With You: A Faux Pas? [ NaruH...

By eminamiya_

56.9K 8.3K 905

Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang s... More

Memulai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
12
13
14
15
16. Akhir Untuk Memulai
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Extra Chapter

11

1.1K 200 18
By eminamiya_

Hinata mulai merasakan kecurigaan itu sejak dirinya tak mendapati haid hari pertama di awal bulan lalu.

Menjalankan prosedur penetapan tanggal agar selalu tahu kapan harus bersiap diri dengan segala keperluan, membuat Hinata menjadi ikut memahami; di waktu-waktu kapan seharusnya ia akan kedatangan tamu bulanan.

Hinata cukup mengerti dengan teori yang menjelaskan jika siklus menstruasi bisa saja mengalami ketidakseimbangan yang berakhir dengan keterlambatan -- apabila tubuh dan pikiran tak sedang dalam keadaan yang memungkinkan, apalagi, belum begitu lama ini, Hinata memang kerap mengalami stres selama menjelang ujian akhir.

Tetapi, di sudut hati yang tertentu, Hinata ikut merasakan ketakutan berbeda.

Bohong jika pikirannya tak mengakar ke spekulasi lain. Mengingat kembali pergaulan seperti apa yang ia jalani belakangan ini, tentu berhasil menciptakan sketsa tersendiri untuk kemungkinan yang ada.

Alhasil, tak ingin dirundung penasaran, pada malam itu, ia mengiring jejak guna mendekati sebuah bangunan di seberang jalan -- dengan papan khusus beserta tulisan Apotik yang berdiri kokoh di sebelahnya.

Seorang Apoteker memandang ia dengan raut bertanya, sebab, sedari tadi Hinata terus diam dengan wajah yang diliputi keraguan; seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tak yakin.

"Ada yang bisa kubantu?"

Tanpa sadar, Hinata malah tersentak. Matanya bergerilya sebentar; menjangkau segala sususan obat-obatan yang terpajang, dan kembali menyatukan tatapan pada mata menanti di sana.

"Err ... itu ... aku mau membeli ..." Berat sekali, Hinata menelan ludah. "... Testpack."

"Testpack?" kening sang Apoteker sedikit menekuk. Dilihat dari penampilan dan wajah, perempuan di hadapannya memang tergolong masih sangat muda. Namun, tanpa ingin bertanya lebih lanjut, tangannya tetap mengangkat beberapa buah alat dengan fungsi yang serupa, namun bentuk berbeda.

"Mau yang mana?"

Hinata dibuat bingung. "Um ... mana yang paling bagus?"

"Paling bagus? Maksudnya, yang paling akurat?"

Poni lurus Hinata bergerak pelan ketika kepalanya mengangguk.

"Akan lebih baik jika memeriksakan langsung pada dokter. Memangnya, siapa yang ingin memakainya?"

Seketika saja, Hinata menjadi gugup ketika ditatap lurus tanpa berkedip. Pikirannya bekerja secepat mungkin, berupaya menyusun kebohongan yang tidak akan berdampak menciptakan kecurigaan.

"Bi-Bibiku."

"Oh, Bibi ..." Sang Apoteker menyusun barang-barang di hadapannya agar terlihat lebih rapi dalam pegangan jemari. "Semua alat ini cukup akurat. Tapi, jika ingin hasil yang pasti, memang sebaiknya datang ke dokter. Namun, kalau ingin memakai tespack juga bisa. Bagaimana? Ingin tetap membeli?"

Tak ada pilihan paling baik untuk jalan keluar, kepala bersurai panjang hanya mengangguk polos. "I-Iya."

"Pilih yang mana?"

"Hmm ..." Hinata meringis dalam diam. Ia perhatikan tiga alat dalam genggaman si lawan bicara. "Semuanya saja."

"Tiga-tiganya?"

Hinata mengangguk.

"Baiklah. Tunggu sebentar, biar 'ku bungkuskan."

.

.

.

Selepas menempuh perjalanan menuju rumah, Hinata lekas bergerak agar mencapai kamar sesegera mungkin. Daun pintu tertutup rapat dalam satu kali tolakan ketika ia memasukkan diri, dan buru-buru mengeluarkan salah satu alat di sana.

Sejenak coba menimang, tetapi, tak ada yang dapat terpikirkan -- selain kekalutan dan jantung berdetak gugup.

Ragu, Hinata putuskan untuk mencoba, dan ia hanya bisa menahan napas ketika tanda yang terlihat -- merealisasikan apa yang sejak awal dipikirkan.

Dua garis, dan satu perasaan yang mengisi relung; takut.

