With You: A Faux Pas? [ NaruH...

Da eminamiya_

56.5K 8.2K 905

Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang s... Altro

Memulai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
13
14
15
16. Akhir Untuk Memulai
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Extra Chapter

12

1.1K 207 30
Da eminamiya_

Betapa luar biasa sorak-sorakan membahana memenuhi seluruh ruangan di mana semua angkatan akhir baru saja menyelesaikan acara perpisahan.

Rin mengembangkan senyum bahagian. Bahu Hinata ia rangkul penuh ceria serta memberi pelukan singkat.

"Kita berhasil, Hinata!"

Sang sahabat ikut menampilkan senyum. "Benar."

"Setelah ini, mari kita merayakan bersama!" Sumringah tak lepas dari sorot si gadis berambut pendek. "Kita berbelanja dan makan makanan enak di kafe. Aku yang traktir!"

Hinata mengambil posisi untuk duduk pada salah satu kursi. Ia merasa cukup lelah terus berdiri. "Kalau hari ini, sepertinya, aku tidak bisa, Rin."

"Kenapa? Kau sudah ada janji lain?"

Hinata menggeleng. "Tidak. Aku hanya ingin segera beristirahat. Aku lelah."

"Astaga, Hinata. Berapa umurmu? Kau seperti lansia saja." Rin ikut mendudukkan diri, memperhatikan wajah lesu Hinata secara saksama. "Tapi, jika memang tak bisa hari ini, tak apa. Kita bisa melakukannya lain kali." Rin kembali tersenyum.

Lembut, Hinata menampilkan senyum, tetapi, berubah menjadi sedikit mengerut ketika panggilan alam mendadak mengganggunya di saat-saat kurang tepat.

"Aku ke toilet sebentar."

Hinata berlalu. Rin memerhatikan gulungan dengan pita sewarna nila di tangannya penuh kebanggaan. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa berada pada tahap ini.

Garis bibirnya membentuk lengkungan kian lebar, tetapi, ketika tanpa sengaja lensa hitamnya bergulir pada eksistensi di bagian lain sisi ruangan, senyuman Rin perlahan hilang. Naruto tak membalas melihat padanya, hanya terlihat sibuk menanggapi ocehan renyah dari orang-orang di sekitarnya.

Sadar jika apa yang ia lakukan saat ini bukanlah hal yang patut, Rin memalingkan wajah. Bersamaan dengan itu, Guru Shizune terlihat berjalan mendekat setelah memberi pelukan hangat pada beberapa murid yang sebelumnya menjadi anak wali. Rin adalah salah satunya, maka, telah terduga jika Shizune akan menghampirinya juga seperti sekarang.

Sebuah pelukan diberi penuh tulus. "Kalian sudah berusaha sangat keras."

Rin mengangguk. Ikut mengucapkan terima kasih karena guru Shizune telah menjadi sosok yang berperan sangat besar bagi mereka.

Ketika hendak memisahkan diri, Shizune kembali menoleh pada Rin dengan wajah yang seolah teringat akan sesuatu.

"Ah, Rin! Boleh aku meminta tolong?"

"Tentu, Guru."

"Aku meninggalkan tas di perpustakaan, bisa kau pergi untuk mengambilkan? Aku harus ke tempat kepala sekolah sekarang."

Penuh semangat -- Rin menyanggupi. Selain sebagai wali kelas, guru Shizune juga berperan sebagai guru yang menjaga perpustakaan. Itulah mengapa, ia memang memiliki ruangan tersendiri yang disediakan dan sering digunakan sebagai tempat penyimpanan barang bawaan.

Saat telah berhasil menemukan apa yang sebelumnya dipinta oleh sang guru, Rin tak langsung meninggalkan ruangan, dan memilih untuk melihat-lihat judul buku pada rak kecil di samping meja. Rin cukup terkejut ketika mendapati satu novel dengan judul serupa dengan miliknya di rumah.

