With You: A Faux Pas? [ NaruH...

By eminamiya_

56.8K 8.2K 905

Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang s... More

Memulai
1
2
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16. Akhir Untuk Memulai
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Extra Chapter

3

1.7K 243 45
By eminamiya_

Beberapa waktu kemudian,

"Ke mana Naruto?"

Baru saja mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas, Rin segera membalas tatapan penuh tanya Hinata.

"Entahlah. Sejak pagi tadi aku juga tak melihatnya. Di pesan terakhirnya, dia berkata tetap datang ke sekolah hari ini." Bahu Rin terangkat singkat. "Mungkin ada kesibukan lain."

Hinata mengangguk paham sembari coba mengikuti langkah sang sahabat yang mulai mengukir jejak agar keluar pintu kelas. Tujuan mereka kali ini adalah atap sekolah, agar kegiatan menyantap terasa lebih nikmat dibanding harus memakannya di dalam kelas atau kantin yang lebih ramai.

"Dia mulai terlihat seperti orang sibuk." Hinata tertawa pelan.

"Dia hanya mencari-cari alasan agar terlihat sibuk."

Sesekali diisi obrolan kecil, jalan masuk ke atap sekolah telah terbuka. Baru saja hendak menempatkan diri pada satu dudukan beton dekat pembatas, keduanya dibuat terkejut oleh bunyi kasar dari arah tumpukan kursi bekas di balik pintu.

Rin berniat ingin memastikan, namun, belum terlaksana hal tersebut, penyebab dari bunyi bising beberapa detik lalu -- telah menampakkan wujud dengan sendirinya.

Naruto dengan rambut acak dan seragam yang sedikit berantakan -- terlihat sedang menguap lebar sembari merenggangkan tubuh. Dilihat dari seberapa merah matanya saat ini, dapat ditebak secara mudah bila ia baru saja terbangun dari tidur.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Pernyataan Rin menerima tanggapan berupa lirikan sedikit tertegun. Tampak bila pribadi Naruto merasa tak menyangka akan ada orang lain di lokasi.

Tanpa memberi jawaban, sang pemuda mendekat. Mengambil duduk dengan santai di sebelah gadis berambut panjang yang ikut memandang heran.

"Kau membolos lagi?" pertanyaan yang lain berasal dari Hinata.

Naruto mengedik alis secara singkat sebagai ungkapan pembenaran.

Hinata menoleh pada Rin yang sedang mendengus sinis.

"Sudah berapa kali kukatakan untuk tidak melakukannya, Naruto!"

Bagi Naruto, mendengar sang kekasih mengoceh panjang lebar adalah hal yang sudah terlalu biasa. Alhasil, seakan terbiasa, ia hanya memberi balasan berupa decihan, sembari meminta agar sosok di sebelahnya -- Hyuga Hinata -- menyumpitkan sepotong makanan ke dalam mulutnya.

"Naruto!"

"Hanya sesekali, Rin. Kelas Guru Kurenai sangat membosankan. Lebih baik sekalian saja tak masuk dari pada dia marah dulu -- baru setelah itu mengusirku."

Sama halnya, Naruto dan segala alasannya adalah hal yang sudah terlalu biasa bagi Rin. Serta, terus memberi argumen dan nasehat -- takkan ada guna apa pun.

Sebenarnya, Naruto termasuk orang yang sangat jarang melanggar aturan sekolah. Sebut dirinya sebagai salah satu murid kesayangan para guru -- karena selain berprestasi di bidang olahraga dan tim-nya kerap memenangkan pertandingan untuk mengharumkan nama sekolah, pun akademiknya juga sangat lumayan.

Hanya saja, Naruto adalah tipe yang tidak munafik. Jika sedang tak menyukai sesuatu, ia tak akan mau berpura-pura seakan suka. Sama hal dengan pendapatnya mengenai kelas Guru Kurenai.

"Banyak alasan."