Bersama mata berkaca-kaca, Hinata duduk di sisi ranjang. Pandangannya tak lepas dari eksistensi benda yang masih setia dalam kuasa genggaman.

"Hinata?"

Tubuhnya tersentak. Kamar mendadak terbuka dan sang bibi sedang memandangnya dari ambang pintu.

Cepat sekali, Hinata menempatkan sebelah tangan di bawah paha; berusaha menyembunyikan tanda bukti yang menyatakan keadaan dirinya saat ini.

"Ada apa?" sadar akan ekspresi terkejut sang ponakan, Natsu memberi tanya.

Hinata menggeleng serta coba tersenyum. "Tidak ada apa-apa, Bibi."

"Kalau begitu turunlah. Pamanmu sudah menunggu di meja makan."

"Ya, aku akan segera turun."

Setelah kepergian Natsu, Hinata menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Pikirannya sedang kacau.

Segera, ia raih ponsel dan coba menghubungi Naruto, namun, nomor sang pemuda sedang tak bisa dihubungi.

Berkali-kali Hinata mencoba, tetapi, selalu hasil serupa yang didapati.

Ketika hendak melakukan panggilan sekali lagi, berangsur, tangannya turun ke sisi tubuh dan jatuh begitu saja di atas ranjang.

Mungkin, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Besok adalah hari kelulusan. Hinata tak ingin merusak suasana karena masalah ini.

Sepertinya, ia akan coba bicara bersama Naruto setelah setelah segala kegiatan esok selesai.

.

.

.

Kiranya, pukul sepuluh ketika Naruto tiba di kediaman dan segera menghempas tubuh ke atas ranjang. Lelahnya menjadi berkali lipat ketika harus mengikuti berbagai kegiatan khusus yang diadakan oleh panitia, dan juga menyempatkan waktu menghadiri acara yang berlokasi di perumahan Kiba.

Ketika lensa matanya kembali terbuka, ia meraih ponsel dan menghidupkan setelah sempat di-non-aktifkan selama acara berlangsung.

Ada beberapa notifikasi yang ditemui. Diantaranya pesan dari para teman yang memiliki keperluan, pun panggilan tak terjawab dari sang ibu, serta satunya lagi milik Hinata.

Memulai dengan memberi balasan bagi pesan-pesan yang ada, Naruto beralih coba menghubungi sang ibu setelahnya.

Tak butuh waktu lama bagi suara di seberang untuk segera menanggapi.

"Ibu?"

"Sedang apa? Dari tadi Ibu menghubungimu."

Naruto memutar diri. Menggenggam asal gantungan kunci motor dan memperhatikan detail dari motif yang terlihat.

"Aku baru saja kembali dari acara di rumah teman."

"Malam-malam begini?"

"Hm. Ada apa Ibu menghubungi?" Naruto mengambil posisi telentang. Tatapannya tertuju pada jempitan rambut Hinata yang tertinggal, serta tersimpan di atas meja belajar.

Mungkin, Naruto akan mengembalikannya besok jika ingat.

"Naruto, Ibu ada kabar gembira untukmu!"

"Kabar gembira?" ia mengulangi perkataan dengan nada penasaran.

"Apa kau masih berminat untuk masuk tim voli nasional?"

Ketika kalimat tersebut diucapkan, seketika saja -- Naruto sudah mendudukkan diri dengan perasaan yang semakin ingin tahu.

"Memangnya, kenapa?"

"Begini, Nick pernah merekomendasikanmu untuk masuk ke tim nasional."

"Apa?!"

"Dia memiliki kenalan di sana. Orang itu sudah menghubungi Nick, dan berkata jika mereka akan memasukkanmu!"

Naruto tak bisa berkata-kata. Ini terlalu mengejutkan baginya.

"Kebetulan, panitia mereka mulai mencari orang-orang baru untuk dijadikan training khusus. Jadi kemungkinan, bulan depan, kau sudah bisa pergi ke Kiri dan mengikuti pelatihannya. Nick akan menemanimu ke sana dan bertemu langsung dengan -- ibu tak tahu siapa nama orangnya, yang jelas, peluangmu sudah terbuka lebar."

Suara Kushina sangat menggebu-gebu; sarat akan perasaan bahagian, sebab, mimpi Naruto sejak dahulu telah mendapat kesempatan untuk tercapai.

Ini adalah hal paling dinanti. Kushina tahu jika Naruto sangat berharap bisa masuk ke sana.

Tetapi, ia sedikit tak mengerti mengapa Naruto terdengar lemas saat membalas perkataannya.

"Aku tak yakin."

"Apa maksudmu? Tak yakin kenapa?"