"Aku tidak tahu jika Guru Shizune juga suka baca novel." Ia terkekeh. Memutuskan pergi setelah merasa puas mencuci mata.

Namun, belum berlanjut tangannya menyentuh gagang pintu, suara tak asing dari luar seketika menghentikan pergerakannya untuk sementara waktu.

"Lalu, apa yang ingin kau katakan tadi?"

Kedua alis Rin menaut bersamaan. Telinganya tak mungkin salah mengenali jika ini adalah suara Naruto.

"Apa yang dia--"

"Naruto,"

Ucapan Rin terjeda. Ini suara Hinata.

Apa yang mereka lakukan di sini?

Penasaran, dengan perlahan tanpa menciptakan suara apa pun, Rin membuka pintu dan melihat dari celah yang tersedia. Kedua orang tersebut sedang saling berhadapan.

Jika hanya Hinata, mungkin, Rin akan menghampiri dan bertanya langsung. Tetapi, karena di sana juga ada Naruto, rasanya, Rin menjadi ragu untuk mengeluarkan diri dari ruangan.

"Hm? Ada apa?" kali ini, Naruto yang berbicara.

"Sebenarnya--"

Rin mendapati sang pemuda menggapai ponsel miliknya dan sedikit bergeser tubuh ketika menanggapi panggilan yang terjadi.

"Ya?"

"..."

"Baiklah, baiklah. Aku datang,"

Wajah Naruto terlihat keberatan setelah menyelesaikan pembicaraan via telepon.

"Nanti malam akan 'ku jemput dan kita lanjutkan lagi pembicaraannya, hm? Yang lain sudah menungguku di depan."

Bagi Rin, melihat Naruto yang begitu akrab dengan Hinata -- adalah hal biasa. Tapi, entah mengapa, saat menyaksikan tangan pemuda tersebut mengelus penuh sayang helaian rambutnya, Rin mendadak merasa tawar.

Naruto tak pernah menawarkan perlakukan semanis itu padanya, dulu.

"Tak apa 'kan jika kau pulang sendiri setelah ini?"

Hinata mengangguk memberi respon. Tetapi, apa yang selanjutnya terjadi -- sungguh terlalu mampu membuat Rin menahan napas dengan jantung berdetak sangat sesak.

Mereka berciuman.

Meski hanya secara singkat, namun, sudah sangat ampuh untuk mengenalkan Rin pada keretakan.

"Hati-hati dalam perjalanan, oke? Aku mencintaimu." Setelahnya, Naruto telah berlalu pergi meninggalkan.

"Aku ... mencintaimu?" Rin mengulangi perkataan secara berbisik. Matanya bergetar tak menyangka.

Jadi, selama ini ... mereka--

Tak tertahan, Rin meremas kuat tali tas dalam genggamannya. Ia berjalan keluar ruangan dan mata yang ditujukan kembali pada Hinata yang tampak seperti orang tak sehat.

Hinata sedang mendudukkan diri pada bangku yang tersedia, serta, ketika tanpa sengaja telinganya menangkap suara pintu tertutup pelan, ia menoleh dan saat itu pula ekspresi tersebut menuliskan rasa terkejut hebat.

Sayangnya, Rin sudah terlanjur melihat semua.

.

.

.

Detik berlalu menjadi sangat lambat ketika dua pasang mata berbeda warna masih menetapkan diri untuk saling memandang.

Heningnya suasana serta hanya diisi oleh desau napas yang serasa tercekat, membuat dada kian sekarat kala mengingat kembali apa yang baru saja terjadi; bagi Rin, pun Hinata merasakan hal yang tak berbeda.

Perasaan yang dirundung tak menyangka, menghantar lengan Hinata untuk mendekap mulutnya sendiri -- tempat di mana ia menerima ciuman dari mantan kekasih sang sahabat sendiri.

Tak ada yang baik-baik saja. Baik Hinata atau Rin, mereka seakan larut pada rasa menyelekit tak terkira.