Naruto mengedipkan mata. "Jangan marah. Katakan satu hal dan aku akan mewujudkannya." Tanpa ingin menunggu tanggapan Rin, Ia beralih pada gadis lain di dekatnya. "Hinata, aku sudah menunggu dari tadi."

Seakan baru teringat, lekas Hinata menggapit selembar telur dadar dan memasukkan ke dalam mulut Naruto.

"Lain kali, jangan lakukan lagi, Naruto. Meskipun terasa membosankan, tapi, Guru Kurenai mengajarkan hal yang penting."

Naruto mendengus pelan dengan tawa ringan. Hinata dengan mulut mama-mamanya sangat lucu.

"Baiklah, baiklah."

"Bagaimana dengan turnamennya?"

Naruto kembali beralih pada Rin. Sang gadis terlihat santai sembari memakan bekal miliknya sendiri.

"Kau tidak berniat menyuapiku juga?" Coba mendekat, Naruto mengintip kecil isi bekal sang kekasih, lantas merengut pelan. "Hish! Kau seperti sapi. Apa-apaan isinya sayuran semua?"

"Aku sedang masa diet. Ini juga baik untuk kesehatan kulitku. Memakan makanan berlemak tidak baik." Rin membalas tepat ke arah mata Naruto. "Buka mulutmu."

"Tak usah! Aku makan bekal Hinata saja."

Tak ingin ambil pusing, Rin kembali menikmati makanan dengan tenang. "Bagaimana turnamennya?" lanjutnya.

Dengan mulut yang sedang terbuka karena hendak menerima suapan lain dari si gadis rembulan, Naruto melirik pada Rin.

"Minggu depan."

"Berapa lama kegiatannya?"

Berpikir sebentar untuk mengingat, si pemuda kembali memberi jawaban. "Karena akan melawan cukup banyak tim dari sekolah lain, mungkin sekitar tiga minggu hingga sebulan untuk mencapai final. Itupun jika tak ada perubahan dengan jadwal."

"Lama juga," Hinata menyambung.

"Jika minggu depan, berarti, akhir pekan ini kau bisa ke acara festival terlebih dahulu!" Mata Rin tampak berbinar. "Sebenarnya, aku ingin mengajakmu kencan berdua, tapi kebetulan ada acara festival, bagaimana jika kita pergi bertiga saja?"

Naruto sedang melirik ke arah Hinata, seolah ingin memastikan.

"Mau ya, Hinata? Ayolah!" lanjut Rin penuh pinta.

.

.

.

Dengan setelah kasual yang khas, Hyuga Hinata tampak berbinar kala menatap pantulan dirinya pada cermin.

Bila ada yang satu kata yang dapat mendefinisikan seberapa menawan sang jelita kali ini, mungkin, 'Indah' adalah ungkapan yang paling tepat.

Sepuluh menit lalu, Naruto sudah mengirim pesan jika akan datang untuk memberi jemputan dan menawarkan untuk berangkat bersama. Semua karena permintaan Rin yang tak bisa datang secara langsung ke tempat Hinata, tetapi tak ingin pula jika sahabatnya berangkat sendirian.

Ponsel pintar yang tergeletak di atas ranjang -- kembali melantunkan bunyi singkat penanda notifikasi. Pesan baru dari si pemuda pirang terlihat. Hanya singkat, berupa kalimat yang menandakan kehadiran di pagar depan.

Namikaze Naruto
[Aku di depan.]

Hinata lekas bergegas. Mengemas segala barang yang berteteran di atas meja belajar; berupa alat hias sederhana yang digunakan untuk mempercantik diri dan menyambar tas yang diletakan di ranjang, lantas bergerak turun dari kamar. Sejenak, ia memberi pamit pada Paman Kou dan Bibi Natsu, lalu berjalan keluar hingga pintu depan.

Anehnya, ketika melihat Naruto yang sedang berdiri bersandar di motor besar miliknya dan tengah sibuk menelepon seseorang, jantung Hinata memberi pergerakan lain.

