With You: A Faux Pas? [ NaruH...

By eminamiya_

56.9K 8.3K 905

Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang s... More

Memulai
1
2
3
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16. Akhir Untuk Memulai
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Extra Chapter

4

1.6K 241 21
By eminamiya_

Sekiranya, jam digital yang berdiri di nakas telah menunjukkan pukul enam pagi ketika mata Hinata terbuka perlahan untuk memandang hampa langit-langit kamar.

Perasaan serta pikirannya mendadak terasa sangat kosong. Bibirnya terkatup rapat. Ada berjuta tanya yang mengisi hati, tetapi ketika ingin meluapkan ke permukaan, semua serasa mati.

Dengan sadar, tetesan airmata jatuh membasahi pipinya kala mengingat kembali perbuatan nekat apa yang telah ia lakukan semalam.

Hinata paham ini salah. Jika mampu kembali mengulang waktu, ia harap bisa berteguh pada keinginan agar tak melangkah terlalu jauh. Tetapi, semakin ia larut pada penyesalan, semakin pula kenyataan memaksa kesadaran untuk mengerti jika semua sudah terlanjur terjadi.

Tangis yang lebih keras -- akhirnya pecah. Ia sesegukan dengan pelan.

Naruto yang masih berlabuh pada alam mimpi, terpaksa mendarat pada kenyataan dan kembali menghadapi keadaan.

Dipandanginya Hinata yang sedang memeluk lutut sendiri dan ikut membangkitkan diri agar duduk.

Ada sepercik--tidak! Tapi gelombang besar yang dinamakan 'penyesalan' tengah memberi terjangan. Naruto menjadi bingung bagaimana harus menawarkan ketenangan agar Hinata bisa berhenti menangis.

"Hinata--"

Ketika ia memberi sentuhan, Hinata menepis. Tubuhnya berputar membelakangi sehingga Naruto hanya bisa memandangi punggung polos yang sesekali tersentak karena masih diliputi kesedihan.

Pada akhir, Naruto hanya bisa kembali terdiam. Ia merutuki diri sendiri atas nafsu bejat yang sempat mengambil alih.

Kalau berkata tentang rasa tak nyaman, melihat Hinata yang dirundung pilu, jelas memberi efek serupa pada Naruto. Hanya saja, semua sudah terlanjur. Apa yang bisa diubah jika telah sejauh ini? Yang harus mereka lakukan adalah menerima dan menghadapi kenyataan.

"Maaf, Hinata."

Tak ada tanggapan. Naruto dibuat semakin bingung untuk bertindak. Diusapnya wajah dengan gusar, lantas menarik napas panjang.

"Aku akan bertanggung jawab."

Ia sadar bila tangis dari sosok di hadapannya sempat terhenti.

"Jika memang terjadi sesuatu padamu, aku tak akan lari."

Sangat perlahan, Hinata menoleh. Ia memandang dengan berbagai macam perasaan; kesedihan, sakit, marah dan penyesalan.

"Apa kau sadar jika kita baru saja mengkhianati Rin?"

Naruto bungkam.

"Jika Rin tahu, dia akan sangat terluka dan membenciku. Rin akan--"

"Semua sudah terjadi, Hinata. Mau bagaimana lagi?"

Kini, giliran Hinata yang terdiam.

Terus saja, Naruto masih mencoba untuk menawarkan sentuhan, namun, Hinata tetap menepis dan menjaga jarak agar tak begitu dekat.

Sang pemuda dibuat kehabisan tindakan.

"Mari kita jadikan ini sebagai rahasia, hm? Tak akan ada yang tahu bila kita tetap tutup mulut."

"Kau bicara seperti seorang berengsek."

Mata Naruto bergetar. Baik. Silahkan anggap dirinya seorang berengsek, tetapi, apa lagi yang bisa diperbuat?

"Hinata--"

Tanpa memberi tanggapan, Hinata telah beranjak. Meraih beberapa lembar pakaian dan memakai kembali tanpa ingin menoleh barang sedikit.

Desahan lelah Naruto terdengar sangat jelas, namun, Hinata memilih tak peduli.

"Kau mau pulang sekarang?"

Naruto ikut meraih pakaian miliknya ketika melihat Hinata telah berjalan sedikit tertatih menuju pintu kamar.

"Aku antar, ya?"

Tak adanya gubrisan.

Naruto lekas berbenah dan melangkah cepat untuk menyamakan langkah, serta, memberi tarikan pada lengan Hinata.

Hinata coba menarik diri, tetapi, Naruto tak ingin melepaskan.

"Tunggu--"

"Lepaskan aku. Jangan menggangguku dulu."

Sebuah gelengan Naruto berikan. "Tidak mau."

Tatapan mereka kembali bertemu.