Serasa berada di sana lebih lama hanya akan membuat sesak lebih parah, Rin lekas berjalan memutar bersama langkah cepat untuk hendak pergi secepat yang ia bisa.

Namun, Hinata tak ingin membiarkan.

Takut Rin akan membencinya, segera Hinata mengejar dan berusaha menggapai lengan di sana.

"Rin, tunggu dulu!"

Lengannya berhasil dicekal, tetapi, Rin enggan menoleh. Ia memandang hampa pada daun pintu yang belum sempat tergapai, dan memalingkan wajah ke arah lain saat Hinata bergerak mengambil letak di sisi tubuhnya.

"Rin--" Hinata tercekat. Ia ingin memberi penjelasan, akan tetapi, penjelasan apa yang bisa ia tawarkan?

Lama mereka hanya berada dalam keadaan bisu.

Sampai pada detik selanjutkan, Rin menghela napas pelan dan memaksakan diri untuk memandang langsung wajah tertunduk Hinata.

"Hinata, ..." suara Rin terdengar bergetar. "... apa maksudnya ini?"

Hinata mengulum bibir dengan gusar.

"Jadi, selama ini ... kau berhubungan dengan Naruto? Sejak kapan, Hinata?!"

Rasanya, dada Hinata sangat mencelos ketika mendapati mata berkaca yang melihat dirinya dengan sorot tersakiti.

Jelas. Seharusnya, Hinata tahu seberapa besar perasaan yang Rin simpan bagi Naruto. Hinata tahu seberapa besar keinginan Rin untuk bisa bersama Naruto. Bahkan, di saat hubungan Rin dan Naruto sedang berada di ambang akhir kisah, meski Rin berkata bisa merelakan Naruto, namun, Hinata dapat mencerna isi hati Rin yang sebenarnya.

Tapi ... apa ini?

Di saat Rin coba memahami keadaan, Hinata malah menabur garam pada lukanya?

Rin sakit. Bukan karena berpikir Naruto melepas dirinya tanpa kepastian yang jelas dan sangat mendadak, namun, sakit karena ini adalah Hinata.

Kenapa harus Hinata? Kenapa harus orang yang ia anggap sangat dekat dengannya?

"Jadi, alasan Naruto berpisah denganku adalah karena dirimu?"

Mata Hinata terbelalak. Ia tak ingin Rin mengambil kesimpulan yang hanya akan semakin memperburuk situasi mereka.

"Tidak, Rin. Tidak seperti itu."

"Lalu, bagaimana?" Rin tetap berusaha agar suara yang ia lontarkan stabil dan tak berlebihan.

Beberapa detik Rin menunggu, namun, Hinata tak kunjung memberi tanggapan.

"Jadi, itu benar?" Barulah setelah itu, Rin mulai bergerak gelisah. "Astaga, Hinata. Aku tidak masalah bila memang Naruto menjalin hubungan dengan perempuan lain. Tapi, kenapa harus kau?!" Tanpa sengaja, suara menjadi lebih meninggi. "Aku sangat percaya padamu selama ini."

Sungguh, Hinata tak ingin hal ini terjadi. Ia tak ingin Rin menangis seperti ini.

"Ini tidak--"

"Tidak apa? Tidak seperti yang aku bayangkan?" Ia hempas ringan jemari Hinata yang masih setia menyentuhnya sejak tadi. "Lalu, bisa kau jelaskan apa yang baru saja aku lihat? Kau berciuman dengannya, Hinata! Aku melihatnya! Mau mengelak seperti apa lagi?"

Sekarang, Hinata ikut meneteskan airmata. Ia tak mampu bersikap tetap kuat disaat perasaan telah berkecamuk tak menentu.

Hinata terlalu sadar diri jika telah menyakiti perasaan Rin.

Rin telah mencoba merelakan Naruto, tapi, setelah tahu jika Hinata adalah alasan perpisahan yang terjadi, perihnya bangkit lebih tak terkendali.

Lelah karena telah berusaha sangat keras tetap mengendalikan diri, Rin berbalik. Ketika hendak melangkah pergi, cekalan lain terjadi.

