Hi Semuanya! Welcome Back To Madame Mafia!
Sebelum mulai seperti biasa....
Bonus : 200 komen
Kalau komennya lebih dari segitu, aku updatenya sehari lebih cepet dari tanggal update biasa, okei?
Jangan lupa vote dulu, yuk!
Happy reading!
~~~
Rintik hujan membasahi bumi. Menitik ke seluruh tubuh Jona selagi langkahnya keluar dari mansion, dengan wajah tertekuk, hati panas membara. Jona tidak bahkan mengenali langkahnya sendiri. Dia seperti terpincang. Tidak, mungkin itu tidak benar. Dia seperti limbung. Bagai tengah melayang dan tidak menginjak bumi sama sekali.
Pikirannya penuh. Dengan segala macam emosi ikut merebak menyiksanya. Rasa bersalah, rasa lega. Adrenalin yang baru lepas. Sendu, penyesalan, juga kebahagiaan. Bagai pintu yang sudah begitu lama tidak bisa dia raih, akhirnya membuka sedikit dan mempersilahkan dia lewat. Pintu menuju jawaban dari setiap mimpi buruknya. Pintu yang menuju ke keterangan batinnya.
Walau pintu itu tetap terasa jauh.
Walau menjangkaunya saja, mungkin aku masih kepayahan.
Jona telah memanggil salah satu bawahannya untuk menjemputnya kemari. Membiarkan mereka nanti kembali untuk mengambil mobilnya. Dia tidak merasa berada dalam keinginan untuk mengemudi seorang diri saat ini seperti ketika kemari tadi. Tidak ketika kepalanya serumit benang kusut. Dia mungkin akan kecelakaan. Mungkin ajal akan menghampirinya.
Ketika dia bahkan belum menyelesaikan masalahnya.
Jona tidak ingin itu terjadi.
Dia tidak tahu di mana jemputannya tengah berada sekarang. Namun dia tetap melangkah menjauh dari mansion. Dengan langkah pelan-pelan yang seperti separuh menapak bumi. Dengan langkah lemah namun otak tidak bisa berhenti berbicara. Air hujan yang mengaliri tubuh luka-lukanya tidak bahkan terasa. Dia kebas. Dari dalam, dari luar. Sekujur tubuhnya.
Air hujan tidak mengganggunya sedikit pun.
Namun sebuah payung, sekonyong-konyong menaungi wajahnya.
Jona menghela nafas panjang. "Seingatku, kau tidak diperbolehkan untuk menemuiku selama 2 minggu lamanya," gerutunya kepada Devan, dengan suara serak, lirih, juga lemah.
Devan menegak. Dia menyodorkan payung kepada Jona sehingga dia yang kehujanan. Memang kesetiaan yang tidak bisa diukur. Devan memanglah asisten terbaiknya.
"Saya siap menerima hukuman apa pun setelah melanggar perintah Anda, Tuan," kukuhnya, begitu tegas. Tanpa keseganan di dalam suaranya.
Mengingat tentang Devan, pasti dia berpikir aku akan menghukumnya. Biasanya aku akan. Namun kali ini, aku tidak bahkan memiliki keinginan untuk bertikai lebih lama. Aku hanya ingin kembali pulang. Aku hanya ingin merasa damai. Setelah aliansi akhirnya bubar. Setelah semua kelumit akhirnya usai. Setelah cahaya baru kini menaungiku. Cahaya yang akan menunjukkan jalan kepadaku.
Karena itu Jona menyentuh pundak Devan, mengejutkan pria itu, lalu membisik lembut,
"Terima kasih."
Devan mengerutkan kenignnya begitu dalam. "Untuk?"
Namun Jona tidak menjawab.
Dia berjalan diekori Devan di belakangnya, kembali ke mobilnya, peduli setan sekalipun joknya basah kuyup. Sepanjang perjalanan yang hening, Jona hanya menatap rintik-rintik hujan di balik jendela. Membiarkan kepalanya berpikir sesukanya.
Awalnya, dia berjanji akan menghadiahi pertemuan dengan Carlie seketika dia menyelesaikan masalahnya. Namun kali ini, ada sesuatu hal yang lebih penting.
Di rumahnya.
Dan hingga kembali ke rumah, tidak sekalipun ada pembicaraan diantara mereka.
