perasaan Hinata menjadi tak seimbang.

"Apa Guru Hinata di tempat kerja?"

Anggukan pelan -- Hinata suguhkan. "Ya, benar."

"Lain kali, aku ingin datang ke tempat kerja Guru Hinata, boleh 'kan? Aku ingin melihat bagaimana Guru Hinata membuat baju."

"Tentu. Erika boleh datang kapan saja."

"Siapa? Anak bimbingan les-mu?"

Hinata sedikit tersentak ketika Suran tiba-tiba telah berada di sebelahnya bersama leher menjulur.

Namun, ketika mata Suran meraih eksis di balik layar ponsel tersebut secara penuh, alisnya mendadak menekuk sangat dalam.

"Guru Hinata, nanti akan kuhubungi lagi, ya? Aku harus pergi."

"Oh ya! Semoga harimu menyenangkan."

Panggilan video berakhir. Hinata kembali menoleh ke arah Suran. Perempuan tersebut masih menampilkan gurat aneh seperti sebelumnya.

"Ada apa, Suran?"

"Hinata, apa gadis tadi benar anak bimbingan les-mu?"

Sejenak, Hinata seperti teringat akan sesuatu. Naruto dan Suran adalah orang yang saling mengenal. Jika ia bicara jujur mengenai Erika, jelas akan membongkar situasi jika selama ini dirinya bekerja pada Naruto.

Namun, berbohong pun -- rasanya percuma. Lagi pula, jika memang Suran bertanya terlalu jauh, Hinata tak perlu bicara banyak.

"Ya. Dia anak yang kuajari. Ada apa?"

"Tidak. Hanya saja, ... dia terlihat mirip dengan seseorang yang kukenal."

"Maksudmu?"

"Ah! Tunggu sebentar!" Suran berjalan menjauh. Ada sesuatu yang sedang ia lakukan pada sebuah album foto di lemari.

Ekspresi tersebut berubah senang setelah berhasil menemukan apa yang dicari, lantas meminta Hinata untuk mendekat dan ikut melihat.

"Lihat ini, Hinata."

Sebuah lembaran foto -- Hinata dapati. Menampilkan beberapa orang yang sangat akrab satu sama lain. Mereka sedang bergerombol pada satu tempat dan bergaya. Ada Suran di sana. Serta, ketika Hinata menggulir pandangan untuk menjangkau satu per satu wajah yang tersorot, beberapa meter dari posisi Suran, ia dapati keberadaan Naruto.

"Ini diambil saat kami berada di semester empat."

Hinata tak paham mengapa mendadak saja Suran memperlihatkan ini padanya. Namun, ketika matanya diarahkan untuk menatapi lebih jauh, satu hal menarik keras perhatian Hinata.

Secara sadar, jari telunjuk Hinata menunjuk satu pribadi di antara yang lain; seseorang yang berdiri tepat di sebelah kanan Naruto, berjarak dua orang sebagai pemisah.

"Ini ... siapa?"

Suran memberi sebuah tepukan pada meja. "Ini yang ingin kuperlihatkan. Bukankah ... dia terlihat sangat mirip dengan anak bimbinganmu?"

Tepat. Mirip sekali. Itulah alasan mengapa Hinata merasa sangat penasaran.

"Kau ingat pria bernama Naruto yang pernah kita temui saat acara reuni waktu itu? Yang ini." Suran menunjuk pada eksistensi Naruto di lembar foto.

Hinata mengangguk pelan. "Ya."

"Gadis ini bernama Shinno Amaru. Dia sangat dekat dengan Naruto, sebagai sahabat."

Hinata tertegun. Ada rasa tak nyaman yang seketika melingkupinya saat Suran mengucapkan kata 'sahabat' di antara penjelasannya.

Bukan tanpa alasan. Hal ini mengingatkan Hinata pada status dirinya bersama Naruto dulu. Terlebih dengan berbagai dugaan yang perlahan mulai menjalar menjadi kesimpulan-kesimpulan tak jelas di kepalanya.