Tetapi tak bertahan lama setelah apa yang ia katakan setelahnya.

"Aku menganggapmu sebagai sahabat yang sangat dekat. Tapi, tidak bisa berbohong, aku ... sangat kecewa padamu." Rin mendengus sangat jelas. "Puas kau setelah melakukannya?"

Setelahnya, Hinata melepaskan pegangan dan membiarkan Rin menjauh dari pengelihatan.

Dalam kesendiriannya, Hinata hanya mampu memaku pijakan bersama pikiran dan hati yang hambar.

.

.

.

Sesuai janji yang diucapkan siang tadi, Naruto datang ke tempat tinggal Hinata dan meminta izin agar mengajak Hinata keluar malam ini.

Naruto sudah tak asing lagi terhadap orang-orang terdekat Hinata -- termasuk bibi Natsu dan paman Kou. Maka demikian, tanpa harus mengungkap berbagai hal yang seringnya dilakukan oleh seorang pemuda saat mengajak pergi anak gadis orang lain, Naruto langsung mendapat izin begitu cepat.

Naruto membawa Hinata menuju kendaraan pribadi miliknya. Anggap ini sebagai kencan, pun, Naruto telah menyusun apa-apa saja yang akan mereka lakukan, serta akan ke mana saja malam ini.

Namun, sepanjang kebersamaan terjadi, Naruto menyadari sikap Hinata yang sangat berbeda.

Seperti ada yang mengganggu dirinya. Dan hal tersebut diperkuat dengan keinginan Hinata untuk segera kembali pulang.

Ini masih sangat awal, masih pukul setengah delapan. Waktu yang begitu singkat baginya untuk bersama Hinata. Dan karena tak ingin berpisah dengan segera, Naruto beralasan untuk pergi ke apartemen terlebih dahulu, serta akan mengantar Hinata setelahnya.

Anehnya, ketika masuk ke tempat sang pemuda yang remang karena cahaya lampu belum dihidupkan, Hinata hanya berdiri mematung di depan pintu yang telah tertutup rapat.

Naruto sampai memandang heran dengan sikap Hinata yang terasa janggal sejak tadi.

"Ada apa, Hinata?"

Hinata mengangkat wajah dengan ekspresi datar. Matanya tak tertuju langsung pada samudra Naruto dan lebih memilih memandang kosong pada pakaian depan dada sang pemuda.

"Kau baik-baik saja?"

Tangan hangat Naruto menyentuh pipi Hinata dengan lembut dan menerima respon berupa sentuhan jemari sang hawa yang menurunkannya kembali ke bawah.

"Tidak. Aku tidak baik-baik saja."

Naruto sedikit terkejut dengan suara dingin sang kekasih.

"Apa maksudmu? Apa yang terjadi?"

Pelan sekali, Hinata berbisik. "Apa yang harus kulakukan, Naruto?"

Naruto tak mengerti apa yang Hinata katakan. "Apa--"

"Rin melihatnya." Tatapan mereka akhirnya bertemu dalam buaian cahaya seadanya. "Rin melihat kita di perpustakaan."

Naruto tertegun. "Apa?"

"Aku harus bagaimana sekarang? Rin marah padaku dan mungkin takkan mau lagi saling mengenal. Aku tak--" perkataan Hinata terbungkam oleh sebuah pelukan yang Naruto beri. Membawa raga bergetar Hinata -- dengan tujuan agar ia bisa lebih tenang.

"Tenanglah, Hinata. Yang kau pikirkan itu terlalu berlebihan. Rin tak mungkin akan bertindak sejauh--"

"Tapi, dia menangis!" Hinata mengigit bibir bawah saat mengingat kembali cara Rin yang melihatnya dengan penuh kekecewaan. "Dia marah padaku," lanjutnya dengan bisikan.

Naruto menghela napas panjang. Ia sentuh wajah Hinata agar mendongak dan tak mengizinkannya berpaling ke arah lain.