"Aku akan mengantarmu pulang."

"Bibiku akan bertanya banyak hal jika aku pulang pagi denganmu."

Genggaman Naruto kian mengerat -- seolah sangat enggan untuk melepaskan.

"Bantu aku dengan tak mempersulit situasi."

Dengan itu, Naruto membiarkan Hinata meloloskan diri untuk hilang dari cangkupan pengelihatan.

.

.

.

Ini sudah memakan waktu tiga hari berjalan semenjak kejadian malam itu terjadi. Sejak saat itu pula, Hinata terus coba membatasi interaksi apa pun bersama Naruto.

Jika Rin memberi ajakan makan siang bersama saat jam istirahat, Hinata akan selalu mengungkapkan berbagai alasan untuk menolak dan meminimalisir kemungkinan pertemuan antara dirinya dan sang pemuda.

Hinata tahu, hanya ada kemungkinan kecil bila perbuatan yang ia lakukan bersama Naruto akan terkuak, tetapi, Hinata juga tak bisa menahan diri untuk merasa sesal kepada Rin.

Itulah sebabnya, ketika beberapa waktu lalu Rin kembali memberi ajakan, Hinata memilih untuk menyibukkan diri dengan menggantikan seorang siswa yang absen untuk mengatur perpustakaan.

Sembari menghela napas pelan, Hinata berjinjit pelan. Buku terakhir di tangannya akan disusun pada satu rak yang lumayan tinggi beberapa senti. Hinata telah berusaha, tetapi, karena tubuh yang mungil, ia harus menelan kekecewaan.

Berniat untuk mengambil tangga, Hinata baru saja membalikkan tubuh ketika seketika harus dibuat terpaku. Naruto telah berdiri menjulang dalam jarak dekat dan meraih secara cepat buku di tangannya dan meletakkan rapi pada rak.

Kepala pirang sedikit menunduk. Ingin menjangkau wajah di bawahnya yang masih terdiam. Tampaknya, Hinata terlalu terkejut, hingga untuk melarikan diri pun -- ia menjadi tak bisa.

Tapi, entahlah. Kemungkinan besar pula karena keberadaan Naruto yang secara tak langsung menutup jalan keluar dengan tubuh besarnya.

Hampir semenit berselang, dalam posisi yang sama tanpa bergerak sedikit pun, keduanya masih membiarkan keheningan terjadi. Sepi ruang perpustakaan membuat nuansa semakin kelam -- terutama bagi Hinata.

"Sampai kapan kau akan melarikan diri dariku?"

Hinata membuang muka ke arah lain.

"Jangan menyiksaku seperti ini, Hinata."

"..."

"Apa--"

"Jangan lakukan ini, Naruto."

"Bukankah kita harus membicarakannya lagi?"

"Aku tak ingin membahasnya."

"Hinata--"

"Kita sudah melakukan kesalahan. Sebaiknya, kita mulai membatasi diri untuk bertemu."

"Omong kosong."

Hinata mendongak. Matanya bertemu dengan tatapan penuh protes.

"Apa kau pikir itu akan menyelesaikan masalah?" Naruto tidak menyerah.

"..."

"Aku sangat meminta maaf untuk hal yang sudah kulakukan padamu. Kumohon, jangan menghindar lagi."

"Jadi, aku harus bagaimana?" Hinata kembali hendak menangis. Pikirannya benar-benar kacau. Ia menjadi berkecamuk tak menentu. Ada rasa takut dan tak nyaman yang selalu menghantui, terutama bila hal tersebut menyangkut Naruto.

Tetapi, meski sadar Hinata sedang tak ingin menciptakan interaksi apa pun, Naruto tetap tak mau berlarut dalam perasaan tertekan karena tidak bisa mencapai jalan keluar atas masalah keduanya.

Mereka harus menyelesaikan ini semua. Menghentikan kecanggungan yang telah terjadi.

"Kita hanya perlu bersikap seperti biasa. Apa kau tahu, dengan kau terus menjauhiku, hanya akan membuat orang-orang menaruh curiga."

Benarkan?

Sebagian besar, apa yang tersembunyi -- bukan terungkap karena mulut sengaja membeberkannya, melainkan juga akibat gelagat yang ditampilkan secara jelas.

Penasaran akan membangkitkan rasa ingin tahu, yang berakhir dengan mencari sebuah alasan lalu menghadirkan spekulasi yang dijadikan opini.

Jika mereka yang selama ini tampak lengket satu sama lain -- mendadak saling canggung satu sama lain, semua akan membuat yang melihat, menjadi bertanya-tanya.

Serta, ini sudah sempat terjadi. Lagaknya, Rin sedikit menyadari hal tersebut dan sempat menanyakan langsung pada Naruto -- barangkali pemuda itu telah melakukan satu hal konyol hingga Hinata selalu menolak ajakannya.