"Dia sering bersama dengan Naruto. Tapi, ..." Suran menarik napas pelan dan coba mengingat-ingat lebih jauh. "... jika tak salah, itu di semester lima, Amaru tiba-tiba saja berhenti berkuliah dan tak pernah lagi terlihat. Aku tidak pernah bertemu dengannya setelah itu."

"Apa yang terjadi?"

Kedua pundak Suran terangkat bersamaan. "Entah. Kudengar, dia memiliki masalah. Dia memang berasal dari keluarga yang broken home dan sering kali terlibat masalah keluarga. Banyak anggapan yang muncul, bahkan ada yang mengatakan jika dia sudah meninggal. Sakit atau bunuh diri. Tapi, ... entahlah. Aku tak tahu itu benar atau tidak."

"Apa Naruto tak mengatakan apa-apa? Mereka dekat, 'kan?"

"Naruto tak pernah bicara terlalu banyak. Lagi pula, beberapa bulan setelah Amaru menghilang, Naruto juga mengambil cuti kuliah. Aku tak pernah lagi bertemu dengannya setelah itu, dan cukup tidak menyangka saat melihat dia datang ke pertemuan lalu."

Hinata terdiam.

"Makanya, aku terkejut saat melihat kemiripan yang sangat jelas antara anak bimbinganmu dan Amaru. Kupikir, dia anaknya."

.

.

.

Selama memberi materi kepada Erika, rasanya, Hinata menjadi tak begitu konsentrasi.

Setiap kali matanya menangkap pribadi Erika, kalimat Suran akan ikut andil agar mengulang dalam pikiran.

Memang benar, walau tak melihat secara lama, namun Erika dan perempuan bernama Amaru terlihat sangat mirip jika ditinjau dari sudut manapun.

Hal ini menambah kuat dugaan Hinata. Terlebih, kabarnya, Amaru juga dekat dengan Naruto. Sama seperti mereka yang dulu pernah dekat.

Suara pintu yang terbuka -- menarik atensi keduanya, dan mendapati Sasame menampakkan hadir di sana.

"Apa pelajaran hari ini terasa sulit?"

Erika tersenyum dan menggeleng. "Tidak terlalu. Guru Hinata membuatnya menjadi terasa mudah."

"Itu hebat." Sasame perhatikan Hinata untuk sesaat, sebelum melanjutkan ucapan. "Oh ya, Hinata, sudah berapa lama kau bergelut dengan profesi ini?"

"Mungkin sudah sekitar tiga tahun ini."

"Hmm ... ternyata sudah cukup lama. Saat di sekolah, kau pasti menjadi murid kebanggaan guru."

"Ah, tidak juga." Hinata tertawa pelan untuk membalas tawa ringan yang juga Sasame berikan. "Aku biasa saja."

Sasame tak lagi berkata lebih jauh. Selama kegiatan berlangsung, ia tetap berada di sana.

Entah bagaimana, pandangan matanya terus tertuju pada Hinata sangat lama. Ia perhatian sosok tersebut, sebelum jemarinya saling mengerat dalam kepalan di atas pangkuan, lalu ia beranjak berdiri.

"Baiklah. Sepertinya, kalian sangat serius belajar. Aku akan keluar kalau begitu."

Sasame keluar. Ia berjalan mencapai ruangan lain, dan tak sengaja mendapati Naruto sedang berada di area dapur bersama gelas kopi yang masih panas.

"Sedang membuat kopi?"

Mendengar teguran yang terjadi, kepala sang pria menoleh.

Sasame mendekat dan berdiri tepat pada rentangan beberapa jarak. "Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"

"Baik. Seperti biasa." Mata mereka bertemu. "Ingin kopi juga?"

Sasame menolak. "Tidak perlu. Lambungku sedang terganggu akhir-akhir ini."

"Kau sudah bertemu Erika?"

"Ya, dia belajar. Sepertinya, dia menjadi sangat giat saat melakukannya bersama Hinata."

"Begitulah," Naruto memberi jawab sembari beralih dari wajah Sasame dan memilih fokus pada pekerjaan di ponsel.

"Naruto, ..."

Barulah ia mendongak saat namanya disebut.