***
Bahkan hingga sampai kembali ke rumahnya, beberapa lama kemudian, Jona belum membasuh ataupun mengeringkan tubuhnya. Dia membiarkan AC Mobil yang melakukan pekerjaan itu untuknya. Namun rupanay AC belaka tidak mempan melawan derasnya hujan. Sehingga hingga kini, dia setengah kebasahan. Tubuhnya masih lembap, rambutnya masih lepek. Namun dia peduli setan. Langkahnya menggema lantang-lantang di mansionnya yang nyaris tidak ada orang. Dia menyuruh semua orang untuk kembali ke balai peristirahatan mereka. Semula, Devan bertanya untuk apa. Namun Jona enggan menjawab. Dia hanya menitah dan tak lagi berkata, lantas kakinya membawanya pergi, menuju tempat yang harus ditujunya.
Pigura foto keluarganya.
Jona tertegun di hadapannya. Melihat wajahnya yang kecil. Wajah Kakaknya yang tersenyum tipis. Lantas wajah ibunya yang pucat. Terakhir, wajah Ayahnya yang pernah dia bunuh. Rasa mual menjalarinya, namun Jona mencoba untuk menahan rasa ini. Tangannya bergetar ketika dia menyentuh pigura. Namun setelah menarik nafas beberapa kali, akhirnya dia berani menekannya, menariknya membuka. Dan terbentanglah di hadapannya, sebuah ruangan yang dipenuhi kenangan pahit. Sebuah ruangan yang selalu disembunyikannya. Satu--satunya tempat yang tidak pernah dibersihkan di rumah temaram ini. Satu-satunya tempat di mana Jona bisa melihat masa lalunya.
Banyak hal yang dia sadari semenjak pertarungannya dengan Volkov. Mungkin, pertarungan itu adalah pembuka mata terbesar yang pernah dia kenali sepanjang hidupnya.
Jona melihat ke kanan ke kiri. Menelaah seisi ruangan yang berisikan benda-benda berdebu. Foto yang berjelaga, lemari yang bahkan lebih buruk. Sofa usang yang sudah tidak layak digunakan. Ubin yang pecah di lantai, dan sebuah senapan yang hancur bekeping-keping di dekatnya. Namun bukan itulah yang dia cari hari ini.
Bukan itulah yang Jona sadari dari pertikaiannya dengan Volkov.
Dia manarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan denyut hatinya yang mulai mengencang, rasa perih yang menderak matanya. Dia berjongkok perlahan ke ubin, dan dengan jemari bergetar, dia meraih satu barang yang menjadi bukti akan apa yang telah dunia berikan kepadanya.
Suratnya, yang dipenuhi kebencian.
Aku benci Nathan! Aku benci Mama! Aku benci Papa! Aku benci dunia ini! Lebih baik mereka semua mati saja!
Tidak, lebih baik, aku tiada saja sejak awal.
Kumohon siapa pun, bunuh aku.
Rasa sesak melejit ke dadanya. Lagi-lagi, Jona merasakan dorongan mual di perutnya. Dorongan untuk kabur saja dari semua ini, kabur saja dari dunia, dan tidur tenang selamanya tanpa harus menghadapinya. Namun dia menyadari kalau dia harus melawan kebencian ini seorang idri. Bukan bergantung kepada Carlie. bukan kepada ibunya. Bukan kepada siapa-siapa. Hanya dia dan dirinya seorang.
Aku mengetahui satu hal setelah pertengkaran dengan Volkov.
Seperti layaknya Volkov yang membenci kehidupan lamanya, dan menjadikan Jona sebagai alasan hidupnya membaik, sehingga mengagumi sampai tergila-gila. Sama sepertinya yang terpuruk, hanya pengemis, dan diselamatkan nyawa oleh Jonathan Austin, lantas memaksa Jona menjadi alasan hidupnya. Mungkin.... tidak, memang.... Jona pun sama.
Dia bukan membenci ayahnya. Dia bukan membenci ibunya. Dia bukan membenci Nathan. Dia bukan membenci dunia.
Dia hanya membenci dirinya sendiri.
Jona benci bagaimana dia tidak berdaya di hadapan ayahnya. Bagaimana hidupnya begitu nestapa, dia tidak bisa memiliki keluarga yang bahagia. Bagaimana dia tidak bisa menolak ketika dia tidak bisa hidup bersama ibu dan kakaknya. Bagaimana dia menjadi alasan kematian Nathan. Bagaimana dia menjadi alasan kegilaan ibunya. Bagaimana dia yang berakhir harus membunuh ayahnya dengan tangannya sendiri. Bagaimana dia menjadi alasan suara ibunya rusak saat ini.
Dan dia mementalkan semua alasan itu kepada Carlie. Dia memberikan kebencian kepada dirinya sendirinya untuk Carlie yang tangani. Dia menganggap Carlie sebagai pengubah hidupnya, dan berakhir memaksa wanita itu untuk menghiburnya setiap saat.
Padahal bukan penyelamatan yang dia butuhkan.