Mata di sana menoleh. Menggiring sang samudra menyapa lensa teduh pengisi langit malam. Senyuman diumbar sangat tulus oleh Naruto. Hinata menahan napas sesaat ketika sang pemuda sedang berjalan untuk mendekat.

"Sudah siap?"

Hinata mengangguk. Matanya berpaling ke arah lain.

"Tapi, ... apa kita akan pergi dengan satu motor? Rin bagaimana?"

"Rin meminta kita untuk pergi lebih dulu. Dia akan menyusul karena masih memiliki urusan lain." Sembari memperhatikan penampilan sang gadis, Naruto menggaruk pelipis. Dan rasanya, ia baru saja menyadari sesuatu yang berbeda. "Apa kau merias diri?"

Terlalu tepat sasaran, cepat-cepat Hinata menangkup wajah lalu coba menghalangi. "Jangan lihat!"

"Huh? Kenapa?"

Satu dorongan diberikan ketika menyadari tubuh sang lelaki yang semakin mendekat; ingin memaksa agar si gadis membuka wajah agar dirinya dapat melihat secara penuh.

"Biar kulihat."

"Tak mau! Naruto, lepas!"

"Tidak. Aku ingin melihatnya. Ayolah, sebentar saja."

"Tidak mau!"

Hinata dan sikap keras kepalanya. Meski berwatak lembut dan tenang, tak bisa dielak jika ia adalah kepala batu.

"Siapa yang ingin kau perlihatkan seperti itu?" Kedua lengan Naruto menyanggah di pinggang. Memperlihatkan gestur bak orangtua hendak memberi nasehat pada anak.

"Apa maksudmu?"

"Tidak biasanya kau merias diri. Apa kau akan bertemu seseorang di sana? Siapa?"

Sedikit mendengus pelan, Hinata menepis lembut ketika Naruto masih mencoba untuk menyingkap helaian rambutnya agar dapat terselip ke telinga. "Tidak ada. Aku hanya ingin melakukannya. Memang, apa salahnya kalau aku ingin terlihat lebih cantik?"

"Aku tidak yakin."

"Tidak yakin apanya?"

"Kau sungguh tak akan bertemu siapa pun?"

"Tidak. Ada apa denganmu?" Hinata membalas dengan wajah yang dipalingkan ke arah lain. "Mau sampai kapan kita di sini?" lanjutnya.

Naruto hanya menghela napas. Ia berpaling dan naik lebih dulu ke atas motor dan meminta Hinata untuk ikut menempatkan diri ke jok belakang.

"Terlihat menor seperti riasan nenek-nenek."

Ucapan berikutnya berhasil membuat Naruto menerima satu cubitan tak seberapa di pinggang.

.

.

.

"Apa kalian sudah ada di tempat festival? Sepertinya, aku tidak bisa ikut. Hujannya sangat deras dan ibu terus melarangku untuk pergi. Maafkan aku, Naruto."

Selarik kalimat Rin yang belum lama Naruto sampaikan, seketika saja membuat semua semangat yang beberapa saat lalu Hinata rasakan -- mendadak hilang begitu saja. Tujuan keikutsertaannya dalam kegiatan ini adalah karena Rin. Namun, hujan yang secara tiba-tiba menunjukkan intensitas lumayan tinggi membuat segalanya menjadi berantakan.

Baru sekitar setengah jam lebih mereka mendiami, tetapi, alam memiliki permainan sendiri untuk merusak segala rencana hati.

Hinata lemas. Beberapa bagian sepatunya terlihat mulai dihinggapi titik-titik lumpur hingga ia harus mundur lebih jauh untuk menghindar.

"Hujannya keterlaluan."

Padahal, seharian ini langit sangat cerah. Bahkan, saat malam menjelang, tak ada tanda-tanda jika hujan akan turun.

Gerutuhan sang gadis yang begitu sarat akan rasa kecewa, sampai berhasil menarik perhatian sosok lain di sebelahnya.

Sama hal seperti apa yang Hinata lakukan, pun Naruto ikut serta dikarenakan Rin yang memberi permintaan.