"... boleh aku memelukmu?" Tanpa menunggu persetujuan, nyatanya, Sasame telah lebih dulu melingkarkan lengan pada putaran rusuk sang pria dengan cukup erat. "Aku sedang merindukan ibuku."

Naruto tak memberi respon jauh -- selain membiarkan Sasame semakin merapatkan diri dan menenggelamkan wajah pada lehernya.

"Setiap kali bersamamu, aku selalu merasakan kenyamanan yang sama. Terima kasih telah ada untukku." Sasame tersenyum. Menikmati segala kebersamaan yang terjadi dengan begitu penuh perasaan.

Baginya, momen bersama Naruto adalah saat paling diharapkan dari semua kesempatan yang ada. Jikapun bisa terus seperti ini, Sasame ingin tetap melakukan tanpa menjauh sedikit pun.

Tetapi, ketika mata terpejamnya kembali terbuka, mau tak mau, pelukan itu melonggar saat Erika sedang berada di ambang batas ruangan dan menatap mereka.

"Oh, Erika?"

Saat bibir Sasame menyerukan nama sang anak, Naruto ikut menoleh. Tetapi, ia terpaku. Bukan hanya Erika di sana, namun, Hinata juga.

"Hinata ..." tanpa sadar, bibirnya bergumam.

Pun secara sadar, Sasame mendongak untuk menatap langsung wajah itu ketika menyadari getar di nada suaranya. Bagi Sasame, cukup mengherankan ketika Naruto bukan tertegun karena kehadiran Erika, melainkan karena sosok yang lain.

"Maaf. Kami datang untuk mengambil sesuatu."

Serta, Sasame juga menyadari adanya tingkah lain yang sedang Hinata lakukan, tetapi, sedang berusaha disembunyikan.

"Di mana cake-nya disimpan, Erika?"

"Di pendingin."

Maka, dengan tujuan agar gerakannya menjadi lebih cepat, Hinata bergegas untuk menjangkau lemari pendingin dan mengambil sekotak makanan manis yang diinginkan, lantas, kembali berjalan menuju Erika.

Setelah menunduk singkat dan mengundurkan diri, keduanya berlalu pergi.

Sasame masih memperhatikan arah di mana Hinata dan Erika menghilang, lalu memutar kepala agar beralih pada Naruto yang masih terdiam di tempat.

Hening terjadi. Sasame menelan ludah. Ia ubah lekuk bibirnya untuk kembali tersenyum dan menyentuh pundak sang pria agar bisa mendapat perhatian.

"Sepertinya, aku harus kembali sekarang. Aku memiliki janji temu dengan seorang teman dan tak bisa berlama-lama. Kau pasti lelah karena seharian bekerja, jadi, beristirahatlah."

Naruto memberi anggukan. "Ya, terima kasih."

Ketika akan melangkah pergi, Sasame teringat oleh sesuatu dan kembali menoleh. "Naruto, ibumu mengundangku untuk datang ke rumahnya selasa nanti. Jika kau tak begitu sibuk, bisakah menemaniku ke sana? Kita bisa mengajak Erika jika dia mau."

"Kurasa, Erika mungkin tidak akan bersedia." Naruto mendapati sorot Sasame yang sedikit menyendu. "Tapi, jika memang tak ada kesibukan berarti, aku akan menemanimu."

Sasame menghela napas dan tersenyum kembali. "Baiklah, terima kasih."






Bersambung ...

Kalo si Nartoh ngadi-ngadi, sentil aja dia, Hin! 🤧

Continue Reading

You'll Also Like

19.3K 2.9K 17
Hinata tidak menyukai perjodohan ini meski calon suaminya memiliki rupa selayaknya dewa. Namikaze Naruto itu pria kasar, dingin, seorang diktator kej...
12K 1.4K 8
Rasa penyesalan, kehilangan, serta keputus asaan membuat Mark menyadari pentingnya arti dari seorang Lee Haechan dalam hidupnya. Ketika Mark akhirnya...
953K 57.8K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
13.7K 925 14
TAPPEI x MIIKO. High School!AU Tappei sudah suka Miiko sejak lama, Miiko juga kok! Original Manga by Ono Eriko. Straight. Teenage AU!