Padalah pokoknya, dia hanya tidak suka menjadi Jonathan Austin.
Dia membenci Jonathan Austin.
Carlie membuatnya merasa sedikit tidak menyedihkan. Carlie selalu bisa membuatnya merasa sedikit saja kalau dia lahir sebagai manusia dengan kehidupan baik. Carlie memberikan sebuah dunia temporal di mana kebahagiaan memang ada untuknya. Dan di dunia ketika Carlie dan Jona tengah bersma, Jona tidak membenci dirinya begitu banyak. Dia mencintai bagaimana dia menemukan seseorang untuk dicintai. Dia senang karena menemukan seseorang yang sangat dia sukai. Carlie berhasil membuatnya keluar dari pusaran kebencian yang tak ada habisnya.
Namun yang merusak segalanya, adalah keinginan Jona utnuk terus berada di dunia itu. Untuk Carlie menjadi senyumnya setiap saat. Memberikan tanggung jawab penghiburan hanya kepada wanita itu. Tidak peduli, walau dia semaput sekalipun.
Rasa besalah menderaknya begitu kencang. Jona melangkah dengan lunglai, keluar dari ruangan. Dia menutup kembali pintu yang tiba-tiba terasa seberat beton, lantas menatap matanya yang kecil. Matanya yang melihat dunia yang menyeramkan. Matanya yang dipenuhi oleh kesedihan, dan hanya ingin kabur dari dunia menyeramkan ini. Matanya yang hanya ingin diselamatkan. Matanya yang dipenuhi kebencian.
Dan melihatnya, entah mengapa, Jona mulai menangis.
"Seberapa banyak aku membencimu?" bisiknya parau, begitu lirih, begitu menyayat hati. Sanubarinya rasanya terbelah menjadi potong demi potong. Tubuhnya ikut kebas oleh rasa sakit di dadanya. Jona menginginkan kehidupan yang lain, Jona kecil menginginkan kehidupan yang berbeda. Namun bukannya berdamai dengan kehidupan lamanya, dia menjadikan kebenciannya kepada dirinya sendiri.
Dia benar-benar benci lahir menjadi dirinya sendiri.
"Dan sampai kapan aku harus terus membencimu?"
Devan benar. Yang masalah di sini adalah aku. Bukanlah Carlie. Bukanlah hubungan kelumit. Bukanlah pertengkaran di hari terakhir kita berpisah. Bukan semua itu. Masalahnya, hanya pada aku, dan aku seorang diri. Hanya pada aku yang tidak bisa berdamai dengan diriku sendiri. Hanya karena aku yang membenci diri sendiri seburuk itu, hanya karena aku yang menginginkan realita lain. Dan kujadikan Carlie, alasan realita itu untuk menjadi milikku. Dan berakhir menghancurkannya.
"Kini aku mengerti." Jona membisik, percaya jelas kalau tidak ada yang mengupingnya dari manapun. Kepada titah Jona, Devan sangat setia. "Aku membencimu terlalu banyak. Aku benci menjadi dirimu. Aku benci menjadi kita. Dan kau yang selalu terluka oleh kebencian ini. Kau yang selalu berakhir tertindas oleh dirimu sendiri. Oleh keinginan kita melihat keluarga di luar sana yang begitu harmonis. Berbeda dengan yang kita. Berbeda dengan kenyataan kita."
Jantung sakit, bagai dipotong ratusan bilah. Namun Jona mencoba menahannya. Walau air mata tidak kunjung berhenti mengaliri matanya. Dan dia tidak berniat untuk menghapusnya secepat itu. Kali ini saja... dia ingin membiarkan diri sendiri lemah dan rapuh.
Tidak selalu kuat, seperti paksaan ayahnya.
"Maafkan aku." Jona hampir gagal mengatakan dua kata itu. Suaranya pecah di penghujung, bersama hatinya yang pecah di dalam sana. "Maafkan kebencianku selama ini. Maaf selalu melihatmu bagai sampah. Maaf tidak berani berkaca hanya untuk menatapmu. Maaf sudah merutukimu dan kelemahanmu." Maaf untuk sejuta hal yang tidak bisa Jona katakan. Karena begitu banyak luka yang dia berikan kepada dirinya sejak kecil. Karena maha besar kesalahan yang telah diperbuatnya, kepada Jona yang kecil.
"Dan mulai hari ini," Jona menelan ludahnya sepat, "biarkan aku membalas budi kepadamu, anak kecil. Biarkan aku menyayangimu mulai hari ini. Seperti Carlie yang menyayangiku. Seperti dia yang begitu peduli. Biarkan aku juga." Dia tersenyum tipis. "Kita beruntung memiliki orang untuk dicontohi."