"Hinata, lihat aku."

Hinata menautkan alis dengan dalam.

"Aku yakin, Rin akan memahami situasi ini seiring berjalannya waktu. Kalian hanya masih sama-sama terkejut." Sentuhan Naruto merambat ke pundak. "Pada akhirnya, semuanya akan tetap terungkap. Kita juga tak bisa terus menyembunyikannya. Ini hanya masalah waktu, percayalah padaku."

Meski telah mencoba memberi pengertian sebaik mungkin, Naruto masih menangkap keraguan yang besar dari balik tatapan Hinata.

"Semua akan baik-baik saja, Hinata."

Semua akan baik-baik saja? Sungguh?

Perlahan, Hinata memisahkan diri. Kata 'semua akan baik-baik saja' terus terngiang di kepalanya.

Hinata merasa semakin kalut.

"Semua akan baik-baik saja?" ia mengulangi dengan nada sendu dan mata yang berubah menjadi sayu.

"Iya, semua akan--"

"Naruto."

Lengan sang pemuda yang hendak menjangkau -- tertarik mundur saat menyadari Hinata meneteskan airmata.

"Apa kau yakin jika aku bisa percaya padamu?"

Tak jelas mengapa Hinata mendadak berkata demikian, yang pasti, Naruto menjadi semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi. Namun, ia tetap mengangguk.

Dua kepalan tangan Hinata mengeras di sisi tubuh. Matanya memancarkan harapan dan kecemasan yang bercampur sama banding.

"Naruto, ada yang ingin kukatakan padamu."

Sadar jika Hinata sedang menahan tangis, Naruto merapatkan diri dan ingin menyentuh kembali wajah di sana. Tetapi, tangannya terhenti di udara.

"Aku hamil."

Ekspresi khawatir Naruto berangsur berubah menjadi tertegun. Iris sebening lautan bergetar samar namun sangat tampak jika terkejut.

"Apa?"

"A-Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama, tapi--"

Bersamaan -- Hinata dan Naruto tersentak. Remang yang sedari tadi menemani keadaan, kini, berubah menjadi terang secara keseluruhan mengisi tiap sudut ruangan.

Entah bagaimana bisa hal ini terjadi, namun, derap langkah yang terdengar dari arah belakang, menghantar dua pasang mata tersebut serempak menoleh dan mendapati apa yang ada di sana.

Naruto terpaku. Ia baru menyadari beberapa hiasan dan tulisan 'Selamat Atas Kelulusannya' yang ditempelkan pada dinding dekat sofa, dengan sebuah cake besar yang -- sekali lagi -- bertuliskan ucapan selamat.

Tampaknya, sebuah kejutan sudah dipersiapkan oleh Kushina untuk kedatangan Naruto. Tetapi, kenyataan yang terjadi, malah Kushina yang merasakan terkejut tak terkira.

Nick sedang berada di belakang Kushina; sedang memberi tarikan ketika wanita yang tak lama lagi akan menikah dengannya berniat berjalan dengan emosi yang masih tak stabil.

Ini bukan hal baik, karena itulah Nick coba mencegah hal buruk agar tak terjadi.

"Ibu ..." penuh tak menduga Naruto berkata. Tubuhnya tetap terpaku pada posisi yang sama karena ikut terkejut.

"Apa maksud ucapanmu tadi?" pertanyaan Kushina menjurus pada Hinata yang telah bergetar takut dan sedikit menyembunyikan diri di dekat Naruto. Nadanya sangat tak senang dan cara menatap itu seolah ingin menelan Hinata hidup-hidup.

"Kushina, tenanglah. Kau tidak bisa menghadapi masalah dengan cara seperti ini."

"Oke, baik. Aku tidak apa-apa. Lepaskan aku." Sembari menarik lengannya dari cengkraman, Kushina menghirup napas panjang dan menghembuskan dengan berat. Matanya kembali menatap dua anak muda di hadapannya, dan berjalan mendekat dengan napas lebih baik.

