With You: A Faux Pas? [ NaruH...

By eminamiya_

56.9K 8.3K 905

Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang s... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16. Akhir Untuk Memulai
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Extra Chapter

Memulai

6K 299 19
By eminamiya_


Tolong pahami kalau aku hanya penulis amatir. Jadi, mohon tidak berekspetasi tinggi untuk alurnya yang akan sangat pasaran.

Jangan membandingkan cerita ini dengan kehidupan nyata, ya. Ini hanya fiksi.

Jika kalian tidak menyukai segala hal mengenai cerita ini, mohon untuk tidak meninggalkan komentar buruk. Cukup pergi, tinggalkan dan lupakan.

.

.

.

- Happy Reading -

.

.

.


"Hinata, cobalah berputar."

Ujung lembut kain berwarna putih bersih, sedikit melambai saat tubuh di sana mulai kembali bergerak untuk mengikuti instruksi.

Rambut panjang sepunggung yang terurai rapi secara halus, ikut bergerak manis ketika putaran kedua berhasil dilakukan tanpa kesalahan.

Hembusan napas tak terelakkan melantun lolos dari sela bibir. Jika boleh berkata jujur, Hinata sudah lelah terus melakukan hal serupa sejak tadi.

Hari sudah bergumul bersama gelap malam sejak beberapa jam yang lalu, rekan yang lain bahkan telah meninggalkan tempat dari dua jam lalu, namun, Hinata tetap diminta untuk menetap lebih lama tanpa jaminan apa pun.

"Kapan ini akan selesai? Aku sudah lelah. Lagi-lagi, kau mengambil jatah istirahatku tanpa rasa kasihan." Hinata putuskan mengambil duduk tanpa menggubris rintihan Murakami Suran yang meminta agar ia tetap berdiri.

Hinata mencoba tak peduli. Ditariknya ujung gaun yang sejak tadi membungkus dirinya.

Menurut Hinata, gaun ini sudah lumayan sempurna. Entah apa lagi yang membuatnya masih terlihat kurang di mata sang atasan.

Benar. Murakami Suran. Meski tingkahnya sangat menyebalkan, Hyuga Hinata tetap tak bisa terlalu memberi perlawanan bila diminta melakukan sesuatu, sebab mau bagaimanapun, ia adalah seorang pegawai dari sahabatnya sendiri.

Kira-kira, sudah dua tahun ini Hinata menempatkan diri sebagai salah satu bagian dari butik pakaian modern dan gaun pernikahan dari si wanita yang perfeksionisnya luar biasa. Selain karena ingin menambah pendapatan dari pekerjaan sampingannya sebagai guru privat bagi anak sekolah dasar, juga karena Suran sendiri yang datang langsung untuk memberi tawaran.

"Hah ... aku tak mengerti. Apa lagi yang salah dengan pakaian ini?"

Ini sudah kesekian kali Hinata mendengar omelan serupa dari bibir berpoles gincu milik Suran.

"Ini sudah bagus, Suran. Semuanya sempurna. Kau hanya terlalu keras pada dirimu sendiri."

Sepertinya, kalimat Hinata mengenai tepat saraf otak sang sahabat. Dengan helaan napas pelan, Suran memilih menghempas pensil yang sejak awal berada dalam kuasa jemarinya.

"Aku lelah."

"Sama. Aku juga lelah."

Kekehan Suran membuat Hinata mendelik samar.

"Maaf sudah merepotkanmu, Hinata. Kau bisa melepaskan gaunnya sekarang."

Hinata sedikit sangsi -- meski hati telah merasakan kesenangan.

"Sungguh? Tapi, kau tak akan secara tiba-tiba memintaku memakainya lagi, 'kan?" Hinata coba memberi ucapan dengan nada yang dibuat bersungut. "Sangat melelahkan jika harus melepas-pasang gaun ini."

Mata hitam Suran menyorot gemas, lantas, menggerakkan tangan sebagai tanda 'Aku serius', yang segera Hinata manfaatkan untuk benar-benar membebaskan diri dari lilitan gaun.