Selagi berjalan menjauh dari pigura, ketuk di lantai terasa dipenuhi sendu juga amarah berkecamuk. Jona ingin menjumpai Carlie, namun rasanya untuk saat ini, dia masih membutuhkan sedikit waktu untuk mengistirahatkan diri. Batin, raga, jiwa. Seluruhnya. Sebab itu esok hari atau barangkali lusa, dia baru akan menmui Carlie. Menceritakan semua yang dia lalui. Menceritakan kenyataan baru yang dia sadari. Berikrar tidak akan memaksakan Carlie untuk lagi-lagi menjadi alasannya tersenyum. Sebab dia akan mengusahakannya sendiri.
Aku berhasil membubarkan aliansi, Carlie. Jona membisik di dalam hati. Mengepalkan tangannya, menghela nafas berat. Dan mulai hari ini, tolong bantu aku untuk mencintai diri sendiri.
Seperti kau, yang tak luput mencintaiku. Padahal aku telah menyakitimu bejuta kali banyaknya.
***
Yang Jona tahu jelas, Carlie menyukai Wine dan Coffee caramel. Wine, karena warnanya merah. Coffee karena dia pecinta kopi. Sebab itu itulah yang dibawanya untuk mengunjungi apartemen Carlie pada siang itu.
Namun di tengah jalan, dia berpikir kalau kopi dan anggur belaka tidak akan cukup untuk menjadi hadiah permintaan maafnya, karena itu Jona berakhir membeli buket bunga besar, yang sekarang memenuhi kursi paling belakang mobilnya, dan membawakannya sampai ke kamar Carlie. Kali ini benar-benar menggunakan Lift, mengaku sebagai seorang teman Carlie Heston.
Dan mengagumkannya sang resepsionis menerimanya tanpa basa-basi.
Mengagumkan sekaligus mengherankan.
Sebelum membuka kenop pintu, Jona menarik nafas dalam. Dia jarang merasa gugup, siang ini dia bisa jatuh saking terguncangnya. Dia mencoba menenangkan diri berkali-kali, meyakinkan kalau Carlie pasti mau menerima permintaan maafnya, lantas membuka pintu.
Namun yang dia temukan di dalam membuatnya membelalak.
Carlie tidak ada di dalam.
"Carlie?" Jona berseru dari pintu. Dia mencari ruang tengah, kamar, tidak ada Carlie sama sekali. Hanya wanginya yang samar-samar tersisa. Seakan dia sudah lama tidak ada di tempat ini.
Jona mulai kepanikan mencari ke setiap sudut penthouse raksasa ini. Dia meletakkan asal hadiahnya di ruang tamu lantas membuka semua pintu yang ada. Dapur, kamar mandi, sampai ruang bersih-bersih yang tidak mungkin Carlie singgahi. Namun perempuan itu tidak ada.
Tidak bahkan bayangnya. Tidak bahkan wujdunya.
Jona terperangah untuk sesaat, kepanikan merajaminya. Dia cepat-cepat mraih ponselnya, lantas menghubungi Devan untuk mencarikan Carlie untuknya. Namun sebelum itu...
Jona menemukan sebuah pesan yang ditempel ke magnet kulkas.
Tulisan carlie seperti biasa tidak ada cantik-cantiknya. Namun khas, dan tetap bisa dibaca. Katanya surat-menyurat adalah tugas asistennya, jadi dia tidak butuh pandai menulis rapi, selain pandai merangkai gaun. Memang wanita yang penuh keegoismean.
Namun aku lebih egois daripadanya.
Surat itu singkat, padat, namun berhasil membuat senyum Jona mengembang lebar.
Entah mengapa, firasatku mengatakan kau akan kemari. Aku ada di Indonesia.
Isinya hanya begitu.
Jona mengetuk nomor Devan di ponselnya, lantas menaruhnya di telinga kirinya.
"Devan," panggilnya, ketika asistennya itu menjawab, "siapkan penerbangan ke Jakarta, sekarang."
~~~
Ke Indonesia! Let's go!
Semoga lidah Jona cocok sama nasi uduk ya wkwkwkw
Thank you semuanya yang udah baca. Udah Vote, Udah komen, udah share, intinya thank you semuanya!
Next Update : 24 Maret 2023
Bonus komen : 200 komen
Kalau komennya lebih dari segitu, kita updatenya satu hari lebih cepet ya! Jadi yang semangat buat next chapter, komen sebanyak mungkin yuk!
Komen "😲" buat yang nungguin next chapter.
Follow instagram aku (username : nnareina) buat kabar update!
Thank you and have a nice day!
Love you all! See you soon!