Jujur, ia merasa kesal pada Rin. Seandainya saja tak memberi ajakan sejak awal, mungkin, kesulitan yang ada -- tak akan terjadi.

Sulit? Benar. Mereka bahkan harus berhimpit di pinggiran stand agar tak terkena semburan hujan secara total. Hal ini tentu sangat menyulitkan. Sempit dan ruang gerak menjadi terbatas.

Naruto, mungkin takkan begitu masalah. Hanya saja ... di sini juga ada Hinata.

"Maaf karena Rin sudah sangat merepotkanmu." Penuh rasa bersalah manik sebiru lautan mengungkap rasa. Sangat tak enak hati karena harus ikut menyulitkan.

Hinata menggeleng pelan. Coba mengukir senyuman jenaka supaya tak memperburuk keadaan.

"Bicara apa? Aku tak merasa direpotkan sama sekali. Lagi pula, sudah lama aku juga ingin datang ke acara begini. Hanya mungkin waktunya saja yang kurang tepat." Bohong. Sejak awal, Hinata memang tak pernah berniat untuk datang. Ia hanya merasa tak enak bila Naruto menjadi ikut merasakan sesal. "Jangan salahkan Rin."

Pasrah, Naruto memilih menyerah. Hinata dan Rin sudah seperti darah dan daging. Kerap bertindak untuk tak membuat satu sama lain tidak berada dalam masalah.

Maka, karena menyadari bila tempat yang mereka pilih untuk berteduh -- tidaklah begitu tepat, Naruto putuskan membawa Hinata supaya tiba di kendaraan yang berdiri di tempat parkir. Biarlah harus menerobos hujan dan membuat pakaian basah, tapi setidaknya, mereka bisa berada di tempat yang lebih nyaman.

Perjalanan lumayan panjang membawa keduanya untuk tiba di apartemen sang pemuda. Sang gadis yang berada di jok belakang -- untung saja -- tak menerima terjangan hujan yang keras, hingga pakaian yang dikenakan tak begitu basah. Tetapi, berbeda dengan Naruto.

"Kau ingin ikut mengganti pakaian?"

Sembari menggeleng, Hinata menunjuk pakaiannya sendiri. "Tak perlu. Aku baik-baik saja." Tangannya meraih sesuatu di atas ranjang. "Aku pinjam selimutmu saja." Ia tarik selembar kain hangat di sana dan berjalan keluar kamar, berniat memberi waktu bagi Naruto membersihkan diri.

Ketika baru saja meraih duduk di ruang depan, satu pesan singkat masuk ke dalam ponselnya. Rin mengirimi ungkapan permintaan maaf yang ketiga kali karena harus membatalkan rencana.

Senyuman Hinata terukir maklum.

Rin
[Hinata, jangan marah, ya? Maafkan aku.]

Me
[Tak apa. Aku tak marah. Kami sudah di apartemen sekarang, jadi, tak perlu merasa bersalah lagi.]

Rin
[Syukurlah. Kupikir kalian masih terjebak di sana. Naruto tak membalas pesanku. Mungkin dia sedang marah T_T]

Me
[Aku akan memberi pengertian dan memukulnya jika benar-benar sengaja tak mau membalas pesanmu (ง'-̀̀'́)ง]

Rin
[Iya. Pukuli dia, Hinata XD]

Hinata sedikit terlonjak ketika mendadak Naruto berjalan mendekat. Penampilannya sudah lebih baik dibanding sebelumnya. Helaian pirang setengah basah dengan pakaian santai -- membalut dengan hangat.

"Yakin tak ingin mengganti baju? Kau bisa masuk angin jika bertahan dengan pakaian seperti itu."

Sengaja untuk kian merapatkan bungkusan selimut, Hinata menggeleng. "Tak perlu. Aku baik. Sungguh."

Akhirnya, Naruto putuskan berjalan ke dapur. Menyiapkan segelas minuman hangat, lantas kembali mendekat pada sang gadis dan mengambil duduk tepat di sebelahnya.