"Namamu Hinata, 'kan?" Kushina tahu gadis ini. Sejak SMP, Kushina memang sering melihatnya bersama Naruto. Beberapa foto kebersamaan Naruto dengan para sahabat juga ikut menyertakan sosok tersebut di sana. "Jelaskan apa yang kau katakan tadi," lanjutnya dengan sorot lurus.

Hinata menelan ludah sangat gugup. Sangat tidak menduga jika akan ada eksis lain di tempat Naruto.

"Hinata, katakan. Tak apa, Bibi tak akan memarahimu."

Kushina semakin merapat. Tujuannya kali ini adalah bisa menjangkau jarak Hinata. Namun, Naruto ikut bergerak dengan menghalangi niat tersebut. Secara sadar, ia membiarkan Hinata agar semakin tersembunyi di balik punggungnya.

"Apa yang kau lakukan, Naruto?"

Naruto hanya diam; menarik tubuh Hinata agar semakin tak terlihat oleh Kushina.

Erat sekali, buku-buku jemari Kushina terkepal. Naruto sedang menunjukkan sikap membangkang.

"Kalau begitu, kau yang jelaskan. Apa maksud ucapannya tadi?"

Nick menyentuh pundak Kushina ketika emosi sang wanita mulai menjadi tak stabil lagi.

"Tak mau berbicara?! Apa aku harus memakai cara keras agar kalian--"

"Dia hamil."

Keheningan mendadak saja menyelimuti.

Naruto mengatakan dua kata tersebut dengan sangat tegas. Mata yang semula melihat ke bawah, kali ini diangkat agar memandang langsung wajah sang ibu.

"Dia hamil." Tegukan ludah -- Naruto lakukan. "Hinata sedang mengandung anakku--"

PLAK!

Gemanya masih mengisi langit-langit bahkan hingga dua detik setelahnya.

Panas. Pipi Naruto terasa kram setelah menerima hantaman sangat keras dari tamparan tangan Kushina. Ketika ia berpaling, Kushina sudah melihatnya dengan ekspresi sangat marah.

"Berani sekali kau melakukan ini padaku!" penuh penekanan Kushina berkata. Ia menepis ketika Nick menggapai lengannya yang berniat -- sekali lagi -- memberi tamparan.

"Kushina!"

"Lepas, Nick! Biar anak kurang ajar ini menerima apa pantas dia terima!"

"Ini tidak akan menyelesaikan apa-apa! Semua hanya akan membuat masalah semakin besar!" Nick menoleh sebentar ke arah luar jendela. "Tindakanmu bisa saja menarik perhatian orang lain."

Masih dengan amarah besar yang tak sanggup dibendung, Kushina menatap pada Naruto sangat tajam.

"Apa kau sadar apa yang sudah kau lakukan, Naruto?!"

Teriakan tertahan Kushina hanya bisa membuat Naruto terdiam.

Kushina jengah. Sikap ini menghantam rasa depresinya menjadi semakin besar.

"Hinata!"

Kali ini, ia beralih pada perempuan yang masih berdiri cemas di balik tubuh Naruto.

"Apa kau yakin jika sedang hamil? Yakin jika itu memang milik Naruto dan bukannya orang lain?!"

Alhasil, Naruto memberi respon. Pandangannya memancarkan ketidaksukaan pada kalimat yang baru saja sang ibu semburkan.

"Ibu!"

"Apa?!" Kushina sangat berang. "Ingin melawan Ibu sekarang?! Setelah membuat masalah, ingin menunjukkan taring, begitu?!"

"Ucapan Ibu sangat keterlaluan! Hinata hanya berhubungan denganku dan--"

"Tutup mulutmu!" Sialnya, cara Naruto menanggapi -- mengasah lahar dalam kepala Kushina untuk semakin disemburkan. "Kau pikir, siapa dirimu berani bicara seperti itu, huh?!"

Nick masih mencoba memberi ketengan, tetapi, Kushina telah gelap mata.

"Hinata!"