Lega sekali rasanya ketika suhu dari pendingin ruangan menyentuh kulit tanpa penghalang yang begitu berarti -- selain pakaian miliknya sendiri.

"Kau akan langsung pergi begitu saja?"

Hinata yang baru meraih tas, mengangguk pelan. "Ini sudah hampir larut, jika kau melupakannya." Jari tangan terarah pada jam.

"Ternyata sudah sangat malam. Aku tak menyadarinya sama sekali." Sembari menegakkan diri, Suran ikut meraih tas miliknya.

"Berarti, sekarang sudah sadar 'kan berapa lama waktu yang kau habiskan untuk membuatku menderita?"

"Kau pendendam sekali. Sekali lagi, maafkan aku kalau begitu."

"Naikan gajiku."

"Apa?"

Bersama tangan yang tengah membuka pintu, Hinata melirik melalui sudut mata. Suran sedang memandang dengan ekspresi protes di sebelahnya.

"Jika dihitung sejak awal aku bekerja padamu, sepertinya, pekerjaanku jauh lebih berat dari rekan yang lain. Aku selalu mendapat bagian tambahan untuk menjadi objek percobaan."

"Itu karena tubuhmu ideal, Hinata. Tak mungkin aku meminta Chou yang menjadi modelnya." Kedua tangan Suran saling menangkup di dekat pipi. Sorot mata dibuat seimut mungkin untuk menarik perhatian. "Tak perlu bicara tentang biaya tambahan, hm? Kita ini sahabat, 'kan?"

Hinata mendengus pelan. "Dasar perhitungan."

"Aku menyayangimu, Hinata."

Hinata mengerang pelan. Suran mendadak saja memberi pelukan pada lengannya.

"Lepaskan aku..."

"Tak mau!"

"Suran, kita bisa jatuh jika kau terus seperti ini."

"Biar saja."

Pasrah. Hinata hanya bisa menghela napas. Sempat lupa bila Suran adalah tipikal yang akan semakin berbuat bila ditolak.

"Akan aku antar pulang, oke? Ayo, ke mobilku."

"Jangan menyogok. Aku tak terpengaruh."

"Aku tak menyogok. Memang benar-benar ingin mengantarmu, Sahabatku."

Mendadak, Hinata menghentikan gerak. Dipandanginya sang wanita berambut coklat dengan mata memicing penuh curiga. "Pasti ada yang kau inginkan."

Seakan tebakan Hinata memang tepat sasaran, Suran telah terkekeh untuk menampilkan deretan gigi bergingsulnya. "Kau tidak melupakan ajakanku besok, 'kan?"

Sudah Hinata duga. Memang ada maunya.

"Entahlah. Aku tidak bisa berjanji. Besok, aku ada jadwal mengajar anak tuan Uchiha. Tak mungkin menunda, mereka sudah membayar di muka."

"Ha? Bukankah kau bilang kegiatan mengajar lesmu di sana sudah selesai? Anak mereka akan disekolahkan ke luar kota dalam waktu dekat ini, bukan?"

"Masih ada sekali pertemuan lagi. Mereka memberi bayaran lebih untuk pertemuan tambahan."

"Lalu, bagaimana?" Suran memandang dengan mata sendu dan bibir yang mengerucut. "Aku tak ingin pergi sendirian ke acara itu."

"Kenapa kau penakut begini?"

"Bukan penakut. Aku tak ingin diejek karena datang sendirian. Bagaimana kalau mereka semua membawa pasangan? Setidaknya, jika kau ikut, ada yang menemani kesendirianku." Suran tertawa singkat.

"Entahlah--"

"Hinata, ayolah ..., kali ini saja. Apa aku sering meminta bantuan padamu?"

Bibir Hinata berdecak singkat. "Sepertinya, kau lupa ingatan."

'Menjadi sosok yang mudah luluh'. Tentu saja Suran sangat menghafal karakter sang sahabat hingga tak mau menyerah memberi ajakan. Terbukti, sekarang helaan napas Hinata kembali mengudara tanda pasrah.