Gesturnya memberi perintah agar Hinata segera meneguk, agar keadaan tubuhnya bisa menjadi lebih baik.

"Rin bilang, kau tidak membalas pesannya."

Naruto melirik kecil. "Hm."

"Kenapa?"

"Tak apa."

Hinata menghela napas. "Jangan marah padanya. Rin juga tak tahu jika situasi akan buruk seperti ini. Jangan membuat masalah hanya karena hal kecil."

Naruto terdiam. Tak bisa memberi ucapan lain sebagai balasan. Jika seperti ini, ia tak bisa melakukan apa-apa lagi.

Hari yang kian larut serta malam semakin berlanjut, hanya sesekali akan diisi dengan obrolan ringan.

Bagi Hinata, menetap di kediaman Naruto hingga malam adalah sebuah hal biasa. Ikatan pertemanan yang terjalin cukup lama, membuat keduanya telah menyisikan kata canggung. Itulah mengapa, baik Hinata pun Naruto, sama-sama tak lagi ragu bila saling berdekatan.

Saling bercanda, berdebat dan bersentuhan merupakan sesuatu yang tak asing. Sama ketika tanpa sengaja, Naruto memberi pelukan kala Hinata mendadak mengeluh jika dirinya merasa kedinginan.

Pakaian yang Hinata kenakan memang tak lagi sebasah beberapa waktu lalu, namun, akibat lembab yang terjadi, suhu udara menjadi terasa lebih dingin dibanding apa yang Naruto rasakan.

"Sudah kukatakan untuk mengganti pakaianmu."

Hinata menekukkan bibir ketika rengkuhan dari arah belakang yang dirasakan menjadi semakin erat.

"Mau pakai apa?"

"Bisa pinjam bajuku."

Tanpa kendali, pipi sang hawa merona.

"Tak mau."

"Apa? Seperti tak pernah saja."

"Sekarang berbeda, kau punya kekasih. Tak enak jika aku memakai pakaian milik kekasih teman sendiri."

Hinata sedikit meremang ketika Naruto terkekeh dan hembusan napasnya mengenai tengkuk.

"Apa hubungannya, hm?"

"Entah. Aku hanya merasa tak enak."

Sekali lagi, suara tawa ringan sang pemuda melantun, bersamaan dengan dengusan kecil.

"Jadi, Hinata,"

Naruto memejamkan mata dan menahan napas secara singkat ketika merasakan tubuh Hinata bergerak dan saling bergesekan dengan dirinya. Semerbak aroma lembut menyerbu indra penciuman, alhasil, Naruto berdehem singkat.

"Ada apa?"

Ketika pertanyaan hadir, barulah mereka saling berpandangan dalam jarak cukup dekat.

Senyuman manis terpatri pada garis bibir merah-kecoklatan si pria ketika mendapati tatapan polos dari lembut sang rembulan.

"Apa kau benar-benar tak ingin coba mencari kekasih?"

"Ini sudah kesekian kalinya kau menanyakan ini. Sebenarnya, ada apa?"

Sesaat, Naruto hanya menggeleng. "Aku hanya ingin tahu alasannya. Kenapa kau belum ingin melakukannya?"

Hinata merenung. "Hmm ... entahlah. Aku hanya belum memikirkannya."

"Kenapa?"

"Hanya belum memikirkan saja."

Sejenak, mereka membiarkan keheningan terjadi.

"Cobalah untuk dekat dengan seseorang."

Ketika ucapan tersebut datang, raut wajah Hinata menjadi sayu. "..."

"Apa tak ada seseorang yang kau sukai?"

Lama -- mungkin tepatnya terlalu lama bagi sebuah jawaban diberikan.

"Hinata?"

"Aku tak tahu."

Sekali lagi, kekehan Naruto terjadi. Jika sebelumnya berhasil menciptakan detak gugup dalam diri si gadis, kali ini, yang terjadi adalah Hinata merasakan kehampaan.

"Ingat, jika nanti kau sudah dekat dengan seorang pria, pastikan aku harus menilainya--"

"Kenapa harus?" Hinata memotong cepat.