Lagi-lagi, Hinata menjadi sasaran.

Naruto dapat merasakan ketakutan yang Hinata alami dari seberapa erat tangan perempuan tersebut meremas kemeja di area pinggangnya.

"Apa kau sadar jika ucapanmu sama hal dengan menghancurkan masa depan Naruto?!"

Tak tertahan, Hinata mulai menangis dalam diam. Bibirnya digigit sangat kuat untuk meredam isak dan sesak.

"Naruto memiliki mimpi yang harus dia capai!"

"Ibu! Berhenti menyalahkannya!"

"Lalu, apa yang harus kulakukan?!" Kushina kembali menatap Naruto. "Seharusnya, sebelum bertindak, berpikirlah panjang, Naruto! Ibu tidak kerja banting tulang untuk mendengar kau menghamili anak orang! Di mana otakmu?!"

Nick menghela napas. "Naruto, sebaiknya bawa kekasihmu pergi dulu dari sini--"

"Pergi ke mana?! Jangan pergi ke mana-mana sebelum hal ini selesai!" Sekali lagi, Kushina memandang sosok di belakang Naruto dengan pandangan yang dibuat setenang mungkin -- meski lensa tersebut telah berkata-kata antara sedih dan marah. "Hinata ..."

Sang jelita yang masih terisak mengangkat wajah.

"Bibi tahu kau gadis yang baik. Jadi, coba pikirkan secara baik-baik pula, hm? Apa yang kau katakan tadi berpotensi sangat besar untuk menghalangi Naruto--"

"Ibu--"

"Diam!" Kushina mendelik sinis untuk sesaat dan beralih lagi pada Hinata. "Masa depan kalian masih sangat panjang. Jadi, jangan sembarangan bicara. Kau mungkin menjadi keliru karena memiliki perasaan pada Naruto, tapi, ini bukan hal yang benar, kau tahu itu, 'kan?"

Hinata tak menanggapi apa pun, tetapi, Naruto yang terus membalas.

"Apa maksud Ibu?"

"Baik, mari kita cari jalan keluar untuk menyelesaikannya." Kushina menarik napas pelan. "Hinata, belum ada orang lain yang tahu tentang hal ini, 'kan?"

Pelan sekali, Hinata mengangguk.

"Kalau begitu, pastikan untuk mempertahankan hal ini, jangan sampai ada yang tahu."

Insting Naruto berubah siaga. Cara berbicara Kushina membuat ia menjadi curiga. "Memangnya, apa yang ingin Ibu lakukan?"

"Jika memang benar kau sedang hamil, Bibi akan mencari dokter yang baik untuk membantumu menggugur--"

"IBU!" Tak tahan, Naruto berteriak.

Di tempatnya, tatapan Hinata seketika berubah menjadi kosong.

Ungkapan Naruto beberapa saat lalu yang mengatakan jika semua akan baik-baik saja, berubah menjadi melodi neraka dalam telinganya.

Nyatanya, Hinata tak merasa baik-baik saja sekarang.

Sakit secara batin dan pikiran, Hinata telah berlari pergi keluar dari apartemen.

Sungguh, ia tak menyangka jika semua akan berakhir seperti ini.

Kenapa? Kenapa harus begini?




Bersambung ...


Continua a leggere

Ti piacerà anche

19.2K 2.9K 17
Hinata tidak menyukai perjodohan ini meski calon suaminya memiliki rupa selayaknya dewa. Namikaze Naruto itu pria kasar, dingin, seorang diktator kej...
943K 77.3K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
9.3K 836 30
"APA? DIJODOHKAN?!" "Ini saatnya kau berumah tangga! Mau sampe kapan kau akan seperti ini?! Sendirian dan terus fokus kerja. Ingat, Draco! Kau ini su...
206K 14K 34
Sakura Hiden: Thoughts of Love, Riding Upon a Spring Breeze (サクラ秘伝 思恋、春風にのせて, Sakura Hiden: Shiren, Harukaze ni Nosete)