"Memangnya, jam berapa acaranya?"

Benar, 'kan?

Suran merasa telah mendapat lampu hijau. "Tujuh malam."

"Itu masih dalam jam mengajarku."

"Astaga, Hinata--"

"Tapi, akan kuusahakan." Hinata memandang. "Akan kucoba meminta jam temu lebih cepat agar kegiatannya juga selesai lebih awal."

"Sungguh?"

"Tapi, aku tetap tak bisa berjanji."

"Aku percaya padamu."

"Jangan bicara seperti itu. Kau membuatku terbeban."

"Biar saja. Intinya, aku berharap banyak. Aku akan menunggumu besok."

.

.

.

.

Hinata tersenyum lembut. Semua soal esai yang ia beri mendapat jawaban yang cukup memuaskan. Uchiha Sarada telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam memilah jawaban yang sesuai dan tepat. Sudah tiga bulan terakhir, Hinata merasakan perubahan sangat positif dari pribadinya.

"Sarada sudah melakukannya dengan sangat baik. Setelah ini, kemampuanmu pasti akan lebih luar biasa lagi."

Di bawah rambut hitam pendek terurainya, sang gadis kecil tersenyum malu-malu.

Bila disandingkan bersama sang ibu, sifat mereka sangat bertolak belakang. Uchiha Sakura lebih terbuka -- bahkan sosok yang sangat banyak sekali bicara. Jika sudah menuangkan isi hati mengenai betapa dingin dan cueknya sang suami, curhatan yang terjadi bisa memakan waktu sangat banyak, hingga Hinata menjadi sedikit kesulitan membagi waktu antara mendengarkan hingga selesai dan mengemban kewajibannya sebagai pengajar.

Ingin memberi protes, tetapi, Hinata tak setega itu untuk membuat orang lain menjadi kecil hati.

Merasa bila kegiatan les hari ini hampir mencapai jam akhir, kelereng bulan Hinata melirik sebentar pada waktu yang tertera.

Sudah setengah tujuh malam. Mungkin masih sempat untuk ajakan yang Suran berikan kemarin hari. Untung saja kegiatan les piano Sarada selesai lebih cepat hari ini, sehingga Hinata dapat meminta waktu mengajar lebih awal dan bisa selesai lebih cepat.

Mengingat jika ini merupakan pertemuan terakhir yang akan terjadi, Hinata memberikan sebuah buku catatan kecil sebagai kenang-kenangan bagi Sarada.

Wajah sang gadis sempat menampilkan gurat terkejut. Merasa tak menyangka jika Hinata mengetahui jika ia sangat menyukai Princess Ariel.

Waktu yang terus berjalan menjadi tanda bila keberadaan Hinata di kediaman Uchiha telah mencapai pengakhiran. Kegiatan mengajarnya selesai dan berlanjut dengan langkah teratur menuju seorang wanita yang sedang duduk manis di sofa depan.

Sedikit perbincangan kecil antara Hinata dan Sakura, serta bersambung dengan diulurkannya sebuah amplop coklat yang sempat membuat Hinata merasa tak mengerti.

"Apa ini?"

"Hadiah untukmu karena sudah menjadi guru yang baik bagi Sarada."

Hinata terkejut. Sungguh, dirinya tak pernah mengharapkan sebuah tunjangan lebih untuk segala hal yang ia lakukan.

Tapi, melihat betapa berharapnya nyonya Uchiha memberi sodoran, Hinata menjadi tak enak bila terus memberi tolakan.

"Hargai ini."

Lontaran tersebut membuat Hinata tak memiliki pilihan selain menerima dan menunduk singkat sebagai ucapan terima kasih yang dalam.

Setelah perbincangan-perbincangan lain terjadi, Hinata dapat meloloskan diri tepat setelah waktu telah menunjukkan pukul nyaris setengah sembilan.

Seperti apa yang Hinata katakan sebelumnya, ketika seorang Uchiha Sakura mulai berbicara, hanya kemungkinan kecil jika ia akan selesai dengan cepat.