"Entahlah. Aku hanya merasa menjadi tak percaya diri mendengarnya."

"Naruto, dengarkan Ibu. Apa kau tahu mengapa Nick diam-diam merekomendasikanmu ke sana?"

"Tidak."

"Karena dia sudah melihat sendiri potensimu. Nick mengatakan jika permainanmu sangat baik di lapangan. Tak mungkin dia berbohong, 'kan? Lagi pula, Nick juga bukan orang yang sembarangan jika berkata. Dia mengemukakan pendapat, karena memang menyakini jika apa yang dia katakan adalah benar."

"Kapan dia melihatku bermain?"

"Dia pernah mengikuti beberapa turnamen yang kalian mainkan. Jadi, Naruto, ini kesempatan bagus untukmu. Masa depanmu sudah terlihat. Yang harus kau lakukan sekarang adalah memperjuangkannya hingga akhir. Kau mengerti?"

Mendadak saja, jantung Naruto berdetak sangat cepat. Dadanya bergemuruh sangat luar biasa ketika membayangkan bila benar-benar bisa masuk ke tempat yang sudah sangat lama ia idamkan.

Naruto tak bisa berbohong, dirinya memang sangat menginginkan hal ini. Tidak mudah untuk bisa menjadi salah satu bagian dari tim, bahkan, menjadi training pun harus memerlukan usaha keras agar bisa terpilih. Serta kini, peluang tersebut telah menyambut. Sangat kurang ajar jika Naruto akan melepaskannya.

Tentu saja, ia tak ingin menyia-nyiakan semuanya.

"Baiklah."

.

.

.

Hari Kelulusan,

Kelulusan diadakan nyaris tiga jam lamanya. Sebagian acara diisi oleh pria tua penjabat posisi kepala sekolah yang memberi pidato sangat panjang dan nyaris membuat kebanyakan murid merasakan kantuk selama acara.

Apabila dipikirkan lebih lanjut, yang dinanti sebenarnya bukanlah ungkapan panjang lebar dari mulut-mulut para guru dan kepala sekolah, melainkan pengumuman khusus sebagai tanda bila mereka benar-benar telah menyelesaikan pendidikan.

Serta, hal tersebut baru terjadi setelah hampir seluruh guru diminta untuk menyampaikan sepatah dua kata -- yang ternyata mengakar menjadi banyak kata.

Setiap murid menerima satu gulungan ibarat sertifikat. Bukan hal penting sesungguhnya. Hanya berupa formalitas semata dan penanda jika acara telah mencapai penghujung waktu.

Maka tak heran, belum sampai sepuluh detik kegiatan selesai, aula telah diisi dengan sorakan riuh dari para murid yang merayakan kebahagiaan karena semuanya dinyatakan lulus.

Tak ada yang melarang, bahkan, para guru membiarkan sosok-sosok yang akan menjadi mantan murid mereka larut dalam euforia kesenangan.

Naruto adalah salah satu di antaranya.

Pada lingkaran ia berdiri bersama teman-teman yang lain, gema dan tawa mengisi keadaan sangat luar biasa. Wajah mereka tak lepas dari senyuman -- seolah bibir telah dipaku untuk tetap menyunggingkan tanpa lelah.

Mereka saling merangkul satu sama lain. Berbagi canda dan lelucon kecil ketika mengingat kembali kesulitan apa saja yang dihadapi selama ujian sialan itu terjadi.

Ketika tanpa sengaja kelereng biru sang pemuda mendapati sosok di ujung ruang yang tampak sedang mencari sesuatu, tawa Naruto berangsur reda dan digantikan oleh senyuman lembut.

Ia kirimkan satu pesan untuk meminta agar Hinata menemuinya di perpustakaan saat itu juga.

Terlihat Hinata sedang meraih ponsel miliknya dan membaca pesan yang ia kirimkan. Rembulan di sana sedikit bergerilya, dan berakhir bertemu dengannya sebelum memberi balasan guna meng-iya-kan.

Setelahnya, Naruto segera memberi pamit lebih dahulu.

"Aku ke toilet dulu."

"Jangan lama, Naruto. Kami akan meninggalkanmu jika kau tak datang dalam lima menit."

Naruto mengibaskan tangan di depan wajah dan bergegas pergi sesegera yang ia bisa untuk tiba di perpustakaan lebih pertama.

Hanya butuh tujuh detik, pintu kembali terbuka dan Hinata ikut menyatakan diri dalam ruangan.

Baru saja mendekat, ia langsung diserang dengan pelukan erat. Tak begitu lama, sebab Naruto beralih menangkap wajahnya dan memberi kecupan singkat di bibirnya.