Naruto menyentuh pelan tangan sang gadis. Hinata sempat menarik diri, tetapi jangan berharap Naruto akan kalah kali ini.

"Hinata, ..." ia panggil nama itu dengan sangat lembut.

Tak ada respon. Hinata sengaja menunduk agar tak lagi melihat langsung.

"... aku tak pernah berniat menyakitimu. Aku benar-benar akan bertanggung jawab jika memang terjadi sesuatu padamu." Pegangan yang terjadi -- semakin erat. "Aku berjanji."

Ketika itu, Hinata tak bisa lagi menahan bendungan sesak. Ia kembali menangis dalam diam.

Benar. Selain tak ingin apa yang terjadi diketahui oleh Rin, ia juga takut bila akan terjadi sesuatu pada dirinya. Naruto sempat ceroboh. Hinata menyadari jika sang pemuda melepaskan di dalam dirinya.

"Jangan menangis." Naruto menghapus pelan jejak airmata di wajah Hinata. "Aku akan selalu ada di dekatmu."

.

.

.

Beberapa Waktu Berlalu

Hinata menjadi sangat gelisah. Sudah sejak ia berada di kediaman Naruto, sejak itu pula jantungnya berdetak tak menentu -- terutama, ketika beberapa saat lalu, sebuah benda yang Naruto beli telah digunakan sesuai arahan sang pemuda.

Satu hal yang saat ini sedang terjadi; keduanya tengah mencoba untuk memastikan sesuatu.

Melihat bagaimana raut cemas yang terpatri pada garis wajah sang perempuan, tak ayal membuat Naruto ikut merasakan perasaan campur aduk.

Seharusnya, hasil sudah bisa terlihat, hanya saja, Hinata masih enggan untuk merentangkan jemari untuk menunjukkannya.

Namun, jika terus seperti ini, mereka tak akan bisa mendapat jawaban apa-apa.

Maka, dengan memberi satu genggaman pada pundak di dekatnya, Naruto menatap lekat untuk menyalurkan keyakinan. Ia tahu seberapa takut Hinata, namun, mereka harus melakukannya.

"Tak apa. Bukalah."

Sangat ragu, Hinata menggigit pelan bibir bawah. Jemari yang terus saling mengepal keras -- ia buka secara perlahan.

Benda berbentuk stik semakin menampilkan eksis ke permukaan. Sejenak, posisi alat yang sengaja digenggam terbalik membuat keduanya belum bisa melihat apa pun.

Hinata menoleh dan menelan ludah dengan kasar ketika Naruto meraih benda tersebut secara cepat dan membaliknya agar memperlihatkan hasil.

Mereka menahan napas secara bersamaan.

Naruto melirik kecil ketika Hinata seketika menangis.

Ada begitu banyak emosi yang selama ini sudah Hinata tahan dalam waktu yang terasa menjadi sangat lama dan berat. Sesaknya masih menyerang nyata, namun, apa yang didapati kini seperti angin dingin yang mampu memberi hembusan kesejukan.

Hinata menghela napas pelan. Negatif. Entah bagaimana lagi ia harus mengungkapkan kelegaan ketika apa yang dicemaskan selama ini -- tidaklah terjadi. Hinata tak hamil. Segala kegelisahan yang menyiksa -- akhirnya terbayar.

Sebuah pelukan terjadi. Hinata biarkan Naruto membawanya dalam dekapan ringan dan dibalas dengan pelukan serupa untuk meluapkan segala perasaan.

"Maaf karena sudah membuatmu sangat menderita selama ini."

Hinata tak menjawab dengan mulut. Jemari kecilnya memberi remasan pada kain pakaian sang pemuda dan mengangguk pelan.

"Semua akan baik-baik saja mulai sekarang."




Bersambung ...

Untung aja, ya. Hiyaa~

Bagian ini aku buat secara ngegas, jadi, mungkin bakal direvisi kembali jika memungkinkan.

Vote dan komen, boleh?

Continue Reading

You'll Also Like

27.3K 3.6K 23
[Wonjoy Area] It's nice to know you, Let's do it again! How we did in one night stand Boy, I wanna be more than a friend to you . . . . . . . . . Te...
103K 4.7K 14
"Maafkan aku, aku egois karena aku mencintaimu meski kau tidak menginginkanku" hinata "aku benci kau! yang meracuni hatiku. dan membuatku menyadari k...
62.9K 7.4K 36
[SELESAI] Sakura pernah hampir membenci takdir serta dirinya sendiri, ketika dia harus terlibat dalam tali masa lalu yang ia bentangkan sendiri. Memb...
122K 12.3K 34
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...