Alhasil, Hinata hanya bisa merengut kecil ketika mendapati beberapa panggilan tak terjawab serta pesan-pesan yang Suran kirimkan untuk menanyai keberadaannya.

Bersama gerak yang sedikit terburu-buru, Hinata lekas menuju satu lokasi di mana sang sahabat tengah menunggu.

Sesuai dugaan, Suran langsung memasang raut menekuk dan protes atas keterlambatan sang sahabat.

"Kau sangat terlambat, Hinata!"

Dengan ekspresi yang dibuat semenyesal mungkin, Hinata menyatukan dua tangan di depan dada sembari meminta maaf.

"Maaf. Ibunya Sarada tak mengizinkanku kembali lebih cepat karena tadi adalah pertemuan terakhir. Dia banyak berbicara, dan aku tak mungkin meninggalkannya begitu saja."

Saling memberi penjelasan panjang lebar pun, takkan ada gunanya lagi. Yang ada, mereka hanya semakin menghabiskan waktu. Setidaknya, Hinata benar-benar bersedia datang menemuinya. Suran patut lebih banyak bersyukur. Apalagi, ini adalah acara reuni Suran bersama teman-teman sekampusnya dulu. Hinata tak ada korelasi sama sekali.

Tak ingin berlama, ia ajak Hinata masuk bersama agar bergabung dengan yang lain. Lagi pula, tak ada larangan sama sekali untuk mengajak orang lain di acara mereka. Bahkan, sebagai besar juga datang bersama pasangan dan teman di luar angkatan.

Siapa tahu saja Hinata bisa tertarik pada salah satu temannya, 'kan?

Setelah mengambil duduk di sisi sebuah meja panjang, Suran mengenalkan Hinata pada beberapa orang yang mulai bertanya dan penasaran.

"Deidara."

Hinata sedikit salah tingkah ketika seorang pria mengulurkan tangan secara tiba-tiba.

"Tak perlu canggung. Kami semua teman Suran." Deidara menatap pada wanita yang disebut. "Tapi, tak tahu, apakah Suran juga menganggap kami teman atau bukan."

Seketika saja, semuanya tertawa. Mengisi waktu dengan nuansa yang lebih ceria.

"Kau mengambil tempat dudukku."

Berpasang mata menoleh ketika suara lain ikut hadir di antara mereka.

Deidara yang mengakui telah merebut tempat yang sebelumnya memang dimiliki orang lain, memilih untuk berpindah -- setelah sebelumnya mengumbar senyum ke arah Hinata.

Setelah sosok yang sedari beberapa menit lalu undur diri ke toilet -- telah kembali dan mengambil duduk di seberang meja, Hinata terpaku.

Jantungnya seketika berdetak sangat cepat dengan mata yang melebar tak percaya. Tangan Hinata bergerak di atas pangkuan -- seolah mati rasa ketika mencoba saling menaut kepalan dengan keras.

Kelereng di sana ikut menggulir diri. Pun dalam detik yang serupa, pula merasa tertegun luar biasa. Birunya bergetar samar, mengungkap ucapan tak terdengar -- di mana -- hati mempertanyakan mengapa bisa hal ini terjadi.

Dalam riuk bising yang terjadi, keduanya hanya bisa saling memandang dengan jiwa yang seakan tergoncang sama besar.

Dengan sadar, Hinata meneguk ludah. Kenapa takdir mempermainkannya seperti ini?





Nanti kita bakal lanjut ke masa lalu mereka. Biar tahu, ada apa sih sama mereka? :)

Continue Reading

You'll Also Like

62.9K 7.4K 36
[SELESAI] Sakura pernah hampir membenci takdir serta dirinya sendiri, ketika dia harus terlibat dalam tali masa lalu yang ia bentangkan sendiri. Memb...
949K 57.4K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
1.7M 157K 78
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...
169K 19.3K 39
VOTE DAN COMMENT JANGAN LUPA, TERIMA KASIH. Naruto Namikaze itu kejam, suka sekali membully Hinata yang polos. Menurut Naruto itu balas dendam. Ever...