"Tebak apa yang terjadi?"

Dengan polos, Hinata menjawab. "Kita baru saja lulus?"

Ia kembali tersentak saat Naruto kembali memberi ciuman lain.

"Tepat sekali! Dan tebak, apa lagi setelah itu?"

Naruto nampak begitu sumringah. Raut wajah Hinata menekuk tak mengerti mengenai apa yang terjadi.

"Apa?"

Gemas sekali, Naruto mencubit kedua pipi Hinata. "Artinya, kita sudah dewasa, Hinata!"

"Hah?"

Naruto terkekeh pelan. Ekspresi lugu Hinata membuat suasana hatinya berkali-kali lipat lebih baik.

Namun, berbeda dengan Naruto yang sangat diliputi kebahagiaan, di saat bersamaan, raut Hinata perlahan menyendu dan menunduk memandangi kedua sepatu sendiri.

Sejak awal kegiatan diadakan, tak sekali pun Hinata merasakan kesenangan ikut hadir mengisi perasaannya. Ia berusaha untuk coba memendam karena tak ingin merusak keadaan yang ada, tetapi, ketika dihadapkan bersama Naruto seperti saat ini, Hinata tak kuasa lagi untuk menahan diri.

Ia harus mengatakannya sesegera mungkin.

"Naruto--"

"Hinata--"

Keduanya saling berpandangan untuk sesaat. Ucapan yang dilontar secara bersamaan, mendorong niat Hinata untuk sesaat dan membiarkan Naruto yang memulai lebih dulu.

"Ada apa?"

Naruto tersenyum. "Tidak. Kau saja lebih dulu. Ada apa?"

Tetapi, Hinata ikut menggeleng. "Kau saja."

Akhirnya, Naruto menghela napas. "Begini, ada yang ingin kusampaikan padamu."

"Apa itu?"

"Kau tahu 'kan, aku memiliki mimpi untuk masuk tim voli nasional sejak dulu?"

"Hum ... ya. Lalu?"

"Aku akan mendapatkannya!"

Kedua alis Hinata terangkat tak menyangka. "Sungguh?!"

"Ya! Bulan depan aku akan berangkat ke Kiri dan mengikuti pelatihan di sana."

Saat itu, raut terkejut Hinata berubah cepat. Alisnya menekuk bersama garis wajah diliputi getar tak senang.

Segala kata yang telah dipersiapkan -- seakan tertelan begitu saja. Hinata merasakan sepat pada ujung lidah.

"Be-Berapa lama?"

"Entahlah. Mungkin hingga aku bisa terpilih menjadi bagian dari tim inti." Sejenak, Naruto terdiam.

Didapatinya Hinata yang tampak sedang berpikir keras, lantas, ikut meneguk ludah ketika mungkin menyadari mengapa wajah tersebut menampilkan keredupan.

"Mungkin kita akan berpisah untuk sementara waktu, tapi--" Genggaman lembut Naruto lakukan pada jemari kecil sang kekasih. "--aku akan setia dan kembali padamu. Tak akan lama, aku berjanji!" Naruto berlontar dengan penuh kesungguhan, namun, ia heran ketika Hinata memilih melepaskan sentuhan dan mundur beberapa langkah untuk memberi jarak.

"Ada apa, Hinata? Kau tak senang mendengarnya?"

Jemari Hinata mengepal di sisi tubuh. Sungguh, ia sangat berjuang agar airmatanya tak jatuh saat ini juga.

Bagaimana ini? Hinata tak tahu harus melakukan apa. Takutnya berubah menjadi berkali lipat. Jika Naruto benar-benar pergi, lalu, bagaimana dengan dirinya?

Hinata tahu seberapa besar harapan Naruto agar bisa meraih mimpinya sejak dahulu, dan itulah yang membuat ia semakin bimbang untuk mengatakan kebenaran.

"Hinata--"

Berpura-pura tersenyum dan kembali mengangkat wajah agar saling melihat, suara Hinata sedikit bergetar saat memberi balasan. "Maaf, aku hanya merasa sangat terkejut."

Naruto mendekatkan diri. "Kau baik-baik saja?"

Tidak. Hinata tidak baik-baik saja.

Namun, hanya senyuman lain yang bisa ia beri bersama hati getir.

"Selamat, Naruto."

Sekali lagi, sebuah pelukan Hinata rasakan untuk membawa ia ke dalam hangat tubuh sang pemuda.

"Tenanglah. Tak akan ada hal buruk. Kau hanya perlu menanamkan dalam dirimu, jika aku akan tetap kembali padamu, bagaimanapun keadaannya. Kau percaya padaku, 'kan?"