"Tentu saja karena kau harus mendapatkan orang yang tepat. Jika salah memilih, kau hanya akan berakhir disakiti. Jadi, penting untuk mencari sosok yang baik dan bertanggung jawab."

"Baik dan bertanggung jawab? Seperti siapa? Kau lagi?"

Satu cubitan kecil Hinata rasakan pada sebelah pipi.

"Benar sekali! Harus seperti aku!"

Hinata tertawa. Suara lembutnya tak ayal membuat Naruto ikut mengembangkan senyum.

Tetapi, hal tersebut hanya terjadi sementara, sebab, ketika mata rembulan kembali terangkat untuk menyatu bersama kelereng netra langit cerahnya, Naruto tak kuasa tertegun.

Seperti ada kekuatan besar yang menghisap segala atensinya agar terus terpaku pada satu titik indah di sana.

Secara tak sadar, wajahnya mendekat. Memberi kecupan cukup lama -- hingga Hinata terkejut dengan apa yang terjadi.

Kala belahan lembut saling melepas, keduanya kembali pada pertemuan mata.

Hinata sadar, ada luapan asing namun juga terasa akrab yang terpancar melalui sorot tajam itu.

"Na-Naru--"

Belum sempat ia berkata, tubuhnya yang masih berada dalam rengkuhan hangat -- seketika diputar untuk saling berhadapan. Kecupan kedua terjadi dan membuat segala pikiran menjadi kosong seketika.

Hanya tempelan bibir lembut dan hangat, namun, seiring berjalannya waktu, berubah menjadi ciuman erat dan basah.

Hinata coba memberi dorongan. Anggap logikanya masih berjalan meski mungkin harus diakui jika dirinya berdebar-debar akan perlakuan yang diterima kini.

"Naruto, ini tak benar."

Naruto tahu. Sangat tahu jika memang ingin menguji seberapa besar kesadarannya masih berjalan. Tetapi, gejolak mengganggu dalam dada pun seolah tak ingin kalah saing.

Dia ... menginginkan Hinata ... saat ini.

"Tak apa. Anggap saja kita sedang bersenang-senang, hm?"

Hinata tersentak ketika Naruto kembali mendekat. Kali ini dengan memberi ciuman berkali-kali pada leher.

Sebuah penolakan dilakukan. Hinata memberi pergerakan untuk menghalangi segala perbuatan sang pemuda padanya, akan tetapi, terlalu mudah pula dihentikan oleh cengkraman pada lengannya.

"Naruto--"

"Hinata ..."

Hinata terdiam saat penuh harap -- Naruto menatap.

"... aku menginginkanmu."

Elusan terjadi pada helaian rambut Hinata dan berakhir untuk menyentuh rahangnya.

"Ini akan menjadi rahasia kita."

Raut ragu yang terlukis pada wajah Hinata membuat Naruto kembali memberi kecupan singkat.

"Aku berjanji akan melakukannya dengan lembut."






Bersambung ...

Jangan jadi brengsek, ya, Nar. Jadi masa depanku aja, hiyaa~

Continue Reading

You'll Also Like

9.3K 836 30
"APA? DIJODOHKAN?!" "Ini saatnya kau berumah tangga! Mau sampe kapan kau akan seperti ini?! Sendirian dan terus fokus kerja. Ingat, Draco! Kau ini su...
11.1K 1.7K 14
Hay guyss... Cerita ini sekarang pindah akun yak heheh, sekarang diakun saya pubhlishnya... Karena ada sesuatu hal hehehe Okey... cerita ini saya up...
27.3K 3.6K 23
[Wonjoy Area] It's nice to know you, Let's do it again! How we did in one night stand Boy, I wanna be more than a friend to you . . . . . . . . . Te...
206K 14K 34
Sakura Hiden: Thoughts of Love, Riding Upon a Spring Breeze (サクラ秘伝 思恋、春風にのせて, Sakura Hiden: Shiren, Harukaze ni Nosete)