Hinata tak bersuara, namun, kepalanya mengangguk dengan susah payah. Satu elusan ia rasakan membingkai surai panjangnya.

Pelukan terlepas pelan. Lembut sekali, telapak tangan Naruto meremas pundak Hinata.

"Lalu, apa yang ingin kau katakan tadi?"

Lama Hinata terdiam. Rasa tak yakinnya menjadi semakin kuat tak terkira.

Ia sadar sedang dihadapkan dengan dua pilihan yang berat; antara harus menyatakan keadaannya saat ini dan mengharapkan sebuah pertanggungjawaban, atau membiarkan Naruto menggapai impiannya.

Tapi, jujur saja. Hinata tak dapat menghadapi ini sendirian, pun tak mungkin bisa bersembunyi selamanya.

Hinata tak mau menggugurkannya. Sama hal ia telah membunuh sebuah kehidupan yang memiliki hak untuk ada. Hinata tak mampu melakukannya.

Jika mempertahankan -- pasti rasanya akan sulit, sebab, sudah jelas ia tak akan menerima respon baik dari orang-orang terdekat, apalagi, dengan Naruto yang berniat pergi dan tak ada di sampingnya.

Hinata menjadi bingung. Sangat-sangat bingung hingga kepalanya terasa nyaris pecah untuk mencari jalan keluar.

Serta, jika dipikirkan lagi, semua ini terjadi karena mereka berdua, dan Hinata membutuhkan Naruto untuk menghadapi bersama.

Jadi, tolong, ... tolong ... kali ini saja, tolong biarkan dirinya menjadi egois.

"Naruto,"

"Hm? Ada apa?"

"Sebenarnya--"

Perkataan tersebut harus terhenti ketika bunyi panggilan masuk sedang terjadi pada ponsel pintar milik Naruto. Alih-alih melanjutkan, Hinata biarkan bibirnya terkatup setelah melihat sang kekasih menanggapi telepon yang terjadi.

"Ya?"

"..."

"Baiklah, baiklah. Aku datang," Naruto berujar segera dan sedikit berdecih. Ia pandangi Hinata dan memasang tampang menyesal karena harus meninggalkannya saat ini juga.

"Malam nanti akan 'ku jemput dan kita lanjutkan lagi pembicaraannya. Yang lain sudah menungguku di depan." Kembali, elusan pelan Naruto beri pada rambut Hinata. "Tak apa 'kan jika kau pulang sendiri setelah ini?"

Hinata mengangguk kikuk. Ia tanggapi ciuman singkat sang pemuda secara baik.

"Hati-hati dalam perjalanan, oke? Aku mencintaimu." Setelahnya, Naruto telah berlalu pergi meninggalkan.

Tarikan napas panjang terjadi. Hinata putuskan mendudukkan diri pada salah satu bangku terdekat agar dapat menenangkan diri.

Namun, ketika mata itu kembali terbuka dan wajahnya terangkat ke samping, bolamata Hinata telah terbelalak tak menyangka.

Rin ada di sana, dan -- mungkin -- melihat semuanya.





Bersambung ...


Hayoloh ... udah ketebak 'kan konfliknya, wkwk.

Vote dan komen ya. Yang belum vote di chapter sebelumnya boleh dong menyempatkan waktu untuk vote dulu. Kali aja aku bisa update cepet lagi, wkwk.

Oh ya, aku tuh suka sama cerita yang konsepnya tentang perselingkuhan, hamil luar nikah, hubungan diam-diam, dan sejenis lainnya. Jadi, harap maklum kalo kebanyakan cerita aku ngangkatnya tema kayak gituan mulu, huhuhu ... :'(

Anyway, aku penasaran, lho. Kan Naruto rambutnya pirang yak, kira-kira, bulu keteknya pirang juga enggak, sih? Kalo bulu itunya--maksudnya bulu kakinya? :')

Continue Reading

You'll Also Like

78.9K 9.9K 46
Kau tahu apa yang paling aneh dengan diriku? Aku tetap mempertahankan hubungan ini meski situasi kita salah, dan masih mencintaimu walaupun kau telah...
12K 1.4K 8
Rasa penyesalan, kehilangan, serta keputus asaan membuat Mark menyadari pentingnya arti dari seorang Lee Haechan dalam hidupnya. Ketika Mark akhirnya...
35.5K 6.1K 20
Kehidupan Namikaze Naruto terbilang sempurna dimata orang-orang. Pria itu mapan, wajahnya tampan, karirnya cemerlang diusia dua puluhan. Namun, sebag...
882K 39K 97
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...